Paginya aku sengaja datang ke kelas VII-B untuk menemui Yoga. Dia tampak terkejut ketika aku menjelaskan akan bekerja sama dengan Hana untuk menemukan pencuri di kelasku. Aku memintanya untuk ikut membantuku. Yoga meminta waktu untuk berpikir. Dia memiliki alasan kenapa dia tidak bisa membantuku. Ternyata alasannya adalah karena kami memiliki perbedaan pendapat satu sama lain. Yoga masih tetap kukuh bahwa pencurinya adalah teman sekelasku sendiri. Sementara aku masih bersikeras bahwa pelakunya adalah siswa dari kelas lain. Tidak lama kemudian, Hana datang ke kelas. Aku dan Yoga langsung menghampirinya. Kami meminta pendapat tentang kebenaran pelakunya. Apakah pelakunya berasal dari siswa kelas VII-A atau siswa dari kelas lain.
“Uum, hal ini terasa sulit. Aku juga baru saja memikirkan hal ini,” kata Hana sambil melipat tangannya di atas meja. Aku dan Yoga memutar bangku depan agar dapat berhadapan dengan Hana. Aku melihat Hana yang masih termenung. Dia tampak berpikir keras. “Berdasarkan hasil pengamatanku, aku mencurigai salah satu siswa yang sudah beberapa kali datang di kelas Amar.”
“Siapa dia, Han?” tanya Yoga dengan mimik serius.
“Gerak-geriknya sangat aneh. Tubuhnya agak tinggi dan wajahnya sedikit tampan. Tetapi dia selalu berperilaku aneh.”
“Siapa dia, Han?” ulang Yoga lagi. Hana tersenyum selama beberapa detik.
“Dalam seminggu ini, dia berkunjung di kelas tujuh-A selama empat kali. Dia selalu ramah dan baik pada semua orang.”
Aku dan Yoga merasa sangat penasaran dengan berbagai petunjuk dari Hana. Namun Hana tetap tersenyum seakan-akan dia sudah memastikan bahwa orang itu adalah pelakunya.
“Jadi.. siapa dia, Han?” tanya Yoga tidak sabar. Yoga mengetuk kedua kakinya ke lantai berkali-kali. ‘Yoga tampak gelisah,’ pikirku.
“Jangan bersikap misterius gitu dong. Kami jadi tambah penasaran tahu,” sambungku kemudian. Hana tertawa kecil.
“Okay! Cowok itu berasal dari kelas tujuh-C. Rajin beribadah di masjid dan hobi menggambar manga. Dia merupakan bagian dari anggota mading,” sejenak aku merasa mengenal ciri-ciri orang tersebut. Tiba-tiba saja perasaanku tidak enak. “Namanya Acher.”
Tanpa sadar, aku menoleh ke arah Yoga. Rupanya wajah Yoga juga beralih ke arahku. Kami terlihat terkejut satu sama lain.
“Acher! Cowok yang suka main peluk?!” seru Yoga dengan wajah kagetnya.
“Cowok ajaib itu!” seruku juga.
Acher Matondang. Bagaimana kami tidak mengenal dia? Anak-anak satu sekolah pun juga mengenal dia. Tidak ada yang tidak mengenal dia. Saat pertama kali bertemu dengannya, aku merasa seperti berhadapan dengan anak keterbelakangan mental. Tetapi semakin mengenalnya, aku merasa jika dia merupakan orang normal seperti orang-orang lainnya. Dia sangat ramah dan selalu suka memeluk orang lain dari belakang. Entah itu orang yang dikenalnya maupun tidak.
Acher sangat pintar dalam mengakrabkan diri di lingkungannya. Dia juga selalu berbicara cepat tiada henti. Acher merupakan siswa yang sangat berbakat di bidang seni. Dia selalu terlihat menggebu-gebu saat menggambar. Hasil gambarannya pun lumayan bagus. Aku pernah memuji hasil gambarannya. Semenjak itu Acher selalu memberikan lembaran yang berhasil ia gambar padaku. Dengan senang hati aku menerimanya. Sampai saat ini gambaran-gambaran itu terpajang rapi di tembok kamarku.
“Kamu tidak salah, Han?” tanyaku pelan. Tidak masuk akal jika Acher adalah pelakunya. Aku sangat mengenal Acher. Dia adalah teman yang baik dan ramah. Tidak mungkin jika dia pelakunya. Lagipula hidupnya berasal dari keluarga yang berkecukupan.
Hana berdiri dari duduknya, “Aku sudah mengawasinya. Tingkah lakunya sangat aneh dan mencurigakan.”
“Acher memang sedikit aneh. Tetapi dia bukan pencuri,” selaku penuh penekanan. Kami bertiga terdiam sesaat. Tidak ada yang melanjutkan kata-kata. Kemudian bel masuk berbunyi. Aku melihat pak Danang sudah memasuki ruangan kelas.
“Nanti kita bicarakan lagi, ya? Aku pamit ke kelas dulu,” kataku. Baru berjalan beberapa langkah, ku dengar Hana berteriak.
“Nanti kita lanjutin lagi saat jam istirahat ya, Mar!”
“Ya!” seruku sambil mengacungkan jempol.
***
Kami bertiga baru saja membeli tempe mendoan di koperasi sekolah. Setelah makan bersama, kami memutuskan untuk menghabiskan sisa waktu istirahat di kelasku. Kami bersepakat untuk memperhatikan Acher yang kebetulan terlihat baru saja masuk di kelasku. Aku melihatnya sedang menunjukkan lembaran hasil gambarnya kepada Abid. Kami langsung duduk di bangku belakang Abid. Kami bertiga berpura-pura mengobrol sambil memperhatikan gerak-gerik Acher.
“Kita melakukan hal seperti ini mengingatkanku dengan adegan saat Conan..,”
“Sst! Yog, jangan berbicara terlalu keras. Nanti kedengaran loh. Ingat, kita hanya pura-pura mengobrol,” bisikku mencoba mengingatkannya.
Yoga membuka mulutnya lagi, “Kita benar-benar melakukan tugas seperti mata-mata! Eeh.. seperti detektif deh!”
Aku langsung membungkam mulutnya dan memintanya untuk diam. Yoga menganggukkan kepala berkali-kali. Setelah itu mataku mengarah pada Hana yang baru saja mengambil kursi dari bangku sebelah untuk duduk. Dia tampak natural dan bersikap biasa saja. Seolah-olah dia sudah terbiasa melakukan hal ini. Aku pun melihat sisi lain dari Hana yang pandai dalam bersikap. Aku yakin jika suatu hari nanti dia menemukan bakat terpendamnya dalam berakting. Hana memang luar biasa!
“Wah, Cher, gambaranmu bagus sekali!”
“Terima kasih, Bid. Aku ingin berbagi gambar denganmu,” ucap Acher sambil melihat sekeliling ruangan. Lalu mata kita bertemu. Acher langsung tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Aku pun juga membalas lambaiannya.
“Wah, ini kan gambar Sasuke kesukaanku! Makasih ya, Cher!” Acher menganggukkan kepalanya. Setelah itu dia tersenyum lagi tatkala melihatku. Aku membalas senyumannya. “Sejak kapan kamu bisa menggambar?” tanya Abid.
“Sejak esde aku belajar menggambar sendiri.”
“Waduh! Hebat sekali! Kalau begitu kapan-kapan aku minta tolong buatkan gambar Naruto ya! Akun ngefans banget dengan Sasuke dan Naruto,”
“Kalau begitu besok akan aku buatkan gambar Naruto ya.”
“Terima kasih ya, Cher. Oh iya, aku ingin menunjukkan album perangko punyaku. Kamu belum pernah melihatnya kan?” Acher menganggukkan kepala. Sementara Abid mengeluarkan sebuah album dari dalam tasnya. ‘Pasti album perangko yang kemarin! Aku ikutan lihat deh!’ aku segera melesat ke bangku Abid. Aku juga sangat ingin melihat perangko yang dikumpulkannya.
Aku menoleh ke arah Yoga dan Hana yang melongo.
“Sebentar ya!” kataku agak pelan. Lalu aku ikut melihat berbagai perangko yang ditunjukkan oleh Abid. “Perangko yang ini bagus banget!” tunjukku.
“Iya, Mar. Temanya olimpiade loh! Lihat! Ada gambar orang renang kan?” aku tersenyum sembari menganggukkan kepala. Begitu pula dengan Acher. Dia melihat perangko-perangko Abid dengan penuh perhatian.
“Perangko yang ini bagus ya,” katanya dengan wajah sumringah. Aku sependapat dengannya. “Aku jadi ingin memilikinya juga.”
Deg! Aku terkejut mendengarnya. ‘Apa barusan Acher bilang kalau dia juga menginginkan perangko Abid? Apa dia hendak mencuri album perangko itu juga?’ pikirku kalut. Abid mengambil salah satu perangko yang memperlihatkan gambaran seorang anak laki-laki dan anak perempuan sedang membaca buku.
“Nah, ini sebagai rasa terima kasihku karena kamu sudah memberikanku gambar Sasuke,” diberikannya salah satu perangko itu pada Acher.
“Gemar membaca dan menulis,” Acher membaca tulisan di perangko tersebut. Lantas dia tertawa renyah sambil tetap melihat perangko yang dipegangnya. “Terima kasih, Bid,” katanya dengan mata berbinar-binar. Abid tertawa melihatku gigit jari. Sepertinya Abid mengetahui apa yang aku rasakan. Dia mengambil salah satu perangko.
“Kamu juga mau, Mar?” Aku menganggukkan kepala dengan gembira. Abid benar-benar teman yang baik. Dia mengerti bahwa aku juga ingin diberi perangko olehnya.
“Terima kasih, Bid!” belum sampai aku ambil, seseorang mengambil perangko dari tangan Abid. Aku langsung menoleh. Ternyata Jeremy yang mengambil perangko itu.
“Hey, Je! Perangko itu buat aku,” protesku. Jeremy malah tertawa kegirangan.
“Buat aku boleh nggak?”
“Kembalikan dulu. Kalau perangko yang itu untuk Amar. Kamu bisa aku berikan yang lain,” kata Abid. Jeremy menggelengkan kepalanya.
“Aku lebih suka yang ini. Boleh ya, Bid?” katanya setengah memohon.
“Ya, sudahlah, Bid. Biarkan perangko itu untuk Jeremy,” kataku dengan wajah sedih.
“Tidak bisa! Perangko itu untuk kamu, Mar. Je, kembalikan dong!” Abid berjalan mendekati Jeremy yang berjalan mundur.
“Nggak mau! Tangkap aku kalau bisa!” katanya sambil tertawa. Lalu Jeremy berlari menjauh. Abid pun juga langsung mengejarnya hingga keluar kelas. Tak lama setelah melihat keduanya menjauh, aku melihat seorang gadis berambut panjang dengan tangan belepotan seperti bekas lumpur. Aku berlari menghampirinya.
“Lina, sehabis dari mana?” sapaku. Gadis itu menoleh.
“Eh, Amar. Iya, aku baru saja menanam kacang hijau,” katanya sambil setengah menunduk. Aku tidak terkejut mendengar perkataan Lina. Selama ini dia memang selalu suka mengurus tanaman-tanaman di taman yang berada di belakang sekolah.
“Wah, kamu rajin sekali ya,”
“Tidak juga. Cukup ditanam di tanah yang liat, maka tanaman itu akan tumbuh subur,” beberapa detik kemudian kami saling terdiam. Lina menengok ke arah kelas.
“Kelas kita agak sepi ya, Mar,” kata Lina.
“Iya. Cuma ada Acher, Hana, dan Yoga. Biasanya jam istirahat juga kelas kita agak sepi kan? Mereka semua pasti sedang makan di kantin.”
“Aku tadi juga melihat Dodit, Harashi, dan Hilman duduk di dekat lapangan.”
“Oh ya?” aku merasa senang karena sekarang Lina bisa berbicara dan terbuka padaku sedikit demi sedikit.
“Eeh, Amar! Cepat tahan Acher!” aku terkejut mendengar suara Hana. Aku segera berbalik dan terkejut saat melihat Acher setengah berlari sambil mendekap album perangko milik Abid. Dengan sigap, aku menahan tubuh Acher yang tinggi semampai. Hana dan Yoga berusaha melepaskan album perangko dari tangan Acher. Namun Acher tetap memegangnya dengan erat. “Acher! Lepaskan! Album itu bukan punyamu. Tolong kembalikan!”
“Acher, tolong kembalikan. Album itu milik Abid. Bukankah Abid sudah membagi perangkonya untukmu?” kataku sambil tetap memeluk Acher yang berusaha melepaskan diri.
“Tolong lepaskan! Kenapa kalian ingin mengambil album perangko milik Abid?!” Acher mulai panik. Lalu dia melihatku dengan bingung. “Amar, kenapa kamu memelukku?” aku merasa terkejut lagi ketika Acher melepaskan album perangko dan memelukku dengan erat. Aku langsung berusaha melepaskan diri.
“Lepaskan aku, Cher!” dia menurut dan melepaskan pelukannya. Karena berdiri tidak seimbang, tubuhku menabrak Lina yang berdiri di belakangku. “Maaf, Lin. Aku tidak sengaja,” kataku sambil membantu Lina untuk berdiri.
“Aku.. mencuci tanganku dulu ya, Mar,” setelah itu, Lina berlari menuju lorong. Aku kembali terfokus pada situasi Acher. Kini Acher terlihat bingung saat Hana bertanya padanya. Hana menunjukkan album perangko yang dipegangnya.
“Kenapa kamu mengambil album perangko milik Abid?” tanya Hana dengan tatapan serius bak polisi. “Album ini kan bukan milikmu.”
“Jangan-jangan selama ini kamu ya, yang mencuri barang-barang di kelas Amar?” Yoga juga ikut-ikutan bertanya. Aku agak bingung melihat mimik Acher yang penuh keheranan. Seakan-akan dia tidak melakukan hal tersebut. Apa benar jika selama ini Acher-lah yang mencuri barang-barang di kelasku? Aku merasa ada yang ganjil.
“Kalian bicara apa? Aku benar-benar tidak mengerti!” seru Acher sambil menjejakkan kakinya beberapa kali di lantai.
Aku pun mulai bertanya, “Acher, apa kamu tadi hendak mengambil album perangko itu?” Emosi Acher agak menurun ketika mendengarku bertanya padanya. Dia menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak mengambilnya.”
“Bohong!” tuding Hana.
“Kamu harus jujur, Cher,” kata Yoga.
“Ya, sudah kalau kalian tidak percaya padaku,” tubuh Acher menabrak pundakku. Dia berlari meninggalkan kami bertiga.
“Cepat kejar dia!” seru Hana menggebu-gebu. Dia melempar album perangko ke arah Yoga dan berlari mengejar Acher. Lalu Yoga menangkap album tersebut dan melemparnya ke arahku. Aku berhasil menangkap album perangko itu. Yoga malah ikut berlari mengejar. Aku merasa bingung karena ditinggal sendirian. Dengan segera, ku letakkan album perangko itu di atas meja Abid dan ikut berlari mengejar mereka.
***