Kegiatan sekolah pada hari Sabtu telah berakhir. Dan sudah menjadi rutinitas bagi Putri sejak dulu untuk menginap di rumah neneknya setiap malam minggu bersama dengan adiknya. Lalu pada hari Minggu pagi seperti biasanya, adiknya pasti akan mengajaknya untuk bersepeda menuju alun-alun kota.
Putri dan adiknya memang akrab, tidak seperti saudara kandung lainnya yang terlihat lebih sering bertengkar daripada akurnya. Mereka bahkan tidak pernah bertengkar sama sekali, sampai orang-orang bahkan bingung dengan hubungan mereka berdua.
Hari Minggu yang dinanti-nanti pun akhirnya tiba. Kakak beradik itu dengan antusias mengeluarkan sepeda mereka dan segera meluncur menuju ke alun-alun kota. Biasanya mereka berdua mengelilingi alun-alun hingga lelah, lalu berhenti sejenak sambil melihat orang-orang yang juga sedang berolahraga di alun-alun.
Jarak alun-alun dari rumah neneknya memang tidak terlalu jauh, dan sudah menjadi kebiasaan kalau mereka akan saling berlomba untuk sampai ke alun-alun lebih dulu. Seperti biasa, Putri selalu kalah karena adiknya itu mengayuh sepedanya terlalu cepat.
Ia akhirnya memilih untuk bersepeda sendiri mengelilingi alun-alun dengan perlahan-lahan, karena ia juga ingin menikmati suasana pagi yang masih sejuk tanpa terkontaminasi oleh polusi.
Satu putaran, dua putaran. Putri masih bersepeda sendirian karena adiknya sedang asyik mengobrol dengan temannya yang juga sedang bersepeda, jadi dirinya tidak ingin mengganggu mereka dan lebih memilih untuk berhenti dan turun dari sepedanya sejenak di pinggir jalan.
"Dek?"
Putri merasa cuek dengan sekitarnya, meskipun sejak tadi ia merasa jika ada suara seseorang yang sedang memanggilnya. Tetapi ia abaikan saja, lagi pula ada banyak orang di alun-alun, jadi ia berpikir mungkin yang dipanggil adalah orang lain, bukan dirinya.
"Dek?"
Putri merasa penasaran dan memilih untuk menoleh ke arah samping kanannya. Matanya langsung membulat dengan sempurna karena lagi-lagi ia bertemu dengan seseorang yang ketika itu ia lihat pertama kali di tempat fitness.
'Kok mereka rame-rame ya? Aduh, kabur aja deh.'
Putri yang awalnya hendak beristirahat sejenak, memilih untuk segera berdiri dan langsung menaiki sepedanya lagi. Ia merasa malu karena saat ini dirinya sedang ditatap oleh banyak pasang mata, yang sepertinya memang teman-teman dari lelaki itu.
"Lha kok wedi tho dek? Aku ra nyokot lho." (Lha kok malah takut sih dek? Aku gak gigit loh)
Yusuf menyikut salah satu temannya yang bernama Bagas karena nada suaranya memang terlihat seperti sedang menakut-nakuti Putri, dan lelaki bernama Yusuf itu segera mendekati Putri yang hampir saja kabur jika bagian belakang sepedanya tidak dipegangi oleh Yusuf.
'Ih! Apa-apaan sih!'
"Kamu mau kemana dek?"
"Pulang. Lepasin sepedaku dong tolong."
"Kamu takut sama aku? Kemarin kita belum sempat kenalan loh. Nama kamu siapa?"
Putri merasa semakin risih karena teman-teman Yusuf yang sedang berdiri di atas motor mereka masing-masing itu malah bersorak ke arah mereka berdua, dan Putri benar-benar tidak suka jika dirinya saat ini tengah menjadi pusat perhatian.
"Kok koyone aku tau weruh adek kuwi yo? Adek kelasku kan?" (Kok kayaknya aku pernah liat adek itu ya? Adek kelasku kan?)
"Namanya siapa?"
Yusuf yang masih memegangi bagian belakang sepeda Putri itu lantas bertanya kepada Wahyu, yang tidak lain tidak bukan adalah kakak kelas Putri, orang yang menjadi pembimbing regunya saat pramuka. Dunia sepertinya sempit sekali.
Dan Putri langsung menunduk sambil menutupi wajahnya dengan rambut pendek sebahunya, karena ia menyadari presensi dari pembimbing pramukanya sendiri, meskipun mungkin Wahyu tidak akan begitu jelas mengingat siapa dirinya.
"Walah, lali aku jenenge sopo. Sing jelas adek kelasku." (Wah, aku lupa namanya siapa. Yang jelas dia itu adek kelasku)
Putri terus berusaha untuk menarik sepedanya yang masih dipegangi oleh Yusuf, namun percuma saja, kekuatannya bahkan tidak bisa mengimbangi kekuatan Yusuf yang jauh lebih besar darinya.
"Yaudah, kalo gak mau ngasih tau nama, aku minta nomor teleponmu aja. Baru nanti aku lepasin sepedamu."
"Kok maksa sih?"
"Ya kalo kamu mau kayak gini terus, ya gak masalah sih. Terserah kamu juga, kamu mau cepet pulang apa gak."
Setelah lama berpikir, akhirnya Putri dengan pasrah menyebutkan nomor teleponnya, dan lelaki itu hanya tersenyum sambil mencatatnya lewat ponsel miliknya.
"Udah kan? Aku mau pulang."
"Nanti aku sms. Dibales loh ya?"
'Gak janji.'
Setelah Yusuf melepaskan sepeda Putri, dengan secepat kilat Putri segera mengayuh sepedanya menjauhi alun-alun, karena ia sudah merasa sangat risih sejak diperhatikan oleh teman-temannya yang lain. Maklum saja, Putri ini memang tidak suka dekat dengan banyak lelaki, apalagi jika mereka terlihat bergerombol seperti tadi, membuatnya merasa sangat tidak nyaman.
Putri mengayuh sepedanya dengan cepat hingga ia sampai ke rumah neneknya dengan napas yang tersengal-sengal. Ia bahkan meninggalkan adiknya yang mungkin saja mencarinya di alun-alun.
Ia tidak peduli, yang terpenting ia hanya ingin menjauh dari gerombolan tadi. Ia lalu menaruh sepedanya dengan asal begitu sampai di rumah neneknya, dan dengan tergesa-gesa ia segera mengecek ponsel yang ada di dalam tasnya.
Ponselnya terlihat sepi. Belum ada tanda-tanda ada telepon atau sms masuk dari lelaki tadi. Untuk saat ini ia bisa merasa tenang sejenak, dan berharap agar lelaki tadi tidak menghubunginya.
💌
Hari Minggu berakhir, hari Senin yang paling dibenci Putri pun tiba. Alasannya hanya satu. Apalagi kalau bukan karena upacara? Tetapi sebagai manusia yang hanya bisa pasrah menerima semua takdirnya, ia dengan malas tentu harus berangkat ke sekolah seperti biasanya.
Kebetulan pagi tadi sebelum berangkat ke sekolah, Putri sempat mengecek ponselnya. Dan ternyata ada satu pesan masuk dari Yusuf.
"Dek Putri, weekend ini mau nemenin mas main di timezone gak? Mas sekarang udah kelas 3 SMA lho, takutnya mas gak ada waktu lagi buat kamu. Maaf, mas tahu namamu dari kakak kelasmu si Wahyu." (Yusuf)
Putri hanya membaca pesan tersebut, lalu meletakkan kembali ponselnya di atas meja rias di salah satu kamar yang ada pada rumah nekeknya, karena sekolah memang tidak memperbolehkan muridnya untuk membawa ponsel ke sekolah.
"Itu yang namanya Putri kak."
Putri yang baru saja masuk ke dalam kelas itu menjadi kebingungan karena ada segerombolan kakak kelas yang kini sedang menatapnya. Kakak kelas berjenis kelamin perempuan yang terkenal tukang bully di sekolah itu lantas mendekati Putri, dan memojokkannya sampai ke dinding.
'Ini kok aku dikerubungin gini? Emangnya aku buat salah apa? Aku aja gak kenal sama mereka.'
"Dek?"
"Iㅡiya, ada apa ya?"
"Kamu tau siapa aku kan?"
"Engㅡgak."
Tukang bully bernama Lala itu kini menatap Putri dengan tatapan tidak suka. Lala memang terkenal di sekolah, dan Lala sendiri menyadari akan hal itu.
Dirinya hanya tidak suka saja jika ternyata ada satu orang yang dengan terang-terangan berkata jika orang tersebut tidak mengenalnya. Seperti Putri, adik kelasnya yang saat ini sedang ia pojokkan ke dinding.
"Gak kenal aku? Udah merasa cantik ya kamu."
'Mati, salah ngomong deh aku kayaknya.'
"Maaf kak."
"Besok bawa rok putih kamu."
"Buㅡbuat apa?"
"Ya mau aku pake lah, pake tanya lagi. Punyaku kotor, kebetulan aku juga mau ngasih kamu pelajaran karena bisa-bisanya kamu gak kenal sama aku."
"Rok putihku cuma satu kak, nanti aku pake rok apa?"
"Emang aku peduli? Kamu pilih buat minjemin rok kamu itu ke aku, atau kamu gak bakal pernah aku lepasin."
"Maksudnya?"
"Kamu jadi babu aku di sekolah. Terserah, pilihan ada di kamu. Sampe besok."
Lala memainkan ujung rambut Putri, lalu melangkah pergi keluar kelas bersama dengan teman-temannya yang lain. Teman-teman kelasnya yang sejak tadi hanya menontonnya kini memilih untuk duduk di bangku masing-masing.
Tentu mereka mengabaikan kejadian yang baru dialami oleh salah satu temannya, karena memang mereka sama sekali tidak peduli dan tidak mau ikut campur.
💌
@Madesyokee, ditungguu
Comment on chapter 1 ㅡ Accidental