Trappy menatap Linda yang saat ini sedang duduk bersandar pada sebuah pohon besar. Bima ada di sebelah perempuan itu. Dia tertidur. Sesekali remaja perempuan itu menatap dengan cemas ke arah sungai itu berada. Dia tidak berharap adiknya akan berlama-lama di sana. Ia berharap adiknya segera kembali.
"Apa kau lelah?" tanya Trappy mendekati Linda yang sedang menatap cemas ke arah sungai.
"Eh, apa? Apa kau berbicara denganku?" tanya Linda pada makhluk itu.
Ia teringat pada ucapan adiknya untuk tidak memercayai makhluk itu.
"Iya, tentu saja. Aku pikir di antara kalian berempat hanya kau yang dapat di ajak bicara." Trappy duduk di samping Linda.
Linda menggeserkan badannya mendekat ke arah Bima. Perempuan itu membangunkan teman laki-lakinya dengan jarinya dengan sangat hati-hati, agar tidak menarik perhatian makhluk horgat itu. Berharap temannya akan segera bangun, dan bisa melarikan diri bersama bila sesuatu terjadi pada mereka.
"Oh iya, begitu, kah? Ku pikir yang lain juga dapat di ajak bicara," sahut Linda waspada terhadap pembicaraan itu.
Mata Trappy meruncing. Ia terus berusaha.
"Ya, memang. Mereka semua adalah anak-anak pandai. Begitu juga dirimu. Tapi ..." horgat itu menurunkan suaranya, "aku tahu tidak semua dari antara mereka yang benar-benar pintar. Em ... kau tahu maksudku, kan?"
Trappy melemaskan kakinya. Ia seolah-olah sedang duduk bersantai juga, menunggu kedua anak itu datang kembali.
"Menurutku, adikmu tidaklah sepandai ucapannya. Aku tidak dapat mengerti, mengapa itu terlihat terlalu jelas? Tapi aku tahu, itu tidak seperti dirimu. Sekali aku melihat dirimu, aku bisa tahu bahwa kau dan anak laki-laki di sebelahmu adalah yang terbaik di sekolah kalian."
Mata Linda membesar karena ucapan horgat itu.
"Dan kau tahu? Hesper membutuhkan pangeran dan putri untuk membantunya memerintah di kerajaannya."
"Pangeran dan putri?" tanya Linda mulai masuk ke dalam jebakan Trappy.
"Ya, apakah kau tidak pernah mendengar ramalan itu?"
"Ramalan apa? Kami tidak tahu apa-apa?"
Bibir lebar horgat itu menyeringai.
"Ya, aku maklum kau pasti tidak tahu apa-apa tentang ini. Aku akan memberitahumu. Ramalan itu berbunyi, bahwa akan datang manusia ke negeri ini yang akan menjadi pangeran dan putri yang akan memerintah dengan adil dan bijaksana. Selama ini kau tahu? Belum pernah ada manusia yang datang ke negeri ini."
Linda menoleh ke arah Trappy, "Benarkah hal itu?"
Trappy tersenyum dengan manis ke arah Linda seperti seorang bayi mungil yang manis yang sedang tersenyum tulus pada orang tuanya.
"Benar," sahut Trappy dengan sangat ramah, "tapi ..."
"Tapi apa?" tanya Linda tak sabar.
Badan Bima bergerak, sepertinya dia hanya kelelahan dan sebentar lagi dia akan bangun dan turut mendengarkan pembicaraan menarik ini.
Linda melihat temannya yang sudah akan bangun dari tidurnya.
"Bima, bangunlah!" Linda menggoyang-goyangkan badan Bima yang ada di sebelahnya.
"Jangan! jangan!" Trappy membuat tanda silang dengan tangannya dengan sangat panik, "jangan kau bangunkan dia. Kita masih membutuhkan tenaga yang kuat untuk melanjutkan perjalanan kita ke istana raja Hesper."
"Istana?" Mata Linda berkilat-kilat. Pikirannya menerawang pada gemerlapnya kehidupan di istana.
"Ya, istana. Istana raja Hesper adalah istana termegah yang pernah kau dengar. Banyak pelayan yang akan mematuhi permintaanmu. Mereka semua melayanimu dengan patuh kalau kau menjadi putri di kerajaan itu."
Linda tersenyum lebar. Hatinya sangat menginginkan itu.
Sepertinya Linda sudah termakan dengan ucapan Trappy.
"Tapi ..." ucap Trappy, dia tampak sedikit ragu.
Linda menoleh ke arah Trappy. Pikirannya terganggu oleh kata "tapi" dari mulut Trappy.
Apakah ada penghalang yang membuatnya tidak bisa menjadi seorang putri?
"Tapi apa?" tanya Linda, dia berjanji pada dirinya akan menghilangkan semua penghalang yang akan menggagalkan dirinya untuk menjadi seorang putri raja.
Trappy tampak sedih untuk mengatakan hal ini. Wajahnya tertunduk. Dia seperti tidak berani untuk memberitahu pada calon putri yang ada di sebelahnya. Bahkan sepertinya, makhluk itu sebentar lagi akan menangis, "Kot itu hilang!!!" Tangan kurus makhluk itu bergetar, ia mengusap air mata palsu yang tidak keluar dari mata besarnya, "Padahal kau tahu? Seorang putri membutuhkan kot ajaib itu." Mata nakal Trappy sedang menari-nari di takupan tangannya.
"Kot ajaib? Apa itu?" Linda mulai tak yakin dia mengetahui hal ini. Dia cukup tersentuh melihat Trappy yang mengkhawatirkan dirinya.
"Tadi aku datang ke duniamu, mencari kot ajaib itu. Ternyata, kot ajaib itu ada di tas adikmu sekarang." Trappy berhenti bicara. Dia tampak tak dapat meneruskan pembicaraan ini, suaranya terdengar tercekat, "Padahal ... padahal ... seorang putri raja memerlukan kot ajaib yang akan mengokohkan pemerintahannya di negeri ini!!! Huhuhuhuhu" jawab Trappy dengan tersedu-sedu.
Benar apa yang di katakan oleh Lusi! Makhluk ini memang datang ke dunia kami, dan memang benar dia lah yang mengobrak-abrik gudang peralatan sekolah mereka!! Tapi sebenarnya itu bertujuan untuk kepentingan dirinya!!! Kepentingan bagi seorang putri raja!!!
Linda tak menyangka dirinya memang benar seorang putri raja. Pantas saja selama ini hidupnya sangat sempurna. Hanya satu saja yang membuat kesempurnaan itu menjadi tidak sempurna, bahwa dia memiliki seorang adik yang jauh berbeda dari dirinya.
"Oh, apakah maksudmu adalah mantel yang dapat membuat tubuh Lusi menghilang?" tanya Linda tak percaya.
"Binggo! Kau memang sangat cerdas! Sudah kuduga, kau memang lah yang di ramalkan itu," Trappy menggoda Linda.
"Yah, memang ... em, kalau aku boleh menyombongkan sedikit, aku ini berada di tingkat pertama selama aku sekolah." Dagu Linda meninggi sedikit. Akhirnya tempat ini bukanlah tempat yang buruk seperti yang telah ia pikirkan sebelumnya. Tempat ini sangat cocok dengannya.
Senyum Linda merekah di tengah kegelapan malam.
"Sudah kuduga ... sudah kuduga ..." Trappy membesarkan hati Linda. Ia sengaja menyentuh tangan Linda.
"Demi Hesper yang menyayangi anak-anak manusia, kau ini sangat cerdas dan cantik. Maafkan, eh, kalau Trappy tidak sopan ..." Trappy meremas-remas kedua tangannya dan memukul-mukulkannya ke kepalanya.
"Trappy, ada apa?" tanya Linda kasihan melihat makhluk itu memukul-mukulkan tangannya ke kepalanya, "jangan, kau akan sakit."
"Trappy bertindak bodoh. Trappy telah memegang tangan putri. Kulit putri sangat halus. Putri sangat cantik sekali. Dan ... dan ... pangeran itu ... sangatlah cocok dengan putri yang cantik ..."
Wajah Linda merona kemerahan. Ia sangat malu sekali. Ia melirik pada Bima yang berada di sebelahnya.
Bima dan dirinya akan menjadi pasangan. Mereka akan menjadi pangeran dan putri dari kerajaan negeri ini.
Ya, Bima dan dirinya memang sangat pantas untuk disandingkan bersama. Di sekolah pun juga seperti itu, mereka berdua memang cocok satu dan yang lainnya.
"Lihatlah, Yang Mulia Hesper maupun seluruh rakyat negeri ini pasti akan menyetujui ucapanku. Engkau memang memiliki kecantikan sebagai seorang putri ..." Trappy menutupi wajahnya. Ia merasa tidak pantas untuk melihat langsung seorang wajah seorang putri, "istana ... dan seluruh kerajaan ini pasti akan bangga telah menemukan putri dan pangeran."
"Dimana istana itu? Apakah bisa terlihat dari tempat gelap ini?" Linda sudah semakin tidak sabar.
"Tentu saja ... tentu saja ... kau hanya harus berjalan lurus keluar dari hutan ini. Maka kau akan menemukan jalan menuju kastil nan megah itu," Trappy menjelaskan, "ah ... semua pasti sudah tak sabar ... Trappy memang berjasa membawa pangeran dan putri ... tanpa kot ajaib itu, sayang sekali."
Linda sangat gelisah. Ia memikirkan tentang kot ajaib yang ada di tangan Lusi. Ia harus menolong dirinya untuk segera menjadi putri dari kerajaan ini. Perempuan itu melirik temannya yang ada di sebelahnya. Sebentar lagi ... sebentar lagi ...
Bima bergerak, dia terbangun. Anak laki-laki itu menggosok-gosokkan matanya, "Hai, Linda. Em ... Maafkan aku, aku tertidur. Hoam ..." Bima menutup mulutnya yang menguap, "apa kita masih berada di tempat yang gelap ini?"
"Ya," jawab Linda tersenyum manis pada temannya.
***
Robi dan Lusi berada di dasar perangkap tadi.
"Apa ini? Dimana ini? Aku ingin segera pulang!!" Lusi ingin menangis. Ia tidak sanggup lagi menghadapi kejutan demi kejutan apapun, seperti yang telah di hadapinya bertubi-tubi hari ini.
Ia bertaruh dalam dirinya, bahwa dianggap aneh oleh teman-teman satu sekolahnya masih ribuan kali lebih menyenangkan daripada berada di tempat macam itu.
Ia merelakan dirinya di bully sepanjang masa SMA nya, daripada harus berada di tempat seperti ini yang ia sendiri tidak tahu.
Robi masih menyeringai kesakitan.
"Apa kau terluka?" tanya Lusi pada temannya itu. Robi masih terdengar mengaduh, mungkin karena luka akibat kerikil-kerikil tajam di sepanjang terowongan jebakan itu.
"Aku ingin keluar dari tempat ini." Robi menelungkupkan wajahnya pada kedua lututnya yang ia tekuk.
Plok .. plok ... Sesuatu tidak terlihat menepuk bahu Robi.
"Aaaa!" seru Robi. Tangannya mencari-cari Lusi di tengah gelapnya bawah tanah.
"Ada apa sama kamu?" Lusi meraba-raba tangan temannya itu. Tidak ada alat penerangan di dalam ruang bawah tanah yang gelap itu. Mereka tidak bisa melihat satu sama lainnya.
"Ada yang menepuk pundakku," Robi berkata jujur pada Lusi.
Lusi melihat ke sekelilingnya yang sangat gelap itu. Ia pun tidak dapat menemukan apa-apa, karena ia tidak dapat melihat apapun disitu.
Ada makhluk yang menarik rambut Lusi.
"Aaaa!" Lusi berteriak, kini dia memeluk Robi dalam kegelapan, jantungnya berdegup kencang, ketakutan.
"Lusi!" Robi menegur Lusi yang saat ini sedang memeluknya.
Lusi menghiraukan teguran Robi, dia tidak berani mencari tahu siapa yang baru saja menarik rambutnya.
Ada bunyi suara tertawa nyaring yang tidak terlihat di antara mereka berdua.
"AAAAAA!!!" Mereka berdua berteriak.
"Hei, jangan berteriak!!!! Aku Teofa." Sebuah makhluk yang mengaku bernama Teofa itu menutup telinganya yang transparan, "aku dari bangsa starla."
Makhluk itu membuat sinar dengan tubuhnya. Seketika cahaya terang menerangi ruangan kecil di bawah tanah itu. Namun kedua remaja itu tetap tak bisa melihat makhluk itu.
"Jangan khawatir. Aku memang tidak bisa terlihat."
Kedua remaja itu saling menatap, ternyata jarak antara mata mereka sangat sangat dekat.
**
Lusi mengerjapkan matanya.
Ia baru menyadari bahwa jarak di antara mereka, sangat dekat. Mata mereka beradu satu sama yang lain.
"Kyaaaa!" Lusi mendorong Robi ke belakang.
Perempuan itu menghenyakkan tubuhnya menjauhi anak laki-laki yang ada di depannya.
Wajahnya ...
Pipi Lusi memerah.
"Kenapa kau mendorongku? Sudah kubilang ini terlalu dekat." Robi mengusap-usap pundaknya yang di dorong oleh Lusi baru saja.
"Makhluk itu menarik rambutku." Lusi menunjuk pada dinding tanah yang ada di depannya.
"Maaf, aku mengejutkan kalian berdua," makhluk starla itu meminta maaf, "kuharap kalian baik-baik saja."
Lusi menatap ke arah datangnya suara. Tidak terlihat apapun disana.
"Tidak bisakah kita saling melihat, kumohon," pinta Lusi pada makhluk itu, "kami sudah mengalami hal aneh bertubi-tubi sepanjang hari ini. Tidak bisakah sekali ini saja, aku menerima hal yang normal?"
Robi melirik ke arah Lusi, remaja laki-laki itu tertawa pelan.
"Maksudmu aku tidak normal?" tanya Teofa, makhluk starla itu.
Bangsa starla memang tidak pernah terlihat oleh siapapun di negeri itu, namun makhluk itu kini benar-benar sedang berada di hadapan kedua remaja itu.
"Tentu saja. Kau tidak kelihatan, di dunia kami, maaf kalau tidak sopan. Em ... tapi kami menyebutnya em ... hantu," celetuk Robi.
Makhluk tidak kelihatan lainnya mengetuk kepala Robi.
"Ouch!!" Robi mengusap kepalanya, "keluarlah. Perlihatkan dirimu." Robi melihat ke sekelilingnya.
Tidak ada apa-apa. Di sekeliling mereka hanyalah dinding tanah yang pengap dan terang, karena cahaya dari starla ini.
"Kami memang tidak terlihat," ucap riang makhluk starla lainnya, tepat di telinga Robi.
"Kyaa!" Robi terkejut, ia melonjak kaget ke arah sebelah kiri. Jantungnya berdegup kencang. Ada makhluk starla yang sedang berbicara tepat di lubang telinga kanannya.
"Kenalkan, namaku Vlademir!" Makhluk riang itu seperti menari-nari di sebelah kanan Robi. Anak laki-laki itu mendengar bunyi gesekan kaki saling bersentuhan di telinganya.
"Ya, benar. Kami memang tidak terlihat," ucap makhluk starla yang ada di sebelah kiri Lusi, membenarkan.
Lusi terkesiap. Ia langsung melonjak ke arah kanan. Lagi-lagi pundak kedua remaja itu saling bersentuhan.
"Be-berapa jum-jumlah kalian yang sebenarnya di tempat ini?" tanya Lusi tergagap. Anak perempuan itu tak habis pikir, makhluk starla itu bisa ada dimana-mana.
"Hahaha. Kami hanya bertiga. Perkenalkan, namaku Esta," sahut makhluk starla yang mengaku bernama Esta ini, sambil memainkan rambut Lusi.
"Kumohon, berhentilah memelintir rambutku. Sakit sekali." Lusi merapikan rambutnya yang dari tadi sudah berantakan. "Apakah kamu tadi yang juga menarik rambutku?"
"Hihihi, maafkan aku. Aku tidak memiliki rambut sepertimu. Bangsa starla tidak memiliki rambut."
"Iya, tidak apa. Aku bisa mengerti itu," Lusi menenangkan dirinya sendiri.
"Apakah tidak ada yang bisa melihat kalian sama sekali?" tanya Robi yang merasa tidak nyaman untuk cara mengobrol seperti ini, seolah-olah ia sedang berbicara dengan angin kosong yang ada di depannya.
"Ya, tidak ada satu makhluk pun yang dapat melihat kami, selain bangsa kami sendiri, tentunya. Hihihi ..." Esta menjawab pertanyaan Robi. "Bahkan bangsa horgat yang dapat melihat seseorang di balik kot ajaib itu saja, tidak akan bisa melihat kami."
"Bangsa horgat? Maksudmu makhluk aneh seperti Trappy?" tanya Robi pada makhluk transparan itu.
"Trappy? Apa kau sudah bertemu dengan dia?!" suara Vlademir meninggi.
"Pelankan suaramu, Vlady," pinta Esta, makhluk starla yang ada di sebelah Lusi.
"Ya, kami sudah bertemu dengannya," Lusi membenarkan, "kupikir dia yang telah menyebabkan guruku menghukumku tadi siang."
"Dia datang ke tempatmu?" Teofa tertegun, "waktu kalian berarti tidak banyak. Raja sudah mengerahkan orang-orangnya untuk mencari kot ajaib miliknya."
"Tunggu. Bisakah kau menjelaskan dunia macam apa ini?" Robi ingin mengerti. Dahinya mengernyit.
"Kita belum mengucapkan selamat datang kepada teman baru kita, eh ..." ucap Vlademir pada ketiga temannya.
"Ya! Selamat datang di kerajaan Qirollik," sapa makhluk starla itu serempak pada teman barunya, "dunia malam abadi."
"Dunia malam abadi?" Robi dan Lusi saling berpandangan.
"Begitulah ... semenjak Hesper, penyihir itu menjadi raja yang baru, ia telah mengubah negeri ini menjadi negeri malam," terang Vlademir dengan sedikit kesal "matahari tidak pernah bersinar di tempat ini."
Lusi memandang permukaan tanah yang berada jauh di atasnya.
"Apakah itu berarti tidak akan pernah datang pagi?"
"Ya, benar." Esta mengelus rambut Lusi.
Lusi memiringkan kepalanya, ia ingin menolak dengan halus usapan dari sesosok makhluk tidak kelihatan itu.
"Itu tidak bagus," Robi menjawab sambil membayangkan kehidupan tanpa matahari.
"Ya, benar. Itu sangat tidak bagus."
"Lalu bagaimana agar matahari dapat bersinar kembali?" Lusi menoleh pada Esta yang masih memilin rambutnya.
"Pangeran menunggu ramalan itu tiba," Teofa seperti sedang duduk di tanah yang lembab itu, tanah yang sama, yang juga di duduki oleh kedua remaja itu, "Ramalan tentang datangnya delapan orang asing yang akan menyelamatkan negeri ini dengan kot ajaib di tangan mereka."
"Delapan? Banyak sekali." Robi menaikan jarinya dan mulai menghitung, "jumlah kami tidak sebanyak itu."
"Berapa jumlah kalian?" tanya Teofa.
"Em ... bila ditambah dengan kakakku dan kak Bima yang sedang bersamanya, maka kami berjumlah empat." Lusi menyadari bahwa pundak kedua remaja itu saling bersentuhan. Ia menggerakan tubuhnya ke kiri, menjauhi teman laki-lakinya itu.
"Empat ... em ... kami tidak tahu ... tapi kurasa pangeran akan tahu," Vlademir memberitahu mereka.
"Pangeran? Apakah pangeran itu lah yang seharusnya menjadi penguasa di negeri ini?" tanya Robi pada makhluk yang ada di kanannya.
"Ya, seharusnya memang seperti itu." Vlademir terdengar sedih, "Tapi Hesper membunuh kedua orang tuanya, dan mengubah tempat ini menjadi mengerikan. Kami bangsa starla, bangsa yang menyukai terang. Kami benci kegelapan."
Vlademir seperti sedang menendang-nendang angin yang ada di sekitarnya.
"Sabar, Vlady. Mereka sudah datang. Walau mereka berempat, setidaknya ramalan itu sudah di genapi. Mari kita antarkan mereka pada pangeran."
"Dimana tempat tinggal pangeran itu?" tanya Lusi, "tapi apa yang harus kami lakukan? Apakah kami harus berperang?" Dirinya sendiri tak yakin dengan perkataan perang yang baru saja ia ucapkan.
"Kot ajaib itu yang kelak akan menjelaskannya," Esta berbisik di telinga Lusi, "jagalah dengan baik."
Robi memandang sekitarnya, "Sepertinya kita terlalu lama untuk mengambil air. Oh, ya, apakah sungai yang kami lihat di atas, hanyalah ilusi atau semacam ..."
"Jebakan. Ya, itu jebakan. Berhati-hatilah di hutan ini banyak sekali jebakan," Esta memberitahu kawan barunya.
"Akan kami ingat. Lalu bagaimana kami kembali ke atas dan bertemu dengan pangeran?"
"Kalian sudah siap, mari kita berangkat."
Robi dan Lusi saling berpandangan. Berangkat?