Read More >>"> Lusi dan Kot Ajaib (Chapter 4 TIBA DI NEGERI MALAM) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lusi dan Kot Ajaib
MENU 0
About Us  

"AAAARRRRGGGGHHHH!!!!"

Bima dan Robi masih berteriak ketakutan melihat sebuah kepala dengan wajah Lusi semakin mendekat ke arah mereka. 

Mereka berdua seolah saling bersautan dalam jeritan mereka.

Wajah dalam kepala itu terlihat heran dengan tingkah laku dari kedua kakak beradik yang sedang ada di hadapannya.

Ada apa dengan mereka?

Lusi lalu membuka mantelnya dan meletakkannya ke atas kursi tamu di halaman rumah mereka.

Bima dan Robi tidak percaya, kini Lusi terlihat seperti manusia normal. Mereka perlahan berhenti berteriak. Degup kencang masih menguasai mereka. Mereka bergidik ketika Lusi segera menghampiri kakaknya yang tergeletak di lantai depan halaman rumahnya.

"Ja-ja-jangan kamu apa-apakan dia," mohon Bima pada Lusi yang melihat Lusi akan menyentuh kakaknya.

Lusi memandang heran ke arah Bima. Well, ini kakakku sendiri.

Mereka masih bergetar mengingat kepala Lusi yang melayang-layang di udara baru saja. Tubuh mereka terjatuh ke lantai dengan lutut yang sangat lemas. Jantung mereka masih berdegup kencang. Nafas tidak beraturan keluar dari hidung mereka. Wajah mereka pucat pasi. 

"Berhenti bertingkah aneh," hardik Lusi yang kesal kepada dua kakak beradik ini yang tidak membantu dirinya sama sekali untuk menolong kakaknya, Linda.

"Lu-lusi ... Lusi ... kamu benar Lusi, kan?" tanya Bima tergagap memandang anak perempuan yang saat ini pasti sama bingungnya dengan kedua kakak beradik itu.

"Ada apa dengan kalian?" Alis anak perempuan itu saling berpaut, "sampai kapan kalian berdua akan tetap diam, tidak menolongku?"

Lusi tidak percaya melihat pemandangan di depannya.

"Kamu hantu!" kata Robi menunjuk sesuatu yang tidak kelihatan yang baru saja diletakkan oleh Lusi di kursi tamu halaman rumahnya. 

"Kamu monster!" ucap Lusi sungguh-sungguh. Dia teringat dengan kelakuan temannya itu tadi siang.

Lusi melihat ke arah Linda yang masih tak sadarkan diri. Dia memukul-mukul pelan pipi kakaknya itu, berharap kakaknya akan segera bangun.

JEGLER!!!!

Tiba-tiba kilatan cahaya keluar dari arah mantel itu menyambar pekarangan rumah Lusi. 

Mereka bertiga menoleh ke arah cahaya yang berada tidak jauh dari mereka dan mencari dari mana sumber kilatan cahaya itu berasal.

"Aaaa!!" mereka bertiga melompat menjauh dari cahaya kilat yang kini telah menghanguskan seluruh tanaman milik Lusi.

Lusi melihat cahaya kilat itu keluar dari mantel yang dibelinya dari seorang nenek dalam perjalanan pulang sekolahnya.

Tubuh Linda bergerak. Sepertinya Linda terbangun karena bunyi petir yang sangat kencang. Linda melihat tiga orang yang dikenalnya sudah menjauh dari tempatnya sekarang.

"Linda kesini!!" panggil Bima ke arah Linda yang sudah sadar.

Tangannya terjulur untuk segera menolong Linda.

Tiba-tiba rumah Linda bergoncang dengan hebat. 

"Ada apa lagi ini?!" seru Lusi tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Aaaaaaaa!" Mereka semua jatuh ke pojok dinding rumah anak perempuan itu, karena rumah itu seolah-olah terangkat dari tanah dan saat ini dalam keadaan miring ke kiri. Linda jatuh ke arah Lusi. Lusi memeluk tubuh Linda, kakaknya, dengan sangat kuat. Linda yang masih setengah sadar, kini harus menahan sakit pada tubuhnya yang tertimpa benda-benda yang bergerak. Ia berusaha bangun dari tubuh adiknya.

"LUSI RUMAH KITA!!" Linda terkesiap. 
Mantel ajaib itu jatuh ke tubuh Lusi. Lusi memegangnya.
Rumah mereka bergoncang lagi, kali ini ke sebelah kanan, badan mereka jatuh menimpa satu sama lain ke kanan dinding.

"Kyaaaaaa!!!" Sepersekian detik kemudian, tubuh mereka bergelinding lagi ke sebelah kiri, dan tak lama kemudian ke sebelah kanan. Mereka saling berbenturan. Tubuh mereka menabrak benda apapun yang ada di sekitar mereka. Kursi-kursi pun ikut terjatuh membentur tubuh anak-anak ini.

"Aaaaaaaaa!!" Mereka kesakitan dan terasa sangat pusing. Yang dapat mereka lakukan adalah melindungi kepala mereka sebisa mungkin dari benda-benda yang saat ini menabrak tubuh dan kepala mereka karena rumah mereka sedang bergoncang dalam arti yang sebenarnya.

"CUKUP!!!" Lusi berteriak.

Dalam sekejap, tiba-tiba cahaya menghilang. Kegelapan melanda mereka. Rumah Lusi tidak lagi bergoncang. Semua kembali tenang.

"Lu-lu-lusi ..." ucap Linda dengan gemetar ketakutan.

Mereka tidak dapat melihat satu sama lainnya.

Juga mereka masih menahan sakitnya tubuh mereka yang saling tertimpa. Kursi-kursi dan meja serta pajangan di rumah Lusi sudah tidak lagi berada pada tempatnya yang semula. Semuanya mengikuti ke arah mana rumah Lusi di miringkan.

"Gempa bumi," ucap Robi dalam kegelapan. Mereka saling meraba pelan-pelan mencari keberadaan yang lain.

Wusss!!!

Suasana tiba-tiba berubah. Mereka tidak lagi merasakan kursi atau barang-barang peralatan rumah tangga yang lain yang menimpa mereka sebelumnya.

Lusi memberanikan diri untuk membuka matanya. 
Dia mendekapkan mulutnya. Bola matanya membesar tidak percaya akan apa yang dilihatnya saat ini.

Mereka berada di sebuah hutan yang gelap! Bukan di rumah kedua kakak beradik perempuan itu lagi!

Lusi melayangkan pandangan ke sekitarnya, mencari keberadaan kakaknya. Ia masih mengenakan tas sekolahnya dan memegang mantel itu.

"Lusi ..." Linda mendekatkan tubuhnya ke adiknya, dia sangat ketakutan, "dimana ini?" 

Lusi hanya diam, terperangah melihat sekitarnya yang sudah berubah dalam sekejap mata. 

"Ada dimana ini?!" tanya Robi tak percaya, "aku mau pulang!" Dia mencari kakaknya, dan mengajaknya untuk segera meninggalkan rumah Linda.

"Robi sadar! Buka matamu, kita tidak lagi berada di rumahku," ujar Lusi ke arah Robi yang sudah tidak sabar dengan kejadian misterius seperti ini.

Bima melihat ke sekitarnya. Mereka berempat bangun perlahan-lahan, menahan rasa sakit di sekujur tubuh mereka.

Mereka harus mengakui, saat ini mereka berada di suatu tempat. Tempat yang jauh berbeda dengan tempat mereka sebelumnya.

Sesosok makhluk bermata kuning kehijauan mencoba mendekati mereka berempat. Makhluk itu melompat tepat di hadapan mereka.

"Halo, namaku Trappy," ujar makhluk horgat itu dengan riang. Makhluk itu memperkenalkan dirinya pada mereka berempat. Horgat itu tampak sangat kurus dengan daging yang hanya sedikit membalut tulangnya. Tingginya kira-kira setengah dari tubuh manusia dewasa. Tulang punggung makhluk itu sedikit membungkuk, dengan helaian rambut seadanya yang muncul di atas kulit kepalanya yang kering. Makhluk itu tersenyum dengan bibir lebar yang memenuhi wajahnya yang pucat dengan bola mata bulat besar tanpa kelopak.

"TOLONGGGGG!!!" teriak keempat remaja itu.

Belum mereka selesai terkejut dengan kepala melayangnya Lusi, yang tak lama kemudian diikuti dengan goncangan hebat yang terjadi di rumah anak perempuan itu, di susul lagi dengan keberadaan mereka di negeri asing ini, dan saat ini pula mereka harus di kejutkan lagi dengan kehadiran sesosok makhluk menyeramkan yang sedang berdiri di hadapan mereka.

Horgat itu nampak bingung, bagaimana untuk memperkenalkan dirinya pada mereka.

"Jangan teriak. Aku Trappy." Horgat itu mundur beberapa langkah, menutup daun telinganya yang panjang, karena jeritan anak-anak itu memekakan telinganya. "Aku dari bangsa horgat," ujarnya dengan senyuman palsu.

Mereka berempat melangkah mundur dari tempat mereka sampai ke sebuah pohon yang sangat besar, yang menahan mereka untuk tidak bisa mundur lagi. Mereka berempat sangat terkejut dengan kejadian-kejadian aneh beruntun yang terjadi menimpa mereka.

Tidak ada lagi tempat bagi mereka untuk menjauhi makhluk mengerikan yang ada di hadapan mereka saat ini.

"Si-si-siapa kau?" tanya Bima memberanikan dirinya bertanya pada makhluk menyeramkan yang kini sangat ramah kepada mereka.

Makhluk itu tertawa pelan, "Perkenalkan, aku Trappy. Aku dari bangsa horgat."

"Apa itu horgat?" tanya Robi sinis pada makhluk itu.

Sekilas mata horgat itu berkilat merah. Dia tersenyum palsu pada mereka lagi. "Kami bangsa yang melayani Serenity dengan setia,"
ucapnya dengan nada bangga.

Lusi sempat melihat kilatan merah pada mata makhluk yang mengaku dirinya dari bangsa horgat itu. Dia melihat ke arah Robi.

Tadi siang mata Robi juga mengeluarkan kilatan merah saat dia berbuat aneh.

Lusi memasang kuda-kuda pada dirinya, tanda waspada.

"Dimana ini?!" tanya Robi dengan sangat kesal, mendengar terus jawaban yang tidak masuk akal dari makhluk itu.

"Er ... kita di Qirollik. Negeri Qirollik," jawab Trappy dengan senang. 

"Qirollik?!" tanya Robi lagi, berharap makhluk itu akan mengatakan tempat-tempat yang ia kenal.

"Ya. Kita ada di Qirollik, mungkin jauh dari tempat asal kalian," jawab Trappy itu lagi.

"Apa kau tahu tempat asal kami?" tanya Linda senang, "kalau begitu, tolong pulangkan kami."

"Er ... sepertinya sedikit susah." Horgat itu memainkan tangannya yang kurus.

"Kau tahu tempat kami, bukan? Apa kau pernah kesana sebelumnya?" desak Lusi, yakin bahwa pemilik kilatan merah pada mata siang tadi adalah makhluk ini.

"Er ... ya, aku pernah kesana sebelumnya. Tapi kesempatan kami untuk berpergian kesana hanyalah sekali, dan aku sudah tidak memiliki kesempatan itu lagi, eh ...." Lusi mengamati horgat itu lekat-lekat dalam kegelapan malam.

Horgat itu memandang sekeliling, ia seperti sedang memutar otaknya untuk segera mengambil mantel itu dari tangan Lusi. Secepatnya!

"Aku tahu siapa yang dapat mengirim kalian kembali ke tempat kalian," ujarnya dengan mata berkilat dan senyum tipis yang menyeramkan.

"Siapa?!" tanya para remaja itu serempak dengan bersemangat. Mereka tentu sangat senang, karena mereka dapat pulang kembali ke tempat asal mereka.

Rasanya berada di tempat asing, meskipun tidak sendiri, bukanlah hal yang baik.

"Er ... dia tentu saja, tuanku Hesper. Ya, tentu saja dia orang yang paling tepat."

Lusi hampir mempercayai ucapan makhluk itu, kalau saja makhluk bertubuh kurus dengan daging tipis yang membalut tulang pada makhluk itu, tidak tersenyum mencurigakan di depan anak perempuan itu.

"Kalian bisa ikut denganku sekarang. Mari kita menemui tuanku Hesper," makhluk itu membalikkan badan dan segera melangkahkan kakinya.

"Tunggu," ujar Robi, "aku haus. Boleh aku mencari minum?" 

Makhluk itu berhenti. Wajahnya kesal sekali. Sedetik kemudian, dia menoleh ke belakang, memasang wajah penuh pengertian.
"Tentu saja kau boleh, Tuan."

Tidak jauh dari sana terlihat sungai berkilau tertimpa cahaya dari atas. Ada bayangan bulan pada air yang berkemilau di gelapnya hutan ini. Apakah itu bulan? Seharusnya itu bulan, karena saat ini gelap, dan sudah pasti ini malam. Tapi bayangan itu seperti matahari. Tapi mengapa gelap?

**

"Aku tidak mempercayai makhluk itu?" Lusi berbisik di telinga kakaknya, yang ada di sebelahnya.

Linda menatap adiknya. Sejak kapan mereka bisa berdekatan seperti ini?

Tetapi karena situasi yang mereka hadapi saat ini bisa dikatakan jauh dari akal sehat, maka Linda berbesar hati untuk menerima bisikan dari Lusi dengan jarak yang sangat dekat seperti ini, karena khawatir makhluk yang bernama hugar atau apapun itu akan dapat mendengar bisikan dari adiknya.

"Apa maksudmu?" Linda mencoba mencerna perkataan dari adiknya saat ini.

"Kita harus berhati-hati terhadap makhluk itu," pinta Lusi dengan suara yang amat pelan.

Linda mengangguk, menyanggupi perkataan adiknya.

"Kau tahu siapa pelaku yang mengobrak-abrik isi gudang sekolah hari ini?" Lusi masih berbisik di telinga kakaknya. Ia memastikan sekelilingnya aman dari jangkauan makhluk aneh itu.

"Bukankah kamu?" tanya Linda berharap Lusi tidak mengatakan bahwa pelakunya adalah makhluk itu.

Dahi Lusi mengernyit. Dia mencoba bersabar atas tuduhan kakaknya. "Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Tapi aku curiga bahwa itu perbuatan makhluk itu. Siang tadi dia menyerupai Robi mengobrak-abrik isi gudang peralatan sekolah. Kau harus mempercayai ceritaku."

Linda merenung. Dia diam, tak ada yang dapat dipikirkannya saat ini, selain kerinduannya dengan rumahnya dan prestasi-prestasi membanggakan yang selama ini telah dicapainya.

Di tempat ini, jauh dari tempat normalnya, tidak ada yang dapat dia banggakan lagi.

Trappy melihat-lihat keadaan sekitarnya. Ada sungai di sebelah sana. Dia mungkin saja bisa membiarkan anak-anak ini untuk minum sebentar kemudian melanjutkan perjalanan mereka lagi. Mungkin hanya sebentar itu tidak apa-apa.

"Kupikir kita bisa ke sungai itu, mengambil air di sana dan kembali lagi ke sini," Lusi memohon pada Trappy.

Trappy berpikir sebentar, "Baiklah. Hanya sebentar. Malam di tempat ini sangat tidak ramah dan tidak aman." 

"Kami tidak akan lama," Robi berjanji pada Trappy.

Bima dan Linda menunggu di tempat itu bersama Trappy.

"Tidak bisakah kita duduk sebentar sambil menunggu mereka?" tanya Bima, yang terlihat mulai mengantuk.

"Ide bagus. Trappy suka itu."

Trappy memperhatikan Lusi dan Robi yang pergi mencari air, mata makhluk itu meruncing.

"Cepat!" ucapnya pelan tak suka.

**

Robi dan Lusi berjalan menyusuri rumput-rumput besar yang ada di depan mereka.

"Apakah ini masih di bumi?" tanya Lusi tak percaya pada Robi.

"Aku tidak tahu, mungkin di luar bumi, atau mungkin masih di bumi ... Entahlah. Semua kacau seperti ini." 

Robi melihat bila mereka akan segera tiba di sungai sebentar lagi.

"Robi. Aku mau mengatakan ini dengan cepat." Suara Lusi seperti tercekik. Dia melirik ke kanan dan ke kiri, ia harus memastikan bahwa tidak ada horgat itu di sekitarnya. "Pasang telingamu baik-baik."

Robi menoleh ke arah Lusi. Dia masih bingung.

"Robi, tadi siang ada seseorang seperti kamu yang mengajakku ke kantin." 
Robi mau membuka mulutnya, komplain. Namun Lusi menyergahnya dengan cepat, "Dengarkan aku dulu, setelah itu kamu boleh bicara." Lusi meyakinkan Robi. "Di tengah jalan menuju kantin, kamu mengobrak-abrik isi gudang peralatan sekolah! Itu sangat aneh untuk anak baru sepertimu! Dan secara tidak sengaja aku melihat kilatan merah pada matamu yang sama dengan yang aku lihat pada horgat itu."

Robi memandang Lusi tidak percaya. "Kau kebanyakan baca novel!" seru Robi. Dia masih tidak percaya apa yang dibicarakan oleh Lusi.

"Bukan saatnya bercanda. Aku serius! Aku pikir horgat itu menginginkan mantel ini. Dan aku yakin bukan hanya horgat itu yang menginginkan mantel ini. Seseorang yang ia sebut Hesper itu pasti menginginkan mantel ini."

"Mengapa nada bicaramu terkesan menakutkan seperti ini? Apa hubungannya dengan Hesper? Dialah yang akan menolong kita kembali ke dunia kita," Robi meluruskan pemikiran Lusi.

"Aku rasa tidak. Tolong ingat kata-kataku, jangan mempercayai horgat itu," Lusi memberitahu Robi isi pikirannya.

Brugg ....

"Aw! Kenapa berhenti tiba-tiba?" Lusi mengusap-usap hidungnya yang tertabrak punggung Robi.

"Shhttt." Robi menempelkan jarinya ke depan bibirnya. Dia merasa ada yang aneh.

Lusi mendekatkan badannya ke tubuh Robi. Robi mengelak dari Lusi yang semakin mendekat. "Lusi itu terlalu dekat," tegurnya kepada Lusi yang tiba-tiba ketakutan.

"Maafkan aku, tapi kau benar-benar menakutkanku," sahut Lusi, "kenapa kamu berhenti tiba-tiba? Ada apa?" bisik Lusi memperhatikan wajah Robi yang sama ketakutannya dengan dirinya.

"Ini aneh," sahut Robi memperhatikan sekelilingnya.

"Dari tadi memang sudah aneh." Lusi menyetujui ucapan Robi.

Robi mendelik pada temannya itu. "Bukan!"

Lusi tidak mengerti ada apa sebenarnya.

"Dimana sungainya?" tanya Robi tak percaya, "dari tadi kita hanya berjalan terus."

Lusi sepertinya menyetujui ucapan temannya ini. Apakah ini juga jebakan?

Dari arah belakang mereka, ada sesuatu tak terlihat yang mendorong mereka sangat keras hingga mereka jatuh ke perangkap tak terlihat milik suatu kelompok.

Ternyata satu langkah di depan mereka adalah sebuah jebakan.

"Aaaaaaaaaaaa!!!!" Mereka jatuh ke bawah melalui sesuatu seperti terowongan yang mengarah jauh ke bawah, semakin dalam, semakin dalam dan semakin dalam.

"Aaaaaaaaaaa!!!!" teriak kedua anak ini di sepanjang terowongan gelap itu.

Bruggggg!!!

"Sakit sekali!!!" Lusi mengaduh. 

Mereka berada di dasar perangkap itu. Tempat itu sangat sempit, sangat gelap, dan sangat pengap!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags