Lusi meletakkan pensilnya di atas meja sekolahnya. Dia mengibaskan tangannya beberapa kali. Pegal sekali harus menulis kalimat penyesalan sebanyak lima halaman penuh. Dia memijat tangan kanannya dengan tangan sebelahnya.
Seharusnya aku tidak bertindak ceroboh seperti tadi. Rasa sesal kemudian sudah tidak ada artinya. Dia sudah mendapat hukuman dari bu Minarni, guru Sejarahnya.
Ruang kelasnya sudah kosong. Semua sudah pulang, bus sekolah pun juga sudah pergi. Tidak ada satupun anak yang masih terlihat keluyuran di area gedung sekolahnya. Hanya bu Minarni yang berada di ruang guru saja yang belum pulang. Beliau masih menunggu Lusi untuk menyelesaikan hukuman menulisnya.
Setiap orang yang masih normal cara berpikirnya, pasti akan tahu kalau bukan aku pelakunya yang memberantakan isi gudang peralatan sekolah!! Dia pelakunya!! Si anak baru itu!! Kenapa mereka tidak ada yang membelaku?! Padahal mereka lihat sendiri kalau si Tobi - bukan!- Bobi - bukan! - Robi - ckk - entahlah siapa namanya!! Dia yang membongkar isi gudang peralatan milik sekolah di HARI PERTAMA sekolahnya!!! ANAK ITU PEMBUAT ONAR!!!
Lusi mengomel kesal mengingat kejadian saat istirahat siang tadi.
Ternyata anak baru itu tidak sedatar wajahnya.
Siang itu ....
Anak baru itu secara mengagetkan, berbicara pada Lusi saat istirahat makan siang. Pemandangan yang sangat tidak biasa di kelas Lusi. Mengapa ada anak laki-laki yang berbicara dengannya?! Teman-teman perempuannya seperti biasa, mereka saling berbisik dengan suara yang cukup bisa di dengar oleh siapapun. "Itu wajar, yang berbicara tentu saja, dia anak baru!!" timpal yang lain. "Anak laki-laki itu pasti tidak mengenal Lusi, dan segala prestasi memalukan yang telah di raih dan dikumpulkannya selama ini tanpa bersusah payah."
Pembicaraan yang sudah biasa di dengarnya ini membuat Lusi sangat bosan. Apa tidak ada bahan pembicaraan lain selain tentang dirinya?
"Ada dimana kantin?" tanya Robi dengan suara datar. Anak laki-laki yang baru pindah ke sekolah mereka hari ini mendekati Lusi yang sedang merebahkan kepalanya tanpa beban di atas kedua tangannya di atas meja kelasnya.
Lusi hanyut dalam lamunan lainnya. Dia tidak mendengar suara anak laki-laki, yang sedang berbicara dengannya saat ini ataupun suara dengungan gosip anak-anak perempuan yang lebih mirip lebah.
Lusi masih membenamkan wajahnya di atas meja miliknya, sepertinya lamunannya lebih mengasyikan daripada pemandangan di depannya, yakni sekelompok anak-anak perempuan yang tidak memiliki perkerjaan selain menggosipkan tentang kehidupannya. Kedua tangannya digunakan sebagai bantal untuk meletakkan kepalanya. Hampir saja ia akan tertidur di kelasnya, kalau bukan siku tangan si anak laki-laki itu menyenggol keras tangan kanan Lusi.
"OUCHH!" Lusi tersentak kaget, dia kesal sekali.
Anak-anak perempuan tertawa cekikikan melihat Lusi yang baru saja dibangunkan dengan menggunakan siku tangan si anak baru itu.
"Aku sedang bertanya denganmu," jawab si anak laki-laki itu ketus.
"Ha?!" Lusi bangun, dia mendelik marah pada seseorang di depannya. Dia melihat anak baru itu sedang berbicara dengannya dengan ketus. Lusi jengkel sekali, seperti tidak ada orang lain di kelas itu yang bisa ditanyai oleh anak laki-laki itu selain dirinya. "Tanya saja sama yang lain. Kamu tidak lihat aku sedang apa?!"
Anak laki-laki itu mengerucutkan matanya, dia tidak terima kalau Lusi mengabaikan pertanyaannya. Tapi dia tidak kehabisan akal.
Dia mengeluarkan uang yang cukup banyak dari dalam saku bajunya, "Tadinya aku mau mentraktirmu, tapi sepertinya kamu cukup lelah."
Robi memasukkan kembali uangnya ke dalam sakunya.
Lusi terbelalak dengan uang sebanyak itu. Perutnya berbunyi. Dia memegang perutnya, menahan laparnya sekarang. Dia sedang berhemat minggu ini, dan bekal makan siang yang sudah di siapkan oleh Linda sudah cukup baginya.
Namun, perutnya terus meminta jatah makan siangnya, walaupun Lusi sudah berusaha untuk melupakan rasa laparnya dengan cara tidur di jam istirahat seperti sekarang ini, tapi tetap perutnya terasa lapar sekali.
Perut Lusi menuntut ingin makan sekarang juga. Soal perut memang tidak bisa di kompromikan!
Lusi menegakkan badannya, dia merapikan rambutnya seadanya, dan bangkit dari tempat duduknya.
Pikirannya berada di kantin mie ayam, "Ikuti aku!" perintahnya bangga. Baru kali ini dia dapat memberi perintah kepada seseorang. "Tapi janji kamu akan mentraktirku!" kecamnya pada anak laki-laki yang hendak di tolongnya itu.
"Oke." Anak laki-laki itu tersenyum tipis.
Robi, meminta melewati gudang peralatan sekolah.
Tahu darimana dia tentang gudang peralatan sekolah.
Meskipun itu bukan jalan terpendek untuk menuju kantin sekolah dan lagi, hanya kakak kelas yang ada di kelas XII lah yang akan melewati jalan itu, namun Robi bersikekeh ingin melewatinya.
Mereka berdebat cukup alot, hingga lagi-lagi, anak laki-laki itu memenangkan acara tawar-menawar hari ini.
Robi melewati kelas kakaknya ditemani oleh Lusi yang berjalan bersama dengannya dalam jarak yang cukup jauh - apabila ini masih dapat dikatakan jalan bersama-. Mereka dipisahkan oleh empat lantai, dengan ukuran tiap lantai enam puluh sentimeter. Tidak perlu di hitung, karena mereka berdua juga cukup senang akan perbedaan jarak yang jauh di antara mereka.
Lusi berjalan lebih dulu. Robi ada di belakangnya.
Lusi berjalan lurus, sambil sesekali menengok ke kiri, ketika melewati kelas kakaknya. Sang kakak duduk di barisan pertama, dengan badan tegap dan pandangan mengarah lurus ke depan. Ia begitu konsentrasi dengan pelajaran yang sedang diterimanya saat ini. Senyum selalu menghiasi wajah kakaknya.
Tidak berapa jauh dari kelas sang kakak, Lusi kehilangan jejak Robi.
Kemana anak itu? pikirnya.
Dia membalikkan badannya, dan segera mencari Robi. Namun Lusi berada di waktu yang salah dan tempat yang salah. Karena ketika ia menemukan Robi, anak laki-laki itu sudah mengobrak-abrik seluruh isi gudang peralatan sekolah dengan nampak tidak sabar. Kardus-kardus yang berisi kertas-kertas bekas yang sudah di susun rapi oleh penjaga sekolah, kini telah berceceran kemana-mana. Kardus dalam keadaan terbalik. Ada beberapa buku sudah tidak terpakai berhamburan kemana-mana.
Kain pel terlempar berserakan sudah tidak pada tempatnya. Sapu-sapu yang biasa digunakan petugas sekolah kini berada di luar ruangan gudang kecil itu, berserakan.
Hal bodoh apa yang sedang anak laki-laki itu kerjakan? Lusi terkesiap melihat pemandangan berantakan yang ada di depannya itu.
Tanpa rasa bersalah, Robi membersihkan tangannya dengan baju seragam sekolahnya, dan melompat menjauhi barang-barang yang berantakan itu. Dia tampak jijik melihat kotoran yang telah dibuatnya sendiri.
"Tidak ada," ucapnya kesal tanpa menghiraukan kekacauan yang sudah dibuatnya. Wajahnya benar-benar datar misterius.
"Hei!! Bersihkan ini!!!" teriak Lusi saat Robi hendak pergi.
Seorang anak perempuan yang sedang duduk di kelas yang sama dengan Linda, melihat kejadian ini. Dia mendekapkan mulutnya dengan tangannya dan bola matanya membesar. Dia tidak percaya akan hal yang baru saja terjadi.
"Jangan lari!!! Bersihkan dulu kekacauan ini!!!!" Lusi menarik baju Robi agar anak laki-laki itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun Robi mengelak kasar, dia langsung pergi dari tempat kejadian perkara. Sejenak, dia melihat kilat merah pada mata Robi sebelum anak laki-laki itu meninggalkan dirinya. Lusi menggosokkan matanya untuk memastikan penglihatannya. Namun Robi sudah tidak ada lagi di sana. Hatinya mencelos.
Siapa yang akan bertanggung jawab atas kekacauan ini?
Anak perempuan yang lain yang tidak sengaja melewati gudang peralatan sekolah pun, melihat dengan jelas peristiwa yang baru saja terjadi, anak perempuan itu dengan jelas melihat Robi yang keluar dari gudang peralatan sekolah setelah membongkar dengan acak semua barang yang ada di dalam ruangan itu, dan langsung pergi meninggalkan tempat itu begitu saja dengan kondisi yang sangat berantakan.
Peristiwa selanjutnya yang sudah tidak mau di ingat-ingat oleh Lusi adalah, lagi-lagi dia yang menjadi korban atas kejadian yang bukan salahnya! Ada apa dengannya? Ada magnet apa yang ada di dalam dirinya sehingga banyak masalah mendatanginya?!
Linda, sebagai siswi yang menjadi teladan bagi murid-murid yang lain di sekolahnya, sangat malu dan marah melihat perbuatan adiknya. Dia tidak dapat berkata apa-apa setelah tahu dari para saksi mata yang mengatakan kebohongan, bahwa satu-satunya pelaku yang melakukan kekacauan semua ini, adalah adiknya sendiri.
Bahkan Lusi sendiri pun tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia terlalu terkejut dan sangat marah pada Robi, juga pada para saksi mata palsu itu. Meskipun suaranya akan digunakan sampai habis pun, itu juga akan sia-sia kalau hanya untuk menjelaskan bahwa bukan dia pelakunya. Tidak akan ada satupun orang yang mempercayai dirinya!
***
Kini Lusi bangun dari tempat duduknya, dia berjalan menuju ruang guru. Benar saja, hanya bu Minarni yang masih ada di sekolah itu. Bu guru Sejarah itu sedang menunggu hasil tulisan penyesalan dan janji yang harus diselesaikan oleh Lusi karena ulahnya saat istirahat siang tadi.
Wajah guru itu sangat tidak bersahabat. Kalau bukan karena Lusi, dia pasti sudah pulang dari tadi. Lusi mengacaukan semuanya.
***
Langit mendung. Sepertinya hujan akan segera turun sebentar lagi. Sudah tidak ada bus sekolah yang akan membawa Lusi untuk pulang ke rumahnya, dia harus berjalan sampai ke rumahnya.
"JEGLER!!!" suara petir tanpa disertai hujan sudah mulai bergemuruh di langit yang sudah menjadi gelap.
Lusi mempercepat langkahnya. Dia tidak membawa payung. Angin kencang, petir menggelegar, tetes-tetes hujan sudah mulai turun pelan-pelan.
Hal tidak menyenangkan apa lagi yang akan terjadi hari ini? Sepertinya sebentar lagi dia akan basah kuyup tanpa payung akibat hujan deras yang segera turun.
Tetes-tetes hujan berubah menjadi rintik-rintik hujan yang sudah mulai jatuh dengan cepat di tanah sekeliling anak perempuan itu. Tidak ada tempat berteduh di sepanjang jalan yang sepi menuju rumahnya. Kanan kirinya adalah pepohonan tinggi yang melindunginya dari sinar matahari apabila hujan tidak turun.
Dari kejauhan dia melihat sebuah toko kecil yang tidak pernah di lihatnya selama ini dari dalam bus sekolahnya. Dia berlari menuju toko itu, untuk berteduh. Larinya menjadi semakin kencang, menghindari hujan yang akan mengguyurnya.
***
Hujan turun sangat deras. Seorang nenek tua yang buta duduk menunggu pembeli pada toko mantel hujannya. Sudah dari pagi dia berada di tempat duduk itu. Wajahnya cemas, berkali-kali ia menggigit bibirnya. Dia tampak sangat resah dan terlihat tidak tenang.
Tidak ada satupun orang yang mendatangi toko miliknya.
"Semoga kamu baik-baik saja, Jammy." Suaranya pelan tercekat ketika mengucapkan nama suaminya.
Air mata menetes dari pojok matanya yang tertutup. Sepertinya ini bukan air matanya yang pertama, sejak tadi wanita tua ini sudah sering mengeluarkan air mata. Sapu tangan putih milik wanita itu sudah basah, dipenuhi tetesan air mata yang sudah jatuh sedari tadi.
Ia teringat akan pertemuan terakhir dengan suaminya di kerajaan gelap itu untuk mencuri mantel ajaib milik sang penyihir jahat. Dengan bantuan beberapa orang, akhirnya mereka berhasil mengambil mantel itu. Namun sayangnya, James, nama suami wanita tua itu tertangkap oleh Hera, salah satu abdi setia si penyihir jahat itu. Mereka, tiga wanita para abdi setia si penyihir jahat, adalah wanita yang paling kejam dan tidak mengenal ampun bagi siapapun yang menentang Hesper. Sudah banyak rakyat Qirollik, seperti dirinya yang menentang Hesper, di siksa maupun di tawan. Salah satu bekas penyiksaan kejam yang dilakukan oleh salah seorang dari wanita, abdi setia Hesper itu, adalah matanya yang saat ini sudah tidak dapat melihat.
Sekarang, suami wanita tua itu berada di dalam kerajaan gelap, laki-laki tua itu telah tertangkap selamanya disana. Tidak ada lagi harapan untuk si laki-laki tua itu.
Wanita tua itu hanya bisa berharap agar suaminya nanti belum mati ketika pembebas seperti yang telah di ramalkan, datang membebaskan seluruh tawanan dan menghancurkan kekuatan jahat Hesper dan ketiga abdi setianya! Sampai saat itu tiba, wanita tua itu akan tetap setia pada sumpah yang telah di ucapkannya pada raja dan ratu terdahulu yang telah di bunuh oleh penyihir itu, untuk tetap membela rakyat Qirollik hingga tetes darah terakhirnya.
***
Hujan masih dengan deras membasahi seluruh jalanan panjang yang ada di depan toko milik wanita tua itu, Kios Kot. Tidak ada satupun orang yang akan melalui jalan ini di saat-saat hujan deras seperti ini. Meskipun ada yang melewatinya, mereka tidak akan dapat melihat toko ini.
"Tik-tok-tik-tok-tik-tok ..." suara arloji tua milik wanita tua itu berdetak di pangkuannya.
Waktunya sebentar lagi. Aku tidak bisa lama-lama di sini. Mereka akan segera tiba ...
Harapannya mulai pupus. Tidak akan ada delapan orang asing yang akan datang ke dunianya untuk menolong rakyat yang tidak berdosa akibat kuasa kegelapan Hesper yang menghancurkan negerinya! Wajahnya yang telah ditutupi dengan keriput itu, dipenuhi dengan keringat. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya mulai tidak sabar, wanita tua itu mengetuk-ngetukkan tangannya ke meja yang ada di depannya. Waktu yang dimilikinya sudah tidak banyak. Saat ini Hesper pasti sudah menyuruh anak buahnya untuk mencari keberadaan kot miliknya, yang telah di curi.
Selama ini kot itu di simpan dengan penjagaan ketat para horgat yang masih tersisa.
Wanita tua itu menunduk. Ia pasrah akan kematiannya. Sebentar lagi, pasti dia akan segera tertangkap juga, sama seperti suaminya. Apa yang harus di lakukannya bila ia juga tertangkap. Ia akan gagal melaksanakan tugasnya.
Pikirannya menerawang jauh pada nyonya tua raksasa itu. Apakah rencana yang telah mereka susun akan berhasil? Apakah si nyonya tua raksasa berhasil membujuk para Marichi dan horgat.
Horgat adalah makhluk setia pengikut Serenity. Namun saat ini mereka telah dibuang oleh Serenity di dasar lembah antah berantah yang belum diketahui keberadaannya. Hanya ada beberapa horgat yang masih berada di dalam kerajaan.
Sedangkan Marichi, adalah makhluk licik yang yang tidak tahu balas budi, yang selalu berada di hutan terlarang milik Hesper. Mereka akan membela hanya pada yang kuat dan akan menganiaya yang lemah.
Wanita itu terdiam. Dari kejauhan, dia dapat merasakan sosok manusia yang hendak melewati tempat itu. Apakah benar akan ada yang mendatangi kios nya.
Bunyi hujan yang jatuh ke tanah tidak menghalangi pendengaran si wanita tua ini akan langkah kaki anak perempuan yang mulai mendekati kiosnya. Meski matanya telah buta, namun pendengarannya masih sempurna.
***
Dari seberang jalan tempatnya berada, Lusi melihat ada sebuah kios yang menjual mantel hujan.
Itu akan sangat cocok sekali sebagai tempat berteduh sementara. Aku hanya punya beberapa lembar puluhan ribu, apakah cukup untuk membeli mantel itu?
Dia menyebrang jalanan sepi yang terguyur hujan lebat itu. Nafasnya masih terengah-engah, karena dia berlari sangat kencang untuk mencapai kios itu sekarang.
"Permisi, Nek." Anak perempuan itu mulai menepi ke toko sang nenek.
"Ya," suara dalam dan berat si nenek menjawab pertanyaan anak perempuan ini.
"Boleh aku menumpang berteduh sebentar?"
Sang nenek menggeram.
Anak perempuan itu ketakutan. Dia pikir, pasti sang nenek marah karena mantelnya tidak dibeli olehnya. Dia melihat mata sang nenek. Nenek ini tidak dapat melihat.
"Be-berapa harga mantel itu?" tanya Lusi, anak perempuan yang telah datang ke kios milik si nenek.
Dia mulai menghitung berapa uang yang harus di keluarkannya untuk membeli mantel agar ia segera pulang ke rumah. Rencananya untuk berhemat hingga akhir minggu ini, gagal, karena dia harus mengeluarkan uang untuk mantel itu.
"Aku tidak dapat melihat," jawab si nenek, "berapapun uang yang akan kamu beri aku tetap tidak akan mengetahuinya."
Lusi bingung dengan jawaban si nenek. Kalau bukan karena hujan dan ulah Robi, dia tidak akan terjebak di tengah-tengah situasi tidak menyenangkan seperti saat ini.
"Ambillah." Nenek tersenyum senang, akhirnya dia menemukan orangnya, meskipun dia tidak dapat melihat wujud dari anak perempuan itu.
Sang nenek menyerahkan sebuah mantel yang kelihatan cukup aneh. Ritsleting pada mantel itu ternyata mencapai bagian kepalanya, sehingga wajahnya pun dapat ikut tertutup.
"Tidak baik kalau aku tidak membayarnya, Nek." Lusi segera merogoh, mencari dompetnya yang berada di dalam tas.
"Tidak usah." Sang nenek kelihatan tidak sabar, "segera pakai dan pergilah. Sudah banyak yang menantimu."
Lusi tertawa pelan. Hahaha, tidak mungkin saat ini Linda sedang menungguku di rumah. Dia pasti akan mengusirku ketika aku tiba di rumah. Lagi-lagi nama baiknya sudah tercoreng karenaku.
Lusi mengambil mantel itu, dan memakainya, hujan turun masih sangat deras. Namun berlama-lama di tempat orang asing, itu pun juga bukanlah hal yang baik.
Ritsleting untuk penutup mukanya tentu saja tidak di gunakannya.
"Pakai sampai ritsleting itu menutupi wajahmu, saat diperlukan," ucap nenek pelan.
"Baik, Nek." Lusi meletakkan sejumlah uang sebagai rasa terima kasihnya kepada sang nenek karena telah memberikan mantel itu di saat hujan deras seperti saat ini, "terima kasih."
Lusi meninggalkan kios tempat sang nenek, dan berlari pulang.
Sang nenek tersenyum, "Anak bodoh, aku tidak memerlukan uangmu."
Kios tempat si nenek perlahan mulai bergetar, waktunya segera habis. "Aku sudah menyelesaikan tugasku, sekarang waktunya untuk kembali." Sang nenek bersiap untuk segera ke tempat persembunyiannya, sebelum pasukan Hesper menangkapnya.
Dalam sekejap, kios yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa itu menghilang lenyap seperti terbawa aliran hujan deras yang mengguyur daerah itu.
Sosok kecil dengan mata kuning kehijauan, yang mengerti apa yang baru saja terjadi pada pemandangan di depannya, memperhatikan anak perempuan yang sedang berlari menghindari derasnya air hujan, dengan seksama. Anak perempuan itu sudah selesai berbicara dengan wanita tua itu.
Sosok kecil itu basah kuyup karena guyuran hujan yang membasahi dirinya, diam-diam dia mengikuti Lusi dari jauh. Mulutnya tersenyum mengikuti kemana perginya Lusi.
Lusi tidak menyadari, bahwa saat ini dirinya tidak dapat terlihat. Hanya bagian wajahnya saja yang tidak tertutup mantel itu yang dapat di lihat oleh manusia yang lain.
Meskipun Lusi tidak dapat terlihat oleh siapapun juga saat itu, namun sosok kecil itu dapat melihatnya.
Lusi terus berlari dan berlari hingga sampai ke rumahnya. Tidak ada yang ditemuinya sepanjang perjalanan menuju rumahnya, karena saat ini semua orang pasti sedang berada di rumah mereka masing-masing.
Siapa yang mau bertindak konyol dengan hujan-hujanan sepertiku saat ini?!
Dia membuka pagar rumahnya. Ada beberapa pasang sepatu yang tidak diketahui siapa pemiliknya, pasti teman kakaknya.
Linda mendengar pintu pagar rumahnya terbuka, dengan malas-malasan dia menyambut sang adik yang sedang memasuki rumah mereka.
Linda yang masih kesal dengan kejadian siang tadi, berniat memberi pelajaran pada adiknya itu. Dia berjanji adiknya pasti akan menyesali perbuatannya siang tadi di sekolah.
Ia berniat akan melarang Lusi untuk melakukan banyak hal hari ini. "Jangan lewat situ", "jangan langsung nonton teve", "jangan taruh sepatumu di luar", "jangan berlambat-lambat", dan segudang kata jangan lainnya. Sehingga Lusi akan kapok berbuat hal-hal yang memalukan nama baiknya lagi.
Linda keluar menemui Lusi.
Tiba-tiba ada bunyi jeritan yang berasal dari halaman rumah Lusi.
"ARRGGHHHH!!!!!" Itu suara Linda. Dia pingsan seketika.
Bima dan Robi yang panik mendengar jeritan suara Linda, segera keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Sebuah kepala menyerupai kepala Lusi sedang melayang mendekat ke arah kedua kakak beradik ini!!!
"ARRGGHHHHHH!!!!!!" Bima dan Robi tidak kalah histeris. Mereka menjerit dengan sangat kencang!!!