Read More >>"> Lusi dan Kot Ajaib (Chapter 2 Anak Perak) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lusi dan Kot Ajaib
MENU 0
About Us  

Lusi memulai harinya dengan wajah tak bersemangat.

"Bangun!!" teriak sang kakak kepada Lusi yang belum bangun juga. Jam di wekernya sudah menunjukkan pukul tujuh. Satu jam lagi dia harus sudah berada di sekolah. Tapi, hingga kini dia masih bergelung di tempat tidurnya. 

"Kalau saja ibu dan ayah sedang tidak employee gathering, mereka berdua akan marah melihat kelakuanmu," Linda berkata tajam pada sang adik.

Dia melihat mata Lusi yang masih berusaha untuk tetap terpejam. Namun cukup menggelikan karena mata adiknya terlihat gemetar. Dia tersenyum sinis pada tubuh Lusi yang tetap bertahan untuk tidak bangun dari tempat tidurnya. Linda tahu bahwa adiknya sudah bangun, tapi masih berpura-pura tidur.

"Oh, apakah kamu sakit?" tanya Linda dengan suara lembut yang dipaksakan.

Sakit?? Lusi seperti mendapat ide.

Tak lama kemudian, kata-kata sang kakak mengilhami Lusi agar tidak pergi sekolah.

"Kak ..." panggil Lusi kepada kakaknya dengan suara merintih kesakitan.

Linda gemas sekali dengan acting adiknya saat ini. Rencana konyol apalagi yang akan dikerjakan oleh gadis berumur lima belas tahun itu.

"Bangun sekarang juga, atau aku akan menarikmu sampai ke kamar mandi!!" Linda sudah sangat frustasi melihat adiknya tidak mau mengikuti perintah darinya, "kita akan ketinggalan bus sekolah!!!"

Linda adalah ketua OSIS di sekolah mereka. Dia sangat di hormati oleh semua guru dan siswa di sekolah. Nilainya sangat memukau. Prestasinya membanggakan. Dia menjadi teladan di sekolahnya. Dia aset sekolah yang sangat berharga. 

Tidak hanya menjadi anak kesayangan di mata para guru, Linda juga menjadi anak kesayangan di rumah. Bak mutiara yang sangat indah. Linda memiliki segudang bakat dan kemampuan yang sangat memukau.

Satu-satunya prestasi memalukan yang dimiliki oleh Linda adalah, memiliki adik yang bernama Lusi di sekolahnya!

Kalau bukan karena neneknya, yang bersahabat baik dengan ketua yayasan sekolah mereka, kedua orang tua kakak beradik yang tidak pernah akur itu, tidak akan mau menyekolahkan Lusi di tempat yang sama dengan Linda.

Tidak pernah sekalipun di dalam hidup Lusi dia tercatat menjadi anak yang dapat membanggakan keluarganya. Keluarganya bahkan telah malu memiliki anak seperti dirinya.

Kakak beradik ini bagaikan langit dan bumi. Ada jarak yang sangat luas yang memisahkan prestasi dan kemampuan mereka.

Apabila Linda sejak lahir sudah di karuniai semua bakat yang memukau dan nyaris sempurna, maka Lusi pasti berada di antrian terakhir saat pembagian bakat hendak diberikan. Semua bakat sudah habis untuk diberikan kepada orang-orang yang mengantri sebelum Lusi, sehingga tepat pada gilirannya, tidak ada lagi bakat yang tersisa yang dapat di berikan untuk dirinya. Ya, seolah-olah persedian bakat sudah habis sama sekali dan tidak tersisa satu pun juga. Karena kasihan, petugas pemberi bakat akhirnya memberikan setengah bakat "rasa percaya diri" yang dimiliki oleh pemberi bakat itu sendiri, untuk anak perempuan yang sedang menunggu di depannya dengan wajah memelas.

Paling tidak dia masih memiliki rasa percaya diri untuk menghadapi apa yang terjadi padanya saat ini. Walaupun tidak secermelang kakaknya Linda, namun masih ada secercah harapan untuk anak perempuan yang satu ini. 

Dengan tidak sabar, Linda menarik adiknya dengan sekuat tenaga sehingga membuat adiknya hampir terlempar dari tempat tidurnya.

"BANGUN!!! SUDAH TIDAK ADA WAKTU LAGI!!! KITA TERLAMBAT!!!!" Linda sudah tidak dapat lagi menahan rasa kesalnya pada adik semata wayangnya itu.

***

Lusi memakan roti yang telah di siapkan oleh Linda, kakaknya, di dalam bus sekolah, masih dengan wajah yang cemberut. Rambutnya berantakan, semerawut. Dasinya masih menggantung di kerahnya yang di tekuk sekenanya. Kalau bukan karena Linda, mungkin Lusi masih berada di tempat tidurnya saat ini.

Lusi merasa merdeka, karena seminggu penuh ini kedua orang tuanya tidak berada di rumah. Mereka baru akan pulang hari Minggu besok. Mereka berdua sedang berada di acara liburan yang diadakan oleh perusahaan ayah mereka. Kedua orang tua mereka tidak mengajak putri-putrinya untuk berlibur bersama mereka, karena perusahaan mengadakan acara ini bukan di waktu liburan anak sekolah. Jadi kakak beradik ini sudah pasti tidak dapat ikut bersama orang tua mereka.

Hal yang sangat melelahkan bagi Linda, karena seperti mengurus bayi besar seperti adiknya, Lusi.

Dan hal yang sangat menyenangkan buat Lusi, karena dia bisa berbuat apapun yang dia kehendaki.

Bus sekolah berhenti. 

Anak laki-laki berwajah tampan dengan postur tubuh tinggi ideal masuk ke dalam bus sekolah.

Mata para gadis memandang penuh kekaguman pada anak laki-laki yang nyaris sempurna ini. 

Bangku di sebelah Lusi kosong. Lusi melihat, anak laki-laki tampan itu sudah masuk ke bus sekolahnya. Dalam sekejap, dia segera memakan habis roti yang ada di tangannya. Mengelap mulutnya dengan dasinya, dan merapikan dasinya. Rambutnya di tata dengan secepat kilat agar penampilannya tampak sedikit lebih cemerlang di banding nasibnya.

Anak laki-laki itu tersenyum ramah kepada Lusi. Lusi tidak percaya akan senyuman ramah dari idolanya. Dia bahagia sekali, Bima -nama anak laki-laki tampan nan memesona itu- tersenyum padanya.

"Di sini kosong?" tanya Bima pada Lusi.

Anak-anak perempuan yang lain yang berada di satu bus yang sama dengan Lusi, tidak percaya kalau Bima akan duduk dengan Lusi. Linda saja kakaknya sampai membuka mulutnya lebar-lebar melihat kejadian ini. 

Benarkah teman sekelas yang ditaksirnya akan duduk dengan adiknya?

"Ko-ko ..." Lusi tergagap, "kosong."

Dia sungguh tidak mempercayai kejadian ini. Sekali dalam seumur hidupnya, ternyata masih ada hal yang baik yang terjadi dalam hidupnya.

"Terima kasih," jawab Bima dengan ramah, "sini."
Tangan Bima menyuruh seorang anak laki-laki yang lebih muda darinya, kira-kira sebaya dengan Lusi, untuk segera menghampirinya.

"Di sini kosong," Bima memberitahu anak laki-laki itu.

Dengan wajah datar, anak laki-laki yang di panggil oleh Bima, duduk di sebelah Lusi.

"Terima kasih," ujar anak laki-laki itu pada Bima.

Lusi tidak percaya akan hal ini.

Bunyi seperti suara tertawa di tahan terdengar dari arah belakang tempat duduk Lusi.

Pasti Linda! Lusi menoleh ke arah kaca jendela dengan perasaan dongkol.

"Sini, Bim," ajak Linda pada Bima untuk duduk di sebelahnya.

Bima duduk di sebelah Linda. Untuk pemandangan yang satu ini, sangatlah tidak aneh lagi bagi para gadis di sekolah mereka.

Cowok tertampan di sekolah dan cewek tercantik dan terpopuler duduk bersebelahan, itu adalah hal yang sangat wajar. Mereka dapat merelakan kalau yang duduk di sebelah Bima adalah cewek populer di sekolah mereka. Kini hati para gadis menjadi tenang, dan mereka dapat melanjutkan aktivitas mereka seperti semula.

Siapa anak baru yang duduk di sebelahnya?

Lusi mencuri kesempatan untuk sesekali melirik pada anak laki-laki yang telah rela duduk di sebelahnya. Dia belum pernah melihat anak laki-laki itu.

Anak laki-laki itu terlihat tidak bersahabat dan tidak suka di ganggu. Wajahnya yang tanpa senyum memperlihatkan bahwa dia memiliki dunianya sendiri.

Setidaknya ada yang mau duduk denganku. Pikir Lusi dalam hatinya.

Setengah jam berikutnya, bus sekolah sudah berhenti di halaman sekolah. Mereka tiba sepuluh menit lebih awal dari jam masuk mereka. Para siswa dengan tertib menuruni bus yang di khususkan bagi mereka itu. Lusi berdiri untuk mengantri turun dari bus sekolahnya.

Linda terlihat sedang mengobrol dengan Bima. Ada raut kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka berdua.

Dunia seperti tidak adil. 

Lusi kesal, baginya, dunia hanyalah panggung buat mereka yang memiliki segalanya. Di atas panggung itu, mereka yang memiliki kelebihan memamerkan semua yang di milikinya, baik itu paras yang cantik, otak yang encer, prestasi yang gemilang bahkan kekayaan.

Menurut Lusi, dunia bukanlah panggung untuk dirinya, yang memiliki semua dalam keadaan terbatas.

Apabila dia naik ke atas panggung, tidak akan ada orang yang tersenyum padanya, karena mereka tidak suka sama sekali dengan keberadaan si anak perempuan dengan kemampuan serba terbatas ini.

Tapi tolong ingatkan Lusi, bahwa dunia bukanlah apa kata orang tentang dirinya dan dengan begitu dia harus melakukan apa yang dikatakan orang mengenainya, agar mereka semua yang melihat dirinya senang dan terhibur. Namun, hidupnya adalah untuk menyenangkan sang Penciptanya.

Bima menepuk pundak Lusi. Lusi kaget, dia mengira bahwa kakaknya mengerjai dia lagi.

"Ada apa?" Dengan wajah yang sebal, Lusi menoleh ke arah Linda.

Lusi terkejut, ternyata yang menepuk bahunya adalah Bima.

"Eh, maaf," Bima meminta maaf pada Lusi, dia berpikir pasti Lusi terganggu dengan tepukannya.

"Oh-oh tidak apa-apa. Ada apa, kak?" tanya Lusi dengan sangat lembut.

Linda mengerucutkan bibirnya. Belum pernah sekalipun, sang adik berbicara dengan sebegitu lembut pada dirinya. Dia merasa jijik, karena adiknya sedang menggoda anak laki-laki yang disukainya.

"Itu adikku," Bima menunjuk pada anak laki-laki yang sudah turun dari bus sekolah, yang tadi duduk di sebelah Lusi.

Lusi terperangah. Ternyata ada juga di dunia ini yang kehidupannya tidak berbeda jauh dengan dirinya.

Anak laki-laki yang tadi duduk di sebelahku, ternyata adalah adik dari kak Bima. Anak laki-laki populer di sekolah, yang menjadi incaran dari semua perempuan di sekolah, ternyata memiliki adik laki-laki yang tidak sepopuler dirinya. Tidak semenarik dirinya, dan tidak setampan dirinya.

Ada senyuman yang mengembang tipis di wajahnya. Akhirnya dia memiliki kembaran, kembaran dalam hal nasib tepatnya.

***

Lusi masuk ke kelasnya. Teman-teman perempuannya sedang berkumpul di satu meja, bergosip. Mereka tertawa-tawa bersama sambil sesekali melihat ke arah Lusi, yang sedang berjalan ke tempat duduknya.

Dia sebenarnya ingin sekali untuk pindah kelas, atau mungkin pindah sekolah, atau lebih baik pindah keluarga dan mencari keluarga baru, tapi itu masih kurang, sebenarnya dia bahkan ingin pindah dunia. 

Setiap hari dia harus menghadapi pembully-an yang terjadi secara terang-terangan di hadapannya. 

Syukurlah saat pembagian bakat, pemberi bakat berbelas kasihan padanya, sehingga petugas itu mau memberikan setengah rasa percaya diri miliknya pada gadis malang itu. 

Meskipun rasa percaya diri yang dimilikinya tidak lah berlebihan hingga dia mampu mengalahkan semua orang yang menyebalkan dalam hidupnya, tapi cukuplah rasa percaya diri yang dimilikinya mampu membuatnya bertahan di dalam tekanan seperti saat ini.

Teman-teman perempuan sekelasnya, masih saja tertawa-tawa dengan keras sambil menunjuk-nunjuk ke arah Lusi, dan membisikkan nama Lusi dengan bunyi pelan yang sesungguhnya dapat dipastikan suara anak-anak perempuan itu terdengar sampai luar ruang kelas mereka. Setiap hari ada saja bahan yang dapat mereka angkat dan kemas dengan menarik untuk dijadikan bahan pergunjingan. Hari ini tidak tahu topik apa yang sedang mereka bahas. Apakah tentang remah roti yang masih tersisa di mulutnya saat mengobrol dengan kak Bima tadi, atau kah tentang kak Bima yang tidak jadi duduk di sebelahnya.

Entah apapun bahannya hari ini, bagi Lusi itu semua hanyalah hal remeh yang tidak perlu dipikirkan.

Pak guru memasuki ruang kelas Lusi. Semua anak terdiam. Mereka duduk di bangku mereka masing-masing. Beberapa murid masih tertawa dengan menutup mulut mereka, agar tawanya tidak terdengar sampai telinga pak guru.

Klarabel, teman satu-satunya Lusi yang duduk di depan Lusi, mengusap punggung tangan anak perempuan malang itu. 

"Semua tetap baik-baik saja," Klarabel berusaha membesarkan hati temannya itu.

Lusi tersenyum kecut pada temannya, "Ya, seperti biasa."

Tidak banyak yang dapat di lakukan oleh Klarabel, memang benar kata Lusi. Semua tetap baik-baik saja seperti biasa.

Pergunjingan di depan orangnya langsung pun seperti yang di lakukan oleh teman sekelasnya saat ini adalah makanan harian Lusi.

Itu sudah biasa!

Andai saja ia boleh memilih jalan hidupnya sendiri. Ia terkadang ingin seperti kakaknya, Linda, yang memiliki segalanya.

"Selamat pagi, anak-anak!" seru pak guru dengan bersemangat di hadapan para muridnya. Suara pak guru membuyarkan lamunan Lusi di pagi hari itu. Ia membenarkan posisi badannya menjadi tegak.

"PAGI, PAK!" seru para murid yang tidak mau kalah kencangnya dengan suara gurunya.

"Baik, sebelum memulai pelajaran hari ini, Pak guru mau memperkenalkan murid baru yang akan menjadi teman sekelas kalian," pak guru memberitahu anak-anak murid di kelasnya.

Semua anak di kelasnya menunggu kedatangan anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu bisa menjadi bahan olok-olokan mereka yang baru, pengganti Lusi, atau menjadi idola mereka, yang apabila ternyata anak itu jauh lebih baik daripada Lusi. Pilihan ada di kemampuan yang di miliki oleh si anak baru yang akan segera memasuki ruangan kelas.

"Waw ..." teman-teman sekelas Lusi sudah tidak sabar melihat siswa pindahan yang baru saja di perkenalkan oleh pak guru.

"Silahkan masuk, Robi." Pak guru mempersilahkan seorang anak laki-laki untuk memasuki ruang kelas yang sedang di pimpinnya.

Seorang anak laki-laki berwajah datar, tanpa senyum, tanpa ekspresi, memasuki ruang kelas mereka.

Anak-anak perempuan saling memandang. Mereka masih belum bisa memutuskan, apakah anak laki-laki ini pengganti Lusi atau tidak.

"Dia adik laki-laki Bima, kakak kelas kalian di kelas XII," pak guru memberitahu lagi tentang jati diri si anak laki-laki itu.

Bunyi tawa yang sudah tidak dapat di bendung oleh para murid, menyeruak seisi ruang kelas. Lagi-lagi akan hadir anak emas versus anak perak dalam satu keluarga yang sama!

Kalau anak emas adalah anak kesayangan keluarga, maka anak perak di ibaratkan sebaliknya.

Para anak perempuan di kelas Lusi telah mendapat jawaban atas nasib kelak yang akan menimpa anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu bukanlah anak yang akan menjadi idaman bagi mereka. Senyumnya terlalu datar untuk dijadikan idola bagi mereka semua.

Lusi tersenyum menang. Akhirnya selama ia bersekolah di sini, akan ada masanya ia akan beristirahat sejenak dari pembullyan yang di lakukan oleh teman-teman sekelasnya selama ini.

"Silahkan duduk, Robi." Pak guru menunjuk bangku kosong di sebelah kanan Lusi.

Lusi terperangah. Tidak, dia belum bisa istirahat! Teman-temannya pasti akan menjodoh-jodohkan dia dengan si anak laki-laki yang mempunyai nasib yang kurang lebih sama dengan dirinya.

Lusi mendengus.

Si anak laki-laki itu berjalan di sebelahnya, kemudian duduk di bangku yang telah di beritahu oleh pak guru.

"Oh, ya. Robi adalah juara pertama pemenang lomba Matematika Ceria se-Sumatera, Jawa dan Bali tahun ini."

Anggap saja pendengaranku salah kali ini!

Semua anak memandang Robi dengan penuh kekaguman. 

Baik, aku akan masih menjadi korban di kelas ini! 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags