Ahahahaa... thank you guys for 2K viewers *luv luv*
Pagi sekali aku sudah mandi dan mengganti pakaianku. Walaupun masalah tidurku yang seperti kerbau itu tidak ada obatnya, tapi secara otomatis aku selalu bangun di pagi hari seperti ini. Sebelum matahari terbit, aku sudah duduk di samping jendela menatap keadaan di baliknya. Itu dulu. Sebelum Lucas secara bertahap pindah ke kamarku. Istana utama benar-benar dialih fungsikan menjadi tempat bekerja semua orang yang tinggal di istana. Aku tidak tahu sudah sejak kapan jadi terbiasa melihat laki-laki itu saat bangun tidur maupun sebelum kami menutup mata. Wajar sih kami ini suami istri, meskipun aku tidak tahu rasanya menjadi seorang pengantin baru.
Aku memandangi leherku yang memerah di depan cermin saat menyisir rambutku yang pendek.
“Ugh! Kenapa Lucas hobi banget nempel-nempel—“
Aku tidak mau melanjutkan kalimatku. Aku berjalan ke depan wastafel dan mencuci leherku, mudah-mudahan saja tidak semerah ini.
“Diana.” Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang, tanpa perlu mengonfirmasi, dengan seenaknya masuk ke ‘ruangan pribadi’ ratu tanpa mengetuk, memelukku seduktif, dan memanggil namaku semudah itu, siapa lagi kalau bukan Lucas. Kebiasaannya ini benar-benar mengancam jantungku.
“Apa?”
“Kau marah?”
“Hm? Tidak, kenapa memangnya?”
Lucas mengendus perpotongan leherku, aku menolak dan menjauhkan diri darinya. “Kau tahu apa yang sudah kau lakukan?!”
“Kau marah.”
“Aku bukannya marah.”
“Lalu?”
Mulutku rasanya gatal sekali, aku ingin mengatakannya, tapi urat maluku sedikit menegang.
“’Tandamu’ ini tidak bisa kusembunyikan, apalagi rambutku sekarang pendek. Kenapa sih sehari saja kau tidak perlu memelukku sebelum tidur?”
“Itu bagus. Semua orang harus tahu kau milikku.”
Apa-apaan orang ini.
“Tidak perlu dijelaskan juga semua orang sudah tahu.”
Aku menggosok bagian leherku, tandanya sudah sedikit memudar, dan tanpa diduga Lucas menarik tubuhku dan memelukku dalam-dalam.
“Kau ini kenapa lagi sih?”
“Aku suka memelukmu, kau istriku, milikku. Aku senang melihatmu lebih hidup seperti ini.”
Aku tidak mengerti, selama ini memangnya aku seperti mayat hidup ya? Ahh! Otakku yang terbatas ini tidak bisa menjabarkannya.
“Kalau gitu lepaskan, kau bilang banyak pekerjaan.”
“Sehari saja tidak bisakah aku memelukmu seperti ini?”
Duh… mau sampai kapan Lucas ini membuat jantungku jatuh dari tempatnya?!
Pagi yang mesra itu dikejutkan oleh Alpha yang memberi kabar soal beberapa ksatria yang terbaring lemah.
Aku mengikuti Lucas menuju ruang perawatan di istana, dokter kerajaan biasa bekerja di sana dengan beberapa murid dan asistennya. Di ruangan yang lumayan luas itu, sekitar sepuluh ksatria terbaring dengan wajah kesakitan dan bibir yang pucat. Beberapa waktu lalu Nara pernah menceritakan soal dua ksatria yang muntah-muntah, ternyata sekarang pasiennya bertambah.
Dokter kerajaan menghampiri kami.
“Laporkan,” ucap Lucas tegas dan dingin.
“Dilihat dari kondisinya, sepertinya para kstaria ini kelelahan dan kekurangan cairan. Mereka semua mengeluh soal tenggorokan yang kering dan terbakar.”
Aku bukan perawat apalagi dokter di kehidupanku sebelumnya, tapi kalau ada gejala yang sering dikeluhkan pasien, sedikit-sedikit aku mengingatnya. Tapi ini cuma dugaanku, sesuai dengan pengalamanku juga. Aneh rasanya jika para ksatria itu sampai merasa sakit di area tenggorokannya hanya karena mereka kelelahan. Apalagi ini musim dingin, memangnya ada virus yang hidup di cuaca seekstrim ini?
“Bagaimana dengan asupan makanan para ksatria?” tanyaku.
“Sesuai dengan saran Yang Mulia Ratu, para koki menambahkan protein pada makanan ksatria,” jawab dokter kerajaan.
“Bukan makanan yang terlalu pedas atau terlalu berminyak, kan?”
“Hampir semua protein dibuat menjadi sup, Yang Mulia. Hanya sesekali makanan itu ditumis.”
“Mereka sepertinya kelelahan, Diana,” ucap Lucas. “Aku akan memerintahkan seluruh ksatria untuk istirahat secara bergilir. Alpha, tolong katakan pada orang itu segera.”
“Baik Yang Mulia.”
Orang itu?
**
“Apa di musim dingin begini, orang-orang mudah sakit ya?”
“Mungkin. Aku terlalu memaksakan keamanan di Istana, tapi tidak juga membuahkan hasil apapun.”
“Sepertinya Tuan Daniel memang bersembunyi di luar kerajaan. Sebaiknya meminta kerajaan-kerajaan lain untuk ikut mencarinya, atau setidaknya memberikan peringatan pada mereka.”
“Idemu bagus sekali. Memangnya di Akademi Putri kau diajari siasat semacam itu?”
“Tidak, tidak, aku hanya membacanya dari buku.” Tidak mungkin aku mengatakan karena terlalu sering nonton film pahlawan super di duniaku yang dulu. “Kita juga harus menjaga kondisi tubuh kita, aku khawatir kau juga sakit.”
“Aku lebih mengkhawatirkanmu, Diana. Aku sudah terbiasa bertahan hidup saat perang dulu.”
Kadang aku lupa satu fakta bahwa laki-laki yang sedang bekerja di belakang mejanya itu bukan manusia biasa, tulang dan dagingnya terbuat dari besi dan tembaga yang dilebur tiga ratus lima puluh enam hari selama setahun di sebuah gunung berapi. Ngaco! Orang ini memang sedikit lebih kuat dari manusia biasa saja.
Salah satu tanganku yang menyentuh pegangan sofa menjadi tumpuan bagi kepalaku. Sofa empuk ini sangat nyaman sekali dengan cuaca yang dingin begini, andai saja kakiku yang sejak tadi terlipat diluruskan, lima menit kemudian aku sudah di alam mimpi. Aku kembali menghela nafas, cuaca sedingin ini memang paling enak makan bakso atau sup ayam di mana dagingnya itu cuma sebesar buku-buku jari, dan sedikit. Hatiku terasa nyeri mengingat kehidupanku sebelumnya.
“Apa kau bosan menemaniku?” tanya Lucas tiba-tiba.
“Ah, apa? Tidak kok. Aku memang sengaja ingin bersamamu hari ini,” jawabku.
“Perpustakaan istana sudah kuperluas agar kau lebih nyaman berlama-lama di sana. Aku juga sudah menambahkan beberapa buku baru untukmu.”
“Aku suka perpustakaan istana yang baru. Tapi hari ini aku memang ingin bersamamu, itu saja.” Juga untuk mengabulkan keinginan kecil Lucas yang tadi pagi.
Perpustakaan benar-benar dirombak besar-besaran. Dan ‘beberapa buku’ yang Lucas maksud, itu sama saja menambahkan seribu judul baru sebagai koleksi. Aku terpaksa menyentuh buku-buku itu karena dunia ini tidak ada internet.
Tapi bukan berarti apa yang dilakukan Lucas itu sia-sia, aku sangat menghargainya. Bahkan merasa tidak pantas setiap kali mendapat kebaikannya.
Kuperhatikan Lucas menyimpan pena dan kertas yang sebelumnya ia pegang. “Aku berniat untuk merapikan halaman di depan istana dan di samping Sayap Timur. Aku juga akan mengganti beberapa hal yang rusak di Sayap Timur. Kau bisa melakukannya?”
Aku lebih menegakkan tubuhku, “Serius?”
“Aku juga berencana mengganti ikan-ikan di kolam depan istana. Lakukan apapun yang ingin kau lakukan, tapi berhentilah jika itu membuatmu lelah.”
“Tentu saja. Aku akan bekerja dengan rajin.”
Lucas ikut tersenyum mendengar responku. Duh, senyuman yang sangat jarang itu lebih mematikan dari bisa ular kobra.
“Saat pesta lampion, kita juga bisa pergi ke sana lagi. Katakan padaku apapun yang ingin kau lakukan ke depannya. Aku akan menemanimu mulai sekarang.”
Aku semakin mengembangkan senyumku. Tubuhku sudah seutuhnya menghadap laki-laki yang cukup jauh dari tempatku sekarang. “Kedengarannya seru juga. Oh ya, kita bisa pergi ke kebun binatang istana bukan? Ah! Kolam peri, kudengar ada kolam renang indah di tengah hutan? Kapan-kapan kita ke sana ya?”
“Hmm…”
“Oh iya, makan malam sekarang, aku saja yang masak ya?”
“Seorang Ratu ma— kau bisa memasak? Tidak akan kelelahan?”
“Tidak, tenang saja. Aku cuma masak untuk kita berdua saja. Aku juga cuma bisa membuat makanan sederhana.”
“Tapi berhentilah jika kau sudah kelelahan.”
“Iya… terima kasih ya, Lucas.”
Bukan hanya aku rindu masakan rumahan yang ‘normal’, ini juga sebagai bentuk permintaan maaf dan terima kasihku pada Lucas. Belakangan memang laki-laki itu kepalang baik padaku, selalu menanyakan soal kesehatanku dan semacamnya. Aku mengerti dia hanya khawatir, aku menghargai itu, tapi terlalu diperhatikan juga aku tidak bisa selamanya menerima kebaikan darinya. Apalagi setelah aku datang ke tempat ini, orang yang selalu menabuh genderang perang padanya itu kan aku. Aku juga ingin menunjukkan ketulusanku pada laki-laki itu. Yaa… walaupun cuma sup bening, ayam goreng, tumis sayur, dan puding karamel.
Lucas memperhatikan makanan di depannya. Maaf saja karena terlalu miskin aku sampai tidak bisa membedakan mana bagian tenderloin dan mana bagian daging sapi yang lain. Makanan yang kubuat adalah yang paling sering di masak di panti. Kadang-kadang kalau aku punya jatah liburan, aku mengunjungi mereka dan membantu ibu panti di sana. Hitung-hitung membalas kebaikan mereka membesarkanku puluhan tahun.
“Ada apa?” tanyaku.
“Aku tidak tahu ayam bisa digoreng seperti ini,” ucap Lucas.
Itu hanya ayam yang kuungkep dengan beberapa rempah-rempah lalu di goreng. “Aku bereksperimen.”
“Kukira sup itu selalu kental,” katanya lagi.
“Sup bening juga enak, aku sengaja menambahkan lebih banyak potongan daging ayam di mangkukmu. Wortel dan kentangnya juga empuk.”
“Sayur ini?”
“Itu cuma tumis wortel dan sawi. Memangnya makananku ini aneh di matamu?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Aku tidak tahu kau pintar memasak.”
Aku bukannya pintar, memang aku lebih akrab dengan sup ayam ketimbang sup jagung atau sup krim jamur.
“Cobalah. Di musim dingin begini paling enak makan makanan berkuah. Aku juga membuatkan puding karamel. Aku juga membuatkannya untuk para pelayan dan ksatria yang terbaring sakit.”
Lucas mencicipi sesendok sup hangat itu, dia terlihat puas dan menikmati makanannya. Sekarang kami makan selalu berdua, kadang-kadang di ruang makan, tapi selebihnya di kamar. Biasanya jika Lucas sudah ada di dalam kamar, dia akan enggan untuk keluar lagi, kecuali jika ada urusan yang sangat mendesak. Memang kamarku itu terlalu nyaman untuk bermalas-malasan.
“Kalau kau mau, aku juga bisa membuatkanmu sarapan besok,” kataku.
“Jika itu tidak merepotkanmu. Tapi jangan sering memasak, kau akan memecat para koki satu per satu nantinya.”
“Hehe… benar juga, hanya ketika aku sedang senggang saja.” Dan merindukan duniaku sebelumnya. “Aku juga ingin sesering mungkin membantumu, dan menebus kesalahanku dulu. Selama ini, ketika kita bertengkar, aku terlalu keras kepala untuk meminta maaf duluan.”
Lucas memegang tanganku, membungkusnya dengan tangannya yang jauh lebih besar dariku. “Kita berdua sama-sama keras kepala dulu. Jika bukan karena ide konyolku, kau akan baik-baik saja. Aku juga minta maaf. Membahas masa lalu membuat kita akan menghabiskan sepanjang malam. Sekarang tidak akan lagi yang seperti itu, Diana. Aku janji.”
Aku tersenyum padanya. Sekarang sering sekali aku tersenyum karena laki-laki ini. Aku seperti memiliki laki-laki ini seorang, seolah dunia tidak memberikanku siapa-siapa lagi kecuali dia. Seperti kerinduan langit selepas hujan pada pelangi yang jarang berkunjung, bertemu dengannya begitu melelahkan untukku. Menumpuk rindu yang tak jelas asal-usulnya, dan memintanya ikut menanggung perasaan itu. Atau laki-laki ini juga menanggung rindu yang sama?
Kami hanya sedang belajar memahami satu sama lain, saling bergantung kepercayaan satu sama lain seolah tidak ada lagi yang bisa kami pertaruhkan selain kepercayaan itu sendiri. Aku ingin selamanya dengan orang ini, dan tidak ingin semesta maupun waktu merampasnya dariku.
“Tapi jika suatu hari aku harus mengorbankan nyawaku untuk membayar kesalahanku terhadapmu dulu, aku tidak masalah.”
“Heh! Jangan asal bicara, aku gak mau ya menjanda seumur hidupku. Aku hanya memilikimu.”
“Aku juga hanya memilikimu.”
@sylviayenny thank youuuu :)
Comment on chapter #1