.
.
.
Kenapa aku tidak senang melihatnya ya?
.
.
.
Keesokan harinya, setelah kami sampai di depan istana, Lucas menurunkan kami berdua di depan gerbang istana.
“Ini masih jauh tapi kenapa turun di sini?” tanyaku.
“Sudah lama aku tidak berjalan jauh,” katanya.
“Terus? Apa hubungannya denganku?”
“Menurutmu ini salah siapa aku berada di Keluarga Levada?”
“Memangnya aku menyuruhmu untuk menemaniku? Biasanya juga kita tak pernah sesering ini bertemu.”
“Apa yang akan Keluarga Levada katakan jika aku tidak ada di sisimu saat itu?”
“Aku benci sikapmu yang seperti ini, banyak berpura-pura agar semua yang sudah kau miliki tidak menghilang. Lagipula Keluarga Levada tidak akan mengkhianati tanah kelahirannya sendiri. Berhenti curigaan deh! Capek tahu pura-pura kayak gitu.”
Memangnya sesulit apa sih dia percaya sama orang lain? Sampai mengikat Diana seperti ini hanya karena ia dari keluarga yang berpengaruh besar di Kerajaan Xavier? Toh, tanpa mengikat pun, seseorang hanya perlu percaya dan menerima konsekuensinya, apakah orang itu akan pergi atau tetap bertahan, tugas kita kan cuma perlu meyakinkannya.
Ah! Jadi melow lagi deh. Aku harus banyak istirahat mulai sekarang, bisa-bisa kepalaku tidak bisa berpikir karena terlalu sering dipakai.
“Kau sendiri kenapa ikut berpura-pura?”
Aku memandangi Lucas, ucapannya ada benarnya juga. Aku berpura-pura jika kehidupan pernikahan kami baik-baik saja di depan keluarga Diana.
“Iya juga ya, yang Keluarga Levada tahu jika hubungan kita baik-baik saja, tapi jika mereka tahu hubungan kita kacau begini, tebak siapa yang akan paling bersedih?”
Lucas tak bergeming dan hanya memandangiku, “Ini mungkin sedikit terlambat, tapi aku minta maaf karena masuk dalam kehidupanmu, sekarang kita berdua harus menanggung akibatnya. Aku tahu perasaanmu tidak pernah ada untukku, dan sepertinya aku terlalu gegabah mencintaimu. Aku akan hidup seolah kau tak menyadarinya, dan akan membantumu secara profesional.”
“Dia—“
“Yang Mulia.” Aku dan Lucas melihat ke arah Alpha yang menghampiri kami berdua.
“Alpha,” kataku.
“Maafkan saya karena tidak selalu berada di sisi Yang Mulia saat itu,” katanya menundukkan badannya. Alpha harus bolak balik melihat keadaanku dan Daerah Perbatasan. Aku tidak terlalu ambil pusing juga.
“Aku baik-baik saja, Alpha. Terima kasih untuk perhatiannya.”
“Bukankah kau harusnya memantau Daerah Perbatasan?” Suara dingin Lucas lagi-lagi memecah kami.
Alpha lalu memberi hormat untuk yang kedua kalinya, “Saya kemari untuk menyampaikan laporan pada Yang Mulia Ratu.”
“Bawa laporan itu padaku.” Lucas lalu melewatiku diikuti Alpha yang sepertinya tidak enak meninggalkanku.
“Pergi saja,” kataku sepelan mungkin.
Aku jadi sedikit sensitif akhir-akhir ini, rasanya jadi tidak mudah mengendalikan emosiku yang meluap-luap ini.
**
Sehabis kepulanganku, ada sedikit perbedaan di kamar Diana, Nara dan yang lainnya mengganti interior kamar, bahkan meja yang biasa aku pakai untuk bekerja pun kini dipindahkan ke lantai dua.
“Wahhh!”
“Ada yang kurang Yang Mulia?” tanya Nara.
“Ini sih sempurna, Nara. Terima kasih ya.”
Aku duduk di hadapan meja kerja yang disimpan di sisi jendela dengan balkon yang menjadi saksi bisu orang yang mencelakai Lucas waktu itu.
“Anu, Yang Mulia, saya dan para pelayan ikut sedih atas meninggalnya Nyonya Besar.”
“Kenapa sungkan gitu? Terima kasih karena telah mengingat nenekku. Aku cuma bisa mengenangnya sekarang, jadi tidak ada alasan untuk tidak kembali bekerja, bukan? Jadi, ada masalah apa kemarin?”
Aku menarik napas terpanjangku, melihat laporan yang diberikan Michael tadi pagi, membuatku ingin istirahat saja atau membakar kertas-kertas ini.
“Jadi berapa banyak barang yang dijual oleh Nyonya Olivia?” tanyaku.
“Dua puluh lima Yang Mulia, belum termasuk barang-barang milik mendiang Nyonya Houston,” jawab Michael.
Astaga! Nyonya Olivia menjual barang-barang di gudang dengan alasan hanya memenuhi tempat, dan Lucas marah besar karena ini sudah bukan tugasnya lagi, dan uangnya? Tentu saja dipakai membeli berlian dan perhiasan. Ada-ada saja.
“Saya dengar Nyonya Olivia dipindahkan ke istana belakang,” kata salah seorang pelayan perempuan.
“Clay!” Michael menginterupsi.
“Tidak apa, Michael.”
“Maaf jika saya lancang Yang Mulia.”
“Tidak masalah, tapi sepertinya barang-barang itu sudah susah kita temukan kembali.” Aku melihat satu per satu barang yang dijual Nyonya Olivia termasuk liontin hadiah kencan pertama orang tua Lucas.
“Apa ada yang saya lewatkan, Yang Mulia?” tanya Michael.
“Ini, liontin ini hadiah untuk Ibunya Lucas, ikut dijual juga ternyata. Sayang sekali.”
“Saya akan mencoba sekali lagi mencarinya, siapa tahu liontin ini masih ada.”
“Tidak usa—“ Michael sudah pergi dengan pengawal-pengawal yang lain.
Sekarang aku hanya berdiri tidak jelas di dapur, orang-orang sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing hingga pelayan bernama Clay tadi menghampiriku.
“Anu, Yang Mulia, maaf jika tadi saya sudah lancang.”
“Sudahlah, aku juga tidak keberatan. Oh ya, kau kan gadis yang waktu itu.” Pelayan yang diganggu Paman Franz waktu itu. “Kau sudah tidak apa-apa?” tanyaku.
“Saya sangat sehat sekarang, terima kasih atas perhatian Yang Mulia.”
“Laki-laki kurang ajar seperti itu harus diberi pelajaran!”
Tak berapa lama Nara datang menghampiriku dengan membawa nampan berisi makan siangku.
“Kenapa Yang Mulia ada di sini?” tanya Nara.
“Bergosip,” jawabku asal.
“Saya dengar ada rumor tentang seekor beruang yang kabur dari bukit. Yang Mulia jangan pergi sendirian.”
“Saya juga mendengar itu Nona Nara, katanya beruang itu sudah sampai di pemukiman warga, merusak ladang dan juga peternakkan. Akibat penebangan hutan sebelum musim dingin itu,” tambah Clay.
Kalau hal ini terjadi di duniaku, pasti sudah menjadi viral.
**
Penebangan yang dilakukan Cecilia saat akan membuka lahan baru mengakibatkan hewan-hewan yang akan berhibernasi kehilangan rumahnya, salah satunya beruang besar yang sedang hangat dibicarakan orang-orang. Lucas membuat sayembara menangkap beruang tersebut dan imbalan sekitar dua ratus koin emas. Mungkin kira-kira sekitar dua ratus juta jika dihitung di duniaku. Hadiah yang besar untuk tangkapan yang besar juga.
Padahal di dalam novel tidak ada cerita seperti ini, kenapa tiba-tiba ada beruang masuk ke dalam novel? Apalagi mendengar Lucas yang memindahkan Keluarga Barton ke istana belakang, itu hal yang mustahil terjadi di dalam novel sih, padahal Lucas sudah menganggap Keluarga Barton seperti keluarganya sendiri. Dia tidak sadar bahwa nyawanya bisa dicabut oleh mereka. Ngeri!
Sambil menyesap teh di sore hari, aku selesai membaca buku tentang sejarah Kerajaan Xavier dan beberapa negara kecil di sekitarnya, termasuk Kerajaan Onyx yang terkenal kurang akrab dengan Kerajaan Xavier, begitu kata buku ini. Yaa, aku tidak harus percaya sepenuhnya pada buku ini, tapi minimal aku harus tahu seluk beluk tempat yang sedang aku huni sekarang.
Dipikir-pikir, sudah mau setengah tahun aku di tempat ini. Kehidupanku yang asli apa kabarnya ya, apa orang-orang menemukan mayatku? Apa tubuhku sedang koma di sebuah rumah sakit? Apa orang-orang panti mencariku?
“Aku udah terbiasa menjiwai peran seorang ratu, sampai-sampai ada cemilan beginian di depanku. Balikin buku dulu deh,” kataku menatap tidak percaya mendapat perlakuan istimewa seperti ini.
Mungkin sekitar sepuluh buku sudah menumpuk dan menunggu untuk dikembalikan. Perpustakaan istana berada di gedung utama tepat di samping ruang kerja Lucas. Setelah Nenek Diana meninggal, aku banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku atau membereskan pekerjaanku. Hal itu kulakukan sebagai pembunuh waktu-waktu senggang yang membuatku bisa saja mengingat Nenek Diana dan kembali bersedih.
Perpustakaan ini mirip seperti perpustakaan di istana Si Buruk Rupa dalam cerita Beauty and The Beast. Bedanya sih tidak sebesar itu, tiang-tiangnya diukir seperti naga yang sedang melilit tiang tersebut. Hanya ada satu lantai dan beberapa baris lemari buku. Di tengah-tengahnya ada meja persegi panjang dengan empat kursi di setiap sisi-sisinya. Juga sebuah bola dunia bergaya vintage yang jelas sekali bukan peta dunia yang aku tempati dulu.
“Sebenarnya aku di alam mana sih? Bukan akhirat kan?”
Aku duduk di salah satu kursi itu lalu membaca buku lain yang aku temukan saat mengembalikan buku-buku yang lainnya.
Ada satu buku yang menarik indra penglihatanku. Sampulnya berwarna merah marun dengan judul yang ditulis oleh tinta emas. Entah emas asli atau bukan sih. Buku ini menceritakan seorang perempuan pembuat obat yang tinggal di hutan dan bertemu dengan makhluk amfibi yang terjebak jala saat seorang warga mencari ikan di sungai. Pertemuan pertama mereka penuh dengan ketegangan, perempuan itu ketakutan melihat makhluk yang menyeramkan, sementara makhluk itu terlihat ‘galak’ seolah-olah akan menikam perempuan itu, tapi karena kebaikan hati si perempuan, walaupun takut, perempuan itu tetap menolong makhluk amfibi tersebut dan membawa ke rumahnya untuk diobati.
Perlahan namun pasti, hubungan mereka semakin dekat walaupun komunikasi yang mereka pakai menggunakan bahasa tubuh. Padahal Latina, nama perempuan itu, kadang kala ingin mendengar suara makhluk itu memanggil namanya. Sampai, perlahan tapi pasti muncul benih-benih cinta diantara mereka berdua.
“Bisa-bisanya jatuh cinta semudah itu.”
Hubungan itu terus berlanjut tanpa ada pernyataan dari salah satu pihak. Hingga suatu hari, orang-orang di desa menemukan makhluk tersebut dan menangkapnya. Perempuan itu bersusah payah untuk menyelamatkan makhluk tersebut dari orang-orang desa yang ingin membakarnya.
“Sampai tak sengaja, tubuh Latina tertusuk anak panah yang akan membunuh makhluk tersebut. Makhluk amfibi itu murka dan mengeluarkan petir dan hujan yang membuat orang-orang desa lari meninggalkannya dan tubuh lemah perempuan itu. Makhluk amfibi itu akhirnya membawa tubuh Latina ke tepi jurang lalu mereka melompat dari sana hingga tenggelam ke lautan. Darah yang keluar dari tubuh Latina pun bersatu dengan air laut, dari sela-sela kulit tubuh makhluk tersebut, ia menyerap darah Latina dan mencium bibir perempuan tersebut.”
“Tak berapa lama tubuh Latina tergulung semacam ombak kecil lalu mengubah kakiknya menjadi ekor ikan. Makhluk amfibi itu pun merubah tubuhnya persis seperti wujud baru Latina. Hingga mata Latina terbuka lalu menemukan makhluk asing di hadapannya. Ia pun bertanya, ‘Siapa kau?’ dan makhluk dihadapannya pun menjawab, ‘Somali’ dan mereka pun hidup bahagia selamanya.”
“Cerita macam gini nih harusnya! Bukan masuk ke dalam cerita yang akan menjadi kuburan keduaku seperti sekarang.”
Aku melihat buku berjudul ‘Cumbuan Sungai dan Laut’. Karena judulnya yang unik itulah aku tertarik dengan buku ini. Mungkin saja jika aku membaca novel yang punya akhir bahagia aku bisa pindah ke dalam dunia novel itu, persis seperti yang terjadi padaku sekarang. Tak ada salahnya mencoba kan?
“Apalagi berpasangan dengan ‘Pangeran Yang Akan Memberikan Kebahagiaan,’ aku juga tidak akan menolak lah!”
“Sedang apa kau?”
“Wahhh!!!”
Lucas tiba-tiba muncul dari balik bola dunia yang menghalangi kami. Sudah berapa lama si brengsek ini di sini?
“Kau bisakan tidak muncul tiba-tiba? Mengagetkan saja!”
“Sejak tadi aku di sini, kau yang tiba-tiba berbicara sendiri.”
Aku lihat jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Kenapa tidak ada yang mencariku ya?
“Kau sendiri kenapa masih ada di sini?”
Lucas memperlihatkan deretan kertas-kertas yang ternyata sudah memenuhi meja, aku tidak menyadarinya sama sekali. Kenapa tidak mengusirku saja jika mengganggunya. Aku pun pergi meninggalkannya.
Setelah keluar dari perpustakaan, sekelilingku remang-remang dan hanya cahaya dari lampu taman yang menembus jendela. Aku baru sadar ternyata ini pertama kalinya aku keluar malam-malam dari gedung utama, seram juga ya malam-malam begini.
Baru saja aku akan berbelok ke arah Sayap Barat, langkahku dihentikan oleh penampakan bayangan hitam besar yang bergerak di sekitaran pintu taman. Bayangan itu bergerak tidak terarah. Aku mengintip dari balik dinding dan menatap bayangan itu. Apa ya? Masa hantu sih? Atau makhluk amfibian?
Tubuhku seperti dipaku ditempat ketika suara erangan terdengar dari arah bayangan tersebut. Sorot matanya yang menyala tiba-tiba saja mengarah ke arahku, meskipun langkahnya pelan-pelan tapi instingku sudah mengatakan agar aku berlari menjauh dari sana.
Itu bukan bayangan hantu atau makhluk amfibian, tapi beruang yang sedang viral itu. Gawat!!!
Aku berlari cukup kencang tanpa menimbulkan suara yang lebih bising lagi, beruntung di depanku ada Lucas yang baru saja keluar dari ruang perpustakaan.
“Sekarang apa yang kau laku—“
Aku menarik Lucas dan kembali masuk ke ruang perpustakaan. Aku mengunci pintu itu dan menahannya dengan kursi. Aku terduduk lemas sambil bersandar pada pintu tersebut. Denyut jantungku berpacu seakan aku baru selesai lari maraton, dalam kasus ini lari maraton dari kejaran beruang besar yang sedang viral.
“Ada apa denganmu?!” Lucas sedikit membentakku.
Aku berjalan ke arahnya lalu menutup mulutnya dan memberi isyarat untuk tetap diam. Aku menunjuk bayangan yang muncul dari sela-sela pintu bagian bawah. Beruang itu sedang berada di balik pintu tersebut. Kemudian bayangan itu melewati pintu perpustakaan. Aku melepaskan tanganku dari wajah Lucas.
“Beruang yang kau cari, ada di sana,” kataku.
“Kau yakin itu beruang?” Lucas terlihat tidak yakin.
“Kau tidak mendengar suaranya? Aku melihatnya masuk dari pintu dekat kamarku.”
Aku sedikit menghela napas lega, setidaknya ada Lucas di sini, jika beruang itu menemukan kami, dengan senang hati aku akan menyodorkan Lucas ke hadapannya. Lagipula aku pernah merasakan kematian, dan aku tidak ingin mengalaminya lagi dalam waktu dekat.
“Bagaimana ini?” tanyaku resah.
“Panggil ksatria.”
Aku menahan langkah Lucas, “Bagaimana jika para ksatria tidak tahu apa yang akan mereka hadapi di sini. Beruang itu besar loh, hampir sebesar Alphard.”
“Al-Alphard?”
Eh, salah!
“Maksudku dua kali lebih besar dari seekor sapi.”
“Kalau begitu rencanamu apa?”
“Kenapa malah tanya aku, kau kan Rajanya di sini.”
Lucas terlihat frustasi mendengar ocehanku. Ia pun lantas duduk dan terlihat tengah berpikir, aku pun mengamati sela-sela pintu berharap beruang itu benar-benar pergi keluar.
**
Lucas terlihat mondar-mandir sejak tadi, aku duduk di lantai tepat di samping pintu. Suara erangan dari beruang itu juga sesekali masih terdengar, ditambah suara cakarannya pada sebuah benda. Sudah berapa lama ya kami terjebak di sini? Beruntungnya tidak ada seorang ksatria pun yang datang.
“Hei, kenapa istana ini sepi sih?” tanyaku.
“Karena ini sudah malam,” jawabnya.
“Tapi kan ini istana raja, kalau sesuatu terjadi padamu bagaimana?”
“Ada bel yang selalu tergantung di setiap ruangan, untuk apa khawatir.”
“Tetap saja, jangan kendorkan keamananmu, bukannya aku mengkhawatirkanmu sih, tapi tidak ada salahnya kan berjaga-jaga.”
Inilah yang membuat Lucas bisa dengan mudah memakan racun yang diberikan oleh Tuan Daniel, susah juga bantuin orang yang gak percaya sama kita.
Tiba-tiba saja Lucas menarik sebuah kursi lalu menaikinya dan mengambil senapan angin yang menjadi pajangan di dinding ruangan ini.
“Kenapa mengambil senjata itu?” tanyaku.
“Ini pistol yang kugunakan saat berlatih memburu dengan ayahku dulu. Aku ingat ayahku tidak pernah melepaskan peluru di dalam senjata miliknya.”
“Wahhh…”
Lucas menarikku hingga berada di belakangnya, lalu ia menyiapkan senapan angin itu hingga ada bunyi cekrek dan berjalan pelan-pelan ke arah pintu.
“Tutup telingamu, kau tidak terbiasa dengan benda ini, bukan?”
Kali ini aku setuju dengannya.
Aku ikut berjalan mengendap-endap di belakang Lucas. Ia sedikit membuka pintu perpustakaan lalu mengintip kondisi di baliknya. Dengan cepat Lucas menarikku dan keluar dari perpustakaan, dan detik kemudian ada suara tembakan yang sangat nyaring hingga membuatku terkejut setengah mati. Suara erangan cukup keras terdengar sepersekian detik lalu kemudian hening.
Di bawah kakiku tiba-tiba mengalir cairan kental yang membuatku mendongak melihat kondisi beruang tadi.
“Darah!!!” kataku.
“Bukan, itu air dari dalam vas bunga,” jawab Lucas.
Kuintip beruang besar itu yang sudah terkapar, ada beberapa goresan di sekitar beruang tersebut. Mungkin bekas cakarannya. Tiba-tiba saja kekuatan di kakiku menghilang dan dengan sigap Lucas menahanku. Mungkin aku terlalu syok karena melihat beruang sebesar cacing besar Alaska di hadapaku atau mungkin karena suara senjata api yang menyeramkan bagiku.
Suara tembakan tadi membuat semua orang datang dan menemukan aku dan Lucas serta jenazah beruang itu. Beberapa ksatria segera mengurusi beruang itu.
“Beruang itu mati?” tanyaku.
“Dia hanya tertidur, aku menembakkan obat bius yang bisa melumpuhkan seekor gajah,” jawabnya.
“Wah! Parah! Yang kau tembak itu beruang loh! Bagaimana kalau dia tidak bangun-bangun?”
“Kau sekarang mengkhawatirkan beruang itu?!”
Alpha dan Nara pun ikut muncul.
“Yang Mulia, Anda tidak apa-apa?” tanya Alpha.
“Aku baik-baik saja, Alpha. Beruangnya tidak melukai kami,” jawabku.
“Sejak sore saya kira Yang Mulia sudah tertidur, kenapa pintu kamar Yang Mulia dikunci?” tanya Nara.
“Ah! Aku lupa jika aku menguncinya.”
“Saya hampir pingsan mendengar Yang Mulia dan suara tembakan tadi.”
“Maaf Nara.” Aku benar-benar lupa dengan pintu kamarku. “Beruang itu juga sudah lumpuh karena biusan gajah, aku malah khawatir dia benar-benar mati.”
“Kau tidak sadar dengan keadaanmu sendiri?” tanya Lucas.
“Kenapa sih?”
Alpha memegang tanganku yang gemetar. Sekarang aku sedang syok atau gimana sih? Kenapa aku tidak sadar jika tanganku gemeteran begini?
“Biar saya antar Yang Mulia ke kamar,” ucap Alpha. Tangannya hangat padahal ini belum sampai pada musim semi.
“Tidak perlu!”
Secara tiba-tiba Lucas menarikku menjauh dari kerumunan orang-orang itu.
“H-hei, Lucas!!! Apa yang kau lakukan, hah?!!”
Salam Hangat,
SR
ig: @cintikus
@sylviayenny thank youuuu :)
Comment on chapter #1