.
.
.
Kau semakin tak tersentuh
.
.
.
Ini sudah masuk musim gugur, perasaanku mulai tidak tenang ketika halaman di samping kamarku mulai berantakan akibat dedaunan kering yang berjatuhan. Juga kiriman kue dan surat dari Keluarga Levada membuatku menyadari bahwa sebentar lagi ada hal buruk yang terjadi pada Keluarga Levada. Ayah dan Ibu Diana menceritakan tentang kesehatan Nenek Diana yang mulai turun. Iya, di dalam novel, setelah salju terakhir turun, Nenek Diana meninggal. Pemikiran itu sedikit meresahkanku, Nenek Diana sangat baik dan perhatian, aku tidak tega memikirkan hal buruk itu akan terjadi.
Walaupun semua yang bernapas akan mati, tapi tetap saja, aku sudah tahu kematian itu lebih awal, dan bukanlah sebuah anugrah yang pantas aku syukuri. Aku hanya dipenuhi ketakutan setiap harinya.
Pagi itu aku berhenti di sebuah pemukiman penduduk, membeli kue dan buah-buahan untuk menjadi buah tangan saat menjenguk Nenek Diana nanti. Ditemani Alpha yang semakin hari semakin intens mendekatiku.
“Belakangan ini Yang Mulia banyak melamun, ada apa?” Alpha memulai pembicaraan.
“Tidak ada apa-apa, cuma banyak hal yang kupikirkan soal pekerjaan, Alpha,” jawabku sambil memilih-milih buah-buahan yang akan aku beli.
Tidak ada yang mengenaliku di pasar ini. Tentu saja, aku memakai tudung yang hampir menutupi wajahku. Hal ini juga diperlukan karena Alpha takut akan terjadi sesuatu denganku yang berjalan tanpa pengawalan yang cukup di tempat beresiko tinggi semacam ini. Lagipula, orang-orang juga tidak akan mengenaliku walaupun ada mahkota ratu di atas kepalaku. Lucas tidak pernah memperlihatkan istrinya ini di hadapan orang-orang.
“Ayo!” ajakku setelah selesai membeli semua yang kubutuhkan.
Di dalam surat yang rutin dikirim Keluarga Levada, Nenek Diana sakit karena luka lambungnya, mungkin semacam asam lambung yang naik, atau ada sariawan di lambungnya. Dunia ini tidak secanggih duniaku, pengobatan dengan obat-obat kimia atau alat kedokteran canggih tentu saja tidak bisa ditemukan dibelahan bumi manapun di tempat ini. Satu-satunya pengobatan hanya mengandalkan bahan-bahan alami, tingkat kesembuhannya pun tidak terlalu tinggi seperti di duniaku.
Nenek Diana terbaring lemah di kamarnya begitu aku sampai di mansion Keluarga Levada. Aku memeluknya seolah ia benar-benar nenekku sendiri. Senyuman lemahnya tidak menyiratkan bahwa kondisinya baik-baik saja, justru sebaliknya, aku melihat rasa sakit yang ia tahan selama ini mulai meledak.
“Cucuku kenapa murung begini? Oma cuma kelelahan,” katanya lemah namun berusaha membuat semua terlihat baik-baik saja.
Aku bukan Diana berumur dua puluhan yang naif dan percaya akan kata-kata orang lain. Aku tahu yang sebenarnya terjadi, dan tidak ada kesembuhan bagi Nenek Diana. Itu menakutkan.
“Apa perlu aku panggilkan dokter istana? Oma bisa dirawat lebih baik dari ini,” tawarku.
Nenek Diana menggeleng lemah, ia mengelus wajah cucunya, “Oma baik-baik saja, sudah jangan terlalu repot seperti ini. Kau jadi sering kemari padahal Lucas juga membutuhkanmu.”
Kenapa bawa-bawa nama orang itu? Kenyataannya Lucas hanya takut jika aku menyebarkan sesuatu yang merugikan dirinya. Dia tidak benar-benar peduli aku pergi kemana, atau bahkan menghilang sekalipun.
“Sekarang Oma lebih penting untukku.”
“Padahal sewaktu kau kecil, ketika Oma sakit, kau malah kesal dan tak ingin menjenguk Omamu sendiri.”
Duh, Diana, perhatikan keluargamu dengan benar!
“Mungkin kau takut sesuatu yang buruk juga terjadi pada Omamu setelah Kakekmu meninggalkan kita lebih cepat. Diana, semua orang bisa sakit dan ditinggalkan, tapi bukan alasan bagi kita untuk menolak rasa sakit itu.”
“Saat itu aku hanya belum mengerti Oma. Rasa sakit itu tidak enak.”
“Oma tahu, tapi Oma juga percaya kau bisa mengatasi rasa sakit itu. Semua orang harus merasa terluka untuk tahu cara menyembuhkannya.”
Ucapan terakhir Nenek Diana menyentuhku, satu pemikiran yang baru kusadari sekarang. Kupikir hidupku tidak menjadi masalah karena aku tidak begitu peduli dengan perasaan-perasaan semacam itu, tapi melihat seumur hidup hatiku tak benar-benar dilatih, aku menemukan fakta bahwa ada bagian kosong dalam hidupku yang tidak pernah terisi, dan rasanya cukup meresahkan juga mengkhawatirkan.
**
Aku ingat saat lulus SD, hari itu aku menjalani masa ospek di SMP negeri yang tak jauh dari panti asuhan. Semua siswa baru datang dengan ditemani orang tuanya, dan hanya aku yang berjalan sendirian membawa properti ospek hasil dari anak-anak panti lain yang membantuku. Aku ingat bagaimana wajah orang tua itu yang bangga juga sedikit terharu karena anaknya baru saja menginjak jenjang pendidikan baru juga kehidupan remaja yang akan dimulai sebentar lagi. Saat hari terakhir ospek, kami dikumpulkan di tengah lapangan saat malam hari, hanya suara angin yang menyentuh dedaunan yang bisa ditangkap oleh telinga kami. Lilin-lilin dinyalakan di sekeliling lapangan, kemudian Ketua Osis itu berbicara tentang orang tua, tentang rasa bangga mereka, tentang perjuangan berat yang diperuntukan untuk kami. Semua orang terisak, tapi aku tidak merasakan kesedihan itu.
Begitu pula saat SMA, setiap ada renungan-renungan seperti itu, aku tidak merasakan perasaan sedih atau niatan untuk menangis. Seumur hidupku, aku tidak pernah benar-benar menangis karena merasa sedih. Saat kecil aku menangis karena salah satu anak panti mendorong tubuhku hingga lututku berdarah dan itu menyakitkan. Aku pernah menangis karena saat itu ada imunisasi di panti dan aku meronta karena jarum suntik itu menyakitkan. Hanya itu gambaran tangis dan ‘rasa sedih’ yang bisa aku gambarkan seumur hidupku.
Kupikir itu adalah hal bagus untuk tidak begitu merasakan emosi seperti yang dirasakan orang lain, karena hal itu kedengarannya begitu rumit dan membuat kepalaku berat.
Aku membuka mataku, tak sadar jika selama ini aku tertidur dan kenangan-kenanganku dulu menjadi bunga tidur yang membuatku terlalu lama terlelap. Kulihat di balik pintu kaca di kamar Diana ada Alpha yang berdiri membelakangiku. Aku mengetuk kaca itu dan Alpha berbalik dan tersenyum melihatku. Kubukakan pintu kaca itu agar bisa dengan jelas mendengar suaranya.
“Sedang apa kau di luar situ?” tanyaku.
“Walaupun matahari sedikit tertutup oleh awan tadi siang, tapi sinarnya mengusik tidur Yang Mulia tadi,” jawabnya.
“Lalu?”
“Saya mencoba menghalanginya agar Yang Mulia bisa tidur nyenyak.”
“Selama itu?” Aku melihat jam tua yang berdiri di kamar Diana. Aku tidur sekitar jam sebelas siang, dan sekarang sudah jam empat sore. Sudah berapa lama dia berdiri di sana. “Di luar dingin, cepat masuklah.”
Kemudian dia berlutut di hadapanku, “Belakangan dan mungkin ke depannya akan terjadi banyak masalah yang akan menimpa Yang Mulia, saya tidak ingin melewatkan sedikitpun pengawasan saya. Akan saya pertaruhkan nyawa saya untuk Yang Mulia.”
“Aku tahu salah satu tugasmu adalah mengawalku, tapi jangan terlalu berlebihan Alpha, tidak semua hal bisa kita tangani. Terlalu banyak hal yang bisa membuat kita gagal, nantinya kita akan kecewa.”
“Saya melakukannya bukan hanya sebagai pengawal Yang Mulia, tapi lebih dari itu.”
Aku sadar jika perasaanmu memang bisa berkembang, kedudukanmu dan Diana tidak akan membuatmu baik-baik saja, Alpha. Diana seorang Ratu yang tidak memiliki pilihan untuk bercerai dengan Lucas, dan Alpha seorang pengawal yang terus saja menyudutkanku dengan perasaannya, bagaimana hubungan ini bisa berlanjut?
Bukannya aku menolak, aku juga tidak bisa menerimanya. Tadinya aku hanya menghargai perasaan Alpha dan mencoba menghapus perasaannya terhadap Diana, tapi cinta yang tertanam sejak kecil tidak mudah dilepas dalam kehidupannya. Aku jadi tidak enak.
“Perasaan saya bisa menembus status yang menghalangi ini, dan saya akan membuktikannya, Yang Mulia.”
Dia membaca pikiranku ya? Kuharap ucapannya hanya bualan, agar aku tidak merasa bersalah dengan semua perlakuannya.
“Yang Mulia hanya perlu menikmati dengan nyaman segala kenyamanan yang akan saya berikan untuk Yang Mulia. Dan semoga perasaan tulus saya menembus hati Yang Mulia.”
Hm?
“Kau tahu, orang baik itu cepat sekali matinya.”
“Hahaha, memangnya semenakutkan apa kematian itu, kehilangan Yang Mulia jauh lebih menakutkan dari segalanya.”
Salam Hangat,
SR
ig: @cintikus
@sylviayenny thank youuuu :)
Comment on chapter #1