Amerika, hari ke tujuh belas
Kondisi Soonyoung kembali memburuk. Lebih buruk dari yang terakhir…
Dokter kembali meminta keluarga Soonyoung untuk bersiap-siap, dan Ji Hoon tidak percaya bagaimana mereka terlihat begitu kuat dan… merelakan Soonyoung? Karena bagi Ji Hoon, itu adalah yang mustahil.
“Ji Hoon, istirahatlah dulu.” kakak Soonyoung memegang pelan pundaknya, membuat Ji Hoon tersadar dari lamunannya.
Kakak perempuan Soonyoung yang tersenyum padanya justru membuat dada Ji Hoon semakin ngilu. Kemiripan Soonyoung dan kakaknya membuat Ji Hoon memiliki perasaan campur aduk, tetapi Ji Hoon tidak menunjukkannya. Ia hanya menggeleng pelan, “Aku baik-baik saja. Masih ingin menemani Soonyoung, kalau dia ba-”
“Ji Hoon…” suara ceria kakak Soonyoung berubah dalam, setidaknya itu yang Ji Hoon rasakan. “Kami sudah menahan Soonyoung selama ini. Kita sama, aku tau kau tidak lelah menunggu Soonyoung, kami juga… tapi bagaimana dengan Soonyoung?”
Dan dengan itu, Ji Hoon merasa seperti mendapat pukulan keras di dadanya. Wajah kakak Soonyoung yang tadinya tenang kini sudah dipenuhi oleh air mata.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, kakak Soonyoung hanya menepuk pelan pundak Ji Hoon dan meninggalkannya kembali berdua dengan Soonyoung.
Dalam keheningan yang mencekik Ji Hoon, ia menatap Soonyoung. Bahkan dalam tidurnya, Ji Hoon dapat melihat wajah sakit Soonyoung. Apakah bertahan begitu berat…? Ji Hoon meneteskan air mata tanpa bisa ia cegah. Ia tidak pernah berpikir tentang itu sebelumnya...
Wajah kesakitan Soonyoung kembali terbayang; bagaimana ia kesakitan saat harus muntah, bagaimana ia terus menggeser posisi tidurnya karena semua tulangnya terasa linu, bagaimana Soonyoung mengeluh punggungnya sakit, dan bagaimana Soonyoung selalu berkeringat dingin bahkan dalam tidurnya…
Lagi, di hadapan Soonyoung, Ji Hoon membiarkan dirinya menangis keras. Karena ia tau… ia harus mengatakan sesuatu pada sahabatnya…
“Soon, Soon-young…” Ji Hoon berusaha menghentikan tangisnya, meski ia tidak bisa menghentikan sesenggukannya, “Soonyoung….” Ji Hoon memejamkan matanya erat-erat, menggigit bibirnya, “apa kau kesakitan?”
Tidak ada jawaban yang diterima Ji Hoon. Yang ia dengar hanyalah suara nafasnya yang sesak menahan tangis.
“Soonyoung… apa kau lelah?” Ji Hoon menggenggam erat tangan Soonyoung; begitu erat seakan hidupnya bergantung di sana.
“Soonyoung,” Ji Hoon menghirup nafas dalam-dalam, “kalau ini terlalu berat, kau boleh berhenti.” Ji Hoon menatap Soonyoung dengan wajah merah dan air mata yang tidak bisa berhenti mengalir, dan Soonyoung tidak bisa menghapus air matanya kali ini. “Keluargamu akan baik-baik saja… dan aku,-” Ji Hoon kembali menangis keras seperti anak kecil, tetapi ia tidak peduli; Ji Hoon tidak peduli lagi, karena dadanya terlalu sakit untuk menahan tangisnya kali ini. “aku, tidak apa-apa…” Ji Hoon tidak yakin dengan kalimatnya, mungkin ia berbohong; karena Ji Hoon tidak yakin bagaimana ia bisa tidak apa-apa tanpa Soonyoung. “Istirahatlah, Soonyoung… Jangan pikirkan banyak hal.” Ji Hoon mengelus pelan wajah Soonyoung, “Selamat tidur...”
Dan Ji Hoon membiarkan dirinya untuk menangis sepanjang malam...
***