Read More >>"> SOLITUDE (Chapter 2) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SOLITUDE
MENU
About Us  

Solitude. Sendirian, isolasi, atau pengasingan. Satu hal yang pasti, tidak semua orang berusaha keluar dari kondisi itu.

Cicilia mengerjap. Silaunya cahaya lampu di atap membuatnya terpaksa menutup mata sementara, dan perlahan ia memfokuskan pandangannya. Sinar matahari tembus melalui jendela di samping. Satu hal yang pasti, Cicilia tahu ia bukan berada di kamar tidur tersayangnya. Cicilia memposisikan dirinya, menatap sekitar dengan raut bingung, lalu menelan ludah.

"Rumah sakit?"

Wangi obat menguar ke indra penciumannya. Sekali hirup pun Cicilia tahu jelas di mana dirinya sekarang karena gedung lain tidak memiliki harum khas seperti itu. Cicilia hendak bangkit, bertanya pada perawat bahwa ia sudah sadar. Dari koma lima tahun. Tentu, ia ingat. Namun ia melihat tombol darurat berwarna merah di samping ranjang. Cicilia pun menekannya.

Tidak lama kemudian seorang perawat cantik datang. "Akhirnya kau bangun, nona Cicilia. Kekasihmu selalu setia menunggumu. Kau pasti senang sekali memiliki lelaki yang menjagamu, bukan?"

Cicilia memiringkan kepala. "Kekasih?" Seingatnya ia tidak pernah berpacaran, atau bahkan menyimpan perasaan pada seorang lelaki. Jangankan menyukai seseorang, Cicilia disibukkan pekerjaan setiap harinya.

Sang perawat mengecek keadaan Cicilia, memastikan gadis itu baik-baik saja. "Ya! Apa kau tidak ingat?" tanya nya cemas.

Cicilia mengerutkan dahi. Ia baru saja sadar dari koma, dan dibebani oleh fakta mengejutkan membuatnya sakit kepala. Belum lagi kenyataan realita saat ia keluar rumah sakit. Satu hal yang pasti, tubuhnya terasa nyeri, juga kaku. Pikirannya belum tertata sehingga Cicilia hanya mendengarkan apa kata perawat di samping.

"Aku juga tidak ingat mengapa aku di sini... apakah aku mengalami kecelakaan lalu lintas?"

"Iya. Kekasihmu membawamu kemari. Dia kelihatan panik sampai saat dokter memeriksamu, dia tetap menemanimu."

Cicilia ber-oh ria, tidak terlalu tertarik. Setelah mengecek beberapa hal, sang perawat pergi, lalu kembali membawa dokter lelaki berkacamata. Mereka mengetes beberapa hal, dan alhasil Cicilia terpaksa menurut. "Sepertinya kau syok, lalu hilang ingatan."

"Syok? Maksudmu dari kejadian kecelakaanku?"

"Ya bisa saja. Syok, atau trauma yang berlebihan terkadang mampu menghapus ingatan."

Cicilia menyentuh kerah pakaiannya sendiri. Ia ingin tahu. Rasa penasaran, juga takut bercampur aduk di benaknya. "Kapan aku boleh pulang?" tanya Cicilia singkat. Sayangnya, ia tidak diperbolehkan pergi sampai kondisinya stabil. Ketimbang memikirkan kekasihnya, ia jauh lebih peduli mengenai memori lamanya yang terhapus. Ia masih mengingat pekerjaannya, hobi, makanan kesukaan, keluarga. Namun misteri alasan di balik komanya sangatlah mencurigakan.

"Cicilia!" Seorang lelaki membuka pintu dengan wajah ceria. Sorot mata lembut mengarah pada gadis yang tengah terkulai lemas di ranjang. Surai hazelnut nampak manis di paras manisnya. Diiringi senyuman memikat hati, suaranya melembut seiring melangkah maju mendekati Cicilia.

"Astaga, akhirnya hari ini datang juga! Kau tahu berapa lama aku menunggumu?"

Perawat, dan dokter kemudian pergi, memberikan kesempatan jenguk. Mereka menutup pintu, tidak memberikan waktu untuk Cicilia menolak menemui lelaki imut itu. "Uhm... siapa kau?" tanya Cicilia blak-blakan. Jujur, ia tidak berusaha dekat pada seseorang yang mengaku 'kekasih'nya. Entah mengapa ia tidak suka berada di tempat yang sama dengannya. Perasaan janggal memenuhi benak Cicilia. Ia merasakan ada firasat buruk.

"Apa kepalamu sakit? Pegal? Memar? Uhm... katakan padaku." Walau Cicilia menatapnya tajam, suaranya tetap lembut.

"Ya..." Cicilia berusaha menjawab seadanya. Penampilan setampan aktor Korea tidak cukup membuatnya buka mulut. Di saat semua orang berandai-andai ditemani lelaki baik, setampan aktor terkenal sekaligus penuh perhatian, Cicilia justru menghindarinya.

"Ruyi. Jika kau lupa. Namaku Ruyi."

Cicilia mendelik. "Ruyi, ya. Nah sekarang beritahu aku, mengapa kau di sini."

Ruyi menyibak surai poni panjangnya ke belakang, lalu iris mata seindah kristal menatap lurus ke arah Cicilia. "Aku cemas. Perawat memberitahuku bahwa kau sudah sadar." Cicilia ber-oh ria.

"Yah... pasti Ruyi diberitahu saat perawat keluar ruangan sebelum memanggil dokter," pikir Cicilia menyelidik. "Oh!" Cicilia terkejut begitu Ruyi memberikan sekantung berisi sweater rajut. Ia merasakan rindu sesaat. "Terima kasih..." Ia tahu betul dulu ia sering mengenakan sweater itu saat berangkat kerja.

Masih dengan wajah manis, Ruyi tertawa. "Aku tahu kau menyayanginya." Mereka berdua bertukar pandang. Jantung Cicilia berdebar kencang, berpikir Ruyi bukanlah lelaki jahat. Ia merasa mampu menaruh kepercayaan pada lelaki yang baru ditemuinya sehari.

"A--" Belum sempat Ruyi menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba perawat berkata waktu jenguk sudah selesai. Ruyi mau tidak mau meninggalkan Cicilia. "Besok aku ke sini lagi." Ruyi mengelus pucuk kepala sang gadis, lalu pergi.

Cicilia tersenyum miring. Selama Ruyi tidak mendekat lebih jauh, pasti tidak terjadi hal aneh. Benar, ia harus tegar. Manja pada seorang lelaki bukanlah sikapnya.

Berbulan-bulan kemudian, Cicilia akhirnya boleh keluar menjalani hari seperti biasa. Melanjutkan pekerjaan, menikmati minggu demi minggu kembali, dan memulai penyelidikan. Ia harus melakukannya tanpa ketahuan. Hampir mustahil. Namun Cicilia berusaha mencoba sebaiknya.

Kini Cicilia tengah duduk di koridor utara rumah sakit, menunggu Ruyi menjemputnya pulang. Ia terpaksa. Ia sudah tidak memiliki Ayah sedangkan Ibunya menikah lagi dengan lelaki lain sampai melupakan keberadaannya. Saat ia di rumah, Cicilia tahu semuanya akan sia-sia. Tidak ada keluarga, saudara, tetangga pun tidak terlalu memperhatikannya. Cicilia sontak teringat sesuatu. Ia baru sadar memiliki seorang teman dekat dari kecil. Walau samar-samar melupakan rupa wajah temannya.

Selama Cicilia berpikir, lamunannya terpaksa dipotong kedatangan Ruyi. "Maaf telat. Apa kau menunggu lama?" Ruyi mengenakan kaus putih polos dibalut jaket jeans, dan celana panjang serta sepatu skets, guna menambah poin plus ketampanannya. Ruyi melepas jaketnya, lalu menaruhnya di bahu mungil Cicilia. "Pakailah. Nanti kau kedinginan."

Cicilia sendiri tidak terpana. Ia berdiri mengikuti langkah Ruyi ke parkir mobil, lalu kaki rampingnya berjalan bak model. Saat mereka berdampingan, semua orang tidak melepas pandangan dari kesempurnaan mereka. Bagaikan pasangan serasi. Paras cantik, mata ketus, hidung mancung, bibir yang kemerahan dilengkapi tubuh yang pendek. Imut.

Ruyi menuntun Cicilia memasuki mobil. Mereka bersiap keluar rumah sakit, dan di perjalanan, Cicilia memberanikan diri untuk bertanya. "Hei Ruyi..."

"Ya? Kenapa?" Ruyi mendengar setiap ucapan Cicilia. Namun tidak mengalihkan pandangan dari jalan raya.

"Apa... kau kenal teman-temanku? Aku sepertinya melupakannya."

Ruyi sejenak terdiam. Raut terkejut samar-samar nampak di wajahnya, buat Cicilia cemas. "Ada apa?" tanya Cicilia ketakutan sudah salah bicara.

"Tidak, tidak. Aku hanya tidak menyangka kau melupakan temanmu, haha." Ruyi tersenyum tipis. "Kau tidak perlu cemas. Karena temanmu sudah menjadi kekasihmu, yaitu... aku." Ruyi melirik Cicilia sekilas, berusaha menenangkan.

Ruyi menghentikan mesin mobilnya tepat di depan pagar rumah mewah. Gedung bercat krem dihiasi lampu di sekujur dinding. Bunga di perkarangan pun nampak segar. Jendela, meja, segala perabotan rumah Cicilia tertata, juga bersih.

Mereka beranjak masuk bersama. "Bagaimana?" tanya Ruyi bangga. "Aku yang merapikan rumahmu." Ruyi menggaruk kepala tidak gatal, sedikit malu atas pengakuan jujurnya. Cicilia menoleh ke kanan-kiri. Ia dibuat takjub oleh kebersihan rumahnya. Bahkan ia melihat ada berbagai perabotan baru di beberapa ruangan. "Aku membelikannya untukmu." Ruyi mengalungkan lengan kirinya ke leher Cicilia penuh cinta.

Cicilia tentu terkejut. Ia ingin menghindar. Namun mengingat kerja keras Ruyi, ia tidak berhak. Jadilah ia terdiam, memaksakan diri menerima kemesraan Ruyi. Lagipula satu-satunya orang yang membebaskannya dari rumah sakit hanyalah dia.

"Baiklah... kau harus balik ke rumahmu, kan? Sudah sore. Aku mampu menjaga diriku sendiri." Cicilia perlahan melepaskan diri.

Ruyi cemburut. Pipinya semakin bulat. "Ugh, okei." Ruyi mengecup dahi Cicilia, lalu pulang sebelum malam menjemput hari.

Malamnya, Cicilia mencoba membuat omelette. Perutnya sudah berbunyi meminta makan. Ia pun bergegas mengeluarkan peralatan memasak. Namun ternyata telur bahan makanannya habis, jadi ia keluar menuju supermarket. Cicilia memasang sandal, lalu berjalan kaki. Seingatnya supermarket tidak terlalu jauh dari rumah. Jika ia pikir lebih keras, sebenarnya ada jalan pintas tercepat menuju ke sana.

Cicilia berjalan mendekat, dan pintu supermarket terbuka secara otomatis. Saat ia masuk, seorang pegawai menyapanya. "Selamat datang." Udaranya langsung berbeda ketimbang di luar sana. Dingin, juga sejuk. Angin dingin dari AC mengipasi para pengunjung, lalu Cicilia merasa nyaman.

Gadis berambut pendek itu berjalan ke salah satu etalase. Di situ pula, ia mendapati sosok lelaki jangkung bermasker tengah berbelanja. Sama sepertinya. Mereka tidak saling menyapa. Diam menyelimuti kekosongan. Apalagi Cicilia takut berbincang dengannya karena setiap kali ia menoleh, lelaki asing itu diam-diam mencuri pandang. Ia tidak mampu melihat wajah dibalik masker yang dikenakan sang lelaki. Rupa seperti apa yang menguntit seorang gadis sepertinya.

Cicilia mengambil beberapa telur, dan pindah ke etalase lain. Herannya, lelaki itu mengikutinya. Cicilia tahu jelas karena merasakan aura misterius di belakang punggungnya. Ia langsung berlari ke kasir, meninggalkan sang lelaki di supermarket. Setelah membayar, ia berlari secepat kilat. Namun seseorang menarik tangannya.

"Kau!" Cicilia membalikkan tubuh. "Tolong lepaskan aku!" Cicilia mencoba memberontak. Ia tahu orang yang berani menghentikannya adalah lelaki aneh bermasker.

"Aku melakukan ini supaya kau tidak salah paham." Suara serak memotong ucapan Cicilia.

"Apa maks--" Cicilia terkejut begitu lelaki di hadapannya membuka masker. Tampan. Ya, Cicilia tidak menduganya. Sepasang mata hitam yang tajam, juga bagian sempurna di wajah. Cicilia mendongak, mencoba menatap lelaki itu. Sayangnya, ia terlalu pendek.

"Jangan percaya pada Ruyi. Kau baru bangun dari koma, kan? Entah rencana sialan apa lagi yang akan Ruyi lakukan. Walau Ruyi bermulut manis, kau harus tahu kebenarannya."

Cicilia terbelalak. Tubuhnya meremang. Ia tidak tahu lelaki yang diajaknya bicara adalah penguntit. "Dari mana kau tahu nama Ruyi...?" Cicilia menahan airmata ketakutan di pelupuk. "Jangan macam-macam pada kekasihku!" ancam Cicilia mencoba mengusir.

"Oh? Kekasih? Kau pasti bercanda. Cicilia! Jangan lupa kalau dialah alasanmu koma!"

Sejenak Cicilia terdiam, mencoba memproses kalimat itu di otaknya. "Apa...?" Dunia Cicilia runtuh. Ia tidak menyukai Ruyi. Namun dikhianati oleh seseorang yang sudah menjaganya selama di rumah sakit sangatlah menyakitkan. Ia kira Ruyi lelaki baik.

"Jangan takut, aku bersamamu."

Perlahan terlukis senyum penuh arti di wajah sang lelaki. Seolah mengetahui sesuatu akan datang.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
MERAH MUDA
464      328     0     
Short Story
Aku mengenang setiap momen kita. Aku berhenti, aku tahu semuanya telah berakhir.
Like Butterfly Effect, The Lost Trail
4576      1251     1     
Inspirational
Jika kamu adalah orang yang melakukan usaha keras demi mendapatkan sesuatu, apa perasaanmu ketika melihat orang yang bisa mendapatkan sesuatu itu dengan mudah? Hassan yang memulai kehidupan mandirinya berusaha untuk menemukan jati dirinya sebagai orang pintar. Di hari pertamanya, ia menemukan gadis dengan pencarian tak masuk akal. Awalnya dia anggap itu sesuatu lelucon sampai akhirnya Hassan m...
Reminisensi Senja Milik Aziza
744      382     1     
Romance
Ketika cinta yang diharapkan Aziza datang menyapa, ternyata bukan hanya bahagia saja yang mengiringinya. Melainkan ada sedih di baliknya, air mata di sela tawanya. Lantas, berada di antara dua rasa itu, akankah Aziza bertahan menikmati cintanya di penghujung senja? Atau memutuskan untuk mencari cinta di senja yang lainnya?
Hey, I Love You!
1037      426     7     
Romance
Daru kalau ketemu Sunny itu amit-amit. Tapi Sunny kalau ketemu Daru itu senang banget. Sunny menyukai Daru. Sedangkan Daru ogah banget dekat-dekat sama Sunny. Masalahnya Sunny itu cewek yang nggak tahu malu. Hobinya bilang 'I Love You' tanpa tahu tempat. Belum lagi gayanya nyentrik banget dengan aksesoris berwarna kuning. Terus Sunny juga nggak ada kapok-kapoknya dekatin Daru walaupun sudah d...
Waktu Itu, Di Bawah Sinar Rembulan yang Sama
780      433     4     
Romance
-||Undetermined : Divine Ascension||- Pada sebuah dunia yang terdominasi oleh android, robot robot yang menyerupai manusia, tumbuhlah dua faksi besar yang bernama Artificial Creationists(ArC) dan Tellus Vasator(TeV) yang sama sama berperang memperebutkan dunia untuk memenuhi tujuannya. Konflik dua faksi tersebut masih berlangsung setelah bertahun tahun lamanya. Saat ini pertempuran pertempuran m...
Wannable's Dream
33862      4852     42     
Fan Fiction
Steffania Chriestina Riccy atau biasa dipanggil Cicy, seorang gadis beruntung yang sangat menyukai K-Pop dan segala hal tentang Wanna One. Dia mencintai 2 orang pria sekaligus selama hidup nya. Yang satu adalah cinta masa depan nya sedangkan yang satunya adalah cinta masa lalu yang menjadi kenangan sampai saat ini. Chanu (Macan Unyu) adalah panggilan untuk Cinta masa lalu nya, seorang laki-laki b...
Rinai Kesedihan
748      497     1     
Short Story
Suatu hal dapat terjadi tanpa bisa dikontrol, dikendalikan, ataupun dimohon untuk tidak benar-benar terjadi. Semuanya sudah dituliskan. Sudah disusun. Misalnya perihal kesedihan.
Rindumu Terbalas, Aisha
484      333     0     
Short Story
Bulan menggantung pada malam yang tak pernah sama. Dihiasi tempelan gemerlap bintang. Harusnya Aisha terus melukis rindu untuk yang dirindunya. Tapi kenapa Aisha terdiam, menutup gerbang kelopak matanya. Air mata Aisha mengerahkan pasukan untuk mendobrak gerbang kelopak mata.
Melody Impian
557      372     3     
Short Story
Aku tak pernah menginginkan perpisahan diantara kami. Aku masih perlu waktu untuk memberanikan diri mengungkapkan perasaanku padanya tanpa takut penolakan. Namun sepertinya waktu tak peduli itu, dunia pun sama, seakan sengaja membuat kami berjauhan. Impian terbesarku adalah ia datang dan menyaksikan pertunjukan piano perdanaku. Sekali saja, aku ingin membuatnya bangga terhadapku. Namun, apakah it...
Ketika Kita Berdua
30687      4254     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...