"Hey, Limy!"
Abang Sky manggil sambil melotot, heran aku tuh kenapa matanya bisa segede babon gitu. Padahal dari tadi pagi aku hidup damai tanpa ada gangguan atau berniat menganggu. Jadi pengen pindah haluan jadi makhluk gaib aja deh.
Dari arah tangga, dia lari cepat nyentuh pundakku gak nyantai. Aku yang notabennya baru bikin teh, pandangin wajahnya dalam diam mengisyaratkan kata 'so, what happen?'.
"Ngaku, kamu yang nyolong album Itzy, abang, kan?"
Wah, wah, tuduhan tanpa alasan macam apa ini? Enak aja, Limy tuh anak baik ya, kalau nyolong ya milih-milih juga kali. Yang bisa dimakan contohnya, krayon milik Kala misalnya atau hapenya bang Zoe buat hotspotan jauh lebih berguna. Ini, nyolong album? Plis deh ya, sengefans-ngefansnya aku sama TXT yang ada oppa Soobin imut lucu macam kelinci sayangnya punya tinggi badan menyaingi tiang bendera. Gak punya tuh albumnya. Karena emang gak mampu beli, alias miskin kuadrat.
"Ngaku kamu."
Aku nepuk tangan abang dua kali, kali aja ada iblis nampang di sana. Ruang tamu yang tvnya sengaja kunyalakan menampilkan acara dangdutan maha dahsyat dengan lagu berjudul 'ratapan anak tiri'. Itu sukses menghancurkan suasana tegang nan dramatis yang baru ingin kubangun.
"Jadi gini, abangku tersayang."
Merem bentar menyesap teh digenggaman nikmat, aku mulai berujar santai.
"Coba, abang bayangkan. Aku yang lebih cantikan dari Yuna Itzy ini, gak mau lah mandangin rival sendiri. Buat apa coba aku curi? Aku itu kembaran Wendy Twice."
Bang Sky pura-pura muntah megangin perut sendiri, mataku menyipit kesal.
"Sejak kapan Wendy pindah girlgrup, Jamilah?"
"Lah? Sejak aku bilang tadi."
"Pengen dicincang juga ini anak."
"Dah lah, capek aku tuh, mending nonton azab di ikan terbang, pay!"
"Terus, album abang di mana?" tanyanya sewot.
Tipe-tipe manusia yang kalau salah tetap menomer satukan marah-marah, bibirnya mencebik sebal. Nyatanya aku lebih sebal pengen nampar. Sayang Abang sendiri, nanti ketahuan ayah. Sikap polos manisku bakal jadi pertimbangan. Kalau udah gitu, kan gak dipercaya lagi kalau ngadu. Wah, gak bisa gitu. Hidup itu hampa tanpa raut wajah putus asa saudara-saudara yang lagi kena ceramah.
"Ya mana kutau! Emang, Limy cenayang?"
Menghentak-hentakan kaki kesal, aku balik duduk di karpet depan tv, nyari siaran bagus. Mungkin saja Upin dan Ipin udah mulai, atau kartun lainnya lah. Ini kenapa specetoon udah mokad deh? Kan jadi gak bisa nonton Ninja Hatori lagi.
Minggu pagiku gak seindah masa kecil dulu yang hobi rebutan remot buat nonton kartun. Gimana gak? Kalau siaran tv aja sekarang penuh sama sinetron yang di mana kalau tokoh utamanya keserempet motor gegar otak terus meninggal di tempat. Hello? Emang sih, mati itu gak ada yang tahu bakal gimana, tapi gak gitu juga dong caranya. Lemah amat jadi manusia bukannya lari malah teriak pas mobil lewat. Nanti Limy kasih obat deh buat mereka. Obat tidur, sekalian aja ada adegan tidur di jalanan sambil teriak "Tidak, Roma! Tidak!"
Berhubung ayah lagi pergi melakukan hobinya yaitu mancing bareng teman-temannya yang lain. Rumah ini sepenuhnya berada di bawah kekuasaan seorang Limy.
"Hey, Limy!"
Itu abang Zoe yang turun tangga dengan rambut acak-acakan dan kacamata melorot jatuh. Ciri khas abang sekali.
"Apa deh?"
"Kamu taruh di mana flashdisk abang?"
"Hah?"
Aku nganga beberapa saat mencerna kalimat si abang.
"Flashdisk abang yang warna merah item itu. Abang mau maraton anime ini."
Sebenarnya, aku gak tahu itu flashdisk ada di mana, sedang apa, dan bagaimana. Emang aku tempat pengembalian barang hilang?
"Mana aku tau bang."
"Kan, biasanya kamu nonton anime bareng abang."
Aku menghembus napas panjang, negguk teh sampai habis, lalu gantian melotot kesal.
"Abang tuh ya, kalau pikun jangan ngajak-ngajak. Limy tau kok, umur abang beberapa abad lebih tua. Inget dong, kalau anime yang Limy tonton dipilih-pilih dulu sama abang. Boro-boro ngambilin flashdisk, megang laptop abang aja, abang bakal teriak. Hey, Limy! Ngaku deh abang, dosa apa yang abang simpan itu di laptop?"
Ibarat kata ya, tidak ngeh kalau tidak bikin ngomel pagi-pagi.
"Oke teru-"
"Apa nyalahin Limy lagi?" Aku nyolot.
"Ampun," ujar si abang balik lari-lari ke tangga.
Dari semua saudara sedarah senapas yang pernah tinggal di rahim yang sama, cuma abang Zoe yang mau ngalah sama Limy, yang lain pada ogah-ogahan. Kenapa sih? Susah amat diajak kompromi. Sekali-kali bikin Limy bahagia kek, bikin mie instan misalnya atau belanjain Limy di mini market sepuasnya gitu. Gini-gini Limy juga manusia butuh asupan makanan. Sebel deh gak bisa nukar abang Sky sama sekulkas es krim. Lebih adem soalnya plus enak juga. Abang Sky tuh ya, tiap hari ngajak gelud mulu. Badan aja yang gede tapi kelakuan lebih asem dari Limy.
"Hey, Limy!"
Apalagi sekarang? Ih, pengen ngumpat, pengen pindah ke isekai aja aku tuh.
Kala berkacak pinggang mentap horor ke arahku, aku memutar bola mata, berasa ingin mengadaikan Kala ke mas pembeli rongsokan.
"Apa? Apa lagi? Barang apa lagi nih ilang?"
"Stik PSPku di mana?"
Sabar Limy, sabar. Gak boleh meledak, nanti rumah rusak gak mau kan tinggal di bawah kolong jembatan? Oh, tentu gak. Sabar, Limy. Sabar nanti saudara-saudaramu dijual aja kalau laku.
"Heh, asem. PSP ngono ngapain nanya di saya, hah?"
"Kamu kan kang maling."
"Sejak kapan aku tuh adik manis berubah profesi jadi kriminal?"
"Halah, kemarin aja maling mangga tuh."
"Punya bukti gak anda tuh?"
Kala ngeluarin hape dari saku celana trainingnya, menggeser-geser layar hp beberapa saat.
"Nih, kufotoin pas nyeblak di pos ronda bareng bapak-bapak."
Aku kicep.
"Aku bisa jelasin."
"Gak! Gak ada yang perlu dijelasin."
"Ini gak seperti yang kamu pikirin!"
"Gak! Kita putus! Balikin PSPku! Sekarang juga."
Aku melongo, kenapa malah jadi ngedrama.
"Atau ini foto bakal masuk ke WA babeh tercintah kita. Dengan tajuk, Limy sang boronan tetangga sebelah."
Aku ngelus dada. Sumpah, ini di tv gak ada acara buat ganti saudara atau gimana apa? Pengen banget kutukar sama yang waras dikit. Yang bisa diajak kerja sama.
"Manaku tau PSPmu di mana, sampai nangis mati pun kamu di sini. Aku gak tau!"
"Halah."
"Aku lebih tua ya dari kamu."
"Beberapa menit doang."
"Heh, seenggaknya tuh, aku udah mastiin sekitar 7 menitan oksigen bisa kamu pakai buat hidup buat kamu ya! Ayo bilang makasih!"
"Dih, males amat."
Sungguh saudara kembar, kurang didikan, mentang-mentang lebih kecil dari anggota keluarga yang lain, seenaknya aja bikin masalah sama aku.
"PSPku mana?"
"Ngajak gelud?"
"Males berantem sama bocah, tidur ajalah aku."
Kala itu punya mulut sebelas dua belas sama seblak level setan. Emak-emak aja kalah kalau adu bacot sama dia. Aku jadi bertanya-tanya, kenapa selogan 'wanita selalu benar' gak berlaku sama Kala? Kenapa malah jadi 'Kala selalu benar'.
"DASAR! PUNYA SAUDARA PENGEN KUSIKAT SEMUA!" teriakku mengelar sanggup membangunkan ratusan kilo meter para setan.
Gimana ya, semua orang di rumah ini punya hobi beda. Bang Zoe hobi melototin laptop sampe mampus cuma buat maraton anime, aku jadi berharap kalau dia punya sinar lesser di matanya biar laptopnya ke belah dua. Bang Sky jerit-jerit kayak anak gadis hampir diperkosa nyanyiin lagu kpop di kamarnya. Kala ngomel-ngomel sama gamenya amat dramatis.
Walau sering berantem soal lebih baik punya waifu atau bias, atau grafis game.
Cuma aku yang bisa jadi penengah. Peneguk semua kesukaan hobi mereka.
Suka nonton anime, iya. Suka kpop, iya. Main game bareng, hayu aja.
Bingung aku tuh.
Tapi di antara semua itu semua, hobiku yang sebenarnya adalah menikmati kericuhan para abang-abang sambil ngemil popcorn persis di bioskop.
Bukan berarti aku selalu jadi sumber masalah yang melibatkan harta benda hilang kayak tadi ya! Emangnya Limy tuh tempat penitipan barang? Kalau mau nyulik, mikir dulu kali.
Yowes lah, besok-besok album bang Sky, flashdisk bang Zoe sama PSP Kala kumasukin di online shop. Biar tahu rasa. Sekali-kali jadi jahat gak bikin cepat mati kek sinetron azab indosiar. Yang punya lebih cocok diazab soalnya.
***tbc***