Hay Aku richa. Aku akan menceritakan kejadian aneh waktu aku SMA. Saat itu aku adalah siswa kelas XI.
Dari waktu ke waktu pasti ada suatu hal yang akan menjadi populer pada masanya. Seperti waktu itu, capucinno cincau menjadi minuman yang sangat populer saat itu. Yah, minuman itu menjadi minuman kesukaan kami, aku dan 4 teman dekatku.
Waktu itu hari jumat, waktu belajar yang lebih singkat dari hari-hari yang lain. Waktu yang tepat dimanfaatkan olehku untuk memanjakan diri dengan membeli semua yang ada. Dan capicino cincau menjadi target hari itu.
aku berteman dengan 2 perempuan dan 2 laki-laki. Waktu itu satu teman perempuan sebut saja Anis sedang pergi lomba. Mengingat hari itu hari jumat, maka 2 teman lelakiku, Alim dan Bagus sholat jumat. Jadi, aku dan Yuni pergi membeli capucino cincau.
Sudah banyak tempat yang menjual capucino cincau, namun ada satu tempat yang sangat enak sekali yang menjual itu dan letaknya sedikit jauh dari SMAku. Karna diantara aku dan Yuni tidak ada yang membawa motor, yah mau tidak mau kami harus meminjam. Meminjam Alim dan Bagus sungguh bukan pilihan yang tepat, karna motor mereka yang bukan matic.
“Yun, pinjam siapa nih?” tanyaku.
“Eh, ke Mushola saja. pasti ada anak-anak, kita pinjam salah satu saja”
“Oh iya. Oke deh”
Bergegaslah kami menuju mushola, tempat berkumpul siswa yang ikut organisasi rohis waktu itu. Karena aku salah satu anggotanya maka aku tak canggung bila harus meminjam salah satu motor dari mereka.
“eh Diah, motor kamu matic ‘kan? Boleh lah kalau aku meminjam.” Tanyaku pada salah satu anggota disana yang kebetulah lewat.
“iya mbak, matic. Oke ini mbak kuncinya. Jauh nggak? Kalau jauh, mungkin butuh STNK.”
“oh nggak kok. Nggak terlalu jauh. Eh motormu plat nomornya berapa?”
“hmm itu....” ujarnya mulai mengingat-ngingat
“Alah mbak. Kalau kunci motor sudah masuk dan bisa dihidupkan. Itu tandanya motornya bener.” Ujar salah satu anggota lain.
Karena dipikir benar juga akhirnya aku dan Yuni segera bergegas menuju parkiran.
Setelah mencari-cari akhirnya ketemulah motor sesuai dengan yang diucapkan Diah. Waktu kunci masuk, motor bisa dihidupkan. Baiklah motor ini benar adanya. Bergegaslah kami menuju penjual capucinno cincau.
Pesanan kami sudah siap. Maka saatnya pulang dan menyantap semua ini. Waktu mau balik, lho kok gak bisa dihidupkan. Bingung dong. Kok bisa sih, berangkat lancar jaya pulang-pulang nggak bisa. Akhirnya aku menghubungi Diah. Oke, Diah bergegas menuju ke tempatku.
Saat kami menunggu tiba-tiba diah menelpon
“Mbak, kamu bawa motornya siapa?”
“Motor kamulah. Siapa lagi?” ujarku.
“eh mbak, tapi motorku masih ada disini.”
“Lah. Terus ini motor siapa?”
Aku terdiam. Begitupun Yuni yang sudah tau ceritanya. Kalau bukan motor Diah, lalu motor siapa inii
“Hmmm.. Cha. Keknya aku tahu deh ini motor siapa. Kalau dilihat-lihat ini motornya Lia. Aku gak punya nomornya sih. Coba aku hubungi pacarnya ya.”
Aku mengangguk. Mengiyakan karna aku masih memikirkan motor siapa ini.
“Hallo, Tamam. Eh motor pacarmu platnya 4567 bukan?”
“Iya. Kok tahu.”
“Tamam. Jangan marah ya. Ini motor Lia ada di aku. Kamu kesini aja dulu ya. Nanti aku jelaskan.” Ujar Yuni dalam telepon kemudia menutupnya.
“Chaaaaa. Beneran dong motornya Lia.” Kata Yuni sedikit berteriak karna kaget.
“Aduh mati nih kita. Pasti ni motor dituduh hilang. Pasti jadi perbicangan satu sekolah nih, Yun. Yun gini deh, hubungi si Alim suruh jemput. Biar nggak malu-malu amat kita. Serius dah malu kita nanti.”
“oke.”
Yuni bergegas menelpon Alim dengan setengah memaksa. Sambil menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Karena biar terlihat baik-baik saja aku bergegas membeli sempolan. Jadi nanti kalau Lia datang aku tidak canggung.
Selang 15 menit rombongan Lia datang. Ya, Lia, pacarnya dan satu temanku. Kulihat mata Lia sembab. Oke. Ini memang salah
“Liaaa. Maaf banget emang kita nggak tau kalau ini motor kamu. Serius motor itu tadi dimasukin kunci bisa hidup dan jalan. Maaf bangettt Lia.”
“Eh udah, nggak papa. Yok pulang. Ini aku udah bawa temen. Biar kalian bisa pulang juga.”
“eh nggak usah. Kita udah suruh Alim dan Bagus kesini kok. Kalian pergi aja dulu. Aku nunggu mereka aja. Tahu kan mereka segalak apa.”
“okedeh. Kita duluan, ya.”
Akhirnya mereka bergegas dan tinggal aku dan Yuni di dekat penjual Capucino cincau menunggu Alim dan Bagus datang. Dan ya benar dugaanku mereka datang dengan wajah marah dan ingin tertawa.