Pada hari kemerdekaan Indonesia sudah semestinya kita sebagai bangsa Indonesia merayakannya. Ada beberapa cara untuk merayakannya, salah satunya dengan upacara. Pastinya para pelajar Indonesia tahu, setiap hari kemerdekaan mereka tetap masuk sekolah, akan tetapi hanya upacara saja setelah itu mereka di perbolehkan pulang.
Pagi itu di hari kemerdekaan Indonesia yang ke-68, seperti biasanya aku berangkat ke sekolah dengan pukul yang sama, karena memang aku paling tidak suka telat. Aku juga tak lupa membawa atribut yang wajib untuk upacara, seperti: topi, dasi, gesper, dan sepatu hitam.
Seperti biasa, datang paling pertama, dan sendirian di kelas. Aku duduk di kursi paling pojok di dekat pintu, karena aku punya pengalaman yang seram sebelumnya, oleh karena itu aku duduk di sana supaya gampang kaburnya. Masih pukul 06:12 WIB. Yah, paling-paling teman-temanku ini akan tiba sekitar pukul setengah tujuh atau enam lewat empat puluh menit. Sambil menunggu pengumuman upacara akan di mulai, aku memainkan ponselku. Tak terasa sudah pukul setengah tujuh, tapi tak ada tanda-tanda yang datang.
Mengapa mereka belum tiba?
Jangan-jangan tidak datang!
Ah masa iya tidak ada yang datang satu pun selain aku?
Sampai akhirnya wali kelasku tiba di kelas, panggil saja beliau Ibu Mawar.
“Yang lain mana?” tanyanya dengan wajah kebingungan.
“Nggak tahu, Bu,” jawabku dengan nada sedih.
“Yaudah kalau gitu ke bawah aja ikut saya.” Aku menyetujuinya lalu mengikuti langkah Ibu Mawar. Ketika melewati kelas IPS, aku mendongakkan kepalaku dan tidak ada satupun manusia di sana.
Wah, kurang ajar betul. Benar-benar hanya aku sendiri yang datang?
Langkah demi langkah aku mengikutinya dan sampailah aku di ... kantor guru.
What? Kenapa, nih? Apa jangan-jangan mau di tanya-tanya kenapa pada nggak masuk? Walau ya ku akui aku cukup rajin dan bisa di hitung jari kesalahanku di sekolah, tapi tetap tidak bisa mengkhianati teman.
“Ini,” katanya sembari menyerahkan sebuah dokumen yang aku taksir adalah absensi. Aku mengambilnya dan Ibu Mawar kembali berkata, “Kamu absen, setelah itu kamu ke kelas sebelas dan sepuluh untuk absensi adik-adik kelas kamu ya! Sebentar lagi akan mulai upacaranya.”
Sudah melaksanakan apa yang di katakan Ibu Mawar, kami menuju lapangan untuk upacara. Lagi-lagi ada saja yang menambah kekesalanku. Kenapa semua adik kelasku lebih tinggi daripada aku? Kelas tiga sendiri paling depan pula. Sial.
Keesokan paginya, ketika pelajaran Ibu Mawar. Sepertinya beliau ingin menyampaikan soal upacara kemarin.
“Kalian tahukan kemarin di wajibkan upacara 17 Agustus. Kasihan tu teman kalian, dari satu angkatan, dia doang.”
Hening. Mereka hanya mendengarkan.
Kalian tahu apa yang aku takutkan setelah Ibu Mawar berbicara seperti itu? Aku takut Ibu Mawar menceramahi teman-temanku. Kalau sampai itu terjadi, aku tak enak hati jadinya. Tapi mana aku tahu kalau satu angkatan yang masuk untuk upacara hanya aku seorang?
“Makannya kalian tuh kalau mau bolos whatsapp temannya, biar nggak sendirian masuk.”
Pecah! Semua tertawa. Aku jadi lega mendengarnya. Memang Ibu Mawar hebat, kalimatnya malah tidak membuat aku terpojok karena kemarin masuk.
“Makannya lo jangan kerajinan!” seru salah satu temanku sembari tertawa.
“Kampret lo!” Sok kesal, padahal aku menahan tawa.
Akan tetapi setelah tertawa mereka mendapatkan nasehat yang bagus dari Ibu Mawar.