Hari Minggu, hari libur. Setelah beberapa saat bergelut dengan kasurnya, akhirnya Abaya memutuskan bangun. Waktu masih menunjukan pukul 06.00, tetapi karena ingin joging sekitar komplek, mau tak mau ia harus bangun. Ia beranjak menuju kamar mandi, membersihkan diri. Setelahnya, ia bersiap mengenakan pakaian yang sering digunakannya saat joging.
Ia keluar kamar, menemukan Ibu Ros yang sedang berkutat dengan masakannya di dapur.
“Pagi, Bu,” sapanya.
Ibu Ros berbalik, dan mendapati majikannya yang sudah rapi itu. “Pagi. Mau minum susu, Dek?” tawar Ibu Ros.
Abaya menggeleng. Perutnya tidak terbiasa makan dan minum yang rasanya manis, saat ia belum memakan nasi. Ia segera pamit, lalu beranjak menjemput Mina. Ketukan pertama pada pintu rumah Mina, langsung terbuka. Arsan muncul dengan wajah khas bangun tidurnya, membuat Abaya terpaku sejenak pada wajah itu.
“Oh, Mina? Tunggu sebentar, masih siap-siap dia,” ucap Arsan saat ia membukakan pintu.
Abaya mengangguk. Arsan menawarinya untuk masuk, tetapi saat ia hendak masuk, Mina sudah terlebih dahulu muncul. Akhirnya, mereka memutuskan untuk langsung pergi saja.
Tidak seperti pelari lain yang berlari sambil menggunakan earphone. Mereka malah membahas hal-hal yang sama sekali tidak berfaedah. Bukan mereka, hanya Mina.
“Abaya, kenapa kuku kita beda? Kuku aku, kecil-kecil, sedangkan kuku kamu bentuknya panjang-panjang gitu. Kenapa, ya?” tanyanya.
“Gak tahu.”
Hening kembali. Tetapi, itu tidak berlangsung lama karena Mina kembali membuka sesi pertanyaan. “Juga, kenapa ya tahi lalat itu ada yang bentuknya muncul gitu dan ada bulunya? Tapi, ada juga yang datar aja, cuma bitnik hitam di kulit. Kenapa bisa begitu?” tanyanya kembali.
Lagi-lagi, Abaya menjawabnya dengan jawaban yang sama, seperti yang ia berikan sebelumnya.
“Terus, ya–“
Ucapan Mina terpotong saat Abaya menghentikan larinya. Ia menatap datar Mina, yang juga menghentikan larinya. “Pusing, deh, Min. Pertanyaan kamu gak ada faedahnya sama sekali. Lagian, apa kamu gak capek, lari sambil ngomong?” Setelah mengatakan itu, Abaya kembali berlari, meninggalkan Mina yang masih terdiam dengan wajah kesalnya.
“Ih! Tunggu, dong!”
Mereka berkeliling komplek perumahan selama 45 menit. Setelah merasa lelah, mereka beristirahat di taman komplek yang berada di ujung komplek. Mereka beristirahat di bangku yang tersedia, setelah membeli minum. Taman mulai ramai, anak-anak hingga orang tua, kompak melakukan aktivitas minggu paginya.
“Ka Arsan pulang malam?” tanya Abaya.
Mina membenarkan pertanyaan Abaya. “Tengah malam dia baru balik. Gak bawa kunci cadangan lagi, nelepon aku supaya jangan tidur dulu. Untung aja, aku bisa bangun cepet,” tutur Mina dengan nada kesalnya.
Abaya mengangguk-anggukan kepalanya. Setelah pergi tanpa kata tadi malam, ternyata orang itu juga baru pulang tengah malam, entah kemana ia.
“Oh, iya! Teressa tadi malam telepon. Dia juga telepon kamu, telepon grup kita, tapi kamu gak aktif. Dia udah pulang dari rumah sakit. Dia juga udah tau, kejadian kamu sama Ka Dayne. Dia sempet marah, karena kita gak bilang apa-apa tentang itu. Bukannya tau dari temennya sendiri, tapi dia malah tau dari orang lain, gitu katanya.”
Abaya baru ingat, jika data internet ponselnya sengaja ia matikan. Tadi malam, ia terlalu fokus memikirkan misi OSIS, sehingga saat ia merasa ngantuk, ia tidak sempt lagi membuka ponsel. Ia juga lupa, memberitahu Teressa soal kejadiannya bersama Dayne.
“Pulang ini kita ke rumahnya, gimana?” ajak Abaya.
“Oke.”
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.15. Mereka bangkit, ingin pulang. Tetapi, Mina mencekal lengan Abaya, memaksanya untuk berhenti. “Itu Sean!” pekik Mina.
Abaya mengikuti arah pandang Mina. Dan benar, Sean ada di sana, ia sedang makan di warung bubur yang tidak jauh dari keberadaan Abaya sekarang. Memang, rumah Sean juga masih berada di komplek perumahan yang sama dengan Abaya, tetapi beda blok. Di warung itu, Sean tidak seorang diri, melainkan berdua dengan seorang wanita yang asing bagi Abaya dan Mina. Mina menarik tangan Abaya, membawanya ke tempat Sean berada. Abaya sempat menolak, tetapi Mina tetap saja menariknya.
“Sean!” sapa Mina saat mereka telah sampai di warung itu.
Sean yang tadinya mengobrol dengan wanita yang ada di hadapannya, kini mengalihkan pandangannya ke arah Mina. Ia juga sempat melirik Abaya sebentar, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali menatap Mina. “Oh? Abis joging?” tanyanya.
Mina mengangguk. Ia beralih menatap wanita yang berada di hadapan Sean. “Ini siapa, Sean?” tanyanya.
Sean tidak menjawab, ia kembali menyantap bubur di hadapannya. Sedangkan, wanita yang ada di hadapan Sean itu tersenyum manis. “Gue Sherina.” Ia memperkenalkan diri dengan senyuman yang tidak lepas sedetik pun.
Mina ikut memperkenalkan dirinya, ia juga memperkenalkan Abaya, karena sejak tadi Abaya hanya diam.
“Mau makan bareng?” tawar Sherina.
“Oh, enggak. Kita mau pulang, tadi ke sini cuma mau sapa kalian. Duluan, ya,” pamit Mina.
Abaya sendiri masih berdiam diri, menatap Sean yang enggan untuk menatapnya balik. Mina menyenggolnya, menyadari Abaya supaya ikut berpamitan.
“Duluan, ya,” pamit Abaya dengan senyuman yang menghiasi bibirnya.
Sean dan Sherina mengangguk.
“Take care,” pesan Sean yang masih menyantap buburnya tanpa melihat Abaya.
Abaya dan Mina pergi dari warung itu. Pesan Sean masih terngiang-ngiang di kepalanya. Sikapnya dingin, tetapi masih menyimpan perhatian. Pikirannya kini beralih ke wanita yang bersama Sean tadi, Sherina. Kebungkaman Sean saat ditanya Mina tadi, menimbulkan tanda tanya di benak Abaya. Bagaimana jika wanita itu adalah wanita pilihan Sean yang baru? Ah! Membayangkan hal itu saja, Abaya tidak kuat.
“Cemburu, ya?” goda Mina dengan tawa kecilnya.
Abaya mendengus. “Gak, tuh,” kilahnya.
“Kalo enggak, kenapa tadi di sana cuma diem aja?”
Abaya yang ditanya seperti itu, enggan menjawab. Benar juga kata Mina, mengapa tadi ia hanya berdiam diri saja, dan tidak mengucapkan apa-apa? Ia yakin, jika Sean tahu itu dan pasti akan berpikir macam-macam.
Sepanjang jalan, Mina terus menggodanya, tetapi Abaya enggan menanggapi.
Langkah Abaya terhenti, saat melihat seekor kucing yang ditendang oleh pemilik rumah. Kucing itu juga disiram dengan segayung air. Pemilik rumah itu memukul kucing dengan gayungnya, sebelum akhirnya menutup pintunya dengan keras.
Abaya menghampiri kucing yang basah kuyup itu, diikuti oleh Mina. Sejujurnya, Abaya tidak menyukai kucing, ia merasa geli saat memegangnya, tetapi ia juga punya hati nurani. Wajah kucing itu, sangat menggemaskan. Tetapi, mengapa masih ada saja orang yang tega menyakiti makhluk semenggemaskan ini?
Mereka yang tidak menyukai kucing, akan dengan mudah menyakiti. Tetapi, bukankan setiap makhluk itu saling ketergantungan? Manusia juga bergantung kepada hewan dan tumbuhan dalam hal konsumsi. Lalu, kenapa hewan tidak bisa bergantung kepada manusia dalam mencari makan?
Kadangkala, manusia bersikap angkuh, merasa tinggi seakan-akan hanya ia makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Hanya karena diberi akal yang lebih tinggi, maka ia akan menutup mata dengan keadaan sekitar. Jika ada opsil lain selain menyakiti, mengapa tidak mereka lakukan? Mengusirnya perlahan, tanpa kekerasan. Apakah itu sulit?
Abaya menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan orang-orang seperti itu. Ia meminta Mina untuk menggendongnya. Mereka ingin membawa kucing itu ke komunitas kucing, yang kebetulan ada di komplek perumahan mereka.
Saat sampai di tempat komunitas itu, Abaya mulai menceritakan kejadian yang menimpa kucing yang mereka bawa. Pemilik komunitas menyampaikan rasa terima kasihnya karena Abaya dan Mina sudah menolong kucing. Pemilik kucing itu juga menyatakan bahwa ia siap untuk menampung kucing yang dibawa kemari.
Abaya cukup lega mendengarnya. Setidaknya, satu kucing sudah terselamati. Mereka berdua berpamitan pulang, teringat bahwa mereka harus pergi ke rumah Teressa.
Saat di depan rumah, Abaya kembali mengingatkan Mina untuk segera mandi.
Setelah mereka berdua siap, mereka langsung pergi ke rumah Teressa, diantarkan oleh Arsan. Mina tidak bisa mengendarai kendaraan sendiri. Begitu juga dengan Abaya. Jadi, satu-satunya yang bisa diandalkan mereka berdua hanyalah Arsan. Beruntung, Arsan masih memiliki nuraninya, sehingga bersedia mengantarkan mereka berdua ke mana pun yang diinginkan.
Mereka sampai setelah menempuh perjalanan tujuh belas menit. Arsan memutuskan untuk pulang, dan ia berpesan pada Mina jika ingin pulang langsung hubungi saja. Mereka disambut oleh Ibu Teressa yang rupanya sedang berada di rumah sekarang ini. Padahal, Teressa selalu cerita bahwa orangtuanya sangat jarang di rumah, walaupun weekend tiba. Ibu Teressa mempersilahkan kedua teman putrinya untuk ke kamar Teressa, karena putrinya itu masih berada di alam mimpi.
Dan benar saja! Saat Abaya dan Mina membuka pintu kamar Teressa, temannya itu masih tidur. Oh, ayolah! Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00, tetapi temannya itu belum bangun juga.
Abaya mencoba membangunkannya dengan panggilan, tetapi hasilnya nihil. Teressa tidak terganggu sama sekali dengan panggilan Abaya. Mina sendiri, lebih memilih mengguncangkan tubuh temannya itu. Teressa sempat menggeliat, tetapi tidur kembali. Satu ide terlintas di kepala Abaya.
“Sa! Endy datang!” teriaknya tepat di telinga Teressa.
Sontak, mendengar teriakan Abaya yang menggelegar, yang mungkin saja bisa menulikan pendengaran membuat Teressa bangun. Wajahnya pucat pasi, ia mengusap wajah berulang kali, berusaha untuk memperbaiki penampilan.
Abaya dan Mina menyemburkan tawanya saat melihat Teressa berhasil dikelabui. Endy itu adalah ketua kelas mereka. Teressa sangat menyukai Endy karena pembawaanya yang tegas, juga karena wajahnya yang tampan dengan lesung pipi yang menghiasi kedua pipinya.
Merasa telah dikelabui kedua temannya, Teressa melayangkan pukulan kepada keduanya. Berani-beraninya mereka mengelabui Teressa dengan membawa-bawa nama Endy. Yang dipukuli hanya bisa tertawa.
“Lagian, sih, kebo banget,” ejek Abaya.
“Diem, Ya! Aku masih marah sama kamu!”
Abaya kembali tertawa. Ia mengambil ponsel yang berada di tas kecilnya, lalu mengarahkannya ke wajah Teressa. “Oh, marah, ya? Aku kirimin ke Endy, ah.” Ia berhasil mendapatkan foto Teressa sekarang ini.
“Iya! Aku juga ada videonya pas tadi kamu bangun. Kirimin juga ah.” Mina berada di kubu Abaya, ia terkikik geli melihat wajah Teressa yang memerah menahan malu.
“Kalian, mah! Jangan dong,” rengek Teressa sambil mencoba mengambil ponsel Abaya dan Mina.
Abaya dan Mina kompak menaruh ponselnya. Mereka terduduk di ranjang Teressa.
“Enggak, kok. Cuma bercanda aja,” ucap Abaya.
“Oke! Sekarang, kamu harus jelasin ke aku, masalah kamu sama Ka Dayne,” pinta Teressa.
Abaya mengiyakan permintaan temannya. Ia mulai menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu, saat ia beradu mulut dengan Dayne. Ia menjelaskan dari awal, sampai bagian ia didorong. Sesekali juga, Mina menimpali.
“Ih! Kalo ada aku, pasti abis juga itu kakak kelas!”
Abaya dan Mina menyetujui hal itu. Mereka tahu, Teressa itu adalah orang yang paling disegani di antara mereka bertiga. Ketua ekstrakulikuler dance yang memiliki wajah cantik dan hati yang baik. Selain itu, aura wajahnya yang memancarkan ketegasan, juga membuat dirinya disegani banyak orang. Namun, dibalik itu semua, ia memiliki jiwa yang bar-bar seperti Mina. Hanya orang terdekatnya yang tahu hal itu.
“Untungnya, kamu gak ada. Kalo ada, aku gak bisa bayangin kacaunya hari itu.”
“Ya, untung.”
“Mina juga sempet cerita tentang hubungan kamu sama Sean. Astaga, Aya! Kepala kamu isinya apaan, sih?! Disodorin cowok seganteng dan sebaik hati kayak Sean gak mau diterima! Terus kamu maunya kayak gimana? Kayak Pak Tanto?!” sungut Teressa.
Mina tertawa mendengarnya. Pak Tanto adalah pria paruh baya, yang menjadi satpam sekolah. Tidak memiliki rambut, gigi bagian depan ada satu yang hilang, serta sepatu hitam selalu bersinar sampai-sampai mengalahi sinar matahari. Beliau juga sangat suka menggoda siswi-siswi SMA Guna Mulya.
“Ya, gak gitu juga! Belum ngerasa cocok aja sama dia. Males juga, nanti malah terkekang kalo punya hubungan khusus,” kilah Abaya.
“Terserah, deh! Lelaki ganteng itu banyak, tapi yang setia sedikit. Jangan nyesel nanti, kalau dia punya yang baru,” sindir Teressa.
“Tau, gak? Tadi pas joging, kayaknya ada yang cemburu, deh. Masa dia diem terus. Mukanya juga merah banget kayak kepiting rebus, saking cemburunya,” ejek Mina.
“Oh, ya? Siapa? Ketemu Sean?” tanya Teressa.
Mina membenarkan, “iya! Sama cewek cantik, lho.”
Abaya menutup telinganya. Akan panjang urusannya jika dirinya menjadi bahan perbincangan kedua temannya. Apalagi, kini Teressa mulai menggodanya juga.
“Tuh, kan! Awas aja nanti nyesel kalo Sean sama dia.”
Abaya menggelengkan kepalanya. Ia merapalkan doa dalam hati, supaya dirinya tidak akan menyesal di kemudian hari.
**
“Yang tadi itu siapa, Sean?” tanya Sherina saat keduanya duduk di ruang keluarga rumah Sean.
“Temen sekolah,” jawab Sean cuek.
“Salah satu dari mereka, ada yang namanya Abaya?” tanya Sherina kembali.
Sean tidak menjawab, bagi Sherina itu adalah jawaban membenarkan pertanyaannya tadi. Sejak dulu, Sean memang selalu menceritakan hidupnya pada Sherina. Teman kecil yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu, selalu mengerti dirinya. Mereka tidak satu sekolah. Sherina bersekolah di sekolah favorit yang ada di pusat kota. Sebenarnya, rumahnya juga ada di pusat kota. Ia ke daerah ini, hanya untuk bermain saja. Semalam ia menginap di rumah Sean, Mama Sean yang memintanya dengan alasan rindu.
Hal yang paling disyukuri Sean dan Sherina adalah mereka berdua tidak terjebak suatu perasaan yang disebut friendzone. Menurut mereka, itu luar biasa. Karena, di luar sana, sangat banyak persahabatan yang terjebak friendzone.
“Mau gue bantuin? Kan, kata lo kemarin, lagi berantem sama dia.”
Sean menggeleng. Baginya, itu tidak perlu. Ia ingin fokus melupakan Abaya, lagipula Abaya menyukai orang lain. Jika mereka dekat kembali pun, Sean rasanya tidak sanggup.
Sherina mengangguk, ia mengerti sahabatnya. Sean sudah dewasa dan ia yakin sahabatnya itu bisa menyelesaikan urusannya sendiri. Sherina mengecek ponselnya, ia lalu bangkit. “Gue pulang, ya. Abim sudah jemput. Kalo tante pulang, jangan lupa salamin, ya,” pesannya.
Ia pergi dari rumah Sean, karena pacarnya sudah menunggu di depan. Sebenarnya, nama pacar Sherina itu adalah Abimanyu, tetapi ia memanggilnya dengan sebutan Abim, menurutnya itu adalah panggilan kesayangan.
Sean kini merebahkan dirinya di sofa. Ia memainkan ponselnya, membuka galeri, dan menemukan foto-foto Abaya yang dulu sengaja ia ambil secara diam-diam. Ia mengamati wajah cantik itu. Hatinya masih bergetar saat melihatnya. Ya, ia sadari bahwa hatinya masih menaruh perasaan yang sangat besar kepada Abaya.
Ia menghembuskan napas dengan kasar. Berulang kali, ia menyadarkan diri untuk melupakan Abaya. Tetapi, perasaan yang telah terbingkai selama 10 tahun, tentunya sangat sulit untuk dilupakan begitu saja.
“Lo buat gue gila, Abaya!”
Dering ponsel, memecahkan pikirannya yang tadi terpusat pada Abaya. Randa, nama itu tertera di ponselnya. Dengan malas, Sean mengangkat telepon.
“Gue sama yang lain mau ke kafe depan sekolah nanti malam. Mau ikut, gak?” tawar Randa.
“Jam berapa?” tanya Sean.
“Abis Isya,” jawab Randa.
Sean menolaknya. Malam ini, ia harus menjemput kakak perempuannya yang baru saja pulang liburan dari Lombok. Jika ia tidak menjemput, maka sudah dipastikan ia kena marah oleh mamanya.
Keluarga mereka memang banyak yang tinggal di Lombok, mungkin bisa dibilang asli orang Lombok. Menurut cerita mamanya, keluarga mereka merantau ke daerah Jawa Barat ini saat umur Sean menginjak tiga tahun. Keluarganya memutuskan pindah karena papanya dialihkan tugas ke daerah ini.
Menghilangkan letih, Sean memutuskan untuk tidur kembali di kamarnya. Untung saja ia sudah mandi pagi, saat Sherina mengajaknya membeli bubur.
Sebelum menuju kamar, Sean mengunci pintu rumah. Mama dan papanya sedang menjenguk salah satu pamannya yang ada di Jakarta, yang katanya sedang sakit parah. Sean sendiri tidak ikut, karena mamanya yang meminta untuk menjaga rumah. Orangtuanya akan pulang malam, di rumah mereka juga tidak ada asisten rumah tangga. Itu sebabnya, Sean diminta tinggal di rumah saja. Lagipula, Sean harus menjemput kakaknya.
Setelah beberapa jam, dan beberapa aktivitas Sean lalui. Kini, ia sedang berada di bandara, yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Ia melihat arloji yang ada di tangannya, pukul 19.24, tetapi tidak ada tanda-tanda kakaknya datang.
Pucuk Dicinta Ulam pun Tiba. Ponselnya tiba- tiba berdering, dan ternyata dari kakak perempuannya yang bernama Khansa. Tanpa basa-basi, Sean langsung mengatakan bahwa ia sedang berada di kafe bandara. Khansa memberi tahu lokasinya, dan Sean langsung beranjak ke tempat yang dikatakan sang kakak.
Ia menemukan Khansa yang sedang melambaikan tangan. Tak seperti yang lainnya, yang memeluk seseorang saat baru tiba kedatangannya. Sean hanya membantu kakaknya membawa koper tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Mama sama Papa sudah pulang?” tanya Khansa.
“Sudah.”
Orangtuanya tadi, tiba-tiba datang sehabis maghrib. Padahal, mereka bilang akan pulang malam. Tetapi, katanya mereka memutuskan untuk pulang lebih cepat karena ingin menyambut putri semata wayangnya yang habis berlibur di Lombok selama sebulan lebih.
“Gimana liburan lo?” tanya Sean
“Menyenangkan. Zelo gak mau lepas sama gue, selalu aja ikutin.”
Zelo adalah anak dari sepupu mereka.
“Oh, iya! Lo juga di suruh nenek liburan ke sana. Jangan di rumah terus,” lanjutnya.
Sean mengangguk. Saat liburan tiba, ia sangat jarang berlibur ke Lombok. Ia malah leibh memilih menghabiskan waktu di rumah. Setiap ditanya, pasti alasannya ingin mengistirahatkan diri. “Bisa diatur,” ucapnya.
“Pinjem hape lo, dong. Hape gue mati.”
“Bua tapa?” tanya Sean.
“Mainan doang,” jawab Khansa.
“Ambil aja.”
Khansa mengambil ponsel milik Sean yang terpasang di Phone Holder yang berada di dashboard mobil. Ia membuka ponsel adiknya itu, menemukan mainan cacing. Ia terkikik geli, tidak menyangka bahwa adiknya juga memainkan permainan yang sangat popular saat ini.
Dua puluh menit bermain, ia merasa bosan karena tidak menang-menang. Ya, ia akui, ia sering bermain permainan itu, tetapi selalu kalah. Bahkan, skornya saja tidak pernah mencapai lima ratus ribu.
Dengan iseng, ia membuka aplikasi-aplikasi di ponsel Sean. Tak ada yang menarik sama sekali baginya. Permainan hanya ada cacing itu, sedangkan aplikasi lainnya hanya berupa social media. Kini, ia beralih membuka galeri. Ada satu folder yang Namanya menarik, Elle. Sepengetahuan Khansa, dalam Bahasa Perancis, arti kata itu adalah Dia untuk Perempuan.
Ia begitu terkejut saat membuka folder itu. Folder yang berisikan foto-foto seorang wanita yang rata-rata diambil secara candid. Khansa bisa melihat, bahwa dari sekian banyaknya foto di folder itu, wanita-wanita itu adalah satu orang yang sama. Dan Khansa akui, wanita yang ada dalam foto-foto itu sangat cantik, wajahnya tegas dengan sorot mata yang mendukung.
Ia menatap Sean. “Sean. Ini ….” Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Ia menunjukkan folder itu kepada Sean.
Sean mengerem mendadak saat kakaknya memperlihatkan sebuah folder yang ada di ponsel miliknya. Untung saja, keadaan jalanan sedang lengang. Jantungnya kini berpacu dengan cepat. Sial! Ia ketahuan kakaknya, jika ia sedang menyukai seseorang. Ia tahu, setelah ini pasti mulut kakaknya akan selalu membahas hal ini. Mengatakan hal yang tidak-tidak kepada mamanya. Karena, selama ini Sean tidak pernah membahas wanita di depan keluarganya, kecuali Sherina.
“Katanya tadi cuma mau mainan! Kok, malah buka yang lain, sih?!” kesal Sean.
“Ya, habisnya lo cuma punya satu permainan aja. Gue bosen, jadi gue buka-buka yang lain dan nemu folder itu. Jadi, dia itu siapa? Apa dia itu–“
Ucapan Khansa terpotong karena Sean memotongnya, “iya! Dia cewek yang gue suka!”
Setelah mengatakan itu, Sean kembali menjalankan mobilnya. Khansa bertepuk tangan seraya berteriak heboh. “Gak nyangka gue. Gue kira selama ini lo gay, karena gak pernah bawa cewek. Boro-boro bawa cewek, ngomongin tentang cewek aja gak pernah,” ucapnya.
“Gila! Gue masih waras, ya!” desis Sean. Ia memang tidak pernah membicarakan tentang wanita di depan keluarga. Ia masih belum siap akan hal itu. Ia sudah memegang prinsip, bahwa ia akan membawa wanita ke rumah saat dirinya sudah siap untuk berkomitmen.
Khansa tertawa terbahak. Syukurlah, apa yang dikhawatirkannya selama ini, tidak benar. Ia senang, karena adiknya sudah beranjak dewasa dan sudah mengenal apa itu cinta.
“Cantik, loh. Apalagi tatapan matanya itu. Gue yakin, banyak cowok yang kepincut, cuma dengan pandang matanya. Jadi, kapan mau kenalin ke keluarga?”
Sean menghela napas. “Gue sama dia gak pacaran. Dia cewek yang gue suka, tapi dia suka sama yang lain,” ungkapnya.
Khansa menghentikan tawanya. Baru saja ia merasa senang karena adiknya dekat dengan seorang wanita. Fakta yang baru saja diucapkan adiknya, membuatnya prihatin. Ia menatap adiknya, lalu menepuknya pundaknya dengan perlahan. “Coba lo cerita ke gue,” pintanya.
Akhirnya, mengalirlah cerita Sean. Mulai dari pertama kali dia bertemu Abaya, saat perasaannya muncul, sampai saat Abaya menyuruhnya menjauh. Sejujurnya, ia merasa canggung menceritakan hal ini kepada kakaknya. Tetapi, ia yakin jika kakaknya ini adalah orang yang tepat untuk tempat bercerita.
“Gue paham perasaan lo karena gue pernah ngerasain hal itu. Kalo lo beneran suka, ya kejar! Kalo lo mau lupain, ya lepas semua hal tentang dia! Tapi, jangan terlalu keras. Jangan nyakitin diri lo sendiri. Masih banyak, kok, cewek di luar sana yang mau sama lo. Jangan cuma terpaku sama satu cewek aja,” pesan Khansa.
“Atau enggak, lo embat aja Sherina dari Abimanyu. Kan lumayan, tuh,” lanjutnya.
Mendengar penuturan kakaknya, membuat Sean reflek memukul mulut kakaknya dengan pelan. Katakanlah saat ini, ia sedang berlaku kurang ajar. “Sembarangan banget ucapan lo!” kesalnya.