“Aria, kamu suka kartun, bukan?”
Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dari bibir kakakku yang memecahkan keheningan di meja makan. Pagi ini hanya ada aku dan kakak. Orangtua tiri kami pamit pergi lebih awal. Akhirnya kami memakan sarapan sendirian. Kakak memakan sarapannya sambil mengompres dahinya dengan es, sehingga dia terlihat sedikit konyol.
“Aku jarang menonton kartun. Bukannya kakak sudah tahu itu?” jawabku sambil memakan sarapan.
“Tapi kamu suka menggambarnya, bukan? Apa mau kakak belikan kaset kartun? Kebetulan kakak mengenal seseorang yang menjualnya dengan harga yang murah.” Ucapnya.
Kakak memang suka begini. Dia melihat aktivitasku dan langsung mengambil asumsi berdasarkannya. Memang aku telah menggambar beberapa kartun, tetapi bukan berarti aku menyukainya. Sama seperti kakak yang menawarkanku klipingnya tentang Leonardo Da Vinci, seniman legendaris. Bukannya tidak senang, tetapi tolong biarkan aku bereksplorasi dulu.
Agar kakak merasa lega, aku hanya meng-iya-kannya saja. Tentu saja ada senyuman tipis yang muncul di wajah kakak. Melihatnya senyum sedikit saja adalah sesuatu yang langka, jadi aku hanya menatapnya, mengukirnya ke dalam ingatanku, dan akan kujaga ingatan terhadap segala sesuatu seperti ini.
Tunggu aku, kakak…
Kakak selalu berusaha keras untuk membuatku bahagia, tetapi aku tidak bisa membalasnya. Yang kulakukan hanyalah mengambil dan mengompres dahi kakak dengan es hampir setiap paginya. Dia selalu membenturkan kepalanya tiap malam. Tidak ada dari kami yang dirumah bisa menghentikannya. Bahkan kami semua sudah terbiasa dengan suara benturan kepalanya terhadap dinding.
Kakak biasanya membenturkan kepalanya ke dinding sebanyak 5 kali dengan cukup keras pada saat tengah malam. Lalu, dia tidur setelah itu.
Aku tidak pernah bisa memahami kakak. Namun, aku percaya bahwa suatu saat, aku pasti bisa memahaminya.
Kemudian, entah mengapa, aku teringat dengan Juno dan perkataannya.
Dunia baru…
Semua orang mendambakan surganya sendiri. Semua orang pasti mengimpikan hal tersebut. Dia berkata bahwa aku bisa membuat “surga”-ku sendiri, dimana aku, kakak, dan orang-orang lainnya yang kucintai bisa hidup bahagia.
Akan tetapi, ada satu hal yang masih kubingungkan.
Kenapa aku harus membuat dunia baru?
Aku mulai tenggelam dalam pikiranku sendiri sembari kakak menghabiskan sarapannya dan melanjutkan persiapannya untuk bersekolah.
“Aria, kenapa kamu melamun?”
Kakak memecah lamunanku, lalu aku langsung cepat menghabiskan sarapanku.
Pikiran demi pikiran memenuhi otakku dengan perlahan hingga terkadang aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan dan kupikirkan. Di saat kami berdua hendak keluar dari rumah, tiba-tiba bibirku bergerak sendiri dan bertanya, “Kakak, kenapa harus ‘Aria’?”
***
Untungnya pertanyaanku itu tidak menyebabkan pertengkaran, sehingga aku bisa sampai di kelas dengan tenang. Kakak dengan santai menjawabnya, “Karena nama itu terdengar bagus di telinga kakak.”. Kuharap itu benar.
Sekolah kami berjarak dekat satu sama lain, sehingga kakak masih sempat untuk mengantarkanku. Dia menggandengku sepanjang jalan hingga sampai di depan sekolah. Seringkali aku langsung melepas gandengannya ketika banyak orang yang menatapku, kemudian aku langsung berlari.
Aku langsung menuju ke kelas dengan penuh semangat. Perhatianku terfokus kepada jalan ke kelas dan seakan-akan disekitarku menjadi gelap. Aku ingin berbicara dengan seseorang yang kaku dan suka mengeluh. Aku ingin berbicara dengan seseorang yang peduli dan memahamiku.
Aku membuka pintu kelas dan perhatianku sudah terfokus kepada satu tempat. Bangku barisan belakang yang letaknya di sebelah kanan bangkuku. Namun, bangku itu kosong.
Apa dia telat? Batinku. Selama ini, kupikir dia adalah tipe orang yang tepat waktu. Setiap saat kudatang jam segini, dia sudah duduk manis di bangkunya.
“Peter…”
Bel sekolah berbunyi, menandakan kelas telah dimulai. Tidak ada tanda-tanda bahwa Peter akan masuk. Aku mulai bisa melihat sekitarku dengan jelas. Anak-anak yang berbicara satu sama lain, bergurau satu sama lain, dan ada yang saling mengejar mengelilingi kelas.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Melihat Peter yang hari ini tidak masuk membuatku tersadar betapa aku membenci sekolah.
Aku hanya duduk diam sembari menunggu guru masuk ke kelas. Aku melihat bangku Peter dan masih berharap dia masuk. Namun, ada suatu hal yang menggangguku, yaitu betapa jeleknya bangku Peter. Bangkunya kusam, kotor, banyak coretan dan torehan, serta sudah tidak kokoh ketika ku goyangkan sedikit. Aku sempat berpikir apakah dia betah duduk di tempat seperti ini.
Beberapa saat kemudian, guru telah datang dan kelas pun dimulai.
***
“Hei, apakah kalian tahu kenapa Peter tidak masuk?”
Waktu istirahat telah tiba. Aku mencoba bertanya tentang ke beberapa anak yang sedang berkumpul di bangku dekatku. Reaksi yang mereka berikan cukup aneh bagiku. Entah mengapa wajah mereka terlihat bingung. Kemudian, salah satu dari mereka menjawab, “Aku tidak tahu…”
Lalu, semua anak ikut merespon dengan jawaban yang sama. Aku memaklumi mereka, karena Peter sama seperti aku–jarang berkomunikasi dengan orang-orang sekelas. Aku mencoba bertanya karena aku khawatir dengan Peter. Aku hanya ingin mengetahui kemana Peter pergi.
Hanya segelintir orang yang kutanyai. Masih ada banyak orang yang belum kutanyai–teman-teman sekelas dan para guru. Waktu istirahat cukup panjang, mungkin jika aku cepat bertindak-
“Aria, kenapa kamu terlihat bingung dan panic?”
Tiba-tiba, ada seseorang yang memanggilku dari samping. Dia memegang pundakku untuk mendapatkan perhatianku. Saat kutoleh, kumelihat seorang gadis berambut hitam pendek dan berkantong mata lebar.
Lalu, dia melanjutkan perkataannya, “Kudengar kamu mencari teman sekelas yang bernama Peter, bukan? Aku memang tidak mengenal semuanya, tetapi jangan khawatir. Jika sesuatu yang buruk terjadi kepadanya, maka pihak sekolah pasti akan mengetahuinya.”
Dia ini…
Cara bicaranya sangat tidak biasa untuk anak kecil. Mungkin teman sekelas yang lain tidak menyadarinya, tetapi aku menyadarinya. Dalam waktu singkat, dia dapat mengetahui situasi yang sedang terjadi dan dapat memikirkan kata-kata untuk menenangkan orang dalam waktu yang cepat.
Ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah dia memanglah jenius dan sudah dewasa terlebih dahulu. Kemungkinan kedua adalah dia sama seperti aku…
Namun, beberapa saat kemudian tubuhku bergetar. Gadis yang dihadapanku sekarang menatapku dengan tatapan yang cukup tajam. Matanya sedang melihatku sangat dalam, untuk memahami dan membacaku.
Aku tidak suka dengan tatapan seperti itu.
“Ah, mungkin kamu tidak kenal denganku,” gadis itu mulai menatapku dengan biasa dan bertindak kasual.
Dia melanjutkan, “Namaku adalah Emma. Kamu Aria, bukan?”
Aku menjawab dengan sedikit sarkasme, “Kebetulan sekali ya kamu mengenalku, yang padahal kamu tidak mengenal semua orang yang ada di kelas ini.”
Mendengar responsku, Emma menggerutu.
“Jawabanmu terlalu dingin.” Balasnya.
Masalahnya, aku benar-benar tidak suka jika ditatap terlalu tajam ke arah mataku. Jika ada orang yang melakukan itu, secara tidak sadar tubuhku bergetar dan muncul perasaan takut dan benci di dalam hatiku terhadap orang itu, yang padahal orang itu mungkin belum berbuat yang aneh-aneh kepadaku. Jadi, jawaban yang dingin seperti itu muncul secara refleks.
“Maaf, aku hanya bergurau.”
“Yep, gurauanmu sangat tidak manis. Aku tahu kamu karena aku tahu. Jangan ragukan pengetahuanku.” Jawabnya.
Sekarang aku sedikit kesal dengan alasan yang berbeda. Aku tidak suka dengan orang yang terlalu memainkan perkataan seperti itu.
Sepertinya aku akan terjebak dengan orang ini untuk sementara waktu.
Author's Note:
Saran dan Kritik sangat dihargai. Jika ada typo boleh juga komentar agar saya perbaiki