“Setiap manusia pasti pernah bermimpi, bukan? Mimpi yang indah, mimpi yang buruk, maupun mimpi yang sangat aneh dan abstrak. Pasti semuanya pernah mengalaminya. Hal yang tergila dari mimpi adalah segala sesuatu bisa terjadi, sesuai kehendak ataupun tidak. Namun, pernahkah kamu terbayang jika kamu benar-benar bisa mengendalikan mimpimu? Orang-orang menyebutnya dengan lucid dream, tetapi aku yakin hal tersebut lebih dari sekedar itu. Mengendalikan mimpi adalah sesuatu yang sangat luar biasa, seakan-akan kamu menjadi Tuhan di duniamu sendiri. Sejak mengalaminya pertama kali, aku sadar akan suatu hal, yaitu setiap manusia adalah Tuhan bagi dunia mereka sendiri.”
***
“Sudah-sudah, cerialah.”
Aku memang selalu murung kapanpun di manapun. Sangat sedikit hal yang membuat wajahku berseri. Namun, kali ini lebih parah dari sebelumnya.
Peter yang duduk di sampingku berusaha untuk membuatku ceria. Pagi hari sebelum jam pertama mulai, aku sudah terlihat murung dan menundukkan kepalaku lebih rendah dari biasanya. Aku meletakkan kepalaku di atas meja dan mengabaikan keramaian kelas.
Entah kenapa, teman-teman sekelasku sedang heboh bermain pesawat kertas. Ada salah satu anak yang membawa kertas sebanyak satu rim dan dibagikan ke semuanya. Mereka bertanding untuk membuat pesawat kertas yang paling mulus terbangnya.
Suasana kelas sekarang seperti berada di tengah pantai dan banyak burung yang terbang di atasku. Masalahnya, dalam kondisi seperti ini, aku hanya ingin berada di kamarku saja.
Peter tentu saja juga menyediakan beberapa kertas di atas mejanya untuk membuat pesawat kertas. Namun, dia tetap duduk di bangku sembari menceriakan diriku.
“Aria, coba terbangkan pesawat ini.” Ucap Peter yang sambil menepuk punggungku. Saat kuangkat kepalaku, dia sudah menyodorkan pesawat kertasnya di depan mataku.
Penasaran, kuambil pesawatnya lalu ku coba lempar ke arah papan tulis. Sayang sekali, pesawatnya tidak memiliki sayap yang simetris sehingga arah terbangnya condong ke kanan.
“Lain kali buat yang benar.” Ucapku yang mengkritiki pesawat kertas buatan Peter. Peter diam dan langsung membuat pesawat kertas selanjutnya.
Namun, tanpa kusadari pesawat yang tadi kulempar terbang ke arah pintu. Tepat sebelum menabrak, pintu tersebut dibuka oleh guru kami. Tentu saja, pesawat tersebut menabrak dahi guru.
“…”
Semuanya yang bermain saat itu langsung mematung. Suasana menjadi hening seketika. Di kelas ini ada aturan tidak tertulis yang wajib dipatuhi oleh semuanya, yaitu jangan pernah melempar sesuatu ke guru kami.
Aura guru kami mengisi seisi kelas dengan aura amarah. Wajah dia langsung menjadi seperti penyihir yang sangat jahat, memikirkan hukuman apa yang pantas untuk kami terima.
Aku menyesal telah melempar pesawat kertas buatan Peter.
***
“Kenapa kamu tidak berbohong, Aria!?” seru peter yang menyalahkanku atas kejadian hari ini.
Sekali lagi, kami berdua dihukum untuk membersihkan kelas ini sepulang sekolah. Kali ini bakal lebih menyusahkan dari kemarin karena kelas ini dipenuhi oleh kertas-kertas yang menyangkut di segala tempat.
Tadi pagi, semua teman sekelasku menjadikan aku kambing hitam. Rupanya beberapa dari mereka melihatku melempar pesawat kertas itu, lalu berdasarkan beberapa saksi, semua teman sekelas setuju menunjuk aku sebagai kambing hitamnya. Namun, karena tidak ingin sendirian, aku menyeret Peter ke pihak bersalah. Pun toh yang membuat pesawat kertas tersebut adalah Peter. Jika Peter tidak pernah membuatnya, mungkin aku tidak akan pernah terkena hukuman seperti ini.
Entah kenapa aku sudah mulai terbiasa dengan ocehan Peter. Dia menyapu ruangan kelas sambil menyanyikan keluhan-keluhannya. Anehnya, suaranya yang berisik itu sudah menjadi lagu bagiku. Setiap hari, aku bangun dan menjalani kehidupanku yang sunyi. Memang benar kalau aku cenderung untuk menghindar dari segalanya dan tetap dalam lingkar zona nyamanku. Namun, kebisingan seperti ini tidak buruk juga.
Tanpa kusadari, aku tersenyum.
Walaupun aku hanya tersenyum sebentar, Peter sempat melihatnya. Kemudian, ocehannya tiba-tiba berhenti.
“Jadi, kenapa?” tanya Peter dengan pertanyaan yang singkat. Walau begitu, aku sudah paham apa yang ingin dia tanyakan. Jujur saja…aku sedikit malu. Alasanku pagi tadi sangat sedih adalah karena sebuah alasan yang sepele dan kekanak-kanakan.
“Kamu masih ingat..tentang gambaranku?” ucapku dengan suara yang pelan karena malu.
“Oh, Shawn?”
“Shawn?” tanyaku yang tidak paham dengan maksudnya.
“Waktu itu kamu menggambar Shawn. Domba yang mengenakan topi itu. Namanya adalah Shawn.” jelasnya.
“Apa dia identik dengan gambaranku?”
“Kamu terbalik. Gambaranmu yang identik dengan Shawn, seakan-akan kamu sudah mengetahuinya yang padahal dia berasal dari kartun yang sangat lama.”
Pipiku sedikit merah karena malu. Dari perkataannya, dia secara tidak langsung menuduhku sebagai plagiaris.
“B-bukan begitu! Hanya saja aku memiliki imajinasi yang sama dengan pembuat kartun itu!” bantahku.
“Kenapa kamu berusaha membantah? Bukannya seharusnya kamu bangga bisa menggambar bagus seperti itu?” tanya Peter yang sedang menaikkan alis mata kirinya dan menautkan alis mata kanannya, yang menunjukkan bahwa dia merasa bingung dan ingin tahu, serta merasa kesal dalam waktu yang bersamaan. Mungkin dia kesal karena melihatku sebagai orang yang tidak bersyukur atas bakat yang kumiliki.
“Hanya saja…aku tidak ingin dituduh sebagai plagiaris…” jawabku.
Mendengarnya, Peter tertegun. Ekspresi wajahnya menggambarkan kalau dia sedang berteriak “HA??” di dalam hatinya.
Peter tidak bisa menjawab ataupun bertanya lagi. Ekspresinya kembali normal setelah beberapa saat dan dia memutuskan untuk menyudahi pembahasan ini. Aku pun hanya mengikuti alur.
Kami berdua melanjutkan kegiatan kami hingga selesai. Kelas bersih dari semua debu dan pesawat kertas.
Kami keluar dari sekolah bersama. Aku dan Peter berjalan berdampingan dan langkah kaki—anehnya—selaras.
Peter adalah orang yang paling misterius yang pernah kutemui. Aku tidak pernah menyadari bahwa dia sekelas dengan aku selama ini. Aku juga tidak pernah mendengar anak-anak lain yang memanggilnya untuk bermain. Aku tidak tahu apa-apa tentangnya.
Namun, setelah berbicara satu sama lain, aku sedikit paham tentangnya. Dia sebenarnya adalah orang yang tulus dan peduli dengan perasaan orang lain. Jika dia tidak peduli, mungkin dia tidak akan berbicara kepadaku.
Untuk pertama kalinya, aku merasa senang.
Namun, di saat aku merasa mulai mengenali Peter…
“Aria, coba ikut denganku sebentar.”
***
Aku mengikuti Peter yang berjalan ke suatu tempat. Pada awalnya, aku sedikit khawatir karena dia mengajakku ke sebuah tempat yang tidak dia beritahu. Namun, dia berkali-kali meyakinkan aku bahwa dia tidak membawaku ke tempat berbahaya maupun yang sepi. Setelah berjalan beberapa saat, aku yakin dengan perkataannya itu karena dia membawaku ke sebuah tempat yang searah dengan rumahku.
Setelah beberapa saat, kami sampai di sebuah tempat yang tidak asing bagiku. Tempat tersebut adalah taman bermain yang biasa kukunjungi di saat waktu senggang. Hari masih senja, sehingga masih ada anak yang bermain disana.
Di tengah kebingunganku atas tindakan Peter, aku melihat sebuah kunang-kunang yang terbang melewatiku. Tidak lama kemudian, lebih banyak kunang-kunang yang terbang melintasiku. Setelah kulihat lagi, tanpa kusadari taman tersebut dihiasi oleh banyak kunang-kunang. Melihatnya, aku merasa terkagum karena aku tidak pernah melihat taman ini seperti sekarang ini.
Aku yakin bahwa Peter melihat hal ini juga. Akan tetapi, entah kenapa dia terlihat tidak terkesan, melainkan terlihat serius.
Peter menatap mataku dengan pandangan yang serius, lalu bertanya, “Kenapa kamu takut saat kuajak tadi?”
Aku merasa sedikit malu karena meragukan Peter, tetapi aku yakin keraguanku adalah tindakan yang benar. Aku tidak ingin terkena kejadian yang tidak mengenakan karena diajak seseorang tanpa tujuan yang jelas. Dengan percaya diri, aku menjawab, “Tentu saja karena kamu yang tidak memberiku tujuan yang jelas.”
Kemudian, Peter bertanya lagi, “Lalu, kenapa kamu merasa takut dituduh sebagai plagiaris?”
“Itu karena—“
Sebelum selesai menjawab, Peter langsung memotong ucapanku, “Apakah karena kamu takut tidak dihargai sebagai seorang seniman yang kreatif dan original? Apakah kamu takut bahwa hal tersebut dapat menganggu karirmu di masa depan?”
“…Bagaimana kamu bisa tahu?”
Peter mengabaikan pertanyaanku, lalu berkata, “Dan juga, alasan kenapa kamu selalu murung, selalu sedih setiap saat adalah…tidak ada, bukan? Kamu sendiri tidak mengetahui alasannya, bukan?”
Kali ini, aku tertegun. Jantungku sempat berdegup kencang karena mendengar ucapan Peter. Aku terkejut bahwa segala perkataannya barusan itu…benar.
“Bagaimana…kamu bisa tahu…?”
Peter tersenyum, lalu menjawab, “Karena kamu sama denganku.”
Senyuman yang terpampang di wajahnya adalah sebuah senyum karena lega. Entah kenapa, dia merasa lega setelah mengetahui tentang diriku.
“Aria, pemikiranmu itu, bukanlah pikiran seorang anak kecil. Pemikiranmu itu…bukanlah pikiranmu.” Ucap Peter yang membalikkan badannya dan melihat anak-anak yang sedang bermain. Kemudian, dia melanjutkan, “Plagiarisme bukanlah hal yang terlintas di pikiran seorang anak kecil yang sedang menggambar. Ketika diajak oleh seseorang tanpa kejelasan, penculikan atau pemerkosan bukanlah hal yang terlintas di pikiran seorang anak kecil. Aku juga yakin, kamu mengetahui semua hal itu tanpa pernah mendengarnya, bukan?”
Kutukan…
Selama ini, aku menganggap itu sebagai sebuah kutukan. Mendapatkan pengetahuan yang belum pernah kudengar, pola pikirku yang dewasa, dan sumber ketidakbahagiaanku yang tidak diketahui ini…semua itu kuanggap sebagai kutukan.
“Aria, mungkin aku tidak bisa menjelaskan semuanya. Namun, satu hal yang pasti. Aku ini sama denganmu. Itulah salah satu alasan kenapa aku menyembunyikan diriku di kelas. Aku hanya butuh waktu dan ruang lebih untuk memikirkan semua ini.”
Situasi ini bodoh sekali. Dia mengatakan semua ini di taman bermain tanpa alasan. Wajah terkejutku yang mematung dan berusaha memroses semuanya ditertawai beberapa anak kecil karena terlihat konyol. Peter hanya melihat ke arah dimana anak-anak sedang bermain. Akan tetapi, aku salah. Beberapa saat kemudian, aku baru menyadari bahwa Peter tidak melihat ke arah anak-anak tersebut.
“…Apa yang sedang kau lihat, Peter?” tanyaku yang penasaran.
Dia menjawab, “Indah, bukan? Sayang sekali, mereka bukanlah kunang-kunang.”
Aku sekali lagi terkejut, lalu mengamati cahaya-cahaya tersebut yang melintas dekat diriku. Aku mencoba menangkap salah satu cahaya tersebut, tetapi tidak bisa. Cahaya tersebut menembus tanganku dengan mudahnya. Jika cahaya tersebut adalah kunang-kunang, maka cahaya tersebut akan terperangkap di tanganku.
Peter tertawa kecil yang melihatku mencoba menangkap cahaya kecil tersebut. Kemudian, dia menjelaskan, “Mereka hanyalah cahaya, Aria. Mereka bukanlah objek yang bisa kita genggam dengan mudah. Dan juga, hanya kita yang bisa melihat cahaya-cahaya ini.”
“Hanya kita yang bisa melihatnya?”
“Itulah kesamaan diantara kita. Selain memiliki mental dan ingatan yang seharusnya kita punya, kita juga memiliki sebuah kemampuan, yaitu untuk melihat cahaya-cahaya ini. Mereka memancarkan cahaya yang indah, tetapi asal-usul mereka bertolak belakang dengan keindahannya.”
“Jadi, darimanakah mereka berasal?” tanyaku yang makin tertarik dengan ucapannya.
“Kematian.” Jawab Peter singkat.
Mendengar jawabannya, aku terdiam. Kemudian, aku kembali mengamati cahaya-cahaya tersebut. Lalu, kucoba untuk melihat di luar area taman. Baru kusadari, ternyata cahaya-cahaya tersebut tidak hanya berada di dalam taman ini,melainkan juga di sekitarnya. Langit pun juga. Cahaya-cahaya tersebut berada di segala tempat. Mengetahui hal tersebut, tubuhku menjadi lemas seketika.
“Ini semua…adalah jiwa orang-orang yang telah meninggal…”
Ini adalah sisi lain dari dunia yang belum kuketahui hingga sekarang. Jiwa orang-orang yang telah meninggal tidak akan pergi jauh ke surge ataupun neraka. Mereka hanya menetap disini, selamanya.
Dulu, aku pernah bermimpi tentang seseorang. Seseorang tersebut bernama Juno. Dia pernah mengatakan bahwa dia memiliki kemampuan seperti ini. Awalnya aku meremehkannya, tetapi sekarang aku memiliki kemampuan yang sama dengannya. Dan juga, ada satu hal lagi yang dia katakan kepadaku…
Aku sedikit menarik lengan Peter dari belakang, lalu bertanya kepadanya, “Peter, apakah dengan kemampuan ini, aku dapat membuat dunia yang baru?”
***
Di bawah langit biru, aku berbaring membuka tangan dan kakiku lebar sendirian, hanya ditemani oleh suara gelombang yang bergulung. Tidak lama kemudian ada beberapa burung camar yang terbang melewatiku. Kedua suara itu bercampur menjadi lagu yang indah bagiku.
“Panas…”
Entah kenapa, tiba-tiba aku terbangun dalam kondisi seperti ini. Aku juga kesulitan untuk melihat keatas karena hanya ada sedikit awan yang melindungiku dari sinar matahari. Aku bangun dan mencoba mencari tempat teduh. Setelah melihat sekitar, terdapat sebuah rumah kecil yang berjarak dekat. Rumah tersebut terbuat dari kayu dan terlihat seperti vila pribadi milik seseorang. Kemudian, aku memutuskan untuk datang ke rumah tersebut.
Pintu rumah tersebut terbuka lebar. Dengan lancing, aku memasuki rumah itu tanpa mengetuk. Setiap langkah yang kuinjak ke lantai kayu ini membuat suara deritan hingga aku khawatir kalau lantainya bisa hancur sewaktu-waktu.
“Ah, Aria! Akhirnya kamu datang berkunjung lagi!”
Pandanganku yang sedang fokus melihat lantai naik perlahan karena mendengar suara yang tidak asing. Seorang gadis remaja berambut coklat yang mengenakan gaun putih. Benar, dia adalah Juno.
Wajahku yang murung seketika menjadi cerah karena melihat wajahnya lagi.
“Juno!”
Serasa melihat kawan lama, yang padahal kami berdua belum pernah bertemu secara fisik. Walaupun begitu, kami merindukan satu sama lain.
Aku dan Juno duduk di sebuah sofa dan memulai perbincangan panjang kami. Aku dan dia memulainya dengan saling bertanya kabar, lalu menceritakan banyak hal lainnya.
Juno juga bercerita bahwa rumah ini adalah buatannya sendiri. Dia secara eksklusif menamainya dengan sebutan “Juno’s House”. Lucunya, walaupun bangga seperti itu, dia juga mengakui bahwa desain dari rumah ini banyak dia contoh dari desain rumah seseorang.
“Aku benar-benar tidak kreatif!” serunya yang mengejek dirinya sendiri.
Mendengarnya, aku jadi teringat dengan kejadian yang menimpaku. Aku bercerita kepadanya bahwa ketika aku berusaha keras untuk kreatif dalam menggambar, ada satu orang bernama Peter yang mengatakan bahwa gambaranku itu berasal dari kartun yang lama. Kemudian, saat percobaan keduaku, ayah tiriku juga berkomentar bahwa gambaranku itu berasal dari kartun yang lama.
Ceritalah aku kepada Juno, tetapi setelah kuceritakan, Juno tertawa terbahak-bahak.
Reaksinya itu tidak membuatku senang sama sekali. Ketika dia bercerita bahwa karyanya tidak orisinal, aku tidak menertawainya sekeras itu. Tentu saja aku cemberut.
“Jangan salah paham, Aria! Aku tertawa karena kartun-kartun yang kamu gambar adalah kartun favoritku! Aku tertawa karena tidak menyangka bahwa masih ada orang yang mengetahuinya. Yah, mungkin karena kartun-kartun itu belum terlalu tua juga umurnya.” Jelasnya sambil menghapus air mata yang keluar karena tawaannya yang keras.
Kemudian, Juno melanjutkan pembicaraan ini dengan menceritakan kartun favoritnya itu. Dia juga merekomendasikan beberapa kartun yang bagus menurutnya. Walaupun tidak terlalu tertarik, aku hanya menyimaknya saja dan mengingat beberapa judul yang mungkin aku tonton suatu saat.
Lalu, entah darimana, Juno bertanya kepadaku, “Jadi, kamu sekarang dekat dengan laki-laki bernama Peter ini?”
“H-ha!?” aku menjadi gagap mendengarnya. Memang, aku ada sedikit ketertarikan kepada Peter, tetapi aku tidak berani menganggapnya lebih dari itu.
“Wajahnya lumayan dan dia sepertinya peduli kepadamu. Bukankah itu bagus?” lanjutnya sambil tersenyum menyeringai.
“B-bagaimana kamu bisa tahu!?”
“Aku ini di dalam dirimu, bego. Tentu saja aku tahu.”
Mendengar perkataannya itu, aku menjadi teringat kembali bahwa sebenarnya Juno itu tidak memiliki bentuk fisik dan aku ini berada di dunia mimpi. Keasikan yang kudapatkan dari perbincangan kami berdua membuatku lupa bahwa ini bukanlah di dunia nyata.
Namun, aku menjadi bingung akan sesuatu. Dia dulu pernah bilang bahwa semua tempat ini adalah mimpiku, tetapi dia barusan juga bercerita bahwa dia membangun rumah ini sendirian. Kedua pernyataan itu berkontradiksi.
Aku bertanya kepada Juno, dan dia paham atas kebingunganku ini. Dia menjelaskan bahwa kemampuan yang kami berdua miliki itu bisa melakukan hal yang lebih dari melihat jiwa yang mati saja.
“Kemampuan ini juga bisa memanipulasi jiwa-jiwa yang berada di sekitar kita. Termasuk aku yang menggerakan jiwaku untuk memasuki tubuhmu. Mimpi sebenarnya adalah bagian dari jiwa, oleh karena itulah aku dapat membangun rumah ini di dalam mimpimu.” jelasnya.
Tentu saja aku tidak bisa menerima perkataannya begitu saja. Semua hal mistis ini terjadi padaku dalam waktu yang sangat singkat. Aku baru saja hanya bisa melihat jiwa yang mati dan aku bergetar setengah mati, dan sekarang aku diberitahu bahwa kemampuan yang aku miliki ini juga bisa memanipulasi jiwa yang lain.
“ ‘Mimpi sebenarnya adalah bagian dari jiwa’…apa maksudnya itu?” tanyaku.
“Itu adalah fakta. Mungkin sekarang kamu tidak bisa melogikannya. Namun, jika kamu sudah terbiasa dengan kemampuan ini, mungkin kamu akan paham.” Jawabnya.
Hal ini mengingatkanku pada pertemuan kami pada saat pertama kali. Sebelum berpisah, dia mengatakan bahwa aku bisa membuat duniaku sendiri. “Kamu bisa membuat dunia impianmu ini menjadi nyata” begitulah katanya. Apakah ini maksudnya?
Pantai ini adalah “surga”-ku. Tempat ini hanyalah mimpiku. Jika kemampuan ini hanya bisa membuatku menciptakan segala sesuatu di dalam mimpiku saja, maka apa bedanya? Suatu saat, pasti aku akan terbangun.
“Aria, buatlah dunia baru untuk dirimu sendiri,” ucap Juno. Saat kulihat wajahnya, dia sudah tidak tersenyum lagi. Raut wajahnya serius.
Lalu, dia melanjutkan, “Buatlah duniamu sendiri dan ajaklah orang-orang yang kamu sayangi. Kakakmu, Peter, atau bahkan aku dan mungkin orang lain yang belum kamu temui.”
“…Kenapa?”
Hanya satu kata yang muncul dari mulutku, dan itu adalah sebuah pertanyaan. Dari pertama kali bertemu dengannya, dia menyuruhku untuk menciptakan surgaku sendiri. Tentu saja aku menginginkan surgaku sendiri. Semua orang menginginkan surganya sendiri. Namun, aku masih tidak paham.
Selama 7 tahun ini, aku hampir tidak pernah merasa hangat. Aku tidak pernah merasa bahagia. Akan tetapi, aku tidak tahu kenapa. Kesedihan yang memenuhi hatiku ini bukanlah disebabkan karena aku yang selalu sendiri, melainkan kesedihanlah yang membuatku menjadi sendiri.
Namun, aku bertemu dengan Peter dan Juno. Hal itu sudah cukup membuatku bahagia walaupun tidak besar jumlahnya. Aku dan Juno memiliki banyak kemiripan hingga kami cocok satu sama lain. Peter yang peduli kepadaku juga cukup membuatku senang. Aku sudah mendapatkan hal yang kuinginkan. Aku juga belum bisa membahagiakan kakak dan aku percaya bahwa aku bisa melakukannya. Lalu…kenapa aku harus membuat dunia baru?
“Pecayalah, Aria. Dunia ini sangat kejam. Dia bisa menghancurkan semua harapan dan mimpimu hingga berkeping-keping dan menginjak-injaknya. Aku sudah tahu kebenaran dibalik dunia ini dan hal itu membuatku sadar bahwa dunia ini jauh lebih kejam dari yang orang-orang kira. Aku tidak ingin kamu mengalami hal yang sama. Oleh karena itu, Abaikan dunia tempat tinggalmu. Larilah. Terbanglah menuju dunia mimpi yang jauh.” ucapnya.
“Apakah…dengan begitu…aku dan orang-orang yang kusayangi bisa bahagia selamanya…?”
Juno melihatku sambil tersenyum, lalu berkata, “Setiap manusia adalah Tuhan bagi dunia mereka sendiri. Jika kamu menghendakinya…maka terjadilah.”