Kemarin, aku menggambar sesuatu saat di kelas karena bosan. Dengan membiarkan tanganku bergerak sesuai dengan pikiran liarku, gambar yang kuhasilkan adalah sebuah domba yang mengenakan sebuah topi. Namun, teman sekelasku yang bernama Peter mengatakan bahwa hasil karyaku itu sama dengan tokoh kartun dari 20 tahun yang lalu.
Aku…malu.
Melihatku menggambar, Peter langsung menyarankanku untuk menjadi seorang seniman. Jujur saja, aku sedang mempertimbangkan hal itu. Namun,di saat aku membiarkan pikiranku liar untuk menggambar, hasil yang kudapatkan adalah sebuah karya yang mirip dengan orang lain.
Apakah aku.. tidak kreatif? Pertanyaan itu telah menghantuiku semalaman hingga tidurku tidak nyaman. Oleh karena itu, aku telah bertekad.
Hari sudah pagi, tetapi seakan-akan aku masih terjebak di masa lampau. Setelah bangun, aku langsung duduk di meja belajarku dan mengambil sebatang pensil dan secarik kertas.
“Aku akan menggambar sesuatu yang orisinil.” Ucapku lirih.
Aku memegang erat pensilku, menaikkan tanganku dengan tinggi di atas kertas dan mengarahkan pensilku tegak lurus di atas kertas. Skenario ini seperti sebongkah batu meteor yang akan menabrak dataran bumi, tetapi aku akan menghantam secarik kertas ini dengan ledakan imajinasiku. Aku akan menorehkan sejarah di secarik kertas ini!!
“…Aria? Kamu sedang apa?”
“AH!!”
Kakakku yang tiba-tiba memanggil dari belakang benar-benar membuatku kaget. Posisiku langsung menjadi tegap, kedua tanganku terangkat dan pensilku terlempar.
“Lain kali ketuk dulu!” teriakku kepada kakak.
“Walaupun kuketuk kamu pasti akan kaget juga. Sudahlah, waktunya sarapan.” Ucap kakakku dengan suara yang lemas. Terlihat sekali kalau dia baru bangun tidur.
“Kakak, lihat gambarku!”
Kebetulan, aku sudah menyelesaikan sketsa gambar dalam waktu yang singkat. Kali ini, aku benar-benar membiarkan pikiranku terbang untuk menggapai imajinasi yang tidak pernah manusia lain pikirkan.
Setelah kakakku melihatnya, dia terdiam sesaat lalu berkomentar dengan nada yang datar, “Untuk seumuranmu, gambar ini bisa dibilang bagus. Terus latihan, kelak kamu akan menjadi Leonardo da Vinci selanjutnya.”
“Leonardo…da Vinci?”
“Pelukis legendaris. Aku punya kliping biografi singkat tentangnya. Kalau mau, kamu bisa meminjamnya.”
Mendengarnya, aku sangat senang, tetapi masih belum bisa tersenyum lebar. Alasannya adalah aku belum tahu bahwa gambaranku ini sudah benar-benar orisinil atau tidak. Walaupun teknik menggambarku sangat bagus, tetapi percuma saja jika terlalu mirip dengan karya lainnya.
Oh iya!
Aku baru ingat kalau aku punya gambaran domba yang belum dilihat kakak. Walaupun tidak orisinil, setidaknya aku ingin dipuji oleh kakak.
Dengan gegabah, aku membuka tasku dan mengeluarkan semua isinya.
“…Eh?” ucapku lirih karena sedikit terkejut. Gambar dombaku tidak ada. Setelah kucari ulang, tidak kutemukan sama sekali.
“Ada apa, Aria?” Tanya kakak.
“Umm…tidak apa-apa.” Jawabku.
Setelah itu, kami berdua keluar dari kamar menuju meja makan. Namun, aku masih berpikir kemana kertas itu pergi.
***
Setiap hari selalu seperti ini. Terkadang aku bingung dengan sifatku yang selalu murung ini. Apakah aku sudah seperti ini sejak lahir, atau dari kebiasaan, kah?
Di dalam ruangan yang hanya sedikit dimasuki sinar matahari ini, kami bertiga—aku, ayah tiriku, dan kakak—duduk di sebuah meja yang terdapat beberapa masakan di atasnya. Namun, dari beberapa menu yang disediakan, aku hanya memilih telur mata sapi. Dari kami berempat, aku lah yang memiliki nafsu makan yang paling kecil.
Yang belum berada di meja makan hanyalah ibu tiriku. Dia sedang sibuk membersihkan perabotan rumah yang sudah tidak dibersihkan selama satu minggu. Kedua orangtuaku adalah pekerja kantoran, sehingga mereka hanya punya waktu di rumah saat libur.
Beberapa menit kemudian, ibu telah selesai dan menyusul kami di meja makan. Lalu, setelah mengucapkan rasa syukur, kami berempat menyantap makanan yang berada di atas meja.
Tidak ada suara lain yang terdengar selain suara sendok yang beradu dengan piring. Kami berempat jarang berinteraksi di saat seperti ini. Yang selalu memecahkan keheningan ini adalah ibu, tetapi biasanya diikuti dengan pertengkaran tanpa alasan yang jelas. Tidak ada aura positif di saat seperti ini.
Beberapa saat kemudian, laju makan ibu mulai melambat dan melirik ke aku dan kakak. Itu adalah ciri-ciri utama ketika ibu hendak beraksi memecahkan keheningan canggung ini.
Ibu memilihku untuk diajak bicara terlebih dahulu. Dia menatapku sambil tersenyum. Setelah menelan makanan yang dikunyahnya, ibu berkata, “Bagaimana dengan sekolahmu, Juno?”
“Jangan pernah panggil adikku dengan nama itu!!!”
Seketika, kakak membanting meja dan membentak ibu atas perkataannya. Mukanya menjadi merah karena dipenuhi amarah dan ibu sempat bergetar karenanya. Inilah yang kumaksud dengan pertengkaran yang menyusul setelah ibu berusaha memecahkan keheningan di antara kami.
Ayah yang sudah terbiasa, menepuk punggung ibu yang seolah-olah membisikkan “Sudah, biarkan saja.”
Namun, sepertinya ibu juga mulai habis kesabarannya. Tubuhnya yang gemetaran itu mencoba untuk melawan amarah kakakku yang menyelimuti ruangan ini. Ibu dengan sekuat tenaga untuk berbicara dengan jelas, berkata, “Ke-kenapa kamu selalu marah seperti ini!? Ibu kandungmu menamai adikmu dengan ‘Juno’! Sudah seharusnya dia dipanggil Juno!”
Benar. Nama pemberian dari ibu kandungku adalah “Juno”. Namun, aku sendiri tidak menganggap itu sebagai namaku. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku tahu bahwa kakak sangat benci dengan ibu kandung kami, tetapi aku tidak mengetahui alasannya. Apapun itu, ibu tiri kami tidak menyukai perilaku kakakku yang sekarang ini. Kakak menemani ibu sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya, yaitu setelah melahirkanku. Kakak memberitahuku bahwa perkataan terakhirnya adalah, “Juno”.
Entah kenapa, ibu sering mengucapkan dan menuliskan nama itu di buku hariannya. Di halaman terakhir, dia secara eksplisit menuliskan, “Beberapa hari dari sekarang, aku akan melahirkan sebuah jiwa yang baru dan suci. Jiwa itu bernama Juno”. Semua orang yang membacanya yakin bahwa “Juno” adalah nama pemberian ibuku kepadaku. Namun, sebelum semua orang membaca buku harian ibuku, kakakku berbohong kepada semua orang waktu itu. Kakak berkata bahwa ibu ingin menamaiku dengan nama “Aria”.
Jadi, Aria adalah nama pemberian dari kakakku sendiri. Kebencian kakakku hingga membuatnya membuang pemberian namaku yang berasal dari ibu kandungku sendiri. Akan tetapi, aku masih belum paham. Jika kakak benar-benar membenci ibu kita, lalu kenapa dia menemaninya hingga hembusan nafas terakhir? Aku sampai sekarang belum menemukan jawabannya.
Setelah kami diadopsi, semuanya telah terungkap, dan ibuku mulai membiasakan diri untuk memanggilku dengan nama “Juno” di dalam rumah, tetapi kakakku adalah barisan terdepan penentangnya.
Di saat kakak bersiap untuk membentak ibu lagi, ayah mulai buka mulut.
“Nolan, dia ibumu. Jangan naikkan nada bicaramu.” Ucap ayah dengan nada yang tenang tapi tegas. Kakakku yang mendengarnya, emosinya langsung reda dan mukanya yang merah perlahan normal lagi. Namun, tanpa menghabiskan sarapannya, dia langsung pergi ke kamar.
Aku hanya diam saja tanpa berkomentar. Dengan cepat kuhabiskan makanan yang ada di piringku, dan segera menuju kamarku.
“Apa kamu akan menggambar lagi, Juno?” panggil ayah di saat aku beranjak dari kursi.
“Bagaimana ayah bisa tahu?” tanyaku.
“Aku adalah ayahmu. Tentu saja aku tahu. Apa ayah boleh lihat?”
Ini adalah kesempatan batinku. Ini adalah kesempatan emas untuk mengetahui gambaranku ini orisinil atau tidak.
Dengan cepat, aku menuju ke kamarku dan mengambil gambaranku. Kemudian, kuberikan ke ayah untuk diberi komentar.
Ayahku terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Ini sangat nostalgik.” Katanya.
“Nostalgik?”
Kemudian, ayah melanjutkan, “Gambaranmu ini sangat persis dengan kartun yang ayah tonton saat 5 tahun. Kodok yang mengendarai sepeda beroda satu, mengenakan kalung emas dan topi kabaret merah. Ini adalah kartun favorit ayah sejak kecil!”
Ibuku yang mendengar komentar ayah, tertarik dan juga melihat gambaranku. Lalu, ibuku membalas, “Apa kamu suka menonton kartun ini? Dan sejak kapan kamu suka menonton kartun? Tapi, gambaranmu ini benar-benar bagus! Tidak kusangka kamu punya bakat menggambar seperti ini!”
Pujian demi pujian dilontarkan oleh mereka berdua. Namun, aku tidak merasa senang sama sekali. Ayah sekarang menginjak usia 36 tahun. Yang berarti…gambaranku berasal dari kartun 31 tahun yang lalu. Hal seperti ini telah terjadi dua kali.
Apa maksudnya ini?