Sejak saat itu, aku belum pernah bertemu dengan Juno lagi. Walaupun sebelum tidur aku sudah berdoa kepada Tuhan yang mungkin ada atau tidak ada, aku masih belum bertemu dengan Juno. Hal pertama yang ingin kusampaikan kepadanya adalah betapa bodohnya sarannya itu. Coklat tidak bisa membuat seseorang bahagia, khususnya aku. Rasanya juga tidak manis seperti gula. Ada sedikit rasa pahit yang membuatku sangat jengkel. Hal kedua yang ingin kulakukan adalah…hanya bercakap-cakap dengannya.
Aku mungkin adalah orang yang selalu menghindari teman sekelasku, tetapi aku juga membutuhkan teman bicara. Satu-satunya teman bicaraku hanyalah Juno. Memori perbincangan kami berdua di sebuah pulau kecil tidak bisa hilang dari otakku. Waktu itu benar-benar berkesan bagiku. Pulau itu…adalah realisasi dari dunia impianku.
Setelah mengetahui bahwa tempat itu ada, aku selalu ingin kembali kesana. Namun, aku terjebak di sebuah penjara bernama “sekolah”. Tempat ini adalah epitomi dari ketidakbebasan. Berjam-jam aku harus mendengarkan orang dewasa di depan yang berbicara layaknya orang bodoh. Walaupun aku sudah memilih tempat duduk di ujung belakang kelas, aku masih tidak bisa mengalihkan perhatianku terhadap guruku. Kuakui, dia benar-benar pandai dalam menangkap perhatian muridnya.
“Aria, apakah kamu mengerti?” tanya guruku yang memastikan semua muridnya paham.
Aku tidak menjawab lalu mengalihkan pandanganku. Guruku hanya melihatku dengan tatapan yang sedikit tajam, kemudian melanjutkan kelasnya.
***
“Aria, apakah kamu bertengkar dengan orangtuamu?”
Tentu saja, setelah memberikan reaksi seperti itu di kelas, aku dipanggil ke ruang guru olehnya. Awalnya, kukira aku akan dimarahi, ternyata tidak. Guruku malah menanyaiku tentang berbagai hal. Bagiamana kesehatanku, bagaimana keadaaan kakakku, dan barusan dia menanyakan apakah aku bertengkar dengan orangtuaku.
“Tidak…” jawabku singkat.
Dia hanya terdiam, memikirkan apa yang salah denganku. Beliau menghembuskan nafasnya, lalu berkata, “Jika ada apa-apa, ceritalah saja. Kalau perlu, aku bisa menemui kedua orangtuamu.”
Aku sedikit terkejut mendengar itu, lantas aku bertanya, “…Kenapa?”
Sekali lagi, guruku terdiam sejenak. Beliau menatapku dengan tatapan yang tajam, seakan-akan dia ingin melihat apa yang dibalik mataku ini, apa isi dari pikiranku.
Aku…tidak suka tatapan itu. Entah mengapa, tatapan seperti itu mengingatkanku tentang berbagai hal yang buruk, walaupun aku tidak ingat pernah mengalami hal semacam itu.
Tanpa kusadari, tubuhku bergetar. Guruku yang melihatku seperti ini langsung merasa bersalah. Namun, aku tidak ingin dirinya merasa bersalah, oleh karena itu aku berpura-pura sedang tidak tahan menahan kandung kemihku yang sedang penuh.
“Ehmm…apa aku boleh ke toilet?” ucapku dengan suara yang bergetar.
Guruku mengijinkan aku untuk pergi ke toilet. Aku pun langsung keluar dari ruangan itu sambil berlari. Namun, aku sangat bersyukur dapat keluar dari situasi itu.
Aku sangat benci dan takut dengan situasi seperti itu.
***
“Huh…”
Aku menghela nafas panjang karena lega bisa kembali ke dalam kelas. Kali ini, guru yang sama masuk ke dalam kelas dan bersiap untuk mengajar lagi.
Beliau melanjutkan penjelasannya dengan metode yang sama seperti biasanya. Oleh karena itu, aku juga berusaha keras untuk tidak memerhatikannya. Aku berusaha agar mata kami tidak bertemu satu sama lain. Solusi yang aku gunakan adalah menggambar di secarik kertas sambil mendengarkan penjelasannya.
Apa yang kugambar? Aku sama sekali tidak tahu. Yang kulakukan hanyalah menggambar apa yang ada di pikiranku sekarang. Entah mengapa aku menggambar seekor domba yang sedang mengenakan topi di kepalanya. Aku sedikit tertawa, lalu melanjutkan untuk menambah beberapa detail.
Beberapa saat kemudian, guruku melontarkan sebuah pertanyaan dan mempersilahkan seorang murid untuk mengangkat tangannya dan menjawabnya. Tentu saja aku tidak tertarik dengan hal seperti itu dan melanjutkan aktivitasku.
Namun, hal yang tidak terduga terjadi. Teman sekelas yang duduk di samping kananku menarik tanganku dan mengangkatnya ke atas.
“Aria bisa menjawabnya!” serunya
“O-Oi! Lepaskan!” bentakku sembari menarik tanganku dari genggamannya.
Tentu saja perhatian guru kami tertuju pada kami berdua. Akan tetapi, beliau paham dengan situasinya dan merespon dengan sedikit tersenyum, “Oh, Peter? Apakah kamu tahu jawabannya?”
“Eh…Eh!?” tentu saja anak yang menjahiliku sangat terkejut ketika ditanyai jawabannya.
Oh, jadi namanya adalah Peter..Rasakan itu!! Batinku
Walaupun tadi beliau memberiku kesan yang tidak enak, tetapi sekarang aku berpihak pada guruku. Aku sangat berterima kasih kepadanya karena telah menghancurkan Peter.
Tentu saja, Peter tidak tahu jawabannya dan berhasil mempermalukan dirinya sendiri di hadapan orang lain.
***
“Kenapa kamu tidak menjawabnya, Aria!?” seru Peter yang menyalahkanku karena tidak menjawab pertanyaan guru.
Kami berdua dihukum untuk membersihkan kelas sepulang sekolah karena telah membuat gaduh di tengah pelajaran. Dari muka guruku tadi, sudah kelihatan jelas bahwa beliau menghukum kami berdua atas dasar kejahilan semata. Aku ingin menarik kata-kataku yang mengatakan bahwa aku berpihak kepada beliau.
Cih…dasar ular…
Aku berusaha untuk menyapu kelas secepat mungkin agar bisa cepat pulang. Namun, konsentrasiku terganggu setiap saat karena ocehan Peter yang tidak bisa berhenti mengeluh dan menyalahkanku.
Jujur saja, aku baru menyadari keberadaannya di kelas hari ini. Aku tidak pernah melihat, mendengar, atau bahkan merasakan hawa keberadaannya di kelas. Kalau memang dia semenjengkelkan ini, sudah pasti aku cepat menyadarinya.
“Omong-omong, gambaranmu tadi cukup konyol.” Peter tiba-tiba menghentikan keluhannya dan malah mengganti topik tentang gambaranku tadi.
“Heh!?” aku terkejut karena kukira gambaranku tadi sudah cukup bagus. Memang aku jarang menggambar, tapi menurutku untuk first-try, gambaran seperti itu sudah cukup bagus.
“Jika kamu senang menggambar, maka jadilah seniman.” Ucap Peter.
Sebuah perkataan yang tidak diduga keluar dari mulut Peter. Dia tiba-tiba memberikan saran untuk karir masa depanku yang padahal dia barusan mengejek gambaranku. Cara berpikirnya benar-benar acak sekali.
“Apa maksudmu? Cepat selesaikan tugasmu agar kita bisa cepat pulang.” Jawabku dengan tegas.
Suasana menjadi hening sesaat, yang terdengar hanyalah suara sapuan dari sapu kami yang berusaha menyingkirkan kotoran di lantai. Aku melihat dirinya sesaat dan dia sudah kelihatan sedikit tenang.
Tiba-tiba, Peter berkata, “Kalau kamu menjadi seniman, kamu bisa menggambar seumur hidupmu. Kamu gemar menggambar, bukan? Dengan begitu, kamu bisa bahagia.”
Aku paham dengan maksud perkataannya, tetapi dia mengambil asumsi terlalu awal bahwa aku sangat suka dengan menggambar.
Lalu, kujawab, “Aku tidak suka menggambar, apalagi kalau aku harus melakukan itu seumur hidup. Lebih baik jika aku melakukan hal lainnya yang lebih menarik.”
Dengan spontan, Peter bertanya, “Lantas, apa itu? Apa kegiatan yang bisa membuatmu bahagia?”
“Tidak tahu…aku belum menemukannya.”
Percakapan di antara kami berdua menjadi sedikit canggung. Seakan-akan Peter tertarik sekali untuk membuatku bahagia. Aku tidak tahu maksudnya.
“Kalau kamu sudah menemukannya, cepat lakukan. Aku tidak tahan melihat anak yang selalu murung di dalam kelas.” Ucapnya.
Mendengarnya, aku terkejut. Saking terkejutnya, aku menghentikan kegiatan menyapu dan mataku terbelalak. Peter yang melihatku terpatung bertanya, “Ada apa?”
Aku tidak bisa menahan senyumanku. Tiba-tiba, dadaku sedikit merasa hangat setelah mendengar perkataannya itu. Kemudian, aku menjawabnya, “Tidak apa-apa. Tenang saja, aku pasti menemukan sesuatu yang bisa membahagiakanku.”
“Bagus.” Jawabnya singkat.
Jadi begitu…
Dia menjahiliku saat kelas karena dia ingin melihatku heboh. Dia ingin mengeluarkanku dari sangkarku ini dengan alasan jengkel melihatku yang selalu sedih.
Mungkin…dia bisa menjadi temanku.
Setelah itu, kami berdua melanjutkan kegiatan kami untuk membersihkan kelas hingga selesai. Kami menutup pintu kelas dan berjalan keluar menuju gerbang sekolah.
Aku benar-benar tertarik dengan anak yang bernama Peter ini. Walaupun singkat, tetapi perbincangan di antara kami berdua tidak membuatku tidak nyaman. Mungkin aku bisa banyak bercerita kepada Peter.
“Apakah kamu suka menonton kartun, Aria?” Tanya Peter selagi kita berjalan berdampingan.
“Hanya beberapa… Kenapa?”
“Hmm… Jadi, orangtuaku suka mengoleksi kartun-kartun pada masa kecilnya dan aku sangat suka menontonnya. Domba yang kamu gambar tadi itu adalah salah satu dari kartun yang dikoleksi oleh orangtuaku. Kira-kira…umm…sekitar 20 tahun yang lalu sejak kartun itu pertama rilis. Menurutku sih, tidak terlalu lucu juga. Masih ada lebih banyak kartun yang lebih lucu dari kartun itu.” Ujarnya.
“…20 tahun?”