Suatu hari, saya pernah kena tilang gara-gara menerobos lampu merah. Biasalah, detik-detik terakhir lampu hijau yang amat tanggung kalau tidak terus tancap gas. Saya sebenarnya agak heran, sebelumnya tidak pernah ada razia di persimpangan itu, meskipun di sana ada pos polisi kecil. Apalagi posisinya masih dekat dengan perkampungan. Adalah pemandangan biasa petani naik motor tua tanpa helm dengan buntalan rumput di jok belakang, lewat persimpangan untuk menyeberang ke desa sebelah. Biasanya, pelanggaran dibiarkan saja meskipun ada polisi yang lagi nongkrong di pos. Paling-paling, sesekali adanya razia STNK ‘mati’.
Tapi, yah, karena saya memang bersalah, terpaksalah menepi dulu. Pak Polisi mengajak saya duduk di kursi teras pos, lalu mulai menjelaskan. Apa pelanggaran saya, mau pilih ikut sidang atau langsung bayar denda. Kebetulan saya tidak bisa ikut sidang pada waktu yang ditetapkan, jadi saya pilih langsung bayar denda. Pak Polisi menjelaskan bahwa denda seratus ribu bisa dibayar lewat bank, kemudian SIM dan STNK bisa diambil di Kantor Kejaksaan.
“Atau bisa kami bantu juga. Jadi bayar di sini langsung, nanti SIM dan STNK langsung dikembalikan.”
Saya memang terlalu polos dan sama sekali tidak berpengalaman soal tilang-menilang, karena waktu itulah pertama kalinya. Tapi intuisi saya masih cukup berfungsi untuk mendeteksi adanya udang di balik batu. Hmm, apa ini yang namanya pungli? Karena tidak yakin, saya kukuh menolak dengan alasan tidak ada uang tunai sejumlah itu untuk bisa bayar langsung di tempat.
Padahal, sebelum kena tilang, saya baru saja mampir ke ATM untuk ambil uang tunai – lebih dari segitu.
Pak Polisi lalu pamit sebentar ke dalam untuk mengurus administrasi tilang saya. Saya tetap menunggu di teras. Satu menit. Dua menit. Saya masih merutuki keapesan saya yang kena tilang saat lagi buru-buru begini. Apalagi duit seratus ribu bakal melayang percuma. Saya menyalahkan para polisi yang tumben-tumbenan mengadakan razia begini.
Lima menit. Sepuluh menit. Pak Polisi tidak kunjung keluar. Mungkin karena ramai, beliau jadi lupa dengan saya. Oh ya, yang kena tilang bukan cuma saya. Ada sekitar dua-tiga pengendara lainnya.
Saya gelisah karena saya sudah terlambat sekali. Akhirnya, saya coba mendekat ke pintu pos.
“Pak, jadinya gimana ya?”
“Oh iya, sini masuk dulu Mbak,”
Saya masuk ke dalam pos. Tapi, beliau malah menggiring saya semakin ke dalam, menuju ruangan yang lebih sepi.
“Begini Mbak. Kalau lima puluh ribu, Mbak ada nggak sekarang?”
“Oh, kalau segitu saya ada Pak,”
“Ya sudah. Bayarnya lima puluh ribu langsung di sini saja, nanti SIM sama STNK langsung dikembalikan,”
“Oh, iya Pak,” saya menurut. “Kok turun harganya Pak?” entah kesambet apa, mulut saya iseng bertanya begitu. Tapi beliau tidak dengar; entah karena sudah keburu jalan ke depan, suara saya terlalu pelan, atau memang pura-pura budek.
Kemudian saya ke meja Pak Polisi Lain yang sedang tulis-menulis surat tilang. Dikonfirmasi lagi nominal dendanya lima puluh ribu. Begitu buka dompet, ternyata hanya ada pecahan seratus ribuan yang tadi baru ditarik di ATM. Tidak ada pecahan kecil.
Terpaksa deh, saya bayar denda lima puluh ribu dengan uang seratus ribu. Untung Pak Polisi tetap kasih kembali lima puluh ribu tanpa ‘babibu’.