“Dari mana kamu? Mama nggak lihat kamu keluar pagi ini?” selidik Mama Karina saat mendapati Frans berjalan masuk dari arah gerbang.
“Oh ... itu, ada kok, Frans tadi subuh-subuh jogging.”
Mama Karina mengernyit bingung, ditatapnya Frans mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Kamu jogging? Jangan becanda kamu! Semalam aja kamu mabuk berat.”
“Bener kok.”
“Lo jogging pake kemeja kerja, Bang? Nggak panas?” celetuk Tama sembari mencium pipi Mama Karina. “Pagi ini Tama berangkat bareng Papa. Soalnya mobil Tama masih di bengkel.”
Mama Karina mengangguk singkat. “Eh, mau kemana, Frans? Kamu belum jawab pertanyaan Mama!”
“Mandi, gerah abis jogging!”
Tama dan Mama Karina saling pandang mendengar jawaban Frans. Sesaat kemudian mereka tergelak.
“Jogging katanya, Dek. Padahal juga dari rumah sebelah,” kekeh Mama Karina sambil memegangi perutnya.
“Aduh, Ma! Biasa aja ketawanya, nggak usah pake nabok Tama segala.”
“Maaf, Dek, abisnya Abang kamu lucu banget. Suka aneh-aneh kalau lagi mabok!”
----------------------
Frans mendengus sebal saat menyadari kebodohannya. Dilihatnya tangga lipat yang semalam digunakan untuk menyeberang ke kamar Farah teronggok di bawah.
“Wine sialan!” dengusnya kesal, lalu masuk ke kamar mandi.
Frans pikir dengan mandi, pikirannya bisa kembali jernih. Nyatanya tidak! Mau tidak mau, sekarang dia harus mengakui bahwa apa yang dikatakan Ken semalam—meskipun tidak terlalu fokus karena mabuk—terus menghantui Frans. Apakah hal itu yang kemudian membuat Frans tanpa sadar pergi ke kamar Farah? Ini tidak bisa dibiarkan!
Setelah berbenah diri, Frans gegas menuju kafe Rembulan, tempat biasanya Satria, Ken, Frans dan yang lainnya bertemu sekedar untuk mengobrol. Tempatnya asyik, nyaman, dengan interior khas Eropa—terutama Perancis—yang membuatmu serasa sedang berada di salah satu kafe di kota Paris.
“Lo tadi bilang apa?” tanya Satria berusaha menyakinkan bahwa pendengarannya tidak salah.
“Gue tidur di kamar Farah,” ulang Frans malas.
“Kok bisa?” kali ini Ken menimpali.
“Dulu gue sering kabur-kaburan lewat rumahnya Farah. Secara kan dia tinggal sendiri sama Mbak Yum. Sampe gue dikasih kuncinya segala, biar makin gampang.”
Ken dan Satria mengangguk paham.
“Trus kenapa lo bisa tiba-tiba di kamarnya dia? Semalem lo mabuk padahal.”
Frans mengangkat kedua bahunya.
“Entahlah, tapi sekarang gue jadi kepikiran omongan lo, Ken.”
Ken mengernyitkan dahinya bingung. “Yang mana?”
“Soal Farah. Soal gue udah bikin sakit hati dia.”
“Emangnya Mas Frans udah ngelakuin apa ke Farah?”
Lagi-lagi Frans mengangkat bahunya. “Nggak tahu juga. Tapi dia suka banget sama gue, dan selalu gue tolak. Apa mungkin itu alesannya?”
“Ehm … bisa jadi.”
“Ok, gue akan minta maaf ke Farah. Masalahnya sekarang, gue nggak tahu dimana dia. Semua orang yang di sini nggak ada yang tahu dimana dia.”
Ken meneguk ludahnya paksa. Bukannya tidak mau memberitahu dimana Farah berada, tapi Mama Karina sudah mewanti-wanti Ken agar tidak memberitahu keberadaan Farah pada Frans. Mama Karina sengaja ingin agar Frans berusaha sendiri.
“Nyokap gue ada kasih info kira-kira dia tahu dimana Farah nggak?”
Ken tidak menjawab, wanita hamil itu masih berkutat dengan pikirannya.
“Ken?” panggil Satria.
“Ya?”
“Ngelamunin apaan?”
“Nggak kok.”
“Tuh ditanya sama Frans. Tante Karina ada ngasih kamu info soal keberadaan Farah nggak?”
Ken menggeleng cepat. “Nggak ada.”
“Sial!”
“Coba tanyain ke temen-temennya, Mas. Lo ada kenal nggak?”
Frans berpikir sejenak. Mengira-ngira, siapa teman terdekat Farah selama dia tinggal di sebelah rumahnya? Sejauh Frans mengingat, Farah tidak memiliki banyak teman—karena sifatnya yang jutek dan cuek, tapi tidak jika sudah bersama Frans dan keluarganya.
“Ada. Seinget gue, Farah punya sahabat namanya Wendi. Tapi gue nggak tahu, dia tahu dimana Farah atau nggak.”
“Dicoba aja dulu. Tapi Mas Frans tahu dimana rumahnya Wendi?”
“Gue pernah sekali jemput Farah dari rumahnya. Semoga aja dia masih tinggal di sana.”
“Ya udah, ayok. Kita langsung kesana aja. Biar cepet kelar masalah ini,” saran Ken.
---------------------------------
Sebelah kaki Frans terus bergerak gelisah. Saat ini dia bersama Ken dan Satria sedang tidak sabar menunggu sahabat Farah yang bernama Wendi pulang dari kantornya. Saat sampai di rumah Wendi tadi, mereka hanya disambut oleh ibunya yang mengatakan Wendi masih di kantor. Setelah meminta nomor ponsel dan menanyakan dimana Wendi bekerja, Frans dan sahabatnya segera menuju ke sana.
Dalam perjalanan, Frans sempat menelepon Wendi. Jangan ditanya bagaimana reaksi gadis itu saat Frans menyebutkan namanya. Umpatan segala nama hewan yang berada di kebun binatang maupun di kandang rumahan langsung menyambutnya. Belum lagi omelan panjang yang sama sekali tidak dimengerti Frans semakin membuat dahinya mengernyit dan kupingnya panas! Frans butuh penjelasan!
Di sinilah dia sekarang, bersama Ken dan Satria berada di halaman parkir kantor Wendi, dan sudah sejak setengah jam yang lalu—sejak jam pulang kantor. Namun, batang hidung Wendi belum juga terlihat, padahal banyak dari teman sekantornya sudah berhamburan keluar kantor.
“Dia lembur kali ya?” gumam Ken dari kursi penumpang depan. “Lo beneran inget mukannya, kan?”
Sebelum Ken membuka mulutnya kembali, Frans langsung turun dari mobil dan berjalan cepat mendekati seorang gadis yang sedang tertawa bersama kawan-kawannya.
“Gue perlu ngomong sama lo.”
Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Frans langsung menarik Wendi menjauh dari kerumunan.
“Apa kabar?” tanya Frans pada gadis yang terlihat tak acuh padanya.
“Wen, gue yakin lo masih inget gue.”
“Hmm, dikit.”
“Gue mau nanya soal Farah. Dimana dia?”
Wendi memutar matanya malas, badannya juga terus bergerak gelisah. Tak suka jika harus berlama-lama berhadapan dengan pria tua di hadapannya ini.
“Buat apa?”
“Nggak ada, gue cuma pengen tahu dimana dia sekarang.”
Wendi mundur selangkah, lalu dipindainya tubuh Frans dari ujung kepala hingga kaki. Kepalanya sedikit miring dan senyum tipis tersungging di bibir Wendi.
“Pas udah pergi aja, banyak yang nyariin. Dulu pas masih ada disia-siain.”
“Maksud lo?”
“Nggak ada.”
“Tadi lo bilang banyak yang nyariin dia. Emang ada siapa lagi?”
Wendi menarik tangannya untuk bersedekap, kepalanya sedikit mendongak. Berusaha tidak terintimidasi dengan tatapan Frans yang langsung ke dalam kedua netranya. Kabar buruknya, dari pertama kali bertemu sampai saat ini, tameng Wendi ternyata tidak terlalu kuat untuk menangkal tatapan menusuk yang membuat nyalinya ciut. Namun, saat ini Wendi akan melakukan apapun untuk menang! Dia tidak boleh kalah, demi sahabatnya!
“Nyokap lo. Tante Karina. Kenapa sih keluarga kalian suka banget ngurusin Farah? Dia udah hidup senang sekarang. Jadi kenapa mesti dicari-cari lagi?”
“Nyokap gue nyari Farah? Buat apa?”
“Ya mana gue tahu! Itu nyokap lo, bukan nyokap gue! Lo tanya aja sama Tante Karina sendiri.”
“Ok, gue akan tanya. Tapi kasih gue alamatnya Farah.”
“Lo tanya juga sama nyokap lo! Kemarin udah gue kasih!” jawab Wendi, lalu berlalu tanpa memedulikan Frans lagi.
Frans hanya mampu menghela napas kesal dan mengusap wajahnya kasar. Sadar bahwa bicara dengan Wendi saat ini sangatlah percuma. Gadis itu sepertinya memiliki dendam kesumat pada Frans. Terlihat dari caranya menatap Frans dan nada bicaranya yang sama sekali tidak bersahabat.
“Gimana? Dia ngasih alamat Farah?” tanya Ken penasaran.
Frans menggeleng.
“Terus sekarang gimana?”
Bukannya menjawab pertanyaan Ken, Frans malah menatap wanita hamil itu dengan mata menyipit seraya berpikir dan menerka bahwa istri sahabatnya ini mungkin saja tahu informasi yang lebih dari Mama Karina.
“Lo beneran nggak dikasih tahu apapun sama Mama soal alamatnya Farah?”
Ken menggeleng cepat.
“Ken, jangan bohong atau Satria gue suruh kerja lembur?”
Ken menelan ludahnya susah payah mendengar ancaman Frans. Membuat Ken melirik sekilas pada Satria yang tak acuh—berusaha tidak terlibat dalam pembicaraan mereka berdua.
“Mas!” panggil Ken, niatnya untuk meminta bantuan pada Satria. Namun, yang dikode malahan pura-pura tak mengerti.
“Ken,” panggil Frans pelan, sembari tersenyum manis. “Kamu mau Satria pulang malem selama sebulan?”
“Enak aja! Kok ngancem, sih?! Bentar lagi gue brojolan nih! Kalau Mas Satria lo suruh lembur, siapa yang nemenin gue lahiran?”
“Bukan urusan gue,” sahut Frans santai, sembari bersandar di kursi mobil dan mulai menyalakan mesin mobilnya kembali. “Kalau lo nggak mau kasih tahu alamatnya Farah, ya terpaksa mulai besok malam sampai batas waktu yang nggak ditentuin, Satria bakalan—”
“Spanyol!”
Frans menoleh pada Ken, begitu juga dengan Satria.
“Farah ada di Spanyol. Itu doang yang gue inget dari berderet alamat Farah yang pernah Tante Karina kasih lihat ke gue,” lanjut Ken cepat.
“Shit! Jadi gue mesti ke Spanyol nyariin itu bocah?! Gila!”
“Kenapa?”
“Kenapa lo tanya, Sat? Berat di ongkos lah! Belum lagi gue mesti ninggalin kantor! Gila apa?!” gusar Frans.
“Ck! Kadang kalau bego lo kumat kayak begini gue antara seneng sama sebel. Seneng karena gue ternyata lebih pinter dari lo, sebel karena lo lebih bego dari gue.”
“Nggak usah muter-muter kalau ngomong. Maksud lo apaan?”
“Gini, Frans,” Satria mencondongkan tubuhnya ke depan, di antara dua kursi depan mobil. “Setau gue, di Spanyol itu ada yang namanya telepon. Terus ada yang namanya sinyal ponsel ataupun internet. Lo kan bisa telepon dari sini ataupun email.”
“Ya kali, Mas Frans minta maafnya lewat telepon? Kalau aku sih ogah ya, Mas! Kalau kamu ada salah, terus minta maaf lewat telepon, jangan harap dapetin maaf dari aku!”
“Tenang aja, Yang. Kalau sama kamu, aku langsung dateng bawain bunga bank! Biar kamu seneng,” sahut Satria, kemudian beralih lagi pada Frans. “Nah, kalau nggak berhasil, baru lo pergi ke Spanyol. Cari Si Farah! Di sini biar gue sama Tama yang handle. Lagipula, gue rasa nggak akan lama, Farah pasti kasih maaf sama lo. Dia kan suka sama lo. Kelar masalah.”
“Tapi—”
“Lo milih jadi jomlo seumur hidup atau minta maaf?”
Frans menghela napas lelah. “Okelah, gue coba.”
“Kalian ini ya, terlalu ngegampangin perasaan cewek!” kesal Ken, lalu membuang muka. “Kalian pikir Farah akan dengan mudahnya maafin Mas Frans gitu aja? Kita nggak pernah tahu apa yang dilakukan Mas Frans sampai membuat Farah pergi dari rumahnya. Belum lagi, kita juga nggak tahu seberapa dalam luka yang dikasih Mas Frans ke dia!”
“Tapi Farah kan suka sama Frans. Nggak mungkinlah dia bakalan ngebiarin Frans jomlo seumur hidup, bisa jadi malahan ntar Farah menawarkan diri jadi calonnya Frans,” bela Satria.
Ken mencebik kesal, lalu memandang tak percaya pada suaminya dan Frans. Bisa-bisanya dua lelaki di hadapannya ini meremehkan wanita! Terlebih lagi saat wanita itu merasakan sakit karena pria yang dicintainya.
“Gue saranin, lo mending datang langsung ke Farah. Minta maaf ke dia, kalau perlu lo sujud sama dia!” geram Ken. “Nggak usah didengerin saran suami gue.”
“Emang segitu parahnya kesalahan gue? Sampai sujud segala?”
Ken memutar kedua matanya malas. “Ya mana gue tahu, lo nggak pernah cerita. Dan lo sendiri yang bikin seolah-olah kehidupan percintaan lo emang parah! Lo lupa siapa yang mulai duluan? Siapa yang duluan percaya bahwa lo kena kutukan karena bikin hatinya Tuan Putri sakit?”
Ken menunggu respon dari dua pria di hadapannya, tapi nihil.
“Kalau lo emang segitunya percaya sama kutukan itu, ya seharusnya lo bener-bener niat buat mengakhirinya! Datengin Farah! Minta maaf yang bener! Jangan jadi pengecut!”
Frans hanya mampu diam mendengar wejangan dari Ken. Tidak salah memang apa yang diucapkan oleh wanita di sebelahnya ini. Bahkan semuanya benar. Seharusnya Frans tidak memandang sebelah mata tentang cara mengakhiri kutukan ini, jika dari awal dia sangat percaya dan yakin bahwa yang menyebabkannya masih berstatus single sampai hari ini adalah hasil dari perbuatannya di masa lalu.
Continuará