“Kenapa lagi?”
“Gue putus.”
“HAH?!” seru Satria dan Ken yang baru saja duduk di kursi ruang tamu apartemen—yang baru tiga bulan lalu dibeli—Frans.
“Lagi?” tanya Ken tidak percaya.
Tentu saja tidak ada yang salah dengan reaksi Ken. Semua orang yang mengetahui kisah cinta Frans dalam setahun terakhir ini akan setuju dengan Ken, bahwa Frans memang pria paling sial dalam hal percintaan. Tidak aneh juga, jika sekarang sudah ada satu botol wine yang isinya tinggal setengah. Pria ini memang butuh pelampiasan untuk segala kegagalan cintanya.
“Mas, lo kayaknya perlu dirukiyah deh. Ini udah keempat kalinya lo ditolak dan dua kali putus dalam enam bulan ini!”
“Gue juga nggak tahu, Ken. Kayaknya gue emang ditakdirin buat jomlo selamanya.”
“Jangan lupain juga dia ditinggalin sama calon istrinya,” bisik Satria yang langsung dihadiahi Ken dengan sikutan keras di lengannya. “Kamu nggak mau bilang?”
“Apaan?”
“Ck! Yang udah sering kita omongin di rumah.”
“Belum tentu juga itu bener, Mas! Itu cuma tebakanku sama Tante Karina.”
“Kalian udah selesai ngobrol berduanya? Gue ngundang kalian ke sini bukan mau gue suruh kongko nginep gratis. Tapi mau minta saran,” kesal Frans, lalu meraih gelas anggurnya dan menenggak isinya hingga habis. “Hmm … ini wine enak banget! Bener kata Si Bocah!”
Dengan mata yang memerah, Frans mengulurkan gelas wine-nya. “Kenapa kamu nggak cerewet kayak biasanya? Biasanya kalau kita minum wine, kamu bakal cerita macem-macem. Sejarah wine, macam-macam wine, sampai kebun anggurnya.”
Satria memandang bingung pada Frans, lalu bergantian pada Ken yang disodori gelas kosong oleh Frans. Sedangkan Ken, hanya mengangkat bahu dan menggeleng pelan pada suaminya sebagai jawaban atas kebingungan Satria dan dirinya sendiri.
Frans lagi-lagi meracau, “Aku sengaja pesen wine ini langsung dari negaranya! Nih, coba jelasin ke aku.”
“Frans, istri gue bentar lagi ngelahirin. Dia nggak minum wine, dia sama sekali nggak tahu soal wine.”
Satria meraih gelas anggur yang sudah kosong itu dan menyingkirkannya dari jangkauan Frans. Sahabatnya itu menyipitkan kedua matanya sembari sesekali menggeleng. Frans mencoba menjaga fokus dan kesadarannya. Namun, siapapun juga tahu bahwa Frans sudah mabuk! Kedua matanya sudah memerah, dan sekarang pria itu tersenyum dan menggumam tak jelas sendiri.
“Ken?”
“Iya, ini gue! Emang lo pikir siapa?”
“O iya, sori. Gue pikir lo … udah lupain aja. Tadi lo mau ngomong apa, Ken?” tanya Frans dengan mata sayunya.
“Lupain aja. Baiknya kita pulang, lo udah mabuk! Besok aja kalau lo udah bener, bar—”
“Ken! Bilang sekarang!” bentak Frans, yang langsung membuat Satria berdiri dan beranjak menuju tempat duduk di sebelah Frans.
“Lo jangan emosi dulu, Frans. Ken bakal jelasin kok.”
“I-iya, Mas,” gagap Ken.
“Buruan!”
Ken menghela napas pelan. “Tapi ini sebenarnya cuma omong kosong doang sih antara gue sama Tante Karina.”
“Iya, apaan, Ken?” gemas Frans.
“Jadi …”
-----------------------
“Tante makasih banget kamu mau dateng ke sini, Ken,” ujar Mama Karina menyambut Ken yang tersenyum. “Frans nggak ngikutin kamu sampai ke kafe ini, kan?”
Ken menggeleng, “Saya berangkat dari rumah kok, Tan.”
Mama Karina terlihat lega mendengar jawaban Ken. Lalu wanita itu tersenyum sejenak, sebelum meraih gelas berisi air mineral di hadapannya dan menandaskannya.
“Kamu ada kabar soal masalah cintanya Frans? Soalnya Tama ataupun Frans sendiri nggak mau cerita sama Tante. Mereka bilang Tante ini terlalu cerewet kalau untuk masalah seperti itu. Tapi Tante penasaran banget, Ken! Nanya Satria juga percuma, dia itu komplotannya Frans, nggak mungkin buka mulut! Jadi satu-satunya harapan Tante ya cuma kamu.”
Bukannya cerewet, tapi Ken paham betul bahwa wanita paruh baya di hadapannya ini hanya khawatir dengan kedua anak bujangnya, terutama Frans. Setelah dihebohkan dengan kabar pertemuan Frans dengan Yura di Bandung, membuat Mama Karina semakin khawatir. Kondisi Frans—di mata Mama Karina—bukannya membaik, malah semakin buruk. Selalu gonta-ganti cewek. Kalaupun ada yang berstatus pacar, itupun hanya bertahan selama beberapa minggu saja. Belum lagi, Frans yang tiba-tiba memutuskan untuk membeli apartemen dengan alasan digunakan untuk menenangkan diri—itu sama sekali bukan Frans—membuat Mama Karina membayangkan hal yang tidak-tidak. Takutnya, anak sulungnya itu membeli apartemen untuk hal-hal nekat karena depresi patah hatinya.
“Seperti yang Tante bilang dulu sama kamu. Ini adalah karma yang diterima Frans.”
“Yura sudah mem—”
Mama Karina menggeleng. “Bukan Yura, Ken. Jika yang dikatakan Dewi itu benar, maka Tante yakin sekali bukan Yura yang hatinya merasa tersakiti oleh Frans. Tapi, Farah.”
Dewi lagi, Dewi lagi. Batin Ken geli.
Ken sebenarnya tidak percaya dengan hal-hal mistis seperti itu, tapi dia percaya karma itu ada. Baginya, kegagalan kehidupan percintaan Frans adalah hal yang wajar dan disebabkan oleh satu hal. Yakni, sifat workaholic Frans yang membuatnya tidak peduli dengan orang sekitarnya. Jika Frans bisa menghapus—minimal mengurangi kebiasaannya itu, Ken yakin, akan ada wanita di sisinya. Itulah sebenarnya karma—kalau tidak mau disebut sebab-akibat—yang sekarang sedang dihadapi Frans.
Demi menghormati ibu dari mantan bosnya ini, Ken tersenyum dan mendengar setiap penjelasan tentang hal-hal buruk yang dilakukan Frans—dan kemungkinan—yang menyakiti hati Farah.
“Tante tahu dimana Farah sekarang?”
Bukannya menjawab, Mama Karina mengeluarkan selembar kertas kecil dan menyerahkannya pada Ken. Tiga baris tulisan yang ternyata adalah sebuah alamat, tertulis di sana.
“Spanyol?”
Mama Karina mengangguk.
“Tante yakin?”
Mama Karina mengangkat bahunya. ”Sahabatnya yang bilang.”
--------------------------------
Frans terbahak mendengar penuturan Ken, tak kuasa menahan rasa geli. Bahkan pria kedua netra pria itu sampai berair saking kerasnya tertawa.
“Nyokap gue yang bilang? Dan lo percaya?”
Ken mengangkat kedua bahunya.
“Ken, gue kasih tahu. Itu cuma akal-akalan nyokap gue aja, buat maksa gue nikah ama tuh bocah! Lo nggak tau sih, gimana nyokap gue terobsesi banget pengen punya anak cewek.”
“Ya itu urusan lo, Mas. Pokoknya gue udah bilang apa yang dulu pernah gue bahas sama Tante Karina. Masalah lo percaya atau nggak, itu urusan lo. Tapi ada satu hal yang bikin gue penasaran.”
Frans mencoba menahan kantuk yang semakin berat. Dibukanya kedua matanya lebar-lebar.
“Apa yang bikin lo penasaran?”
“Apa yang lo lakuin sampe Farah pergi dari rumah?”
Awalnya Frans diam. Lalu perlahan ujung bibirnya tertarik ke atas, dan setelahnya lelaki itu kembali tertawa.
“Gue nggak ngelakuin apa-apa, Ken! Itu bocah, tiba-tiba aja pergi dari rumah! Emang lo pikir gue punya ilmu sihir buat bikin hilang orang?”
“Udah, nggak usah diterusin. Kayaknya lo mesti pulang sekarang, Frans. Ayo!”
Satria menarik tubuh Frans yang limbung, memapahnya hingga ke mobil dan diikuti oleh Ken di belakangnya yang membawa barang-barang Frans. Sepanjang perjalanan, Frans meracau hal-hal tidak jelas, meskipun sesekali dia akan berteriak dan memaki para barisan mantannya.
Setengah jam kemudian mereka sampai di rumah, disambut oleh Mama Karina dan Om Ghani—papa Frans—yang hanya mampu menggeleng dan menatap kondisi anaknya tak percaya. Dibantu Om Ghani, Satria langsung memapah Frans menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Setelahnya, dia gegas kembali dan izin pamit, karena waktu sudah semakin larut.
“Terima kasih. Kalian hati-hati di jalan,” ujar Mama Karina.
-----------------------------
Keesokan harinya, Frans merasakan pening yang teramat. Sudah lama dia tidak minum dan semalam hampir sebotol dia habiskan sendiri. Perlahan Frans bangkit dari tidurnya, memijat pelan pelipis dan pangkal hidung sembari tangannya yang lain meraba nakas untuk mencari ponselnya. Lalu tanpa sengaja tangan Frans menyenggol sebuah bingkai foto dan membuatnya jatuh tertutup di nakas.
Sejauh Frans mengingat kamarnya, tidak ada apapun di atas nakas kecuali lampu dan ponselnya. Namun, ini ada bingkai foto, milik siapa? Perlahan Frans membalik bingkai itu dan seketika netranya membulat. Ingatannya tiba-tiba mengajaknya berkelana ke kejadian hampir lima tahun silam saat melihat foto yang terbingkai di sana.
“Selamat ulang tahun … selamat ulang tahun …”
Frans mencebik kesal saat mendapati rumahnya penuh dengan hiasan pita dan balon ulang tahun, selepas dia pulang kerja. Belum lagi Mama Karina yang tersenyum menyambutnya. Bukan masalah di senyumnya, tapi masalah di makna senyum lebar Sang Mama. Jika Mama Karina sudah tersenyum lebar—yang lebih mirip seringai—itu artinya dia sedang merencakan sesuatu, atau yang lebih parahnya dia sedang menjalankan rencananya.
“Kok baru pulang, sih? Mama kan udah wanti-wanti kamu buat pulang cepet. Hari ini hari spesial buat kamu.”
“Frans nggak ulang tahun.”
“Ck! Tapi kamu diundang ke pesta ulang tahun sweet seventeen ini! Kamu adalah tamu kehormatannya.”
“Apaan sih?” geram Frans, lalu berlalu menuju kamarnya seraya melonggarkan dasinya.
“Om Frans!” panggilan riang sebuah suara dari arah halaman belakang. Lalu si empunya suara berlari dan langsung memeluk Frans erat. “Mana kadonya?”
“Apaan sih? Basah nih! Kepleset baru tahu rasa!”
“Ih, perhatian banget sih, Om Frans. Iya nih, tadi Tama semprotin aku pake air selang, jadinya basah.”
“Farah, ini handuknya sayang. Buruan ganti baju, trus kita rayain ultah kamu. Frans kan udah dateng.”
Farah mengangguk cepat sembari mengeringkan rambutnya yang basah. Kemudian gadis itu berlalu menuju rumahnya.
Frans yakin, tidak perlu waktu lama, bocah itu akan sudah sampai di rumahnya lagi dengan baju keringnya.
“Mau kemana kamu?” cegah Mama Karina saat melihat Frans hendak beranjak menaiki anak tangga.
“Mandi, terus tidur,” sahutnya.
“Frans! Kalau kamu sampai nggak dateng di acara ini, Mama akan diemin kamu selamanya!”
“Ck! Apaan sih, Ma? Pake ngancem segala?”
“Pokoknya Mama nggak mau tahu! Lima belas menit lagi kamu harus udah ada di halaman belakang!”
Memangnya bisa apa Frans, jika Mamanya sudah bersabda? Tepat 15 menit kemudian, Frans sudah berdiri di antara orang-orang yang menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untuk Farah. Memang sial bagi Frans, sejak pagi dia sudah berencana untuk pulang malam—bahkan sekalian tidak pulang untuk menghindari acara ini. Namun, karena terlalu fokus bekerja, dia malah lupa rencananya itu, dan baru ingat saat dia membuka pintu rumah dan disambut oleh Mama Karina.
“Make a wish, Sayang,” ujar Mama Karina, seraya menyalakan lilin di kue ulang tahun.
Farah yang malam ini berulang tahun ke-17, terlihat sangat manis dengan dress warna putih selutut dan tali spagetinya. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai begitu saja, beda dengan saat dia ke sekolah yang sering dikuncir kuda. Semakin manis dengan sapuan lipstick merah muda di bibir—menambah rona di wajah putihnya.
Farah memejamkan kedua mata erat, sembari kedua tangannya menelangkup di depan dada. Membuat semua orang yang melihat tersenyum geli, karena tingkah gadis itu. Terlebih lagi, mereka semua yang hadir—Wendi, sahabatnya, dan keluarga Frans, serta Mbak Yum—tahu pasti apa yang diminta olehnya. Apapun itu, yang pasti nama Frans terselip dalam tiap doanya.
Farah membuka mata, lalu meniup lilin di kue ulang tahunnya kuat-kuat, seraya doanya akan terkabul.
“First cake buat siapa, Far?” goda Tama.
“Emang masih perlu ditanya, Mas?” Mbak Yum menimpali.
Farah mengambil potongan kue pertama dari tangan Mama Karina, lalu menghampiri Frans yang sudah sibuk dengan ponselnya dan terduduk di kursi taman.
“Buat Om Frans.”
Frans mendongak, ditatapnya Farah yang tersenyum padanya dan masih menyodorkan sepotong cake.
“Gue nggak suka makanan manis.”
“Tapi ini potongan kue ulang tahun pertama aku, khusus buat Om Frans.”
“Gue nggak suka makan makanan manis.”
“Tapi hari ini ulang tahun aku.”
Frans yang kesal langsung bangkit dari duduknya, ditatapnya tajam kedua netra Farah.
“Lo orang Indonesia atau bukan, sih? Kok nggak ngerti sama omongan gue?”
“Tapi—”
Frans mencebik kesal, membuat Farah merengut sedih.
“Farah, nggak apa-apa kalau Frans nggak mau. Kamu tenang aja, Frans punya kado buat kamu,” hibur Mama Karina yang langsung membuat Farah kembali ceria.
“Yang bener, Tante? Mana, Om kadonya?”
“Kado apaan, gue nggak—”
“Kadonya, Bang Frans, untuk pertama kalinya akan foto bareng Farah,” jelas Mama Karina dengan senyum manisnya, tapi kedua matanya melotot marah penuh ancaman pada Frans.
“KYYYAAAA!!! Beneran, Om? Ok deh, ayok. Kita mau pose gimana? Pelukan? Gendong-gendongan? Atau … eh, eh, mau kemana, Om?” cegah Farah sembari menarik lengan Frans yang sudah terlihat kesal dengan tingkah Mama Karina.
“Ma, perjanjiannya nggak gini. Frans cukup dateng aja, kan?”
“Halah, beda-beda dikit juga nggak apa-apa. Lagian kamu juga nggak nyiapin kado buat Farah! Ayo buruan!” perintah Mama Karina sembari menarik kembali tubuh Frans untuk berdiri berdampingan dengan Farah. “Tama! Sini! Buruan fotoin!”
Tama gegas berlari, lalu menyiapkan kamerannya untuk mengabadikan momen langka yang belum tentu terjadi lagi! Frans berfoto bersama Farah!
“Ck! Bang, nyantai aja mukanya! Nggak usah ngegas gitu! Ini cuma foto ulang tahun, Bang. Bukan foto prewed.”
“Diem lo!”
“Tama … Tama, gue udah cantik belum? Gue mesti gaya gimana?” tanya Farah antusias.
“Peluk, Far. Peluk Abang gue!”
“Heh!”
“Ok, sip! Satu … dua … klik!”
Continuará