Sepulang kuliah aku mendapatkan pesan dari grup alumni sekolahku dulu, yang menyatakan jika kepala sekolah SMK Bangtan berencana mengadakan acara reunian angakatanku selama 3 hari di luar kota. Setelah banyak pertimbangan dan juga melakukan pemungutan suara, akhirnya kota kembang Bandung lah yang terpilih dengan jumlah suara hampir seluruhnya. Para guru-guru memahami kondisi kami yang sudah berkeluarga, sehingga kami dapat mengajak pasangan kami dan juga anak kami jika memang sudah ada. Saat mendapatkan kepastian itu, aku langsung mengajak Devan. Namun dengan segala keyakinan dia langsung menolak ajakanku mentah-mentah. Katanya kuliah jauh lebih penting di bandingkan liburan yang tidak ada manfaatnya. Aku tahu pasti kalau pernyataan itu memang benar, tapi setidaknya otak kita juga memerlukan istirahat walau hanya sejenak. Namun kalian tenang saja, bagiku penolakan Devan bukanlah akhir dari segalanya. Karena aku memiliki keberuntungan dan juga Tuhan yang sangat baik. Bagaimana tidak, Tuhan memberkahiku dengan kecerdasan yang luar biasa ini. Apalagi ditambah dengan bumbu-bumbu pelajaran dari dunia pernovelan dan perkomikan yang aku yakini dapat membantuku dalam misi menaklukan Devan dan menggoyahkan keputusannya.
“Yaudah kalau kakak ngga mau ikut, ngga masalah kok. Tata bisa pergi sendiri” Ancamku, sembari mengemasi pakaianku ke dalam koper.
Devan mendesah kesal “Yaudah. Aku ikut kalau begitu caranya”
Lihat! Aku berhasil kan?.
Tapi masalahku tidak berakhir sampai disitu saja. Entah Devan masih mencari cara agar tidak jadi ikut atau apa, tapi dia mengajakku ke dokter kandungan di detik-detik akhir keberangkatan kami. Katanya untuk memastikan apakah aku boleh berpergian atau tidak. Dan akhirnya... Kami pun berakhir disini. Di meja konsultasi yang sama seperti saat pertamakali kami mengetahui tentang kehamilanku. Ternyata sulit sekali untuk mengalahkan dia yang telah hidup 5 tahun lebih lama dariku.
“Jadi gimana dok?” Tanya Devan setelah menjelaskan kondisiku yang akan berpergian.
“Ngga masalah kok, asalkan hati-hati. Bayinya sehat-sehat saja, dan kandungan ibunya juga sangat baik”
Devan tersenyum merespon kabar baik itu, lalu dia mengelus tengkuk lehernya dan sedikit menjadi salah tingkah “Kalau... Semisal...Apa boleh?”
Aku melirik kearah dokter yang juga tengah melirikku dengan tatapan kebingungan. Aku berfikir apakah telingaku yang salah dengar, atau memang Devan berbicara dengan tidak jelas? Aku pun tidak tahu, tapi itulah yang aku dengar.
“Maksudnya?” Tanya dokter itu memastikan.
“Emm,,,itu,,,”
Dokter itu awalnya mengerutkan dahinya, namun kemudian ber-oh ria ketika memperhatikan ekspresi malu malu yang ditunjukan oleh Devan.
“Oh. Berhubungan intim maksudnya?”
Devan tidak menjawab, dia hanya mengangguk untuk menanggapi dokter tersebut.
“Boleh saja. Tapi kalau bisa jangan terlalu kasar, dan frekuensinya dikurangi”
Devan yang mendapatkan jawaban itu lantas mengeluarkan ekspresi seperti bunga yang semula layu kemudian mekar kembali. Dia berapi-api “Kira-kira berapa kali sehari yah dok?”
Aku yang mendengar pertanyaan Devan pun hanya bisa memukul paha Devan sekeras mungkin, guna menyadarkan dirinya yang sudah mulai kehilangan akal sehatnya.
Dokter tersebut tertawa mendengar suara tepukan yang dibarengi dengan suara ringisan dari Devan.
“Haha...Maaf.” Ucapnya, berusaha menghentikan tawanya.
“Yah kalau bisa sih seperlunya saja, tapi jangan setiap hari jug-”
“Kalau perlunya setiap hari gimana dok?” Potong Devan.
Aku melirik sinis kearah Devan, sedangkan Devan masih fokus pada dokter wanita yang ada dihadapan kami ini. Sepertinya dia tengah menanti jawabannya, sembari menduga-duga setiap kemungkinan yang ada.
“Yah, tahan. Maksimal seminggu tiga kali lah. Nanti kalau sudah lewat trimester awal kalian boleh menambah jumlahnya. Apalagi saat hendak melahirkan, semakin sering di jenguk semakin baik”
Ah sudahlah, aku sudah tidak mengerti lagi dengan jalan fikiran mereka berdua.
“Oh gitu, kalau dalam sehari melakukannya beberapa kali ngga masalah kan dok? Yang penting kan tetap tiga hari.”
“Ngga gitu juga konsepnya” Ucap dokter tersebut yang diselingi dengan tawa.
Sudah cukup. Aku rasanya ingin meledak mendengar percakapan kedua orang dewasa ini. Aku tidak ingin merasa lebih malu lagi, jadi aku memutuskan untuk menarik tangan Devan dan keluar dari ruangan itu secepat mungkin. Lagipula kami sudah di tunggu teman-temanku yang sudah berkumpul di SMK Bangtan.
*********
Saat aku sampai di SMK Bangtan, memori tentangnya terputar lagi dalam kepalaku. Segala kenangan selama 3 tahun menyukainya dalam diam, meliriknya secara gerilya, memperhatikan segalanya tentang dia, dan segala macam kebahagiaan yang tercipta karena mengagumi dia, terpatri indah di bangunan kelas ini. Sayang sekali karena kami berdiam disini hanya sebentar, sebab bis yang akan mengantar kami ke tempat tujuan sudah datang.
Sesuai dengan daftar yang sudah di buat oleh panitia penyelenggara yang tidak lain adalah wali kelasku sendiri, aku dan Devan ditempatkan di bis 1 bersama Eca, sedangkan kedua sahabatku yang lainnya di tempatkan di bis 2. Sejujurnya Melli dan Ara masih tidak tahu kalau aku datang bersama Devan, bahkan mereka juga tidak tahu kalau sebenarnya aku sudah menikah dan tengah mengandung anak Devan.
Wali kelasku mengatur semuanya dengan sangat baik, sama seperti dulu. Lihat saja, tak butuh waktu lama kami semua sudah duduk di tempat duduk kami masing-masing. Dan untungnya aku mendapatkan tempat duduk di depan, tepat di belakang supir. Jadi aku tidak perlu khawatir akan merasa mual nantinya.
Ketika sudah duduk di kursi, aku mulai berusaha menyamankan diri. Bersandar pada lengan kekar Devan sembari memeluknya dari samping, menurutku adalah pilihan yang terbaik.
“Apa nyaman kayak gini?” Tanyanya.
Aku mengangguk lemah, mengiyakan.
Devan mengelus kepalaku yang tertutup kerudung “Kamu tiduran aja di paha aku, terus kakinya di selonjorin. Dapet bangku tiga harus dimanfaatin dengan baik.”
Aku mendongak, menatap Devan yang tengah menatapku “Kok kita dapet bangku tiga sih?”
“Aku bayar lebih.” Ucapnya tanpa basa-basi.
“Ih kok gitu sih, kan kasian mami papi.”
Devan mengernyitkan dahinya “Kok kasian ke mereka? Kan aku yang bayar”
“Yah kan itu uang mereka. Emangnya kakak kerja?”
Ctak!
Devan menyentil keningku. Tidak terlalu keras, namun berbunyi.
“Kalau aku ngga kerja kamu makan apa? Jajan darimana?”
“Loh, emang kakak kerja? Perasaan selalu dirumah kalau ngga kuliah, atau paling keluar juga kalau main sama temen kakak”
“Kamu itu tahu apa sih... Makanya perhatiin yang bener suami kamu ini. Aku tuh bos, jadi ngga harus dateng tiap hari”
Aku membelalakkan mataku “Kayak di cerita-cerita novel? Kakak jadi bos perusahaan besar gitu?”
Devan mencubit hidungku dengan gemas.
“Kalau halu jangan berlebihan, ngga baik buat kesehatan mental.” Ucapnya, yang membuatku cemberut.
“Yah santuy dong” Gerutuku.
“Aku punya restoran di daerah Serang, udah itu aja” Sambungnya pada akhirnya.
“Oh. Ngga sekaya itu ternyata” Ucapku yang kemudian mengalihkan pandanganku menjadi ke arah depan.
“Tapi itu cuma cabangnya. Pusatnya ada di Jakarta, dan yang pasti udah aku sebarin ke seluruh Indonesia.” Ucapnya menyombongkan diri.
Percakapan ini sudah mulai membosankan bagiku, ingin berbicara dengan Eca juga tidak bisa karena dia duduk di belakang. Oh iya. Mungkin ini saatnya bagiku untuk menanyakan pertanyaan yang jawabannya sampai detik ini tidak kuketahui dengan pasti.
“Kak”
“Hmm” Seperti biasa, dia hanya bergumam.
“Dulu kenapa akhirnya kita bisa dijodohin gini?” Tanyaku hati-hati.
Devan terlihat berfikir sejenak “Sebenernya bukan dijodohin juga sih. Jadi waktu itu orangtua kita ada acara reunian sekolah gitu. Dan mereka berempat itu ternyata teman baik. Terus saat papi nunjukin foto aku ke ortu kamu, mereka langsung bilang kalau di hp kamu walpapernya foto aku. Dari situ katanya orangtua aku merasa kayak dapet jawaban dari segala pertanyaan. Mereka yang ngga bisa misahin aku dari Luna akhirnya kayak dapet petunjuk aja gitu, lagipula mereka juga kenal ortu kamu.”
“Kenapa orangtua kakak ngga bisa nerima Luna?”
Ctak!
Devan menyentil keningku lagi.
“Mereka mertua kamu, ngga sopan banget”
“Yah orang kakak juga manggil mama sama ayah sebagai 'orang tua kamu'” Protesku, tak terima.
Devan menekuk bibir sejenak, sebelum akhirnya menstabilkan ekspresinya kembali “Yaudahlah, lanjut aja yah ceritanya.”
“Hmm.”
“Orangtua aku ngga bisa nerima Luna itu karena banyak alasan, dan beberapa alasan yang aku tahu sih...Pertama, karena Luna ngga bisa punya anak. Kedua, karena saat itu Luna pernah pergi ninggalin aku setelah kecelakaan sambil bawa uang mami papi. Dan jujur aja saat itu aku bener-bener depresi dan hancur. Terus lama kelamaan mami papi luluh. Karena mereka ngeliat aku yang sekacau itu, mau ngga mau mami papi akhirnya mutusin untuk minta Luna kembali lagi ke dalam kehidupan aku. Tapi karena image Luna dari awal udah hancur dimata kedua orangtua aku, jadi mereka tetep ngga terima saat aku mau nikahin Luna...Sampai akhirnya aku sembuh sepenuhnya, dan mereka mulai untuk ngasih aku pilihan. Cuma dua, tapi dua pilihan itu adalah yang paling susah untuk dipilih. Dan apa kamu tahu apa pilihannya?”
Ya mana aku tahu!
Aku tidak menjawab begitu. Aku lebih memilih untuk menggelengkan kepalaku daripada mengeluarkan isi hatiku, sebab aku tahu kalau saat ini pembicaraan kami tengah dalam tahap yang sangat serius.
“Aku kira kamu bisa nebak” Ucapnya dengan menyunggingkan senyumannya.
“Tata bukan cenayang!”
Devan tertawa sejenak melihat responku, sebelum akhirnya kembali melanjutkan kisah yang tengah dia usahakan agar selesai “Jadi, saat itu aku disuruh milih untuk menikahi kamu tapi aku bisa tetap berhubungan dengan Luna, atau aku pindah ke luar negeri tapi masa depan Luna terjamin. Dan jujur aja kedua pilihan itu benar-benar menyiksa buat aku, sebab salah satu dari pilihan itu membuat aku merasa bersalah karena menghianati Luna, sedangkan pilihan lainnya membuat aku terpisah jauh dari dia. Tapi sebenernya tujuan ortu aku cuma satu, yaitu bikin aku membangun hubungan baru untuk melupakan Luna. Dan setelah lama berfikir, akhirnya pilihan yang aku ambil...yah seperti yang terjadi saat ini.”
“Loh, bukannya saat itu papi marah banget saat tahu kalau kak Devan masih sama kak Luna?”
Devan tersenyum miring, seolah merendahkan subjek yang tadi aku bicarakan “Itu cuma drama aja, biar aku ngerasa bersalah dan akhirnya mau ninggalin Luna secara suka rela.”
“Terus kakak kenapa ngga bisa ninggalin Luna?” Tanyaku. Kalian tahu rasanya saat pertanyaan ini meluncur dari bibirku? Rasanya nyeri, seperti tengah menancapkan belati lalu menyayatkannya pada diriku sendiri.
“Karena kecelakaan Luna berhubungan sama aku. Dan karena masalah Luna ngga bisa hamil juga berhubungan sama aku”Lirihnya. Wajah Devan kala itu memang menunjukan rasa bersalah yang amat mendalam.
“Maksudnya?”
Devan menghembuskan nafasnya, mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin sebelum mengorek kembali kenangan pahit itu “Dulu sebelum aku bawa motor, aku sering bawa mobil ke kampus. Sering anter jemput Luna juga. Sampai akhirnya waktu itu hujan deras dan ngga tahu gimana kejadian pastinya...Tau tau aku udah terbaring di rumah sakit. Sedangkan Luna harus dioperasi. Dia harus menjalani operasi pengangkatan rahim. Baik saat itu atau bahkan sampai saat ini, aku masih merasa bersalah banget sama dia. Jadi, sampai detik ini aku masih memprioritaskan Luna di atas segalanya”
“Termasuk istri kakak sendiri?”
Devan menatapku, dia terlihat cukup terkejut dengan pertanyaan yang keluar dari mulutku ini. Dia memperdalam tatapan kami, membuatku meneteskan air mata sebab rasa sakit yang tengah ia bagi agar aku mengerti.
“I know it's unfair for you, but it's true.”
Deg!
Kenapa Devan tidak menyanggah pertanyaanku? Bukankah semua akan lebih baik jika dia bisa berpura-pura?
Ini terlalu sakit. Aku tidak sanggup lagi mendengar kenyataan lainnya, jadi aku memutuskan untuk melepaskan pelukanku dari lengan Devan. Aku memilih untuk memunggunginya dan menghadap kearah Davin yang berada di sebrang bangku kami. Namun tanpa disangka Devan memposisikan diri, memeluk tubuhku dari belakang. Dia menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku. Untunglah semua lampu di bis ini dimatikan, sekalipun mereka bisa melihat paling hanya samar-samar saja.
“Sebenarnya saat pertamakali kamu jadi milik aku seutuhnya, aku udah mulai mencintai kamu. Kehadiran kamu setiap harinya berhasil membuat aku menemukan cinta yang sebenarnya. Tapi sampai saat ini aku tetep ngga bisa lepas tanggungjawab dari Luna, meskipun dia ngga pernah nyalahin aku atas kejadian itu. Jadi... Kalau suatu saat nanti aku pergi karena Luna, ingat bahwa aku hanya mencintai kamu. Sedangkan perasaanku pada Luna hanyalah rasa bersalah yang ngga bisa hilang.” Ucapnya pelan ditelingaku.
Tanpa sadar aku menangis mendengarkan ucapan Devan. Bukan karena kisah sedih mengenai Luna ataupun pernyataan cinta dari Devan untukku, melainkan karena pesan tersirat yang menyatakan jika dia bahkan rela meninggalkanku demi memenuhi tanggungjawabnya pada Luna.
Aku melepaskan pelukan Devan, lalu kembali menghadap kearahnya dengan air mata yang masih mengalir dipipiku “Kakak udah ada niatan untuk pergi bahkan setelah ada anak ini?.”
Devan yang menyadari jatuhnya air mataku, menyeka air mataku. Lalu dia membenarkan posisiku agar tertidur dipahanya “Ini pemisalan terpahitnya Ta” Lirihnya.
Note :
Maaf yah waktu itu ngga jadi update cepet... Bukannya bermaksud ngga amanah, tapi aku kemarennya sakit yg emang ngga bisa ngapa"in. Hari ini alhamdulillah udah mendingan, jadi aku bisa update deh ;) Oh iya, jangan lupa vote untuk setiap chapter dan share klo suka yah. Semakin banyak yang dukung, aku akan semakin rajin update. Aku juga berencana untuk update terjadwal, semisal tiap hari rabu atau seminggu 2 kali. It's up to you....Saranghae!!
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain