Hari ini tepat dua minggu setelah kejadian di malam itu. Kejadian yang bahkan tak ingin aku ingat walau hanya sejenak sekalipun. Tapi mau bagaimana lagi, penanda bahwa kejadian itu pernah ada pun tengah terbaring lemah di hadapanku saat ini.
“Pulang Ta, kamu punya suami yang harus di urus. Biar saya yang jagain bang Kenzo” Ucapan Dewa membuatku tersadar, setelah sekian lama memandangi wajah pucat yang terlihat semakin mengurus itu.
Ini sudah 14 x 24 jam, tapi Kenzo masih belum sadarkan diri juga. Aku tahu ini semua adalah salahku, salahku yang terlalu lemah jika di hadapkan dengan pesona Devan. Dan itulah sebabnya mengapa aku tak ingin beranjak dari kursi tunggu ini. Ada rasa bersalah yang terus menyesakkan dadaku. Malam itu, bukannya aku tidak berusaha menolak perlakuan Devan yang ternyata di lihat oleh Kenzo dari luar jendela. Tapi percayalah, menuruti Devan saat itu adalah jalan terbaik yang bisa kulakukan agar Devan tidak meminta lebih.
“Pulang” Kali ini suara bariton yang terdengar dingin dan syarat akan penekanan itu mulai menggentarkan hatiku.
Aku menoleh kearahnya yang berada di belakangku, lalu menatap kosong kearah wajah yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah itu. Padahal biar bagaimanapun dia juga bersalah di sini, karena apa yang telah dia lakukan padaku lah yang menjadi alasan utama Kenzo melajukan mobilnya secepat mungkin, hingga berakhir dengan menabrak pembatas jalan di daerah bandung.
“Aku bilang pulang Aulia Renata”
Hatiku mungkin mulai gentar, dan merasa takut akan dinginnya suasana yang Devan ciptakan di detik itu. Tapi kakiku justru seolah memiliki keputusannya sendiri, dia tak bergerak barang satu sentipun meskipun suara bariton itu kian meninggi. Hari itu, harapanku untuk melihat kating konyol itu sadar dari komanya jauh lebih besar daripada rasa takutku pada serangkaian bentakkan Devan yang kuabaikan begitu saja.
Desi yang tidak lain adalah ibu dari Kenzo dan Dewa menghampiriku, dia mengusap pelan bahuku seraya memberiku kekuatan. Aku menatapnya dengan air mata yang mengalir cukup deras, dia pun melakukan hal yang sama. Namun di menit berikutnya, dia menggeleng perlahan sembari menghapus jejak air mataku, seolah mengisyaratkanku untuk berhenti menangis.
“Kamu pulang yah cantik. Biar tante yang jaga Ken, nanti kalau dia udah sadar pasti tante kabarin” Ucapnya sembari memperhatikan anaknya yang tengah kehilangan kekuatannya itu dengan tatapan sendu. Tentu saja hal itu sukses menambah daftar panjang rasa bersalahku.
"Yaudah Tata pamit yah tante, besok insyaallah Tata balik lagi” Pamitku yang di balas dengan elusan kepala oleh Desi.
Desi tersenyum kearahku sembari menggeleng pelan, yang membuatku mengernyit bingung sebab tak mengerti dengan maksud yang ingin Desi sampaikan.
“Ngga usah cantik, nanti kamu kesini kalau Ken udah sadar aja yah. Kasian kamu pasti capek bolak-balik terus” Ucapnya dengan tatapan yang membuatku merasa begitu di sayangi. Perlakuan itu sudah pasti membuatku berandai-andai. Seandainya aku bertemu dengan Kenzo lebih dulu, seandainya aku tidak menikah dengan Devan saat itu, dan banyak perandaian yang lainnya yang mengacu pada Kenzo yang seolah akan menjadi pilihan akhir bagiku .
Belum sempat aku menyanggah ucapan Desi, Devan sudah menarik lenganku dan membawaku untuk keluar dari ruangan itu. Aku hanya diam dan mengikuti langkahnya tanpa memberontak, sebab aku tak ingin membuat keributan di sekitar rumah sakit ini dan berakhir dengan pencabutan izinku untuk berkunjung. Jangan merasa aneh, pencabutan izin itu sudah merupakan perjanjianku dengan pihak rumah sakit sebab sejak Kenzo masuk ke rumah sakit ini, aku dan Devan selalu menciptakan keributan. Aku juga tidak bisa menyalahkan Devan atas sifat tempramennya, karena memang itu salahku yang menjenguk Kenzo tanpa tahu waktu. Datang sore saat pulang kuliah, lalu pulang tengah malam. Itu pun karena Devan yang menjemputku. Kalau tidak, tadinya aku berniat untuk menginap di rumah sakit itu.
“Kamu tahu kan kalau suami kamu itu aku? Bisa ngga sih kamu hargain aku sedikit aja? Ini udah tengah malam ke empat belas aku jemput kamu” Ucap Devan saat kami telah sampai di parkiran.
Aku tak berniat menanggapi ucapan Devan yang aku yakini akan berujung pada perdebatan. Aku lebih memilih berjalan dan langsung masuk ke dalam mobil Devan dengan tatapan kosong.
Brak!!
Devan menutup pintu mobilnya itu dengan sangat kencang, aku tahu jika itu adalah cara dia mengutarakan rasa kesalnya. Namun kali itu, aku tidak perduli.
Tanpa sepatah katapun, dia langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Acara saling mendiamkan pun terus berlanjut sepanjang perjalanan menuju ke rumah kami. Dan satu-satunya hal yang dapat kudengar hanyalah suara helaan nafas Devan yang terdengar cukup berat. Apa dia se-frustasi itu?
Setelah 30 menit berlalu, akhirnya kami sampai di depan rumah kami. Aku berjalan lebih dulu, meninggalkan dia yang masih sibuk mengunci pagar rumah kami. Tepat sebelum aku melangkah masuk ke dalam rumah, tiba-tiba saja Devan menggenggam tanganku dan menuntunku menuju ke kamar kami. Dia mengisyaratkanku untuk duduk di atas ranjang kami. Aku menurutinya, lalu dia duduk bersimpuh di lantai namun dengan tangannya yang masih setia menggenggam tanganku.
Aku mengernyitkan dahiku saat Devan tiba-tiba saja menunduk dan bahunya terlihat bergetar. Dia menangis?
“Kak?” Panggilku, yang tak mendapat sahutan apapun dari Devan.
Dengan sedikit keberanian yang aku miliki, aku mengangkat dagunya dan memaksanya untuk menunjukkan wajahnya padaku. Dan benar saja, air mata itu ada di sana. Di mata yang biasanya menatap tajam dan bengis ke arahku. Saat itu, entah mengapa hatiku terasa teriris saat melihat setiap tetes air mata yang Devan jatuhkan. Apakah air mata itu jatuh karena aku? Atau karena Luna? Aku belum tahu kebenarannya.
Devan mengambil tanganku yang semula ada di dagunya, dia menggenggamnya dengan cukup erat dan sesekali menciuminya. Aneh bukan?
“Kenapa kamu jadi seserius itu sama dia?” Tanyanya dengan suara yang lirih.
Jujur aku cukup terkejut, tidak menyangka jika Devan memulai percakapan dengan pertanyaan seperti itu “Semua terjadi begitu aja. Tata juga ngga ngerti” Jawabku apa adanya.
“Aku kangen sama kamu” Devan tidak menanggapi perkataanku yang tadi. Ah, itu berarti dia hanya ingin di dengar saat ini.
“Aku ngga suka kalau kamu lebih perhatiin dia, sedangkan aku di sini ngga ke urus”
“Aku yang suami kamu, bukan dia”
Devan berhenti berbicara sejenak. Tangannya sibuk menghapus air matanya yang mengalir tanpa permisi.
“Ini emang salah aku sih. Salah aku yang dengan percaya dirinya bilang kalau di saat aku udah jatuh cinta sama kamu, aku yang akan perjuangin kamu. Tapi nyatanya itu semua bullshit Ta. Apa yang aku lakuin rasanya semua sia-sia, kamu udah jatuh cinta terlalu dalam sama Kenzo”
“Aku harus gimana? Aku ngga mau kehilangan kamu”
Aku masih membiarkan Devan mengungkapkan apapun yang ada dalam benaknya. Sebab aku yakin sekalipun aku menjawab, dia tidak akan perduli karena tujuannya hanya ingin di dengar. Sebenarnya aku sangat terkejut dengan apa yang tengah Devan lakukan di depanku saat ini, tapi sepertinya sekarang aku lebih bisa mengontrol perasaan serta ekspresiku. Aku berhasil bertindak seolah tak perduli lagi.
Devan memeluk perutku dengan erat, dan sesekali dia juga menciumi perut rataku, entah apa maksudnya “Tolong kasih tahu aku caranya Ta, aku ngga mau pisah sama kamu” gumamnya.
Setelah dia terdiam cukup lama dalam posisi tersebut, aku mengangkat tubuhnya. Tidak benar-benar mengangkatnya sih, hanya berupa kode agar dia segera naik ke ranjang kami dan duduk di sampingku. Setelah menangkap kode dariku, perlahan namun pasti Devan naik ke atas ranjang kami. Aku berbaring dan mengistirahatkan tubuh lelahku, dan seperti dugaanku Devan juga mengikutiku untuk berbaring. Dia memelukku seolah aku adalah ibunya, bukan istrinya. Sungguh aneh bukan? Seorang Devan Azzura Pratama tiba-tiba saja bersikap seperti ini.
“Kamu tidur aja, besok ada kelas kan?” Tanyaku, yang di balas anggukkan oleh Devan.
Aku mengelus rambut Devan dengan lembut, dan dia pun mulai menutup matanya meskipun dia masih sesegukkan akibat menangis terlalu lama tadi. Sebenarnya aku sedikit tidak nyaman dengan posisi kami saat ini, bagaimana tidak? Devan mengistirahatkan kepalanya di dadaku.
“Kak bisa pindahin kepalanya ngga?” Tanyaku hati-hati, takut membuatnya tersinggung dan menangis lagi.
Tanpa membuka mata, Devan menggelengkan kepalanya dengan cepat. Hal itu tentu saja membuatku menggeliat karena gerakannya yang mengenai sesuatu yang ada pada tubuhku.
“Yaudah, tapi jangan banyak gerak” Peringatku yang di balas anggukkan pelan oleh Devan.
Untuk malam ini, aku membiarkan dia menunjukkan perasaannya yang sebenarnya terhadapku. Untuk malam ini juga aku mengesampingkan rasa bersalahku pada Kenzo. Entahlah, aku hanya merasa lelah dengan permasalahan orang dewasa yang tidak ada ujungnya ini. Aku hanya ingin bahagia, kenapa itu sulit sekali.
***
“Sayang kamu udah bangun?” Ucap Devan yang membuatku menjauhkan wajahku dari wajahnya yang entah sejak kapan sudah sedekat nadi. Tunggu, apa aku tidak salah dengar.
Aku mengusap mataku, menghilangkan kotoran yang mungkin saja masih ada di sana “Kakak bilang apa tadi?”
“Sayang” Jawab Devan dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Seolah mengerti dengan maksud dari pertanyaanku.
Setelah menyadari gelagat aneh dari Devan, dengan secepat kilat aku terbangun dan memeriksa ke bawah selimutku. Hah, untunglah masih lengkap. Lalu ada apa dengan Devan? Biasanya dia bersikap aneh saat aku telah memberikan haknya, tapi itupun Devan hanya berubah menjadi sedikit menghangat, bukan konyol seperti yang semalam ataupun di pagi ini.
“Kakak kok aneh gini, mencurigakan. Abis ngapain sih?” Ucapku sembari memberinya tatapan menyelidik.
Devan menunjukkan apronnya yang tanpa kusadari memang sudah terpakai oleh Devan sejak tadi “Aku abis bikinin sarapan buat kamu. Cepet mandi, terus turun ke bawah kita makan bareng”
Setelah Devan menghilang dari balik pintu kamar kami, aku mulai menjalani rutinitas pagiku. Mulai dari mandi, memakai baju, dan berakhir di meja makan bersama Devan dan dua piring nasi goreng ciptaannya.
“Gimana, enak?” Tanyanya dengan antusias.
Entah mengapa aku malas untuk menjawabnya, jadi aku memutuskan untuk mengangguk seadanya untuk memberikan sedikit apresiasiku. Melihat hal tersebut, Devan menundukkan kepalanya. Lagi?
“Enak kok” Ucapku pada akhirnya, yang membuat dia mengangkat kepalanya dengan bersemangat.
“Tuh kan, aku tuh emang suami idaman” Ucapnya sembari mendekatkan kepalanya padaku.
Aku menatapnya dengan tatapan tanda tanya “Apa?”
Devan mengehembuskan nafas pelan “Di elus dong kepala aku. Bilang terimakasih gitu” gerutunya yang masih bisa ku dengar dengan jelas.
“Yaudah sini. Makasih yah suamiku” Ucapku sembari mengelus kepala Devan. Hal ini tentu saja membuat diriku merasa jijik sendiri.
“Makasih sayang” Tapi entah mengapa panggilan itu tetap saja membuat jantungku berdetak lebih cepat, meskipun aku sudah mulai muak dengan keromantisan ini.
***
“Wih ibu negara kok pesonanya makin-makin sih? Apa ini yang bikin kak Devan ngga mau lepas?” Ucapan Dewa yang suka ngadi-ngadi itu membuatku menatapnya sinis.
“Kamu kenapa sih Ta, sensi bener. Lagi dapet? Atau butuh siraman rohani?” Tanya Eca.
Aku menatapnya jengah “Ngomong yang berbobot dikit bisa ngga sih?!” Sentakku.
Eca dan Dewa memundurkan langkah mereka perlahan “Wih, santuy” ucap mereka bersamaan.
“Tapi lo emang...ngga tahu kenapa kok nagih buat di lihat yah” Ucap Davin yang baru saja datang dari kejauhan. Kuakui telinganya itu memang sangat baik dalam mendengarkan percakapan orang lain.
Dan satu hal lagi yang harus kuakui, koridor sekolah adalah tempat yang paling strategis untuk dunia pergibahan. Siapapun yang baru datang, bisa langsung bergabung dan menanggapi. Seperti sedang menggelar perdebatan terbuka.
Kali ini Devan yang memang sedari tadi menempel padaku menatap sinis ke arah adiknya sendiri. Aku yang menyadari hal itu pun langsung menutup kedua telinga Devan.
“Dia lagi sensitif, gampang nangis. Aneh juga sikapnya, mungkin ketempelan waktu di rumah sakit. Nanti selesai kelas, saya mau ajak dia ke kyai. Jadi untuk sekarang tolong jaga kata-katanya, ribet soalnya” Ucapku bisik-bisik kepada mereka bertiga.
“Kalian ngomongin apa?” Tanya Devan, tepat setelah aku melepas tanganku dari telinganya.
“Ngga”Ucap kami bersamaan.
“Tuh kan kompak. Udah janjian yah” Devan melipat bibirnya, matanya juga mulai terlihat berkaca-kaca. Sedangkan Dewa, Eca dan bahkan adik Devan sendiri menatap Devan dengan tatapan tak menyangka.
“Ini beneran kak Devan?”
“Lo kayaknya harus bawa dia ke kyai secepetnya deh, ngeri juga”
“Ini bukan karena di kutuk abang gue kan?”
Itulah reaksi mereka bertiga. Jangankan mereka, bahkan aku yang sebagai istrinya saja masih tak mengerti dengan sifat suamiku yang tiba-tiba berubah itu.
Eca menggaruk keningnya “Tapi kalau di fikir-fikir Tata sama kak Devan itu kayak ketuker gitu ngga sih?”
Pemikiran apa itu?
“Iya. Kalau ngga, nanti selesai kelas kita anterin mereka ke kyai aja gimana? Minta supaya di rukiyah” Usul Dewa.
“Boleh juga” Ucap Eca, menyetujui.
Davin terlihat berfikir cukup lama, sepertinya otaknya yang penuh dengan kelogisan itu menentang keras tentang hal supranatural yang tengah di bicarakan.
“Tapi... Apa lo hamil Ta?”
Pertanyaan yang Davin lontarkan itu sukses membuat kami semua terkejut.
“Ngga mungkin lah, gimana bisa?” Sanggahku. Ayolah, aku baru akan menginjak usia 19 tahun. Lagipula kami melakukannya hanya dua kali, yang pertama sudah pasti gagal sebab aku mendapatkan tamu bulananku seperti biasanya. Yang kedua juga tidak mungkin, masa iya bibit Devan seunggul itu. Hanya dengan sekali tanam, langsung membuahkan hasil.
“Eh, emang kalian udah ngelakuin itu?” Tanya Dewa yang membuatku melangkah pergi dari mereka.
“Dari mukanya Tata yang sempet panik tadi, udah buktiin kalau mereka emang udah ehem-ehem” Samar-samar itu lah yang kudengar terakhir kali. Dasar Eca, seharusnya dia yang di rukiyah karena sudah mulai bergosip.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain