Hari sudah mulai menggelap, tenda setiap kelompok juga sudah serempak di dirikan semua. Dan saat ini adalah waktunya untuk menata barang bawaan beserta posisi tidur sesuai kelompok masing-masing. Karena aku tidak suka tidur di paling pinggir dekat pintu tenda, itu sebabnya aku dan Eca memilih posisi tempat untuk tidur di bagian tengah tenda.
Aku meletakan tasku, membuat bantalan senyaman mungkin untuk tidur nanti malam. Angin berhembus memasuki tenda kami, menerbangkan aroma biskuit vanilla yang sangat manis. Aku tahu ini bukanlah aroma kudapan yang sesungguhnya, melainkan aroma dari parfum yang seseorang gunakan.
Karena merasa tidak asing dengan aroma itu, aku menoleh ke arah samping guna memastikan apakah dia satu-satunya orang beraroma biskuit vanilla yang aku kenal.
Dug!!
“Awhsss” ringisku.
Dengan segera aku memperjelas pandanganku yang sebelumnya sempat kacau karena benturan kepala kami tadi.
“Davin!!!” teriakku,yang membuat semua yang berada di tenda menoleh ke arah kami.
Davin masih memegangi kepalanya yang mungkin saja terasa pening, begitu pun denganku.
“Biasa aja kali. Satu kelompok cuma di sediain satu tenda, dan kebetulan di antara mereka yang paling alim itu gue. Jadi gue deh yang di suruh tidur di perbatasan antara cewek dan cowok” jelas Davin yang membuatku tidak habis fikir dengan jalan fikiran para panitia.
Karena merasa sedikit kesal, aku memutuskan untuk keluar tenda bermaksud untuk menghirup udara segar sekaligus bertanya pada panitia tentang sistem tidur kami kali ini.
“Kak, ini yakin satu kelompok satu tenda?” tanyaku, bersikap profesional seolah aku tak mengenal siapa Devan. Karena sialnya, panitia pertama yang aku temui adalah Devan.
Devan menatapku seolah mengatakan 'terus?'
Aku berdecak sebal karena respon yang Devan berikan “Ck! Masalahnya masa Tata tidur di sebelah Davin” protesku.
Devan membulatkan matanya, tanpa menanggapi ucapanku dia langsung membuka resleting tenda kelompokku bermaksud untuk memeriksa keadaan di dalam tenda yang penghuninya hanya tersisa beberapa orang. Aku tak berani mengikuti Devan yang melakukan pemeriksaan karena takut di curigai orang-orang, jadi aku putuskan untuk menunggunya di samping tenda.
Setelah menunggu Devan selama kurang lebih lima menit, Devan akhirnya datang menghampiriku. Dia menarik tanganku, dan menuntunku sedikit menjauh dari tenda itu.
Ketika di rasa cukup jauh, Devan melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tanganku. Dia menatapku dan menunjukkan ekspresi yang cukup serius “Setiap panitia masing-masing bawa 1 tenda untuk mereka tidur. Nanti malam kakak jemput. Kamu tidur di tenda kakak sama kakak”
“Apa?!” jelas saja aku terkejut.
Jadi jangan tanya bagaimana keadaanku saat ini. Karena sistem tubuhku sudah berhasil di kacaukan oleh Devan. Jantungku berdegup kencang, nafasku terengah-engah, pipiku memanas, bulir keringat juga mulai hadir di keningku karena rasa gugup, di sertai rasa gemelitik di perutku yang tiba-tiba saja datang. Ah, rasa ini mengingatkanku pada keadaanku di malam itu.
Ctak!!!
Devan menyentil keningku
“Jangan mikir macam-macam! kakak tahu kamu ngga bisa tidur kalau ngga ada kakak”
Doeng!!!
Devan yah tetap saja Devan. Selalu mematahkan harapan, dan terlalu jujur dalam menyampaikan pendapat.
°°°°
Setelah sholat isya berjamaah, seluruh mahasiswa baru dan juga para panitia berkumpul mengelilingi api unggun, sesuai seperti yang tertulis dalam agenda acara. Kami mulai duduk bersila di tengah lapangan sembari membuat lingkaran besar di sekitar api unggun. Malam ini kami di bebaskan untuk duduk dimanapun yang kami mau, tidak bergantung pada kelompok lagi, karena malam ini seperti acara perpisahan dengan serangkaian kegiatan ospek.
Aku terdiam, mataku larut pada kobaran api yang berlomba-lomba untuk menjadi yang tertinggi. Aku memeluk diriku sendiri dengan erat ketika angin malam berhembus, angin itu cukup membuatku merinding karena rasa dingin.
Bruk!!
Aku terkejut saat satu buah jaket jatuh di pangkuanku, jaket lepis hitam yang cukup besar. Tapi aku tidak tahu siapa yang memberikannya. Entah orang tersebut yang berjalan terlalu cepat, atau aku yang terlalu lama memperhatikan bentuk jaket itu.
“Hai manis” sapa seseorang sembari duduk di sampingku.
“Kak Ken ngapain kesini sih?” gerutuku sembari bergeser sedikit menjauh darinya.
Kenzo tersenyum manis seperti biasanya, dia menatapku dengan tatapan lembut yang berhasil menahan mataku agar tidak berpaling dari mata saphire itu.
Apa jaket ini milik Kenzo? Setidaknya pertanyaan itulah yang kutanyakan dalam batinku.
“Lo dingin yah? Gue pengen minjemin almamater tapi gue abis keringetan, takut bau” ucapnya dengan senyuman yang tak pernah luntur dari bibirnya.
Ini berarti pelakunya bukan Kenzo. Syukurlah, aku tak harus berhutang budi dengannya.
“Udah tahu bau, masih aja deket-deket” Bohong! Jelas saja itu adalah suatu kebohongan. Meskipun sulit di percaya, tapi aroma yang menguar dari tubuh Kenzo masih sama seperti dia di pagi hari tadi.
Kenzo mengendus-endus dirinya sendiri. Dia berusaha mencari aroma busuk yang kusebutkan tadi.
“Jadi mau ngusir nih ceritanya?”
Aku tak lagi membalas tatapan yang menjerat itu, aku mengalihkan pandanganku pada para MABA yang mulai memberikan surat cinta kepada para panitia.
“Surat cinta? Emang ini udah sampai sesi menyerahkan surat cinta yah?” gumamku, yang mulai panik karena belum menulis satu kata pun.
“Emang iya. Semenjak gue duduk di sebelah lo sesi pemberian surat cinta itu udah di mulai. Lo ngga lihat yang ada di tangan gue?” ucap Kenzo sembari menyodorkan tumpukan kertas berwarna-warni yang berada di tangannya. Sedangkan aku masih saja terkejut, aku tidak sadar jika aku benar-benar terlarut dalam visual kobaran api itu sampai aku tidak memperhatikan apa saja acara yang sudah berjalan selama dua jam ini.
“Tadinya gue datengin lo itu buat menghampiri surat cinta. Eh ternyata bocahnya malah bengong” sambung Kenzo.
“Ngga guna” ucapku sembari berjalan mengikuti para MABA yang mulai memasuki tendanya masing-masing.
Belum melangkah begitu jauh dari posisi dudukku tadi, seseorang menahan lenganku.
“Jaketnya ketinggalan nih Aulia. Nanti kalau neng Aulia sakit kan bang Kenzo juga yang repot” kegilaan dia datang lagi.
Oh iya, aku hampir saja lupa dengan pemilik jaket itu.
Aku mengambil alih jaket itu dari tangan Kenzo, dan di detik berikutnya aku berlari memasuki tenda karena tak ingin di buat kesal oleh tingkah Kenzo lebih lama.
Ketika aku memasuki tenda, aku di kejutkan dengan setumpuk tas yang menjadi perbatasan antara aku dan Davin.
Aku masih bisa melihat wajah Davin karena aku tidak dalam posisi berbaring, sedangkan Davin tengah sibuk dengan ponselnya “Vin ini tasnya siapa yang nyuruh di buat kayak bendungan gini?” tanyaku.
Davin bangkit dari tidurnya, dia duduk bersila untuk mensejajarkan diri denganku. Dia mengahadap kearahku, dan memasang wajah kesal.
“Lah emang dari awal kayak gini yang di suruh panitia. Lo ngga tahu apa-apa sih, langsung ngadu aja ke laki lo. Kan gue yang babak belur di suruh push up 100 kali” gerutu Davin yang justru terlihat seperti anak-anak.
Aku tertawa terbahak-bahak sembari sesekali memukuli Davin dengan jaket yang ku pegang. Ini sudah menjadi kebiasaanku setiap kali tertawa, kalau tidak menepuk paha sendiri, yah harus memukuli orang terdekat.
“Itu jaket Devan yang ngasih?” tanya Davin yang menghentikan tawaku.
“Apa?”
“Itu jaket kan punya Devan, ada bordiran nama dia juga. Udah baikan ceritanya?”
Aku melihat kearah yang Davin tunjukan. Dan benar saja, di sana terukir nama Devan A P.
“Ini beneran punya Devan?” tanyaku, masih sulit untuk menerima kenyataan.
“Iya. Bagus kalau kalian udah baikan, jadi gue ngga perlu buang tenaga buat perhatiin lo lagi deh”
Aku yang menyadari ucapan Davin itu langsung memberikan beberapa pukulan yang cukup keras pada lengannya.
“Berarti kamu selama ini ngga ikhlas dong!!”
Davin tertawa yang membuatku tak bisa menahan rasa geli pada perutku, dan alhasil aku ikut tertawa bersamanya karena wajah imut Davin.
“Bercanda kakak ipar”
Ketika aku dan Davin sedang asyik melanjutkan perbincangan kami, seseorang membuka resleting tenda yang berada di ujung bagian laki-laki.
“Aulia Renata, bisa keluar dulu?”
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain