Jika aku di tanya berapakali aku terluka karena Devan, maka dapat kukatakan bahwa hal itu sudah tak dapat terhitung lagi jumlahnya, karena Devan melukaiku setiap harinya. Dia selalu datang dengan menebar sedikit rasa bahagia yang menciptakan sebuah harap, lalu pergi dengan meninggalkan selaksa duka yang menggores di setiap tempat yang berbeda. Dia membuat tubuhku dipenuhi jejak-jejak luka dengan iming-iming kebahagiaan yang fana.
Sekarang baru kusadari jika Devan bukannya tidak mempunyai hati. Dia mempunyainya, tapi tidak pernah ia gunakan jika itu berkaitan tentangku.
Seperti pagi ini, dengan kekerasan hatinya yang tak pernah mampu kusentuh itu, dia pergi meninggalkanku yang masih terkulai lemas di ranjang akibat perbuatannya tadi malam. Dia menjadi dingin lagi, setelah kami melewati malam yang panjang dan romantis kala itu.
Dengan langkah gontai kuseret kakiku perlahan menuju ke kamar mandi untuk bersiap pergi ke kampus. Aku tetap harus kuliah karena hari ini akan ada kegiatan malam keakraban, meskipun dengan tubuhku yang masih terasa sakit dan nyeri, persis seperti keadaan hatiku saat ini.
Setelah selesai bersiap, aku bergegas keluar rumah untuk mencari angkutan umum. Hah...sepertinya kali ini pun aku harus melewatkan sarapanku lagi, karena hampir terlambat.
"Udah gue duga Devan akan begini lagi" suara adik iparku yang tiba-tiba saja muncul cukup mengejutkanku.
"Vin kamu kok di sini?" tanyaku penasaran.
Tanpa menjawab pertanyaanku, Davin mengambil alih tas gendongku yang cukup berat karena membawa perlengkapan untuk acara makrab hari ini.
"Berat kan? Biar gue yang bawa" suara tegas Davin saat itu menunjukkan bahwa dia tengah dalam mode serius saat ini.
Davin berjalan menuju ke mobilnya, dengan tas gendongku yang masih setia dia sampirkan di bahu kanan nya. Namun sebelum dia masuk ke dalam mobilnya, dia menyempatkan diri untuk membukakan pintu untukku terlebih dahulu. Dan hal itu tentu saja membuatku terkejut dengan sikapnya.
"Makasih" ucapku, sembari masuk ke dalam mobil dengan fikiran semerawut yang tengah mencari jawaban akan perubahan sikap Davin yang tiba-tiba ini.
"Tadi malem lo buka segel yah?" tanya Davin tanpa berbasa-basi, sembari menjalankan mobilnya menyusuri jalan raya menuju ke kampus.
Aku menoleh ke arah Davin secepat kilat, pertanyaan Davin bukanlah pertanyaan biasa. Dan bukankah dia terlalu terang-terangan?
"Kok tiba-tiba nanya gitu?"
Davin menoleh kearahku sekilas, dengan raut wajah yang tak dapat kubaca apa maksudnya "Jalan lo beda"
Aku tergugup dan menatap Davin dengan kikuk "E..emang keliatan yah?"
"Lo itu bodoh apa idiot sih? Mau-maunya di manfaatin Devan buat pemuas nafsu birahinya. Lo ngga mikir buat cerai apa? Kalau sekarang lo udah ngga perawan terus gimana bisa dapet laki-laki yang lebih baik dari Devan?"
Deg!
Ucapan Davin kala itu membuatku tertegun, aku bahkan tidak pernah berfikir sampai sejauh itu. Dan itu benar, aku memang bodoh atau mungkin seorang idiot. Hanya karena beberapa penggal kata manis yang Devan katakan, aku melepas kesucianku untuknya.
Aku menoleh ke arah Davin, dan menatap ke arahnya yang masih terfokus pada jalanan di depannya. Kini aku mengerti raut wajah itu, raut wajah yang menunjukkan bahwa Davin tengah kecewa dengan diriku.
"Maaf" ucapku yang membuat Davin menghembuskan nafas pelan.
"Gue juga minta maaf karena kebawa emosi, itu hak lo juga sih. Gue ngga bisa apa-apa kalau itu udah jadi keputusan lo. Tapi hati kecil gue ngga terima aja kalau lo di sakitin terus-terusan sama si brengsek Devan"
°°°
Acara ospek kampus telah selesai sore ini, dan malam ini akan ada acara makrab sesuai dengan jadwal yang telah di tentukan oleh para dosen. Aku yakin aku akan bertemu lagi dengan Devan dan Luna nanti malam, karena para anggota BEM dan juga para alumni adalah penanggungjawab acara.
"Ta malem ini setiap kelompok tidur satu tenda kan?" tanya Eca yang menghampiriku di kelas yang biasa kami tempati selama ospek.
Aku mengangguk dan tersenyum, kali ini aku memutuskan untuk menikmati masa-masa remajaku. Aku ingin bahagia dan berusaha untuk tidak memikirkan semua tentang Devan.
Eca meneliti wajahku dengan seksama "Lo kayaknya rada beda gitu Ta. Kayak bercahaya aja gitu mukanya"
Aku mengernyit bingung " Masa?"
Eca berdehem " Ada penelitian yang bilang kalau bercinta itu menyehatkan loh. Dan akhirnya saya tahu kalau semua itu ternyata bener"
Uhuk!
Aku tersedak oleh salivaku sendiri karena terkejut dengan topik pembicaraan Eca. Aku cukup paham maksud dari pembicaraan Eca, hanya saja mengapa sedari pagi orang-orang di sekitarku selalu menyinggung pembahasan tentang masalah itu. Aku jadi merasa seperti tertangkap basah karena sudah melakukan kejahatan.
Eca menepuk bahuku, sembari tertawa "Tuh kan bener dugaan saya, padahal asal tebak. Haha"
"Selamat sore menjelang malam manis"
Aku memutar tubuhku ketika mendengar suara yang tak asing dari arah belakangku. Benar saja, ternyata si pemilik sorot mata lembut berwarna saphire itu.
Aku memeberikan tatapan jengahku "Mau apa lagi sih kak?"
Kenzo tersenyum dengan sejuta pesonanya yang membuat para mahasiswi menjerit, kecuali aku dan Eca. Untuk sejenak aku sempat berfikir jika saja aku tidak menikah dengan Devan, sudah pasti aku akan menjadi gadis terbahagia karena dengan wajahku yang tidak terlalu cantik ini, aku bisa mendapatkan perhatian dari kakak tingkat setampan dan sesempurna Kenzo Kalandra.
Kenzo mengibaskan tangannya di depan wajahku, yang membuatku berkedip bingung "Hei ngelamun aja...Lagi mikirin masa depan kita yah?"
Aku ralat. Aku lupa jika dia hanya menang tampang saja, tapi dia sama sekali tidak ada keren-kerennya. Apalagi saat ini, dia jadi terlihat seperti seorang idiot.
"Kakak mau ngapain? Kalau ngga ada kepentingan saya mau pasang tenda nih di lapangan"
Kenzo tersenyum "Kakak kesini karena ada kepentingan mendesak kok"
"Yaudah sana lakuin kepentingan mendesaknya, saya permisi" ucapku, sembari melangkah hendak pergi meninggalkan Kenzo. Namun, dengan reflek yang cepat Kenzo menahan lenganku.
"Ini lagi melakukan kepentingan mendesaknya, tanya dong apa gitu kepentingan mendesaknya"
Dia benar-benar kating konyol, tapi kalau aku tidak menurutinya maka semakin lama dia mengangguku.
Aku memutar mata malasku, cukup jengah dengan sifatnya "Apa kepentingan mendesaknya?"
"Memastikan keamanan dari calon ibu dari anak-anakku" ucap Kenzo yang membuat mahasiswi yang terdapat di sana menyoraki kami.
Sejenak ada rasa hangat yang menjalar ke tubuhku, entah itu karena rasa yang tersalurkan dari tangan Kenzo yang masih bertengger manis di lenganku, atau karena aku merasa bahagia mendengar kata-kata yang akhirnya membuatku merasa di cintai.
"Tumben pakai kata aku, biasanya juga lo gu-Mphmm"
Dengan lancang Kenzo menutup mulutku menggunakan telapak tangannya, lalu dia membisikan sesuatu di telingaku.
"Jangan bongkar kebiasaan gue, gue harus pakai aku-kamu kalau ngomong ke MABA. Gue kan ketua BEM" bisik Kenzo.
Aku menghempaskan tangan Kenzo dengan cepat, bukan karena aroma busuk atau rasa asin, tapi karena akhirnya aku menyadari batasanku. Sejujurnya aku menyukai aroma tubuh Kenzo yang beraroma seperti seorang bayi, aromanya sangat manis dan tidak menyengat. Tapi tidak ada maskulin-maskulinnya.
"Eh, maaf"
Aku mengabaikan dia, dan memilih untuk pergi ke lapangan untuk membantu kelompokku yang sedang membangun tenda.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain