“Bangun, sebentar lagi adzan maghrib berkumandang”. Suara bariton yang terdengar merdu itu menyelinap masuk ke dalam gendang telingaku, membuatku mau tak mau mengakhiri mimpiku tentang teman masa kecilku yang kulupakan wajahnya.
Meskipun sejujurnya aku sudah menyadari suara siapa itu, tapi mataku masih enggan untuk terbuka walau sedikit. Tak lama kemudian aku merasakan belaian lembut pada pipi chubby ku, mungkin lebih tepat nya hanya sebuah tepukan pelan. Harap maklum, berharap lebih itu sudah menjadi kebiasaan kaum hawa yang selalu mengedepankan perasaan.
“Bangun!” kini suara bariton itu meninggi, di tambah lagi dengan tarikan yang menghentakkan tubuhku menjadi terduduk.
Aku bergumam tak jelas, guna menyampaikan kekesalanku pada si pengganggu.
“Hishhh,,,Bangunin nya yang halus dikit bisa ngga sih” protesku, saat seluruh nyawaku telah berkumpul jadi satu.
Bruk!!
Si pemilik suara bariton itu melempar sebuah handuk putih tepat di atas kepalaku.
“Mandi sana, sekalian wudhu. Sebentar lagi masuk waktu maghrib” titahnya.
Aku mengacak rambutku frustasi, tunggu sebentar...di mana kerudungku?
Aku menatap Devan yang juga menatapku dengan tatapan sayu. Ini aneh, karena biasanya tatapan Devan itu tajam dan begitu menusuk.
“Kenapa?” Tanyanya sembari memutar tubuhnya membelakangiku.
“Kak Devan yang lepas kerudung saya?” Tanyaku ragu-ragu.
“Kalo iya emang kenapa? Ada masalah?” tanya Devan masih dengan posisi yang sama, bahkan dia tak pernah berfikir untuk sekedar menoleh kearahku.
“Ya iyalah! Berarti kak Devan udah lihat rambut saya dong, kan itu aurat saya kak” ucapku sembari merengek, karena aku berniat untuk tidak memperlihatkan auratku ke Devan sampai kami bisa saling menerima satu sama lain.
“Lah, situ kan istri saya. Saya berhak lah atas seluruh yang ada pada diri situ, termasuk melakukan hal lainnya” ucap Devan yang di akhiri dengan menutup rapat-rapat mulutnya sendiri.
Aku mengernyit bingung, fikiranku sibuk menerawang tentang maksud dari Devan.
“Apaan sih? Saya masih belum paham” ucapku setelah tak menemukan informasi apapun di berangkas otakku, terkait ucapan Devan yang tadi.
Devan berdehem “Aish,,,ngga tau lah” ucapnya sembari menggaruk kepalanya yang aku yakini bahwa itu tidak gatal.
Aku mengernyit bingung dengan respon Devan. “Kakak kenapa sih? Aneh gitu”
“Peduli apa situ tentang saya. Maaf, tapi saya butuh waktu untuk beradaptasi dengan situasi ini. Jadi, sebelum saya terbiasa dengan situ, saya mohon untuk mengurusi urusan masing-masing ”. Ucapnya sebelum melenggang pergi entah kemana.
“Kasar banget jadi cowok. Apa salahnya sih manggil 'kamu'. Situ situ emang mau di suruh kemana lagi coba, orang ini aja udah ada di luar hatinya kok” gerutuku, yang kuharap dapat terdengar oleh Devan.
****
Setelah selesai sholat isya, aku memutuskan untuk memasak di dapur. Aku mengikat rambutku menjadi satu, aku sudah tidak memakai kerudung di dalam rumah lagi sejak saat itu, toh Devan sudah terlanjur melihatnya. Aku berasal dari keluarga sederhana, jadi memasak bukanlah hal yang sulit bagiku. Aku sudah cukup terlatih untuk hal itu.
“Besok ak...ak...aku ngga bisa mengantar Ka...kamu” ucap Devan menghampiriku yang tengah berkutat dengan peralatan dapur.
“Tunggu sebentar, apa dia dengar komentar saya tentang panggilannya ke saya?” Batinku.
Aku tidak menatapnya, aku hanya menjawab dengan nada datar yang kuberi sedikit aura dingin di dalamnya. Masih ada amarah yang menyelimuti egoku.
“Ngga perlu dipaksain kalau ngga bisa”
Devan terdiam seribu bahasa, yang membuatku tak tahan untuk tersenyum miris setelah melihat respon menyedihkan itu.
“Perubahan panggilan ngga akan merubah apapun” ucapku. Entah kenapa rasa marah tengah menguasai jiwa dan ragaku.
Devan menarik lenganku dan membuatku menghadap kearahnya dalam sekali hentak. Tanpa ragu, kubalas tatapan tajam Devan yang mengukir batas panjang di antara kami.
Devan mulai membuka mulutnya perlahan, matanya cukup gelisah untuk sesaat sebelum kembali menghujamku dengan tatapan tajamnya. Menurutku, dia tengah merangkai kata untuk menyakitiku lebih dalam lagi.
“Saya sedang belajar untuk mulai terbiasa dengan situ. Saya mau situ tahu kalau ini sulit untuk saya, karena panggilan itu cuma untuk Luna. Karena dia spesial bagi saya” ucap Devan sembari mencengkram kuat lenganku yang masih dia genggam sehabis memutar tubuhku.
Tatapan tajam Devan membuatku mengerti, bahwa dia masih tidak terima dengan hubungan baru ini.
Aku melepas kasar cengkraman tangan Devan dari lenganku, bersamaan dengan jatuhnya air mata sakitku.
Devan memandangku dengan tatapan jengah sebelum mengutarakan kalimat demi kalimat yang begitu menyakitkan. “Air mata situ ngga akan membuat saya berbalik dan tiba-tiba menyukai situ. Karena hati saya cuma satu, dan itu sudah milik Luna. Luna itu adalah perempuan yang ingin saya per-”
Prang!!!
Ucapan Devan terhenti saat aku melempar piring yang tengah aku bawa hingga pecah berkeping-keping. Air mataku mengalir tanpa kuminta dan tanpa di sertai oleh suara isakkan tangis.
“Cukup Devan! saya tahu kalau Luna adalah wanita sempurna yang sangat kamu cintai. Saya juga tahu kalau kamu masih ngga terima dengan keputusan orangtua kita. Tapi kamu harus tahu, Kalau disini bukan cuma kamu yang di patahkan mimpinya” ucapku dengan sisa-sisa dari kekuatan hati yang berusaha menopang bobot tubuhku.
Aku mengelap kasar air mata yang tak patuh itu. Aku ingin air mata itu berhenti, namun semakin sering aku menghapusnya, justru dia datang berbondong-bondong seperti sebuah tanggul yang bocor.
“Kamu lihat piring itu?” tanyaku lirih.
Aku tersenyum miris lagi melihat tidak ada respon dari Devan, dia hanya menatap kosong kearah kepingan-kepingan piring yang berserakan di lantai. Mungkin dia masih terkejut oleh sikapku.
“Saat piring itu utuh, itu adalah rasa menghargai serta kepercayaan saya ke kamu dulu. Dan saat piring itu tergelincir dari tangan saya saat ini, itu adalah perasaan saya ke kamu sekarang. Kamu bahkan telah menghancurkan apa yang belum di mulai”. Ucapku apa adanya.
Setelah merasa puas menyampaikan isi hatiku, aku memilih berjalan meninggalkan dapur setelah mematikan kompor. Aku sudah tidak perduli lagi dengan rasa lapar yang sedari tadi menyerang perutku. Rasanya hatiku jauh lebih sakit daripada aksi unjuk rasa para cacing yang kelaparan di perutku.
Tanpa kuduga, Devan menahan lenganku dengan genggaman yang lembut menurutku.
“Apa ini yang Luna rasakan setiap harinya? Aku iri” batinku.
Aku tidak menoleh ataupun bertanya 'ada apa?'. Hari ini aku hanya merasa lelah saja. Dan aku hanya ingin diam dan menyendiri.
“Maaf” ucap Devan, aku tidak tahu bagaimana ekspresinya saat itu. Tapi yang aku dengar dari suaranya, sepertinya dia benar-benar menyesal.
"Silahkan minta maaf sama piringnya, kalau dengan begitu piring itu bisa kembali seperti semula, Maka saya akan memaafkan kamu” ucapku sembari melenggang pergi ke kamar kami. Tentunya, setelah berhasil menghempas tangan kokoh suamiku itu.
****
Keesokan harinya aku bangun pagi buta untuk menyiapkan sarapanku dan juga Devan. Aku berencana berangkat ke sekolah sebelum adzan subuh berkumandang, sedikit ekstrim memang. Tapi mau bagaimana lagi? setelah perang dingin kami tadi malam, kami begitu canggung. Dan akupun kehilangan minat untuk berbicara ataupun sekedar menanggapi pertanyaannya.
Aku melangkahkan kakiku perlahan agar tak membangunkan Devan dari tidurnya. Ini masih pukul 3 lewat 10 menit, dan aku sudah berniat untuk pergi ke sekolah.
“Mau kemana pagi buta begini?” suara bariton itu lagi.
Aku terkejut dan refleks menoleh kearah sumber suara, yang ternyata tengah menuruni satu per satu anak tangga untuk berjalan kearahku.
Aku tidak memperdulikannya, aku melanjutkan langkahku yang sempat terhenti.
“Masih melanjutkan acara diamnya, hmm?” tanya Devan yang masih tak ingin kutanggapi.
“Yasudah, terserah” ucap Devan, kembali dengan suara yang datar dan terkesan dingin.
Setelah mendapat kekecewaan atas sikap Devan, aku memutuskan untuk benar-benar pergi ke sekolah.
Setelah sampai, aku harus menunggu sekitar 3 jam lebih di sekolah yang baru di huni oleh 2 satpam penjaga dan 2 tukang bebersih. Aku tak seberani itu untuk menunggu di kelas sendirian, aku lebih memilih untuk menunggu di teras pos satpam sembari memakan bekal yang kubawa dari rumah.
“Pak Udin, anak-anak paling pagi datengnya jam berapa yah?” tanyaku sembari menyuapkan nasi kedalam mulutku.
Pak Udin tertawa "Yah, yang pasti ngga se-rajin eneng sih. Belum juga subuh udah ada di sekolah”.
Aku tersenyum kikuk, cukup malu karena sindiran pak Udin “Saya juga ngga akan senekat ini deh kalo di rumah ngga ada masalah” gumamku.
“Tapi ada satu siswa yang selalu dateng sebelum subuh juga sih, paling sebentar lagi juga dateng. Cuma pak Udin ngga tahu deh, kamu kenal dia atau ngga” ucap pak Udin setelah berfikir sejenak.
“Siapa pak? Rajin banget, padahal cowok loh” tanyaku, penasaran.
“Pak Udin ngga tahu namanya. Tapi alesan dia dateng pagi buta itu karena menurut dia saat subuh adalah saat yang baik untuk belajar,karena orang munafik belum pada bangun katanya”
Aku ber-oh ria, cukup salut dengan pemikiran siswa yang pak Udin cerita kan itu.
“Nah, itu dia orang nya neng” ucap Pak Udin yang membuatku menoleh kearah gerbang depan sekolah.
Aku merasa seperti waktu dibekukan saat itu juga. Saat laki-laki berparas tampan dengan wajah oriental itu bersitatap dan tersenyum kearahku. Dia berjalan kearahku dengan angkuh, memasukkan salah satu tangannya ke saku celana abu-abu miliknya. Kulit putihnya tampak kontras dengan langit malam menjelang pagi yang berpendar di sekitarnya. Ya, siswa yang di maksud adalah Ricko Alatas.
“Tumben udah dateng Ta” ucap Ricko, membuka suara. Aku sungguh dibuat terkejut oleh dia yang tiba-tiba menyapaku lebih dulu.
Uhuk!!
Aku tersedak oleh sarapanku sendiri di depan gebetanku.
Tanpa diminta, dengan sigap Ricko memberikan air minum yang dia ambil dari dalam tasnya kepadaku. Dia juga menepuk pelan punggungku saat aku masih terbatuk setelah minum, sebenarnya aku tidak tahu apa fungsi dari metode itu.
“Makasih Ko” ucapku sembari memberikan seulas senyuman tipis tanpa tebaran pesona.
“Eh, Maaf”
Ricko tiba-tiba menjadi kikuk, dia mengenyahkan tangannya dari punggungku sesegera mungkin. Padahal aku tidak masalah, toh dia melupakan batasannya karena keadaan terdesak kan.
Pak Udin berdehem “Pak Udin sama pak Samsul mau periksa seluruh ruang kelas yah, takut ada yang hilang. Kalian disini aja juga ngga masalah, sekalian jaga gerbang”
“Pak Udin ini memang mengerti situasi dan kondisi yah” batinku.
Ricko ikut duduk di sampingku, dia mengeluarkan buku pelajaran hari ini ke pangkuannya.
Aku memperhatikan wajahnya yang tengah fokus meneliti setiap informasi yang terdapat di bukunya.
Dia menoleh kearahku secara tiba-tiba, membuatku dengan sigap membuang pandangan kearah lain.
“Udah makan nya?” tanya dia dengan lembut.
Aku mebelalakan mataku karena terkejut dengan sikap Ricko yang begitu tiba-tiba.
“Kamu kaget ngeliat apa Ta?”
Aku salah tingkah, dan disaat seperti ini justru otakku tak berjalan semestinya.
“Ular!!”
Kali ini Ricko yang terkejut, dia menoleh kesana kemari guna mencari keberadaan ular yang kusebut tadi.
“Dimana Ta?”
Aku tertawa hambar “Haha, ular nya udah mundur lagi. Ngga tahu udah sampai mana deh”
Ricko terkekeh, dia menaruh tangannya diatas kepalaku yang tertutup kerudung.
“Ular ngga bisa mundur sayang” ucapnya dengan suara, tatapan dan senyuman yang lembutnya dapat meluluhlantakkan hatiku.
Aku tertawa sejenak sebelum mengingat kembali apa yang baru saja Ricko katakan.
'Sayang' itu yang dia katakan tadi kan?
“Tadi kamu bilang apa Ko?” tanyaku memastikan.
Ricko merapihkan bukunya dengan cepat, dia berdiri hendak pergi. Namun sebelum dia meninggalkanku, aku tahan jaket kulit yang melekat ditubuhnya.
“Tadi bilang apa Ko?” desakku.
Ricko tak menjawabku, dia memilih untuk merapihkan kotak bekalku serta botol air minumnya. Dan setelah memastikan 2 benda itu pas di genggamannya, dia menarik tas yang berada di punggungku yang membuatku berjalan mundur mengikuti tarikkannya.
“Hari ini ujian fisika kan, jadi ayo belajar”
“Tapi gerbangnya?” ucapku yang masih di seret oleh Ricko. Ayolah, padahalkan mensejajarkan diri dan bergandengan tangan jauh lebih baik.
“Biarin aja, ngga bakal ilang juga tuh gerbang”
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain