Diberi nyawa. Bukankah seharusnya hidup? Tapi bagaimana bisa hidup jika hati dimatikan?
~
Tubuhku terpaku di depan gerbang sebuah kampus ternama di daerah Banten. Saat pertamakali menginjakkan kaki disana, mataku hanya sibuk meneliti bangunan kokoh nan megah yang pastinya memiliki banyak sejarah itu.
Hari ini sekolah kami mengadakan acara kunjungan ke salah satu kampus terfavorite, sebagai upaya untuk meningkatkan minat siswa melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi.
“Gimana Ta, udah ada rencana buat kuliah?” tanya Dewa yang menyadarkan lamunanku.
Aku tersenyum sekilas “Saya sih ikut gimana sahabat saya aja, takut juga kalau sendirian disini”
“Terus kalau salah satu personil gemini's girls ada yang nyemplung sumur, kamu ikut juga?!” Kali ini Ricko yang bertanya dengan nada tegasnya. Dia memang satu paket dengan Dewa, dimana ada Dewa disitu ada Ricko.
Keheningan sempat melanda kami bertiga. Dari tatapan yang Dewa lemparkan padaku, aku dapat menyimpulkan bahwa kami memiliki pemikiran yang sama saat itu.
Aku terkekeh guna mencairkan suasana dari keheningan. Dewa yang akhirnya terbebas dari kebekuan waktu, menarik lenganku dan mendekatkan bibirnya pada telingaku.
“Orang cuek kalo tiba-tiba bercanda suasananya kayak gitu yah Ta. Aneh, dan sedikit mencekam gimana gitu” bisik Dewa.
Aku tak bisa menahan gemelitik di perutku, aku tertawa sejadi-jadinya karena kepolosan Dewa.
“Haha, yang salah tuh ekspresi sama suaranya Wa. Maksudnya mah ucapan candaan tapi malah kayak orang mau ngelabrak pacar yang selingkuh” ceplosku tanpa sadar, yang membuat Ricko meninggalkan kami dengan wajah cemberut.
Dewa membuat wajah datar setelah tertawa terbahak-bahak denganku. “Saya ngga ikutan loh Ta” ucap Dewa yang pergi menyusul paketan edisi terbatasnya. Kini aku baru mengerti bahwa persepsiku salah selama ini, seharusnya dimana ada Ricko, disitu ada Dewa.
Aku terdiam disana sembari memberi sumpah serapah pada Dewa yang dengan mudahnya melemparkan seluruh kesalahan padaku, padahal dia yang memulainya.
“Ta?” seseorang menepuk bahuku, membuatku mau tak mau menoleh kearahnya dan menghentikan sumpah serapahku.
“Eh, yang lain mana Mell?” tanyaku kepada salah satu personil Gemini's girls.
Gemini's girls adalah julukan yang orang lain berikan pada persahabatan kami berempat yang seluruh personilnya secara kebetulan terlahir di bulan yang sama.
“Woy Ta! lu ngapain dah diem bae kayak makanan basi” Nah, kalo yang baru saja datang menghampiri kami itu namanya Ara. Si konyol dan cablaknya Gemini's girl.
“Ra, kalau cewe itu ngga boleh teriak-teriak. Harus kalem” Ucap Eca, yang paling alim diantara kami. Setiap pagi biasanya kami selalu mendapatkan siraman qolbu dari Eca, dan materinya sesuai dengan ceramah yang dia tonton di pagi buta.
Aku hanya tersenyum menanggapi, entah mengapa tapi aku selalu merasa bersyukur setiap kali melihat tingkah mereka. Aku tidak pernah menyesal karena telah memiliki mereka bertiga dihidupku, mereka adalah moodbooster ku.
“Saya ngga ngapa-ngapain, lanjut masuk kevdalem kampusnya yuk. Siapa tahu ada cogan” ucapku. Kami berempat memang hanya mengaggumi para pria tampan ciptaan tuhan yang Esa, tetapi kami tidak pernah berpacaran sekalipun.
Kami memasuki area kampus, berkeliling untuk melihat ruangan setiap jurusan. Mata kami sungguh dimanjakan oleh wajah para laki-laki yang akan menjadi kating kami, kalau memang kami diterima dikampus itu nanti.
“Wah daebak!!...yang pakai almamater warna biru ganteng banget” ucap Ara dengan mata berbinar, siapa lagi yang lebih konyol diantara kami.
Melli yang sangat sensitif dan ringan tangan, memukul lengan Ara “Kebiasaan! Konyolnya mulai kambuh kan. Udah tahu seluruh mahasiswa disini pakai almamater warna biru”
Aku terkekeh, tidak habis fikir dengan mereka yang baru saja berjalan beberapa langkah tapi sudah membuat kerusuhan.
Ara merengut kesal "kalau itu saya juga tahu! Saya bodoh, tapi ngga polos-polos banget. Kan cuma ada kakak itu yang terjangkau mata”
Aku, Melli dan Eca serempak menoleh kearah yang ditunjuk oleh Ara. Disana memang hanya ada seorang laki-laki yang duduk di depan bangku yang ada diluar kelasnya. Laki-laki itu memakai almamater biru yang dia lingkis sesiku, yang menambah ketampanan visualnya serta penampilannya. Kulitnya yang putih bersih, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis membuat setiap lekukkan wajahnya yang terlihat dari samping itu begitu sempurna.
“Kayak kenal” gumamku.
“Itu bukannya selebgram yang kamu suka kepoin itu yah Ta?” tanya Melli.
Aku menoleh kearah Melli sekilas karena terkejut, setelah itu aku memutuskan untuk menoleh lagi kearah laki-laki tadi. Kupandangi dia dengan seksama, tapi aku masih tidak yakin jika itu adalah Devan.
“Kok saya lupa muka selebgram itu yah” ucapku, menyamarkan panggilan agar kata 'muka suami saya' tidak lolos dengan sendirinya dari mulutku.
Ara mengeluarkan ponsel miliknya dan mencari akun milik Devan. Ara menunjukkan salah satu foto Devan yang bersama Luna kepadaku. Ini tidak bohong, aku memang sedikit melupakan wajah Devan karena aku sangat meminimalisir untuk bertemu dan bertatap muka setelah perang dingin antara aku dan Devan minggu lalu.
“Iya ih, mirip” ucap Eca yang membuatku menoleh lagi kearah laki-laki yang dicurigai sebagai Devan itu.
Melli menarik tanganku agar berjalan mendekat kearah laki-laki itu, sementara kedua sahabatku yang lainnya mengikuti dibelakangku.
"Mau ngapain sih Mel?” tanyaku sembari menghentikan langkahku, yang membuat mereka semua berhenti melangkah.
“Kita harus pastiin, itu kak Devan atau bukan” jelas Melli, yang kemudian melanjutkan langkahnya sembari menarik lenganku.
Langkah kami terhenti, sesaat sebelum kami melangkah lebih dekat dengan laki-laki itu. Dari jarak serta posisi kami saat itu, sudah dapat dipastikan bahwa dia adalah Devan. Dan fakta yang membuat kami menghentikan langkah adalah...dia tidak duduk sendiri, ada seorang gadis cantik yang duduk disampingnya, yang sempat tidak terlihat karena tubuh Devan menutupi tubuh mungil gadis itu. Dan wajah gadis itu sudah cukup untuk menambah bukti akurat bahwa dia adalah Devan Azzura Pratama.
Rasa pusing dikepalaku yang sedari kutahan tiba-tiba saja semakin menjadi, tubuhku melemas dan pandanganku perlahan mulai buram. Namun sebelum semuanya menjadi gelap, mataku sempat menangkap sosok Devan yang menoleh dan seketika berlari kearahku.
“Apa yang dia lakukan? Apa dia merasa bersalah atas kemesraannya dengan Luna yang aku ketahui” batinku sebelum aku benar-benar menutup mataku.
***
Aku mengerjapkan mataku saat cahaya lampu memaksa masuk kedalam mataku. Tubuhku terasa tak memiliki tenaga smaa sekali untuk sekedar duduk dan bersandar.
Ketika kepingan kesadaranku telah berkumpul jadi satu, aku melihat ke sekeliling ruangan bercat putih itu. Ah, sepertinya ini adalah ruangan UKS yang terdapat di kampus.
Cklek!
Seseorang membuka pintu dan menghampiriku sembari membawa bingkisan yang tidak kuketahui apa isinya.
“Udah enakkan Ta?” tanya Ricko.
Ini suatu hal yang sangat jarang terjadi. Seorang Ricko Alatas begitu lembut dan memperhatikan seorang gadis dengan sangat baik. Jika saja lintasan ingatan tentang bagaimana Luna menyentuh lembut pipi Devan itu tidak terus berputar dikepalaku, sudah dapat kupastikan bahwa aku akan merasa menjadi gadis beruntung karena mendapatkan perhatian dari Ricko.
Aku memaksakan seulas senyum hangat terbit dibibirku. Bukan apa-apa, ini hanya sebagai apresiasi atas usaha Ricko dalam membuang egonya.
“Saya udah beli bubur nih. Kata dokter perut kamu kosong, jadinya bisa pingsan gini” ucap Ricko yang sama sekali tidak membuatku berminat untuk masuk ke dalam topik pembicaraan itu.
Aku terdiam, melamun.
“Apa Devan yang bawa saya kesini? Dia tadi lari kearah saya karena mau gendong saya kan?” sedari tadi pertanyaan itu terus berputar di fikiran serta benakku.
“Ko, kamu kok tahu saya ada disini” tanyaku pada akhirnya.
“Emang kenapa, ngga boleh?!” sifat cuek dan dingin Ricko akhirnya muncul lagi.
“Ngga kenapa-napa, cuma penasaran aja siapa yang bawa saya kesini” ucapku ragu-ragu, takut menyinggung sisi sensitif seorang Ricko Alatas.
Jantungku berdebar kencang menanti jawaban yang akan keluar dari bibir Ricko, kali ini aku berharap jika Devan lah yang mengangkatku dan membawaku kesini. Setidaknya, dengan begitu aku jadi tahu bahwa Devan memiliki sedikit rasa perduli padaku.
Ricko tersenyum sekilas yang membuatku bertanya-tanya apa maksud dari senyuman Ricko. Jujur saja, saat melihat senyuman itu terbit, aku semakin takut untuk kecewa.
“Saya yang gendong kamu kesini, kamu tuh berat banget kayak...”
Hanya sampai situ saja informasi yang masih terdengar oleh telingaku. Telingaku tiba-tiba kehilangan fungsinya, jiwaku lagi-lagi pergi meninggalkan ragaku yang belum menerima keadaan. Ini lah sebabnya aku tak pernah berharap lebih selama ini, karena aku mudah trauma dan memiliki rasa takut akan kecewa. Tapi setelah hidup bersama Devan, aku menjadi lebih sering berharap meskipun selalu berakhir kecewa. Devan telah mengecewakanku lagi kali ini, yang membuatku menutup satu kepingan kedalam mozaik yang masih memiliki banyak lubang. Mozaik itu adalah pembatas yang tengah aku bangun dengan menaruh satu keping potongan mozaik setiap Devan mengecewakanku. Dan saat mozaik itu sudah membentuk gambar yang sempurna dan tidak ada lagi lubang tersisa, maka tak akan ada lagi kesempatan bagi Devan untuk menjadi cintaku.
Hanya sampai saat itu terjadi, maka tak akan ada lagi nama dia di setiap do'a dan harapku.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain