Di tengah peliknya pikiran tengah malam, sebuah nama muncul seperti sebuah bintang yang meluncur di kegelapan malam. Nama itu kerap memalingkan wajah si empunya kepala dari kantung - kantung tak ber-uang kepada bantal yang muat dua kepala. Kalau dia di sini, pikirnya.
Si kepala bergulir perlahan, bantal itu kosong di sebelah kanan-- dan ada beberapa senti yang muat ditiduri sebelum dinding tegap memperteguh kengerian. Dalam sekejap, si kepala kehilangan pikiran - pikirannya akan hutang yang tak kunjung lunas dan masa depan yang tak jelas-- ia se-gamang angkasa selepas ledakan bintang. Sementara nama itu terus mengendap ke bagian paling lemah dalam sel-sel tubuhnya, mengoyaknya sampai meneteskan air mata.
Malam yang mencekam itu berubah jadi khidmad begitu si kepala mulai memanjatkan doa. Ia terpejam mengenyahkan kosong di sebagian bantal dan dinding yang menakutinya. Namun, lagi-lagi nama itu meledakan sesuatu pada kesadarannya-- bahwa doa yang dipanjatkannya pun tak lebih dari ucapan kotor penuh dosa di telinga Sang Kuasa.
Ratusan meter dari kepala si pendosa, dalam- keadaan-setengah-sadar, kepala lain memaku sebentuk wajah dalam ingatannya. Sudah lama tak bertemu, pikirnya.
Dalam ingatanya, dua buah bangku disusun saling berhadapan dan hidup oleh percakapan. Wajah-itu-di-salah-satu-bangku-itu, yang menghadapnya sambil memberikan senyum yang sulit diartikan maksudnya. Selepas berbagai pertanyaan yang sarat pengandaian, wajah itu lekas menunjukan eksperesi yang serba tak terbaca.
Pada plafon gipsum yang sembab menyerap rembes hujan, sebaris kalimat seakan melintas. Rupa-rupa wajah manusia yang memandang jijik dan hina dengan serta merta mengucap kalimat keji datang mengajak berkelahi-- lagi. Padahal mereka tak pernah tahu soal mengapa kepala si pendosa itu mampu memupuk keinginannya untuk bersatu.
14 Februari itu kepala-kepala lain telah berpasang-pasang, bertaut dalam kecup dan pelukan. Sedang dua kepala ini berbaring di kamarnya, berusaha menerima nilai dan alasan mengapa mereka tak dapat diizinkan bersama.