Birendra Prakarsa Candrakumara, seorang pangeran yang juga salah satu dari saudara Pangeran Kalandra yang dulu selalu mengejekku saat mereka berkunjung ke kerajaan Rosalia. Aku ingat ialah seseorang yang lebih dulu meminta maaf atas perlakuannya kepadaku setelah Tuan Mahawira memberinya pelajaran.
"Maafkan aku, Cornelia. A-aku sangat menyesal dengan apa yang aku lakukan. Sebagai permintaan maaf, aku akan melakukan apa pun untukmu," ucapnya di luar kamarku. Entah, aku tidak tahu ekspresi yang ia tunjukkan saat itu. Namun, dari nada bicaranya, ia sangat menyesal.
Meski begitu, hal yang ia dan saudara-saudaranya lakukan cukup membuatku sedih dan trauma keluar dari kamar.
Aku merengkuh diri di atas tempat tidur. Rasanya aku ingin mati saja. Aku benci wajahku yang buruk, sangat benci dengan kulit hitamku.
Diri ini bertanya, kenapa aku dilahirkan buruk rupa? Mungkinkah karena itu aku dibuang oleh orang tua kandungku? Karena aku buruk rupa? Entahlah. Lagi pula, aku tidak ingat apa pun tentang orang yang telah melahirkanku ke dunia ini. Aku hanya ingat ayahanda Tuan Mahawira memungutku saat ia dan rombongannya baru saja pulang dari berperang.
"Cornelia! Aku mohon, terimalah permintaan maafku. Aku tidak ingin perbuatanku menjadi penyesalan hidupku kelak."
Setelah itu, kudengar derap langkahnya, lelaki itu melangkah pergi.
Sejak saat itu, ia dan dua saudaranya tidak pernah lagi berkunjung ke istana. Tuan Mahawira tidak pernah mengizinkan mereka. Namun, kerajaan mereka tetap beraliansi dengan Kerajaan Rosalia.
------------------
"T-Tuan ... Birendra?" lirihku seolah tidak percaya akan bertemu lagi dengan pria berambut panjang sepunggung itu.
"Birendra kurang ajar ...." Tuan Mahawira geram, tangannya telah mengepal begitu keras.
"Mahawira, aku sudah mengikutimu sejak kemarin. Setelah mendengar kabar bahwa kau kabur dari istana, aku mencarimu ke hutan. Lalu, aku melihat Cornelia bersamamu. Kenapa kau membawa gadis itu?" tanya Tuan Birendra sambil menatap Tuan Mahawira dengan matanya yang sipit itu.
"Bukan urusanmu, Birendra! Segeralah enyah dari hadapanku sebelum kau kucincang--"
"Kau ingat tidak boleh membuat keributan di negeri ini? Kalau kau membuat keributan, kau akan memancing raja dan pangeran dari negeri ini untuk mencari informasi tentang dirimu."
Aku tahu Tuan Mahawira tidak punya pilihan selain menahan emosi yang membakarnya.
Pangeran Birendra melangkah lebih dekat padaku. Ditangkapnya tanganku sambil berkata, "Cornelia, pergilah denganku dan tinggalkan Mahawira!"
Apa?! Dia memintaku meninggalkan tuan yang sudah belasan tahun aku layani? Menyebalkan sekali Birendra tengik ini. Kau pikir semudah itu membuatku memaafkanmu?
Melihat tanganku digenggam oleh Birendra, Tuan Mahawira merebutnya. "Kurang ajar! Lelaki tidak tahu diri! Kaulah yang selalu merendahkan Cornelia! Dan sekarang kau--"
"Mahawira! Itu masa lalu. Bahkan kita semua sudah seharusnya melupakan hal itu." Tuan Birendra kembali akan merebut tanganku dari genggaman Tuan Mahawira, tetapi dengan cekatan Tuan Mahawira menarikku hingga berakhir di pelukannya.
"Tidak akan kubiarkan! Ayo, kita pergi, Cornelia!" Begitu lugas Tuan Mahawira melangkah sambil menggandeng tanganku.
"Kalau begitu, akan kulaporkan kau ke ayahanda. Beliau pasti akan mencari dan menangkapmu. Lihat saja."
"Aku tidak peduli! Lakukan sesukamu!" teriak Tuan Mahawira sambil terus melangkah.
Sesekali kutolehkan pandangan ke arah Tuan Birendra, memberikan ia sinyal agar tidak benar-benar melaporkan Tuan Mahawira pada ayahandanya. Aku sangat yakin pria itu tidak akan pernah melakukannya.
Aku tak bisa mengelak dari perasaan bahagia, tetapi juga sangat menyesal bahwa Tuan Mahawira tidak akan pernah ditakdirkan bersatu denganku. Bagaimanapun, aku berpikir jauh ke depan, akan sangat berdampak buruk baginya. Aku tidak ingin merenggut kehidupan enak tuanku. Dia pasti akan sengsara jika hidup dengan gadis biasa sebatangkara sepertiku.
Oh, Tuhan. Tolong, berikan aku kekuatan untuk melewati jalan berliku ini.
"Jangan pernah kau dengarkan apa yang Birendra tengik itu katakan." Tuan Mahawira buka suara setelah cukup lama hening di dalam perjalanan.
Aku menjawab dengan anggukan.
"Kita akan mencari tempat penginapan. Kalau bisa, aku juga akan mencari pekerjaan agar bisa membiayai kebutuhan kita."
Kenapa rasanya aku begitu bahagia? Aku seperti seseorang yang telah menjadi istri sah Tuan Mahawira.
"Apa Tuan serius dengan perkataan Tuan?"
"Perkataan? Maksudmu perkataanku yang mana?"
Ya, ampun. Apa secepat itu dia lupa? Padahal, baru saja ia bertanya kepada diriku untuk menjadi pasangan hidupnya. Dan sekarang ia lupa dengan hal penting itu? Dasar, pria! Semua pria sama saja! Menyebalkan!
"Kenapa kau diam? Aku bertanya padamu. Perkataan mana yang kau maksud?"
"Tidak, Tuan. Lupakan saja. Sekarang kita cari penginapan dan pekerjaan untuk Tuan."
Kami pun terus melangkah di sekitar pasar, lalu masuk ke pusat keramaian. Kiranya ada sebuah penginapan yang bisa menampung kami meskipun harus bekerja di sana.
Saat menemukan sebuah bangunan yang cukup besar, yang atapnya terbuat dari jerami, Tuan Mahawira memintaku untuk menunggu. Sedangkan pria itu masuk untuk bertanya kepada pemilik tempat dan sekalian meminta pekerjaan.
Karena cukup lelah berdiri, aku mencari tempat duduk dan menemukan sebuah tangga menuju bangunan lantai dua.
"Akhirnya, duduk juga." Kuembuskan napas lega.
"Kenapa kau menurut pada Mahawira bahkan saat dia membawamu dalam marabahaya?" tanya sebuah suara.
Birendra Prakarsa Candrakumara. Pria itu berdiri tepat di hadapanku.
"P-Pangeran Birendra?"
"Jawab pertanyaanku, Cornelia. Apa mungkin kau--"
"Bukankah hal yang wajar, Tuan? Pangeran Mahawira adalah tuan hamba, dan hamba berkewajiban untuk melayaninya."
"Tapi, bukan berarti kau harus ikut terlibat dengan pelariannya dari istana. Ini masalah besar, Cornelia. Kalau sampai raja marah, kau akan dihukum."
Tuan Birendra duduk di sebelahku. Kuberikan sedikit jarak agar tidak terlalu dekat dengannya.
"Maaf, Tuan Birendra. Tapi, hamba--"
"Cornelia! Hei, aku berhasil mendapatkan pekerja ... an." Tuan Mahawira yang baru saja keluar dari tempat penginapan lantas merendahkan nada suara karena melihat lagi-lagi Tuan Birendra mendekatiku.
Tuan Mahawira menarikku segera. "Apa lagi yang kau inginkan, Birendra?! Aku tidak akan menyerahkan Cornelia padamu! Kau camkan itu!"
"Baiklah. Aku tidak akan membawa Cornelia bersamaku, tapi biarkan aku setidaknya ikut bersama kalian." Pria itu berdiri.
"Apa yang kau inginkan sebenarnya?"
"Aku hanya ingin menebus dosa-dosaku pada Cornelia. Semua perlakuanku dulu terhadapnya, akan kulunasi. Untuk itu, biarkan aku membantu kalian."
Tuan Mahawira bungkam sejenak. Sepertinya ia sedang berpikir. Lamat ia tatap Tuan Birendra.
"Asal kau berjanji tidak akan melakukan hal apa pun pada Cornelia, aku akan mengizinkanmu ikut dengan kami."
Tuan Birendra mengangguk sekali, lalu berucap, "Ya. Hal yang mudah. Kau bisa mengawasiku setiap saat. Lagi pula, aku tidak benar-benar berniat untuk melaporkanmu pada raja."
"Lantas? Maksud perkataanmu?"
"Hanya sebuah lelucon. Kau bahkan sangat mengenalku. Aku orang yang tidak peduli dengan urusan orang lain."
Tuan Mahawira mengambil napas panjang. "Baiklah. Kau boleh ikut."
Meskipun Pangeran Birendra tersenyum, Tuan Mahawira tidak berniat membalasnya. Tentu saja, itu karena sikap bawaannya.
"Cornelia, tunggu aku di sini. Aku akan mengganti pakaianku. Besok akan kubelikan kau pakaian. Ini aku dapat dari pemilik penginapan," kata Tuan Mahawira. "Ingat! Jangan melakukan hal macam-macam pada Cornelia!" lanjutnya mengingatkan Tuan Birendra.
Tuan Mahawira naik ke lantai dua penginapan.
"Apa kau tahu tentang sebuah kerajaan di negeri ini?" Tuan Birendra membuka topik pembicaraan.
Aku menggeleng pelan. "Tidak. Aku tidak cukup tahu tentang negeri ini."
"Dikabarkan belasan tahun lalu, seorang putri menghilang dari Kerajaan Batalia. Lokasi kerajaan ada di arah barat negeri ini."
"Menghilang? Kenapa bisa menghilang?"
"Entahlah. Aku pernah mendengar kabar dari seorang pedagang, katanya seorang penasihat di kerajaan itu yang membawa tuan putri itu kabur. Lalu, sampai sekarang tidak pernah kembali," tutur pria bermata sipit.
Aku pun hanya mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar penuturan Tuan Birendra. Cukup asyik mendengarkan ceritanya, karena aku juga butuh informasi tentang segala sesuatu di negeri ini.
Tak berselang lama, kudengar langkah kuda berderap bersama suara-suara yang meminta orang-orang menepi dari jalan. Kedengarannya seperti rombongan berkuda atau kereta, entahlah. Namun, setelah cukup jelas terdengar, aku berdiri untuk memastikan.
Benar dugaanku, rombongan kereta kuda. Biasanya di dalam kereta kuda yang bagian belakangnya tertutup penuh itu berisi orang penting. Mungkin raja, tuan putri, pangeran, atau menteri.
Saat rombongan melewati tempat aku berdiri, salah seorang pria paruh baya dengan kumis dan janggut yang telah memutih, memandangku dengan lamat sambil mengarahkan kuda tunggangannya untuk tetap berjalan.
Aku merasa aneh dengan tatapan pria itu. Apakah dia pernah melihatku? Atau ada sesuatu yang aneh dengan diriku?
"Berhenti!" perintah pria itu dengan suara menggelegar. Semua kereta kuda berhenti, termasuk para penunggang kuda tunggal.
Sang pria turun dari kuda berwarna putihnya, lalu melangkah ke arahku.
Satu meter berada di depanku, ia menatap dengan lamat.
Dihelanya napas dalam, lalu berteriak, "Para pengawal! Tangkap gadis ini!"
Aku terkejut dengan mata membelalak. Seolah bertanya di dalam hati, apa salahku?
Semua pengawal berseragam serba merah, membawa pedang panjang, serta perisai bergerak mendekat ke arahku. Sementara itu, saat Tuan Birendra akan melakukan pergerakan, mungkin untuk membantuku, ia ditahan oleh seseorang bertubuh besar.
Aku dibelenggu puluhan tangan tanpa bisa melawan.
Tuan Mahawira, tolong aku ....
--------------------
Perfect. Awalnya aku berpikir di chap dua Mahawira mengajak Cornelia kabur adalah dipaksakan dan janggal, tapi sepertinya tidak dan akan terjawab chap selanjutnya.
Comment on chapter BAB 3: Pelukan Hangat TuankuAku bukan fans cerita romance, dalam genre ini aku sangat pilih-pilih. Namun aku jadikan ini roman story pilihanku, ya :D
Serius, aku suka banget. Kasih tahu aku tiap kali up ya. Aku akan kasih rev kalau sudah jauh. Salam dan terus berkarya dengan luar biasa!