Karena kimono milikku sobek di beberapa bagian, Tuan Mahawira dengan rela memberikan mantelnya untuk kugunakan, sementara ia hanya mengenakan kain tipis berwarna putih sebagai pakaian. Aku merasa tidak enak dengannya.
"Tuan ... yakin memberikan mantel ini untukku?"
"Hanya kuberi pinjam. Dan itu tidak gratis. Kau harus melakukan sesuatu untukku."
"Hah?! M-melakukan apa, Tuan?"
"Sudahlah, sekarang lebih baik kita lanjutkan perjalanan. Negeri Angin sudah dekat dari sini. Jika kita berhasil melewati satu perbukitan terakhir, Negeri Angin akan terlihat."
Aku mengangguk-anggukkan kepala sebagai respons.
"Tuan, bagaimana kalau ada yang mengenali Tuan? Bukankah Tuan orang yang terkenal di seluruh negeri aliansi dan—"
"Tidak satu pun kerajaan di Negeri Angin itu aliansi Kerajaan Rosalia. Ah, sudahlah. Kau tidak akan mengerti jika berbicara tentang kerajaan. Kau sebaiknya cukup ikuti saja aku."
Aku mengembuskan napas setelahnya.
Aku juga 'kan, mau tahu tentang kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri itu. Meskipun memang aku hanyalah seorang pelayan, tapi jika dalam keadaan seperti ini aku tidak punya pengetahuan tentang kerajaan sendiri dan kerajaan-kerajaan lainnya, banyak hal yang bisa terjadi.
"Ayo, kau berjalan di sampingku. Jika terjadi sesuatu lagi, aku tidak akan menolongmu."
Jahat sekali kau, Tuan!
Kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju Negeri Angin. Seperti yang dikatakan oleh Tuan Mahawira, jika berhasil melewati satu bukit lagi, maka Negeri Angin akan segera terlihat. Nyatanya, sampai malam tiba pun, kami belum juga melihat adanya perbukitan.
"Aku lelah. Kita istirahat sebentar," pungkas Tuan Mahawira sambil menyapu dahi dengan tangan, ia pun mengempaskan pantat di tanah yang ditumbuhi oleh rumput-rumput liar.
Aku pun begitu, lelah sekali. Tenggorokanku kering.
"Ya, ampun. Aku lupa mengambil air minum dari air terjun itu. Sekarang pasti kita tidak akan menemukan sumber air di sekitar sini," ucapku.
"Dasar bodoh," lirih Tuan Mahawira.
Apa? Dia mengataiku bodoh? Enak saja! Kalau aku lupa, bukankah seharusnya dia mengingatkan? Atau paling tidak memerintahkan untuk mengambil air di sana. Membuatku kesal saja!
"M-maaf, Tuan. Aku ... benar-benar tidak terpikir untuk—"
"Sssst!"
Tiba-tiba Tuan Mahawira meletakkan jari telunjuk di depan bibirku. Seketika aku terdiam.
Tuan Mahawira sibuk mengedarkan bola mata ke sekeliling, seolah-olah ia sedang waspada akan suatu hal.
"A-ada apa, Tuan?" tanyaku dengan nada pelan.
Tuan Mahawira tidak menjawab, ia lantas memejamkan kedua matanya. Tak berselang lama, kembali matanya terbuka, tetapi setelahnya langsung berteriak keras, "LARI!"
Aku terkesiap ketika Tuan Mahawira meraih punggungku dan membawaku lari. Kulihat puluhan anak panah melesat cepat hampir mengenai wajahku.
"Kau bersembunyilah di sini!"
Tampak sangat jelas Tuan Mahawira begitu tegang.
"Kau mau ke mana, Tuan?" tanyaku karena Tuan Mahawira tidak ikut bersembunyi denganku di balik pohon.
"Aku akan mencari orang-orang terkutuk itu! Kau tetap di sini sampai aku kembali."
Saat Tuan Mahawira akan pergi, dengan cepat kuraih ujung pakaiannya sambil menunduk. "Kumohon, jangan tinggalkan aku di sini, Tuan."
Aku tidak tahu ekspresi apa yang ditunjukkan oleh pria itu karena sedang dalam posisi menunduk. Setelah kuangkat kepala, tiba-tiba saja Tuan Mahawira mendorongku dengan keras sehingga terperosot di sebuah jurang di balik pohon-pohon.
Tuan Mahawira menangkap satu anak panah. Aku masih bisa menyaksikannya, pria itu juga tergelincir hingga terjatuh. Setelah itu, aku tak tahu bagaimana nasib tuanku. Bahkan, nasibku sendiri pun aku tak tahu.
Aku menggelinding di jurang terjal. Tubuhku menabrak pohon dan semak-semak di sekitar, bahkan batu pun menghantam pinggangku hingga tak sadarkan diri. Seluruh tubuh kurasakan sakit, yang kulihat menggelap.
------------------------
"Tuan ... Tuan ... Tuan ...."
Aku menggeliat-liat karena merasakan tubuh nyeri dan pegal. Mata belum kubuka, tetapi rasanya ada banyak pasir dan kotoran yang menutupi wajah. Yang teringat saat itu hanya nama tuanku.
Mahawira Baladewa Balmatra Bangsawan. Seorang pria yang selalu berhasil membuatku terkagum dengan ketangkasannya. Dimulai semenjak usia lima belas tahun saat Tuan Mahawira mulai berlatih menggunakan pedang serta belajar bela diri.
Dulunya, tuanku orang yang penakut. Namun, saat ia melihatku menangis karena selalu dihina oleh pangeran-pangeran dari negeri seberang, ia memberanikan diri untuk melawan mereka tanpa kemampuan yang hebat.
"Jelek! Hitam! Kau tidak pantas ada di istana ini! Bahkan kau tidak pantas berada di negeri mana pun!" Begitulah cerca mereka—para pangeran yang tampan dan calon penerus raja.
Kututup telinga dan menjongkok, coba mengusir kata-kata mereka yang begitu menyakiti hatiku.
"Pergi kau dari sini! Kau tidak pantas bersama Pangeran Mahawira!"
"Hentikan!"
Mendengar teriakan yang menggema itu, aku lantas membuka mata, lalu melihat lelaki yang selalu bersamaku itu berdiri di depanku. Dibentangkannya kedua tangan, seolah menjadi tameng yang siap melindungi diriku.
"Ada apa? Apa yang kau lakukan, Pangeran?" tanya salah satu dari tiga bersaudara yang merupakan anak-anak dari kerajaan di negeri seberang.
"Kalian tidak semestinya mengatakan hal itu pada Cornelia! Kalian tidak tahu betapa baik hatinya!"
Mendengar teriakan dari sang pangeran, tiga bersaudara itu tertawa keras. "Apa yang kau katakan, Pangeran? Dia tidak sebanding dengan kita. Dia itu berada di bawah—"
"Terkutuk!"
Tuan Mahawira dengan cepat melesat ke arah mereka, lalu menghantam tiga bersaudara itu satu per satu. Tanpa sedikit pun kekhawatiran akan mendapatkan hukuman dari ayahandanya atas perlakuan itu, Tuan Mahawira membabi buta.
Aku tidak dapat melakukan apa pun. Bergeming diriku melihat ketangkasan tuanku. Aksinya itu seolah-olah dapat meredakan tangis dan kesedihan atas perlakuan tiga pangeran congkak.
Ketiga pangeran mampu dibuat terkapar oleh Tuan Mahawira. Namun, ekspresi di wajahnya semenjak saat itu jadi berubah. Dia tidak lagi lelaki seperti yang aku kenal; penakut, kaku, kurang komunikasi.
Ia selalu bersikap dingin dan berwajah datar.
"Kembalilah kau ke kamarmu!"
Aku mulai bangkit, gugup. Untuk pertama kalinya aku gugup karena lelaki itu. Semula akulah yang selalu melindunginya, bermain bersama Tuan Mahawira. Dan sekarang ... tidak lagi.
"T-terima—"
"KEMBALI!"
Justru teriakan pria itu membuatku semakin dirundung rasa takut. Jantung berontak, aku pun segera pergi dengan langkah gontai.
Aku pikir diriku bisa menjadi seseorang yang selalu melindungi dan melayani tuanku, tetapi nyatanya malah membawa sial.
Aku sadar dengan fisikku yang tidak seberuntung anak-anak gadis di istana. Kulit yang putih dan mulus, rambut yang lembut, bola mata yang indah, serta hidung yang lancip. Aku tidak memiliki semua itu. Aku hanya gadis buruk rupa yang dipungut sang ayahanda dari tuanku, lalu dipekerjakan serta dilatih menjadi seorang pelayan.
Aku tak tahu dari mana berasal dan siapa diriku yang sebenarnya.
---------------------------
Membuka sebelah mata, cerah yang kulihat. Kucoba bangkit dengan rasa sakit yang membalut beberapa bagian tubuh. Pasir-pasir yang mengotori wajah dan mantel Tuan Mahawira segera kubersihkan.
Tiba-tiba perutku berbunyi. Tidak heran, aku kehilangan banyak tenaga.
Segera kulangkahkan kaki meski agak terhuyung. Kusapukan pandangan, lalu menemukan pohon apel yang telah berbuah. Dengan cepat kudekati dan memetik apel begitu banyak. Kumakan dengan lahap. Satu apel belum habis, kumakan yang lainnya.
"Akan kuambilkan untuk Tuan—"
Aku terhenti seketika. Tuan Mahawira? Ke mana dia?
Mataku mulai menerawang. Mengingat kejadian kenapa aku bisa sampai ada di tempat ini membuatku berhenti memetik buah apel, lantas berjalan cepat untuk menemukan tuanku.
"Tuan Mahawira, di mana kau?" gumamku dalam hati. Tentu saja, aku berharap hal buruk tidak terjadi padanya.
Aku belum siap untuk kehilangan pria itu karena masih merasa begitu membutuhkannya. Kupikir ia tidak membutuhkanku, tetapi akulah yang butuh akan dirinya.
Kucari pria itu di semak-semak tanah terjal tempatku menggelinding. Namun, tak juga kutemukan. Hatiku mulai sedih.
Apel-apel yang kupetik percuma saja jika tuanku tidak bisa menikmatinya. Apa pun yang kutemukan tetap tidak berarti apa-apa.
Lututku serasa keropos hingga diriku bersimpuh. Apel-apel terjatuh dari genggaman, berserakan di sekitar.
"Apa yang kau lakukan di situ?"
Sebuah suara membuat leherku memutar ke kanan. Seorang pria tampan dengan dua anting terpasang di telinga, membuatku terkejut.
"Apa yang sudah terjadi denganmu, Gadis Cantik?"
Aku bergeming, napas menderu saat dia mendekat. Terlebih lagi ia membawa pedang panjang di genggaman.
------------------------
Perfect. Awalnya aku berpikir di chap dua Mahawira mengajak Cornelia kabur adalah dipaksakan dan janggal, tapi sepertinya tidak dan akan terjawab chap selanjutnya.
Comment on chapter BAB 3: Pelukan Hangat TuankuAku bukan fans cerita romance, dalam genre ini aku sangat pilih-pilih. Namun aku jadikan ini roman story pilihanku, ya :D
Serius, aku suka banget. Kasih tahu aku tiap kali up ya. Aku akan kasih rev kalau sudah jauh. Salam dan terus berkarya dengan luar biasa!