Read More >>"> Ankle Breaker: Origin ([Chapter 10: Ribka] ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ankle Breaker: Origin
MENU
About Us  

ANKLE BREAKER ORIGIN

[Chapter 9]

 

 

Ribka menghadapi dua penjagaan yang rapat, membuatnya berpikir operan ke setiap rekan yang dituju tidak akan mudah dilakukan. Ia melakukan dua langkah mundur yang cepat, segera melepas tembakan yang tidak sepat dibatalkan dua penjaganya. Setiap muka yang hadir di arena saling tengadah, mengikuti pelambungan bola yang tinggi. Arah pelambungan bola yang hampir setegak garis vertikal, kemudian membentuk titik kurva pada puncak ketinggian. Bola melambung turun ... tepat menuju kolong rim sehingga membuat skor delapan puluh satu di bawah nama Claster, di samping skor lima puluh delapan di bawah nama Boltian, juga diiringi sorak selebrasi dari setiap penonton. 

Ribka mendapat beberapa rangkulan dari rekan, juga pelukan dari dua perempuan, satu pelukan lagi dari laki-laki. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke wajah Ribka, sikap yang membuat Ribka mencondongkan punggungnya ke belakang dan meletakkan jari telunjuk ke bibir laki-laki itu. 

"Why?" heran laki-laki itu setelah memegang tangan Ribka dan mengalihkan jari telunjuk dari bibirnya.

"Jangan di sini!" jawab Ribka.

Laki-laki itu beralih sedikit ke kanan Ribka, mencium pipi sehingga Ribka terkejut. Bukan Ribka marah, tapi memaklumkannya.

"Joseva!" sapa seseorang dengan suara maskulin, sehingga laki-laki yang menguasai Ribka dengan genggaman merasa terpanggil. "Tim kamu boleh menang kali ini," sambil menyerahkan sebendel lembaran uang berwarna merah, "streetballer sejati tidak bersikap seperti pecundang meski tanpa ditengahi bandar taruhan."

"Salute," kata Joseva sambil menerima uangnya. "Thank you and I respect."

"Respect juga buatmu," sambil memberi kepalan tinju ke Joseva, membuat tos dengan itu lalu berbalik pergi.

"Kamu bilang ini bukan taruhan?" Ribka melepas genggaman Joseva dari tubuhnya, menunjukkan raut kemarahan.

"Hey, you missunderstanding. Tadi kan aku cuma bilang kalau enggak ada bandar tahuran di game ini."

"Curang." Ribka kesal, ia beranjak dengan langkah geram, meninggalkan kerumunan teman-temannya.

"Ribka!" Joseva mengejar, "Ribka, dengerin aku!" mendapatkan tangan Ribka

"Jangan bicara sama aku hari ini!" kata Ribka dengan menyingkirkan genggaman Joseva dari lengan kanannya. "Dan besok!" Ia lanjut menjauh.

 

***

 

Area distrik nuansa pinggiran kota trotoarnya cukup sepi dan aman bagi seorang perempuan yang berjalan sendirian. Penerangan dari jajaran lampu jalan cukup memhamankan ia dari latar remang di bawah sinar bulan tiga per empat. Jaket switer warna biru gelap terlihat cukup tebal melindungi badan dan lengannya dari tusukan dingin embusan udara kota, meski lehernya yang terbuka masih merasakannya. Kalau memang apa yang ia minum lewat sedotan plastik yang terpasang pada gelas cangkir —sepertinya dari mika tebal— terasa enak dan menghangatkan, ia tidak sedang membuat diri sengaja kedinginan. 

Ia bersimpangan dengan area belakang gedung bertingkat dua yang gelap, seperti telah lama dikosongkan. Lebih tepatnya ia bersimpangan dengan court basket di halaman belakang gedung itu. Court remang yang terasa menakutkan dengan sedikitnya intensitasi cahaya —dari lampu kota terdekat yang sampai ke situ—, juga dengan penampilan belakang gedung sebagai latar belakangnya. Ia memperhatikan ... tidak salah melihat seorang laki-laki yang terniat memakai court itu untuk melatih kemampuan bermainnya, melakukan beberapa teknik membawa bola mau pun mencetak skor.

Pengaruh dari suhu udara malam itu membuat Ribka bersin, dengan volume yang membuat laki-laki itu mendapati keberadaannya.

 

***

 

Untuk mengawali perkenalan Ribka tidak merasa punya masalah, tapi tampaknya laki-laki itu tidak siap dengan kehadirannya. 

"Kok mainnya sendirian, temennya berapa?" Ribka lihat laki-laki itu bingung menanggapi yang ia tanyakan. Merasa lucu, "Hmhm, temen kamu mana?"

"Aku ... sendiri aja," jawabnya dengan salah tingkah.

"Kirain pengen ditemenin," kata Ribka dengan memberi senyum, lalu berbalik badan sampai mendapat dua langkah berjalan.

"Kak!"

Ribka terhenti, kembali menghadap laki-laki itu. 

"Em, bisa main basket?" dengan ragu bertanya.

""Enggak bisa." Karena jawabannya, Ribka lihat kepercayaan diri laki-laki itu menjadi turun. Ribka pikir itu lucu. "Enggak mau kenalan dulu?" dengan nada sedikit menggoda bertanya.

"Ehm, aku Alter," katanya gugup sambil menyusun kembali kepercayaan diri seperti yang Ribka pahami.

"Alter? Nama yang keren. Aku Ribka," sambil mengulur jabatan tangan, Alter menerima itu.

"Kenapa harus latihan di sini, sendiri?" tanya Ribka heran. "Enggak takut?"

"Enggak ada court selain ini yang aku tahu. Kamu takut?"

"Di sini horor, tapi kamu kayak enggak ngerasa. Emang kamu tinggial di mana?"

"Wisma Nagoya, sebelah Nagoya Hill."

"Kenapa harus main di sini, kalau dari tempat kamu tinggal juga enggak jauh dari NDP?"

"NDP?"

"Kamu enggak tahu?" Ribka heran.

"Aku belum cukup lama untuk tahu semua tempat di kota ini."

"Oh, kamu pendatang?" Dijawab Alter dengan anggukan. "Dari mana kamu sebelumnya, kalau boleh tahu?"

"Jogjakarta."

"Oh ya. Dan ke sini?"

Tatapan mata Alter menjadi tidak tetap, seperti tidak siap menjawab. "Cari ...," mulai mendapat ide, "kehidupan baru."

"Waw!" telah Ribka dengar jawaban yang mengejutkan. "Kenapa dengan kehidupan lama?" Namun Ribka melihat Alter jelas tidak siap menjawab."Maaf. Aku terlalu kepo, ya?"

Alter menanggapi tanpa jawaban, hanya tersenyum sambil memantulkan bola.

"Masih mau main?" tanya Ribka. 

"Emh, ya, mau main sama aku?"

"Boleh." Lalu Ribka meletakkan minumannya di dasar court, tidak terlalu jauh dari posisi awalnya.

"Kamu dulu," sambil memberi bola ke Ribka. "Masukin ke rim, ya!"

"Pasti."

Dengan sedikit pemanasan drible yang Ribka lakukan, Alter menilai ... tidak seperti yang tadi dikatakan. Alter pikir drible Ribka menunjukkan bisa bermain basket jalanan. Ribka mencoba pertahanan Alter dari kiri, kanan, dan ... kali ini serius. Reaksi Alter cukup aplikatif terhadap drive, pivot, crossover dan fake yang Ribka lakukan. Alter mulai mengerti, Ribka ternyata cukup berpengalaman, memang seorang pemain basket jalanan. 

Gerakan Alter menutup ke kiri telah membuat Ribka membatalkan drive, segera setelahnya Ribka lakukan dua kali langkah mundur yang cepat sehingga lepas dari jangkauan penjagaan Alter. Ribka tahu Alter bersegera menuju ke depannya, juga ia tahu percepatan langkah Alter tidak akan sempat melakukan block kepada tembakannya yang lebih dulu dilesatkan ke atas. Alter lihat, arah pelambungan bola itu ... tinggi, sehingga mengarah ke posisi bulan, lalu mulai melambung turun. Alter menuju ke bawah rim, sampai lebih dulu di tempat daripada jatuhnya bola sedangkan ia lihat Ribka tetap di posisinya. 

Alter menyaksikan bagian akhir tembakan Ribka. Terkagum pada teknik dan akurasinya, bahkan tidak ia dengar tanda bahwa bola yang masuk net menyinggung rim sehingga berdering. Alter menatap Ribka, penasaran dengan ekspresi apa perempuan itu mengesan keberhasilan tembakannya. Ribka melayangkan senyuman kepadanya. 

"Ambil bolanya," kata Ribka. 

Dengan mencuri pandang ke postur tubuh Ribka, Alter berpikir, bagaimana tembakan seperti itu bisa dilakukan seorang perempuan yang lekuk tangannya tidak terlihat besar dari balik switer yang dikenakan? Arah pelambungan awal bola yang hampir selurus garis vertikal, menurutnya perlu tenaga dorong yang besar untuk mencapai titik puncak pelambungan yang menjadi pembentuk kurva rute tembakan, bahkan arah bola saat melambung turun bisa presisi ... jatuh ke kolonh rim tanpa berdering menyinggung lingkar dalam.

"Tembakanmu hebat!" Alter terkesan. "Baru kali ini aku lihat teknik tembakan seperti yang kamu lakukan."

 

***

 

Alter duduk di dasar court dengan melunjurkan sebelah kaki, kedua tangannya memegang sekitar lutut yang menekuk posisi kaki kanan ke bawah. Sedangkan Ribka di sebelah kirinya meluruskan kedua kaki ke depan dengan menyilangkan pergelangan. 

"Habis ini, kamu masih mau main lagi sama aku?"

"Capek, Alter. Besok lagi."

"Ya, itu maksudku. Aku belajar main basket baru empat hari ini. Kamu mau jadi pelatihku?"

Ribka menatap Alter dengan terdiam sebentar. "Boleh. Kapan pun kamu mau." Ribka meneguk minumannya, lalu menawarkan ke Alter.

Alter lihat, hanya ada satu selang sedotan, ia terima, meneguk menumannya.

"Enak enggak?" tanya Ribka. 

"Enak."

"Buat kamu."

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Gladistia

    Baru 2 chapter, udah suka. Jadi nostalgi. Keren Dhio, lanjut dongsss.... ^^

    Comment on chapter Chapter 3: Excalibur
Similar Tags
They Call It Love
539      338     0     
Short Story
Bersyukur Tanpamu
528      348     4     
Short Story
Without You, I\'m Fine
HARMONI : Antara Padam, Sulut dan Terang
1081      481     5     
Romance
HARMONI adalah Padam, yang seketika jadikan gelap sebuah ruangan. Meski semula terang benderang. HARMONI adalah Sulut, yang memberikan harapan akan datangnya sinar tuk cerahkan ruang yang gelap. HARMONI adalah Terang, yang menjadikan ruang yang tersembunyi menampakkan segala isinya. Dan HARMONI yang sesungguhnya adalah masa di mana ketiga bagian dari Padam, Sulut dan Terang saling bertuk...
SUN DARK
369      229     1     
Short Story
Baca aja, tarik kesimpulan kalian sendiri, biar lebih asik hehe
Akselerasi, Katanya
569      304     4     
Short Story
Kelas akselerasi, katanya. Tapi kelakuannya—duh, ampun!
Sacrifice
6190      1563     3     
Romance
Natasya, "Kamu kehilangannya karena itu memang sudah waktunya kamu mendapatkan yang lebih darinya." Alesa, "Lalu, apakah kau akan mendapatkan yang lebih dariku saat kau kehilanganku?"
Birthday Gift
447      325     1     
Short Story
Unknown
208      170     0     
Romance
Demi apapun, Zigga menyesal menceritakan itu. Sekarang jadinya harus ada manusia menyebalkan yang mengetahui rahasianya itu selain dia dan Tuhan. Bahkan Zigga malas sekali menyebutkan namanya. Dia, Maga!
Suprise! Ups!
459      310     0     
Short Story
Gaiza segera mendekatkan dirinya ke Tyas. “Kok lo tahu kalau gue ngebet banget pingin punya Iphone 6.” “Gue keturunan paranormal. Jadi sewaktu-waktu gue bisa ngehipnotis lo.” Gaiza menatap Tyas malas. “Gue percaya.” . . . . Kelakuan kedua anak perempuan semprul yang duduk di bangku SMP. bagaimanakah cerita absurdnya ketika mamanya Gaiza sedang ber...
The Fall of Man
1358      542     1     
Romance
Tirani bagi tiap generasi