Setelah kepergok mengikuti Arga, gadis itu ikut bersama Arga ke rumahnya. Kini, mereka sedang berada di gudang penyimpanan barang tak terpakai.
“Jadi, kenapa lo ngikutin gue?” tanya Arga pada gadis berlesung pipit di hadapannya.
“Lo Arga, kan? Cowok kelas 2 SMA Harapan Nusantara. Sang dewa gitar,” tebak si gadis.
Arga menatap si gadis dengan lekat sebelum mulai angkat bicara. “Sekarang juga lo pergi dari sini.”
Arga meraih lengan si gadis dan menyeretnya keluar dari rumahnya.
“Hei, apa-apaan sih ini. Gue—”
“Gue bukan dewa gitar yang lo maksud!” tegas Arga setelah berhasil membawa keluar gadis tersebut. Matanya tajam tersorot. Kemudian, ia melangkah masuk.
“Hei, gue tahu kok lo Arga!” teriak si gadis mencoba menghentikan langkah Arga.
“Dan asal lo tahu! Gue ini fans berat lo! Gue pengen denger lagi permainan gitar lo!”
Kalimat itu mampu membuat langkah Arga terhenti hingga kembali berbalik badan.
“Fans gue? Sayang banget, gue udah nggak main gitar lagi kayak yang lo harapkan.”
“Kenapa?” Gadis itu mencoba mendekat ke Arga. “Kenapa lo nggak main gitar lagi? Gue kangen permainan lo. Dan, sayang banget kalau lo—"
“Bukan urusan lo!” Arga pun kembali melangkah, meninggalkan si gadis yang bergeming.
-ooOoo-
“Mel! Melani! MELANIIIII!”
Melani tak mendengar teriakan salah satu temannya karena sedang memakai earphone. Namun, gadis berambut kepang itu meraih earphone yang terpasang di kepala Melani hingga membuat gadis itu kesal.
“Neha! Apa-apaan, sih!”
“Lo yang apa-apaan, Mel. Dari tadi gue teriak-teriak juga nggak lo denger. Dengerin lagu apaan, sih.”
Neha pun memasang earphone yang ia ambil dari Melani karena penasaran dengan musik yang didengar oleh sahabatnya tersebut sampai-sampai membuatnya mengabaikan sekitar.
“Ini kan … permainan gitar dari … siapa sih namanya,” komentar Neha seraya melepas earphone.
“Siapa? Coba gue denger.”
Rahma, cewek berpenampilan culun yang juga teman Melani mulai penasaran. Ia rebut earphone dari Neha dan memasangnya.
“Gue tahu!” seru Rahma tak sadar volume suaranya begitu tinggi. Membuat pandangan siswa-siswi di kantin sekolah ini tertuju padanya.
“Ehehe, sorry,” ucapnya sambil tercengir menyadari tatapan-tatapan heran padanya.
“Ini musiknya si Arga, si dewa gitar yang terkenal itu.”
“Ah, iya. Namanya Arga. Tapi akhir-akhir ini kayaknya dia nggak pernah kelihatan ya,” komentar Neha.
“Kelihatan? Emangnya lo sering lihat dia gitu?” tanya Melani.
“Iyalah. Dia ini dulu sering banget main di kafe tempat gue biasa nongkrong. Tapi entah sekarang dia udah nggak pernah muncul lagi. Kenapa, ya?”
“Mati kali,” ucap Rahma dengan lugas. Seperti biasa, teman Melani yang satu itu memang tipe yang ceplas-ceplos kalau ngomong.
“Heh! Ngawur lo, Ma,” tegur Melani.
“Hehe, sorry sorry.”
Melani mendengkus kasar, tiba-tiba teringat kejadian beberapa minggu lalu saat ia bertemu dengan Arga.
“Gue minggu lalu ketemu sama dia,” ucap Melani.
“Hah?! Serius lo, Mel? Gue denger-denger dia orangnya kan cakep ya,” kata Rahma sambil membulatkan matanya.
“Iya, dia emang cakep. Tapi sayangnya, dia dingin banget kayak kulkas,” komentar Neha yang akhirnya tertawa serentak dengan Rahma.
-ooOoo-
“Mel, lo yakin ini jalan ke rumahnya?” tanya Neha sambil memperhatikan sekitar.
“Yakinlah, kemarin dia mergoki gue lagi ngikutin dia di sini.”
“Lo kepergok?” ulang Rahma sambil tertawa renyah.
“Diem lo, Ma. Nggak lucu tahu,” kesal Melani.
“Luculah, Mel. Gue bayangin penguntit kepergok sama yang dikuntit.”
Tiba-tiba Arga datang dari arah berlawanan, membuat ketiga gadis itu bersembunyi di tepi-tepi gerbang rumah.
“Eh, itu. Iya, itu bener si Arga,” ucap Neha berbisik, “Wah, masih ganteng ya dia,” lanjutnya.
“Ne, bisa diem nggak sih? Nanti ketahuan kita.”
“Iya, maaf.”
Begitu ketiganya menoleh kembali ke arah di mana Arga berada, sepi mereka temukan. Tak ada lagi sosok Arga.
“Kok ilang? Gara-gara lo sih, Ne,” protes Melani mengerutkan dahi.
“Emang rumahnya di mana, sih, Mel?”
“Tuh di belokan.”
“Nah, mungkin dia udah nyampe rumah. Kita cek, yuk,” tandas Neha, ketiganya pun berjalan pelan menuju belokan gang.
Tak menemukan lelaki itu, Melani mendesah panjang. “Gara-gara kalian, nih!” katanya sambil menghadap kedua temannya.
“Mel—”
“Apa? Mau protes? Nyesel gue ngajakin kalian,” potongnya tak menggubris Rahma yang berusaha memberitahu bahwa Arga ternyata ada di belakangnya.
“Mel?”
“Apaan, sih?!”
“Itu,” ucap Rahma dan Neha serentak sembari menunjuk Arga yang tengah berdiri di belakang sahabat mereka.
Melani menoleh pelan, cukup terkejut dan gugup. “Eh, Arga. Kapan di sini, Ga?” tanyanya basa-basi, salah tingkah.
“Lo mau apa lagi? Gue kan udah bilang jangan ngikutin--”
“Ngikutin lo? Ah, kepedean banget, sih. Nggak, gue nggak bermaksud ngikutin lo, kok. Ya, kan, Ne, Ma.”
“Hmm, i-iya. Kita lagi nyari penjual pentol kok ke sini,” ucap Neha membenarkan alasan Melani.
“Iya, bener, tuh. Kita itu ke sini sebenarnya lagi nyari cowok yang namanya Arga.” Seperti biasa, mulut Rahma memang susah untuk dikendalikan.
“Rahma!” teriak Melani dan Neha serentak.
-ooOoo-
Arga membuatkan jus jeruk untuk ketiga gadis yang tengah ada di rumahnya saat ini.
“Setelah minuman ini habis, kalian harus pulang,” kata Arga sambil meletakkan nampan yang berisi tiga gelas jus jeruk segar.
Ketiganya saling berebut, terutama Neha dengan Rahma.
“Semuanya sama aja. Nggak ada yang beda, jangan berebut,” peringat Arga.
“Hehe, iya.” Rahma mengangguk sungkan.
“Gue nggak mau pulang sebelum lo mainin satu lagu,” tandas Melani setelah meneguk setengah jusnya.
“Melani …,” bisik Neha yang terlihat takut kalau saja Arga marah.
“Apaan, sih? Biarin. Gue nggak akan pergi dari rumah ini sebelum dia mau main satu lagu buat gue! Titik! Nggak pakai koma!” tegas lagi Melani semakin berani menatap mata Arga yang begitu tajam.
Arga mendesah pelan, lalu bangkit dan menuju piano klasik yang ada di sebelah sofa, mepet dengan dinding.
Sebelum mulai menekan tuts, Arga memejamkan mata. Di benaknya, teringat sebuah masa yang kelam saat ia menangis di hadapan mayat sang ibu. Akan tetapi, Arga tetap menekan tuts, memainkan sebuah musik sendu yang seketika membuat tiga gadis itu tergetar hatinya.
“STOP!” teriak Melani seketika menghentikan gerakan tangan Arga. “Gue nggak nyuruh lo main piano. Gitar. Gue mau lo main gitar,” lanjutnya.
Arga langsung berdiri, air mukanya berubah murka. “Sekarang juga, lo pergi dari rumah gue!”
Melani dan Arga saling tatap. Sedangkan Neha tidak tahan melihat keduanya dan meraih lengan Melani untuk segera pergi meninggalkan rumah lelaki dingin tersebut.
“Pengecut lo!” teriak Melani sekali lagi sambil berlalu pergi.
“Dasar cowok kulkas!”
-ooOoo-
“Eh. Pulang, yuk!” ajak Neha pada Melani ketika melihat sahabatnya itu berdiri di depan gapura sekolah.
“Lo pulang aja duluan. Gue lagi sibuk.” Melani menjawab tanpa mengarahkan pandangannya pada Neha, tetapi matanya mengedar ke jalanan seperti sedang mencari-cari sesuatu.
“Sok sibuk! Cariin siapa, sih?” Neha mengikuti ke mana pandangan Melani tertuju.
“Bukan urusan lo, Ne. Udah, lo pulang aja sana duluan,” desak Melani sembari terus mengedarkan matanya.
“Gue tahu, nih. Elo pasti mau itu, ya.” Tiba-tiba Neha tercengir.
Melani menatap heran pada sahabatnya tersebut.
“Itu apaan maksud lo?” tanya Melani sembari mengerutkan dahi.
“Lo pasti lagi nungguin si dewa gitar itu, ya. Ngaku, deh, lo, Mel!” tandas Neha tampak pasti.
“Ih, nggak. Udah, sana pulang!” Melani mendorong-dorong tubuh Neha agar gadis tersebut segera meninggalkannya.
Begitulah Melani. Ia risih jika urusannya dicampuri bahkan oleh sahabatnya sendiri. Sebenarnya, alasannya bukan hanya itu. Namun, Melani hanya tidak enak saja untuk mengajak Neha bertemu dengan Arga. Ia pikir Arga mungkin tidak suka dikelilingi oleh gadis-gadis.
“Iya, iya. Gue pulang, nih. Jangan dorong-dorong, dong. Tuh, ada tukang ojek. Gue duluan, ya. Semoga lo sukses sama Tuan Arga elo itu.” Neha tercengir sambil berlalu pergi menuju pangkalan ojek yang tak jauh dari sekolahnya.
“Nyebelin banget!” gerutu Melani.
Di tengah-tengah kekesalannya, Arga melewati tubuh Melani tanpa sedikit pun lelaki itu menyapa. Akhirnya, dengan lugas Melani mengejar lelaki yang tengah melangkah pelan tersebut.
“Woi! Cuek banget! Nggak nyapa-nyapa, sih, lo,” ucap Melani sok akrab setelah berhasil menyamai kecepatan langkahnya dengan Arga.
Arga tidak menggubris celotehan Melani, lantas terus melangkah lurus. Lelaki itu seolah tidak menganggap Melani ada di sampingnya. Satu lagi alasannya, itu karena Arga sedang memasang earphone di telinganya.
“Woi! Denger gue nggak, sih?! WOIIII!” Melani dengan berani mencabut earphone lelaki di sebelahnya. Lantas, Arga begitu kesal dengan perlakuan Melani kepadanya. Ia terhenti, sejenak mengubah raut wajahnya dengan kerutan di dahi dan menatap tajam sembari menghadap Melani.
“Eh, cewek ganjen! Gue nggak suka, ya, elo ngikut-ngikutin gue. Dan gue nggak suka lihat elo di hadapan gue,” tegas Arga menekankan sambil menunjuk gadis berambut sebahu tersebut.
Melani mendengkus kasar sembari membuang muka ke arah samping kanan. Mendelik.
“Lo kasar banget, sih, sama cewek kayak gue.” Melani berwajah lesu, ia tampaknya sedih diperlakukan kasar oleh Arga.
Lalu, seketika Arga merasa menyesal karena perlakuannya terhadap sang gadis. Lelaki itu mulai menurunkan tangannya yang baru saja menunjuk Melani. Ia menundukkan wajah sambil berucap, “Maaf. Gue … gue … maaf.”
“Kena, deh!” Spontan Melani membuat Arga terkejut. Bahkan kini Arga semakin kesal dibuatnya. Dadanya kembang kempis, lalu meninggalkan Melani dengan langkah cepat.
“Arga. Tunggu, dong! Masa gue ditinggal, sih.” Melani kembali mengejar Arga.
Arga mempercepat langkah, tapi Melani ikut menambah kecepatannya. Mengetahui Melani mampu menyamai kecepatannya, Arga kembali menambah laju jejaknya. Melani tak mau kalah. Dan begitu seterusnya hingga Arga kelelahan sendiri hingga berhenti melangkah setelah sampai di sebuah persimpangan.
“Eh! Sebenarnya apa, sih, mau lo dari gue?” tanya Arga yang kini menatap lamat ke arah Melani.
“Gue suka sama lo!”
Arga membelalakkan mata mendengar pernyataan Melani yang terkesan begitu tiba-tiba.
“Suka sama musik-musik elo.”
Arga mengubah air mukanya setelah Melani melanjutkan kalimatnya. Arga tampaknya telah salah paham.
“Oh,” ucapnya singkat.
“Ayo, dong, lo main gitar lagi, Ga. Gue itu kangeeeeennnn banget suara gitar lo. Serius. Sumpah. Mi apah. Cius,” balas Melani dengan nada-nada manja dan mengacungkan dua jari membentuk peace di depan wajah Arga. “Emang kenapa, sih, lo berhenti main gitarnya?”
“Nggak kenapa-kenapa. Dan lo nggak perlu tahu,” jawab Arga ketus sambil mulai melangkah untuk menyeberangi jalan.
Melani ikut melangkah.
“Tapi, Ga. Gue seriuuuussss. Ayo, dong. Sekali aja, please! Sekaliiiiiiiii aja!”
Setelah berada di seberang jalan, Arga kembali terdiam. Namun, ia tidak menatap wajah Melani, melainkan tertunduk dengan raut sedih.
Sementara itu, Melani melihat tangan Arga yang gemetar. Tanpa sedikit pun keraguan, Melani meraih tangan kanan Arga yang gemetar tersebut, seketika membuat Arga cukup terhenyak.
“Gue yakin tangan lo ini kangen juga buat—“
“LEPASIN!”
Melani tersentak mendengar pekikan Arga yang begitu keras terdengar. Namun, Melani berusaha memaklumi tingkah sang lelaki. Ia pun mulai membuka suara.
“Ya, udah. Kalau lo nggak mau, ya, nggak apa-apa, sih.” Melani membalik tubuhnya. “Gue pulang dulu. Semoga aja besok lo mau.”
Tak menunggu Arga merespons, Melani melangkahkan kakinya untuk segera pulang.
--------