Bandung tidak hanya terkenal sebagai lautan api, tetapi juga terkenal dengan banyak melahirkan musisi kelas atas yang bahkan mendunia. Sehingga, pemusik pemula berlomba-lomba untuk mengasah kemampuan serta mengejar popularitas. Banyak sekolah yang menambahkan musik sebagai mata pelajaran untuk mencetak pemusik-pemusik andal di masa depan, tidak terkecuali SMA Harapan Nusantara.
Di antara siswa-siswi yang bergerombol antusias memasuki gerbang sekolah, Arga sendiri terlihat lesu dan uring-uringan. Matanya yang biasa-biasa saja itu sayu, bibirnya pun tak menggores senyum, apalagi keningnya yang tengah mengerut.
Beberapa di antara siswa dan siswi membawa gitar di punggung, sedang Arga yang tanpa gitar hari ini mengedarkan pandangan melihat mereka yang penuh antusias untuk belajar berbagai nada dan ritme indah untuk mengambil hati tiap-tiap pendengarnya.
“Arga!”
Seorang remaja yang mengenakan seragam seperti Arga berjalan di belakang lelaki itu dan menyamakan langkahnya. Ia membawa sepasang stik drum dan memain-mainkannya dengan tangan. Tampaknya ia seorang drummer.
Arga menoleh ke kanan, kemudian hanya mengangguk pelan tanpa suara.
“Kamu kenapa? Lemes gitu mukanya. Sekali-sekali semangat, dong, Ga. Mana Arga yang dulu,” tandas lelaki itu mencoba menyemangati sahabatnya sembari meletakkan tangan kiri di bahu Arga.
“Nggak apa-apa, kayak biasanya, kok.” Begitu kata Arga yang kemudian menunduk kembali menyaksikan langkahnya.
Keduanya kini tiba di halaman sekolah, kemudian harus melewati lapangan basket, lurus ke timur menuju bangunan kelas.
“Waduh, dewa gitar kok kayak—“
“Revan, kan gue udah bilang jangan panggil kayak gitu lagi.” Arga menghentikan langkahnya, menatap pada sahabatnya yang bernama Revan. “Gue udah nggak pantes nyandang gelar dewa gitar lagi. Pokoknya gue nggak mau tahu, Van. Lo harus berhenti manggil gue dengan sebutan itu,” tegas Arga menekankan. Ia berlalu pergi meninggalkan Revan yang cukup geleng-geleng dan mendengkus karena perkatannya.
“Dasar, Arga. Padahal dia pemain terbaik di Bandung,” gumam Revan yang kemudian mengangkat langkah.
-ooOoo-
Sepulang sekolah, Arga menatap Fender kesayangannya yang ditumpuk oleh beberapa kardus di atasnya. Debu tebal telah menggerogoti case hitam gitar tersebut. Sebenarnya, Arga sangat ingin memainkan satu buah lagu sore ini. Ingin dia merasakan getaran-getaran indah atau alunan-alunan senar gitar yang seperti biasa merdu ia hasilkan. Namun, ingatan tentang ibunya tidak kunjung pergi.
Arga mendengkus gusar sebelum akhirnya keluar dari ruangan 4x4 yang dijadikan gudang penyimpanan barang tak terpakai. Sebuah sedan melaju masuk ke rumah Arga, ternyata ayahnya yang baru saja pulang dari bekerja.
Arga hanya menatap sang ayah yang keluar dari mobil beberapa saat, kemudian kembali melangkah untuk masuk ke kamarnya. Akan tetapi, pria berkumis paruh baya itu berhasil menghentikan langkah sang anak. “Arga,” sapanya sedikit berteriak.
Arga terhenti, tetapi tetap tak mau menolehkan pandangannya ke belakang, ataupun membalik badannya untuk sekadar melihat wajah kusam ayahnya itu. Tak berselang lama, Arga kembali mengayunkan langkah dan masuk ke kamarnya.
Malamnya, Arga tengah berselancar di Facebook. Melihat keadaan dunia maya yang penuh dengan kepalsuan. Ia masuk ke sebuah grup bernama “Gitaris dan Musisi Remaja Indonesia”. Di sana, ia melihat konten-konten yang dibagikan oleh member-member grup. Gulir ke bawah, memberikan tanda jempol, dan begitu seterusnya hingga Arga terhenti saat matanya menangkap sebuah informasi menarik.
Sebuah kompetisi pencarian bakat pemusik remaja akan diadakan dalam waktu dekat, tetapi tentu Arga tidak bisa mengikuti kompetisi semacam itu lagi. Ambisi bermusiknya sudah hilang tak tersisa.
Arga mematikan komputer dan berbaring tidur.
-ooOoo-
MusikLo, merupakan toko musik yang menjual berbagai CD dan alat musik yang sangat lengkap. Arga kebetulan mampir sepulang sekolah. Bukan untuk mencari alat musik, tetapi kebetulan Arga sekarang sudah bukan pemain lagi, melainkan seorang penikmat musik. Jadi, ia sempatkan diri untuk membeli CD musik-musik pop-rock yang sangat ia gemari.
Jimi Hendrix merupakan seorang pemain gitar yang sangat diidolakan oleh Arga, sehingga ia membeli beberapa CD dari pemain gitar legendaris tersebut.
Ketika sedang sibuk-sibuknya dan hampir tidak memperhatikan sekeliling, sebuah tubuh membentur Arga. Lelaki itu jelas terkejut, seketika menolehkan pandangannya setelah mendengar bunyi kedebug di lantai samping kanannya.
“Aduh. Tangan gue jadi lecet begini, deh,” gerutu seorang gadis berambut sebahu sambil mengusap-usap siku tangannya yang terasa sakit.
“M-maaf. Lo nggak apa-apa?” tanya Arga panik sambil menatap simpati pada gadis bermata sipit.
“Pala lo peang nggak apa-apa? Jelaslah gue apa-apa. Lihat—“
Seketika sang gadis terdiam setelah matanya menangkap sosok Arga yang tengah mengulurkan tangan demi membantunya berdiri. Sang gadis masih bergeming menatap lekukan demi lekukan wajah Arga. Ia seakan meneliti wajah Arga.
“Hei, gue bantu berdiri,” ucap Arga yang kemudian menyadarkan gadis tersebut.
“Oh, iya iya. Gue, maaf.” Sang gadis lantas meraih tangan Arga yang telah terulur untuknya, lalu berdiri.
“Maaf, ya. Gue nggak lihat lo di sebelah kanan gue.”
“Iya, oke. Nggak apa-apa,” jawabnya dengan pelan.
Arga mengangguk, kemudian melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti. Ia kembali memilih beberapa CD.
Sementara itu, si gadis menatap Arga. Selang beberapa saat, ia mengikuti lelaki itu yang melangkah ke meja kasir untuk membayar CD yang ia beli.
Sedikit jauh dari meja kasir, gadis memperhatikan kembali Arga seperti tatapannya beberapa waktu lalu. Setelah Arga selesai membayar barang yang dibelinya dan keluar dari MusikLo, si gadis tak kalah cepat keluar dan membuntuti tanpa sepengetahuan Arga.
Namun, ketika sampai di sebuah belokan menuju perumahan tempat Arga tinggal, lelaki itu menyadari bahwa dirinya sedang diikuti. Ia melangkah cepat, kemudian kembali pelan, cepat lagi, pelan lagi dan begitu seterusnya hingga ia berbelok ke kiri untuk bersembunyi menempelkan tubuhnya pada tembok.
Si gadis tidak menyerah, ia terus mengikuti Arga, tetapi ketika berbelok, Arga sudah tak ada di penglihatannya. Maka dihentikan langkahnya seraya menatap jauh ujung gang.
Padahal, Arga sedang berpura-pura tidak melihat si gadis dengan posisi menempel pada tembok.
“Ke mana perginya?” desis si gadis kebingungan.
“Ada apa? Kenapa mengikuti gue?” Arga bersuara dan membuat si gadis terhenyak sambil menolehkan pandangannya, menangkap sosok Arga di samping kanannya.
-ooOoo-