Arga menatap gitar Fender kesayangannya yang sudah lama tidak ia mainkan sementara pikirannya menerawang masa pahit yang ia alami beberapa bulan yang lalu di ajang Melodic Nation Kota Bandung. Semenjak bersikeras meminta ibunya—Mirna—datang untuk menyaksikan secara live konser perdananya, lelaki berkacamata itu mulai membenci dirinya. Menurut Arga, alunan gitar melodi yang ia mainkan hanya membawa petaka bagi orang tersayangnya. Dalam perjalanan mendatangi konser anak satu-satunya itu, Mirna harus meregang nyawa akibat kecelakaan yang menimpanya.
“Mama ….”
Arga menangis membayangkan betapa bersalahnya ia telah memaksa ibunya datang ke konser tersebut. Kini, Arga menjadi lelaki yang pendiam dan mulai menjauh dari keramaian. Ia bahkan takut memainkan gitarnya. Ia takut mendengar alunan musik.
Dua bulan yang lalu.
“Ma. Mama harus datang ke konser perdanaku. Arga nggak mau dengar alasan apa pun! Pokoknya Mama harus datang. Titik!”
Arga menekan tombol merah pada ponsel.
Tiga kontestan lagi akan tiba giliran Arga memainkan alunan melodi yang terkenal bisa membuat siapa saja melayang-layang ketika mendengarnya. Sembari menunggu, Arga memetik-metik gitar Fender yang dibawanya dari rumah. Sekilas Arga tersenyum. Pasalnya, gitar tersebut merupakan pemberian ibunya saat ulang tahunnya yang keempat belas.
Satu kontestan lagi akan tiba giliran Arga menunjukkan kemampuannya yang disebut-sebut sebagai Dewa Melodi. Arga menarik napas panjang dan mengembuskannya, tetapi ia mulai gelisah sebab ibunya tak kunjung datang. Ia berjalan, berniat keluar dari ruang tunggu kontestan untuk menunggu ibunya, tetapi sayang dewan juri telah menyebut nama serta nomor pesertanya.
“Arga Wahyu Prawira dengan nomor peserta dua belas, silakan naik ke panggung.”
Dengan lemas Arga mengikuti perintah dewan juri untuk naik ke atas panggung. Ini merupakan kali pertama Arga berdiri di hadapan orang banyak setelah sekian kali bermain di panggung sekolah dan mengisi acara musik di beberapa tempat.
Arga menarik napasnya pelan sambil memejamkan mata. Lelaki berambut ikal tersebut mulai memetik senar gitar yang terpasang rapi. Semua penonton terdiam mendengar nada-nada yang dihasilkan oleh gitar Arga.
Alunan melodi pelan yang membentuk ritme indah merupakan ciri khas dari permainan gitar Arga. Pola permainan yang teratur dan tidak buru-buru. Dan yang lebih penting lagi ialah, Arga mampu menciptakan feel yang bisa dibagikan kepada semua pendengar alunan melodinya. Sebuah melodi yang ia ciptakan berjudul “Last Song is Not The End” dimainkan dengan penuh perasaan. Vibrato yang halus dan mendengung membuat bulu kuduk pendengarnya berdiri. Suara gitar yang melengking adalah ungkapan emosi pada permainan gitar Arga,
Dua orang polisi datang ke panggung dan berbisik kepada dewan juri untuk menghentikan jalannya acara. Atas perintah dewan juri, sound man terpaksa harus menghentikan permainan gitar Arga dengan cara mengecilkan volume speaker.
Arga membuka matanya yang tertutup karena sadar suara gitarnya lenyap dengan tiba-tiba. Ia menoleh ke kiri dan kanan. Dua orang polisi menghampirinya, kemudian berbisik, “Apa benar Anda yang bernama Arga Wahyu Prawira?”
Jantung Arga mulai berdetak cepat dan membayangkan sesuatu yang buruk. Lidahnya terasa kelu secara tiba-tiba. “B-benar, Pak. Saya Arga,” jawabnya dengan pelan.
Kedua polisi itu saling bertatapan, akhirnya mengangguk. “Kami ingin menyampaikan bahwa ibu Anda yang bernama Mirna Ariana telah meninggal dunia akibat kecelakaan beberapa jam yang lalu.”
Arga merasa detak jantungnya tiba-tiba saja berhenti. Ia kosong seperti kehilangan jiwa. Tubuhnya roboh dan bersimpuh. Air mata mulai bersimbah di wajahnya, lalu berteriak sekuat tenaga.
-ooOoo-