Suara panjang peluit menandakan pertandingan telah selesai. Kemenangan diraih oleh tim tamu dengan skor 78-75. Para supporter bersorak ramai sambil mengumandangkan mars sekolah mereka. Tampak piala besar diangkat setinggi-tingginya oleh sang kapten.
Berbeda dengan tim tuan rumah yang terlihat lesu dan kecewa. Untuk pertama kalinya, mereka kalah oleh tim tamu. Padahal, tim tuan rumah selalu menang melawan tim tamu. Entah mengapa takdir tuhan berkata lain.
"Aku tidak menyangka mereka menang dengan mudah," ucap salah satu pemain tim tuan rumah tengah mengelap lengannya dengan handuk.
Perempuan yang berada persis di sebelahnya menyahut, "Performa mereka berubah 180 derajat. Lebih bagus daripada tim kita."
"Sudahlah," sambar Rena selaku kapten tim. "Tidak ada gunanya mengeluh. Jadikan pertandingan ini motivasi untuk meningkatkan kemampuan diri."
Miyu menjentikkan jarinya. "Apa yang dikatakan Rena itu benar. Selain itu, kita juga butuh tambahan anggota lagi. Jumlah anggota tim kita lebih sedikit dari persyaratan yang ada."
Di sela percakapan mereka, seorang gadis berkaca mata bulat dan rambut hitam sebahu datang menghampiri. Tangannya membawa plastik berisi beberapa botol air mineral. Tanpa permisi, Miyu langsung menyambar plastik itu dan meneguk isinya.
"Arigatou," ujar Rena sedikit canggung. Meskipun mereka sudah saling mengenal, tetap saja Rena merasa canggung. Jangankan berbicara, bertegur sapa juga tidak pernah.
Rin menggangguk lalu kembali duduk di tribun paling depan. Hal itu memudahkan Rena dan teman-teman memanggilnya.
"Rin, bisa tolong ambilkan kipas angin kecil yang ada di tasku? Kamu tahu letak tasku, kan?" perintah Yuri dan langsung dilakukan oleh Rin.
Sepeninggal Rin, mereka kembali melanjutkan pembicaraan. Berbeda dengan yang lainnya, Yuri ingin menanyakan perihal ucapan Rena kepada Rin. Ucapan yang menurutnya tidak pantas dilontarkan.
"Kenapa bilang terima kasih padanya? Biasanya kau diam dan bersikap biasa saja," tanya Yuri pada Rena dengan raut datar. Sejak memasuki SMA ini, dia sudah menaruh rasa benci kepada gadis seperti Rin.
"Aku hanya ingin mengatakan itu sebagai rasa simpati. Selama ini, Rin selalu menolong kita di setiap latihan dan pertandingan. Apakah itu salah?"
"Tidak juga. Aku hanya heran dengan ucapan yang keluar dari mulutmu. Sebagai kapten, kau tidak pantas mengucapkannya. Dia pantas diperlakukan seperti ini. Anehnya lagi, dia hanya mengangguk sebagai balasan. Itu namanya tidak sopan. Apa dia tidak punya mulut untuk bicara."
"Berhenti!" seru Miyu menengahi. Telinganya menjadi panas mendengar kata-kata Yuri. "Tidak ada gunanya membicarakan dia. Sekarang, kita fokus untuk tim."
Rena mengangguk pasti, sedangkan Yuri mengumpat dalam hati. Dia masih belum puas menghina Rin di depan Rena. Namun, dia harus mengendalikan egonya. Urusan tim jauh lebih penting.
*****
Sementara dari arah tribun, dua orang laki-laki tampak memperhatikan lapangan. Mereka juga tak menduga bahwa tim basket perempuan mengalami kekalahan. Ada rasa kecewa sekaligus khawatir.
"Masih ada harapan untuk menang?" tanya salah satu dari mereka. Dia memakai hoodie berwarna biru tua. Mulutnya tak henti mengunyah kuaci yang dibawanya.
"Jangan tanyakan hal itu, Masaki. Aku tidak ingin menjawabnya" jawab laki-laki yang memakai kemeja coklat muda. Tangannya memegang bola basket orange kebanggannya.
Masaki terkekeh pelan. "Kau kan kapten basket. Masa hal begini saja tidak tahu, Ishikawa Jiro."
Menit demi menit berlalu, satu-persatu manusia mulai meninggalkan tribun. Lapangan yang sebelumnya ramai, berubah senyap dalam sekejap. Begitu juga dengan Rena cs yang beranjak pergi. Namun, Jiro dan Masaki tidak. Mereka sengaja melakukan itu demi bermain basket.
Jiro mendribel bola dengan santai. Pikirannya mencari akal untuk melewati Masaki. Sebaliknya, Masaki menduga-duga langkah apa yang Jiro ambil dan mencegahnya.
Dengan cepat, Jiro berlari lewat sebelah kanan lalu melakukan lay up. Namun, bola meleset dan langsung ditangkap oleh Masaki. Kini, giliran laki-laki itu yang melakukan serangan balik.
Fast break yang dilakukan Masaki membuat Jiro kewalahan. Lantas, dia membiarkan Masaki melakukan tembakan tiga angka. Alhasil, bola masuk dengan mulus.
"Ada apa denganmu, Jiro? Tidak biasanya kau lengah dan membiarkanku mencetak poin," tanya Masaki. Pasalnya, Jiro tidak akan membiarkan siapa pun mencetak poin terlebih dulu.
"Aku sedang tidak berselera. Jadi, aku memberimu kesempatan kali ini," jawab Jiro sambil mendribel bola lalu melakukan shooting. Bola masuk tanpa hambatan.
Permainan dilanjutkan kembali. Mereka saling memperebutkan poin dan menjadi yang terbaik. Hingga dua puluh menit sudah terlewati begitu saja dan pertandingan pun berakhir. Tentu, Jiro yang menjadi pemenangnya dengan skor 23-21. Selisih yang sangat tipis.
"Ternyata, kau tetap saja hebat meski tidak mencetak poin lebih dulu," puji Masaki yang masih mendribel bola.
"Sudah kubilang jangan meremehkanku, Kiyomizu Masaki. Kau perlu waktu 3000 tahun lagi untuk bisa mengalahkanku," sahut Jiro bangga.
Masaki berdecih. "Jangan sombong dulu, Pak. Suatu saat, aku akan mengalahkanmu. Lihat saja nanti."
Mereka tertawa bersama. Jiro yang merasa sedikit lelah, membaringkan tubuhnya sembarang. Sedangkan Masaki meminum air mineral sambil duduk. Setelah itu, dia melakukan aktivitas yang sama seperti Jiro.
"Apa kau lapar?" tanya Masaki membuka topik. Bermain basket membuat energinya terkuras. Akibatnya, rasa lapar melanda secara bersamaan.
"Mulutku sedang malas mengunyah. Kalau mau makan, kau pergi sendiri saja," tolak Jiro dengan mata terpejam.
Masaki mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. "Ayolah, Jiro. Apa kata para fans-ku kalau seorang Kiyomizu Masaki makan sendirian," paksa Masaki dengan menarik tangan Jiro, membuat si empu membuka matanya.
Jiro yang masih betah di sini, terpaksa menurut. Dia tidak bisa emosi kepada Masaki. Sedari tadi, dirinya merasakan bahwa ada seseorang yang mengawasi. Jiro ingin mengetahui siapa orang itu. Namun, dia mengurungkan niatnya akibat paksaan dari Masaki.
Setelah kepergian Jiro dan Masaki, seorang perempuan muncul dibalik tribun paling belakang. Dia melepas seragamnya dan menampilkan jersey dan training berwarna abu-abu. Tak lupa, tangannya mengambil bola basket dari dalam tas. Bola itu berwarna hitam lebam dan terdapat tanda tangan dari salah satu pemain all star NBA, Lebron James.
Perempuan itu ialah Yomaguchi Rin. Sejak usia sebelas tahun, dia menggeluti olahraga ini. Orang tua Rin, terutama ayahnya, mendukung penuh keinginannya. Ayah Rin yang merupakan mantan pemain basket, menjadi pelatihnya. Hingga sang ayah mengembuskan napas terakhir, Rin terus bermain. Dia sering mengikuti pertandingan di arena streetball. Tak jarang ia selalu kalah. Namun, Rin belajar dari kekalahan. Dia terus bermain dan bermain.
Seperti sebelumnya, tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa Rin bisa bermain basket. Mereka hanya tahu bahwa Rin adalah si kutu buku yang dimanfaatkan tenaganya oleh Rena cs. Dia tidak ingin terlihat famous dan memilih menjadi siswi biasa.
Rin berjalan ke tengah lapangan. Tak lupa, dia membawa bola basket kesayangannya. Pertama, Rin melakukan pemanasan seperti lari keliling lapangan sepuluh kali dan menggerak-gerakkan tangan dan kepalanya. Setelah pemanasan, Rin menunjukkan aksinya.
Dia menatap ring sambil mengontrol napasnya. Tangannya mendribel bola lalu melakukan tembakan di luar area tiga angka. Rin terus melakukannya hingga lima belas kali tanpa meleset. Dia terlihat santai meski tubuhnya mengeluarkan keringat.
"Ternyata, instingku memang benar. Ada yang masih betah di sini dan bermain basket secara sembunyi," ucap seseorang dari belakang.
Sontak, Rin terkejut bukan main. Dia baru sadar bahwa laki-laki tadi, memergoki dirinya. Secepat kilat, Rin mengambil bola basket dan tas lalu berlari keluar. Namun, dia kalah cepat. Pergelangan tangannya sudah dicekal kuat.
Flashback on
Sepanjang langkahnya menuju parkiran, Jiro berpikir bagaimana cara agar bisa lolos dari Masaki. Sampai saat ini, dia masih penasaran dengan orang itu.
Ketika mereka tiba di parkiran, Jiro mendapat ide. Dia pura-pura mendapat telepon dari sang pelatih dan berbohong pada Masaki. Lantas, Masaki sempat mengumpat dan membiarkan Jiro menemui sang pelatih.
Begitu pintu terbuka pelan, Jiro menemukan seorang perempuan tengah bermain basket sendirian. Dia memperhatikan kepiawaian perempuan itu dalam bermain.
"Kemampuannya tidak bisa dianggap remeh. Siapa perempuan itu?" batin Jiro.
Flashback off
"Mau ke mana? Buru-buru sekali," ucap Jiro yang mengeluarkan aura mengintimidasi.
~~~~~~~~~~
*Arigatou : terima kasih
*NBA : National Basketball Association
Like juga yah "Popo Radio"
Comment on chapter PRAKATAhttps://tinlit.com/story_info/3023