chapter 10: Clues From Chelsea (#4 Clue)
silakan buka akun wattpad asta12di saya
chapter 11: The Facts About Them
"Kalau kau meminta kami untuk melakukan itu, justru dirimu sendirilah yang menjerumuskan kami ke dalam bahaya, Sobatku Christevan."
Ucapan balasan dari Chester itu mengembalikan akal sehat masuk ke dalam pikiranku. Kali ini, malah Cheryl justru memilih berpihak pada saudara kembarnya dengan menyambung, "Permintaanmu itu justru memanfaatkan kerapuhan emosi kami karena dua kejadian pembunuhan yang di luar dugaan kita ini, Christevan. Namun begitu, aku bisa memahami bagaimana perasaanmu."
"Ya, Cher—kau benar. Bagaimana rasanya bisa mengetahui kalau diri sendiri dibunuh oleh orang yang sungguh kita cintai," Chester meneruskan ucapan kembaran perempuannya. "Itu perbuatan yang teramat sangat jahat, dan sungguh menyakitkan hati siapa pun yang mengalaminya."
"Maafkan pertanyaanku ini, Stevan. Aku merasa kalau kami berdua harus memasuki area privasimu," tiba-tiba Cheryl berkata begini. "Sudah berapa lama kau pacaran dengan Chloe? Sekali lagi, aku minta maaf ya."
Gejolak emosi mereka berdua turut memengaruhi gejolak emosiku juga. Tak kusangka Cheryl bisa melontarkan pertanyaan bersifat pribadi itu. Entah apa yang menjadi niatannya menanyakan hal tersebut—sekedar ingin tahu saja sebagai proses penuntasan perkara atau memang murni tulus dari hatinya sendiri. Pikiran ini terlintas karena begitu besarnya kupendam rasa suka pada dirinya selama kami masih belajar di sekolah virtual sekian tahun yang lalu.
"Cher, kurasa inilah saatnya kupenuhi janjiku tadi untuk mengatakan sesuatu dari masa lalu kita yang bisa membuatmu menyesal tadi."
Cheryl menatap kamera di ruang bawah tanah dengan penuh arti. Sikap serta ekspresi yang ditunjukkan seakan mengatakan kalau jauh di dalam lubuk hatinya, dia sudah tahu apa yang akan kuucapkan.
"Oh, sebagai laki-laki, kau rumit sekali, Sobat," celetuk Chester membuyarkan konsentrasiku. Sebagai balasannya, Cheryl mencubit lengannya sambil bilang, "Tolong kau jangan rusak momen ini, Ches. Kau tidak tahu apa-apa soal cinta."
"Apa kau bilang?" respons Chester membuat Cheryl menyadari dirinya sudah keceplosan. Dia langsung menutup mulut dengan kedua tangan.
Keruan saja Chester langsung meledekinya, "Aha! Kau suka padanya ya?"
Bisa kulihat wajah Cheryl langsung merah padam. Dia sampai tidak mampu berkata apa-apa lagi. Momen serba salah dirinya ini harus kumanfaatkan sebaik mungkin.
"Aku mencintaimu sejak dulu, Cheryl."
Untunglah diriku sudah menjadi sistem komputer rumah. Mereka tak akan bisa melihat bagaimana ekspresiku lagi.
"Oh, aku baru tahu kalau sistem komputerisasi ternyata masih bisa punya emosi cinta manusia," kuduga Chester sedang ganti meledeki diriku.
Belum sempat aku berbicara lagi, Cheryl sudah meraung, "Kau curang, Stevan! Ternyata lebih enak jadi sistem komputerisasi daripada masih hidup normal sebagai manusia biasa."
"Kalau begitu, kau tunggu di sini ya. Akan kucari sebuah alat untuk membunuhmu," canda Chester pada sang kembaran yang tidak pada tempatnya. Rasa humorku cukup tergelitik juga, tetapi bagi diriku dan Cheryl, tentu saja seharusnya itu tidaklah lucu. Saking marahnya, perempuan itu menampar wajah saudaranya sendiri. "Rasakan kau, Chester!" sorakku senang.
Sambil mengusap bagian pipinya yang ditampar, Chester menyahut, "Tidak apa-apa deh aku berkorban, supaya kalian senang."
Mengabaikan omongan Chester, kemudian Cheryl terlihat mempersiapkan diri untuk mengucapkan sesuatu padaku. "Stevan, sejujurnya aku sudah menyadari kalau kau memendam rasa cinta padaku sejak kita masih di sekolah virtual," katanya memulai.
"Ya, tentu saja. Setiap perempuan memang dikaruniai radar untuk mendeteksi dirinya disukai atau bahkan dicintai," komentarku menyela.
"Itu memang keunggulan kaum kami, Sobat," respons Cheryl yang sepertinya terpaksa ketika mengucapkan kata 'sobat'—entah apa lagi yang disimpannya. "Tak kusangka kalau akhirnya kau jadi bernasib menyedihkan begini. Lama sekali dirimu hilang kabar, tanpa jejak, dan seakan lenyap ditelan bumi. Kalau saja dulu diriku tidak begitu berkutat pada ilmu pengetahuan."
"Tanpa ilmu pengetahuan, kau akan menjadi manusia purba di zaman serba canggih ini," komentar Chester lagi.
"Kau pasti belum pernah pacaran dengan seorang perempuan," tebak Cheryl dengan begitu sengit padanya.
"Pernah kok. Hanya saja, aku belum pernah bertemu dengan perempuan sebegitu hiper sensitifnya seperti dirimu," balas Chester kalem.
"Jadi kau menyesal punya aku sebagai kembaranmu?"
"Kenapa kau jadi berpikiran begitu? Justru aku merasa beruntung sekaligus bersyukur, karena punya kesempatan untuk memahami sebanyak mungkin karakter. Bagaimana dengan dirimu?"
"Halooo!" seruku memprotes. "Kalian benar-benar sepasang tamu yang menyedihkan sekaligus menyebalkan," keluhku berterus terang.
"Menurutmu, saudaraku ini sungguh menjengkelkan bukan?" tahu-tahu saja Cheryl malah meminta dukungan dariku.
Mengisi waktu berpikirku, sambil nyengir lebar, Chester menyahut, "Jawab saja, Sobat. Apa pun itu, pasti akan kuterima kok."
"Hei Cheryl, kita sedang membahas perasaan serta masa lalu kita. Kenapa kau jadi terpancing si Chester untuk membicarakan dirinya?" aku memprotes. Sebagai hasilnya, Cheryl menepuk jidat. "Kadang aku lelah menghadapi saudara kembarku sendiri," curhatnya.
"Aku makin menyukai pembawaan alami dirimu, Cher. Sebagai sosok saudari kembarku, kau sungguh menarik," rayu si Chester yang sekaligus menggoda.
Cheryl tampak mendelik padanya, sebelum mengingatkan dengan sengit, "Kau selalu mengacaukan pembicaraanku dengan Stevan. Apa maumu sih? Bisakah kami berdua punya waktu saling berbicara tanpa kau komentari lagi?"
"Oke, aku akan diam saja,” jawab Chester kalem. "Tolong kau lanjutkan, Sobatku Stevan."
"Eh, tunggu dulu—Stevan, kau belum menjawab pertanyaanku tentang berapa lama dirimu pacaran dengan Chloe," Cheryl langsung mengingatkan diriku akan pertanyaannya sekian menit tadi. Ingatannya benar-benar kuat.
"Jadi kau cemburu pada si perempuan jahat itu?"
Usai bilang begitu, Chester langsung menampar pipinya sendiri. Spontan Cheryl merasa gemas sekali karena saking kesalnya, lalu mencubit kencang-kencang hidung saudara kembarnya ini.
Seandainya saja aku masih punya tangan dan kepala, sudah kugerakkan telapak tangan untuk menepuk jidat. Sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Lihatlah, betapa banyak kata yang bisa kita buat untuk mengomentari si pasangan kembar Chester dan Cheryl ini. Kata apa saja yang terbersit di dalam benakmu?
Nantikan di akun wattpad asta12di saya;
chapter 12: The Truth About His Death