Saat namamu dan namaku berada pada satu garis yang sama, itu adalah suatu keajaiban.
"Azzalea Tiffany Anhakar dan Alvaro Marcello Anindito kalian kelompok 4, tugas kalian adalah mencari materi tentang kisah cinta Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Az Zahra" Ucap guru bahasa Indonesia kami.
Aku senang karena aku dan Azza satu kelompok. Tapi yang tidak kusuka kenapa hanya kami yang diperintahkan mengupas kisah cinta islami, sedangkan yang lainnya mengupas novel percintaan anak muda. Apa takdir sebegitu menginginkannya aku mempelajari tentang agamaku?.
"Untung si princess Elsa udah dapet kelompok, ngga mau gue kalo sekelompok sama dia. Bisa-bisa gue doang yang ngerjain". Bisik-bisik para siswi dikelasku, kecuali Azza dan ketiga sahabatnya.
Princess Elsa adalah panggilan yang mereka berikan untukku. yang aku dengar dari Dika, panggilan itu ada karena wajahku yang terlalu tampan bahkan mendekati cantik, tapi sifatku cuek, dingin, dan berlidah tajam.
Terkadang aku merasa, terkenal diluaran sana namun terasingkan di dalam sini.
Aku sempat mengepalkan tanganku diatas meja, dan menatap tajam kearah mereka yang berbisik tentangku. Namun ketika aku menoleh kesamping kananku tepat disebrang bangku tempat duduk ku, kudapati tatapan hangat dari Azza. Aku menghela nafas berusaha meredamkan emosiku yang membara.
Aku mengingat wajah serta suara Azza, agar aku dapat menghilangkan bisikan serta mata sinis mereka dari fikiranku.
Saatku memejamkan mataku, seseorang mengelus punggung tanganku yang masih mengepal diatas meja. Aku berharap itu Azza, namun kasarnya telapak tangan itu membuatku membuka mata.
"Sabar yah Al, lo tetap dihati gue kok" Ucap Dika yang kubalas dengan tatapan tajam. Kutepis tangannya yang masih berada di atas punggung tanganku. Sudah kuduga itu bukan Azza.
***
Jam istirahat tiba, dengan segera aku menghampiri meja Azza dan ketiga sahabatnya, sebelum para makhluk ghaib yang suka mencari perhatianku itu datang.
"Nih makanan nya" Azza memberikanku kotak bekal yang sama dengan miliknya.
Ketiga sahabat Azza mengernyitkan dahi nya, mereka seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.
"Za, kamu bawain bekal untuk Al?" Tanya Aura, teman sebangku Azza.
Azza tersenyum manis "Iya, mama saya nitipin bekal untuk Varo katanya".
Moodku sedang tidak baik saat ini karena ucapan teman sekelasku sendiri. Aku ingin cari udara segar saat pulang sekolah.
"Apa gue ke bar aja? Udah lama juga ngga kesana" Batinku.
"Za" Panggilku yang di jawab deheman oleh Azza. Dia tak menyempatkan diri untuk menatapku atau bahkan sekedar melirik kearahku.
Aku buka kotak bekal itu, dan mulai menyendokkan nasi beserta ayam goreng kedalam mulutku.
"Hari ini gue ngga bisa nganter lo pulang, dan gue juga ngga bisa belajar agama sama ayah" Ucapku tak berani menatap mata Azza, aku bingung alasan apa yang harus kuberikan padanya. Ah, tapi dia tidak mungkin perduli juga kan?
"Kenapa?" Ucap Azza dengan cepat, membuatku tersedak dengan makanan yang sedang ku kunyah.
"Gue mau ke bar" Ucapku jujur, tak ada satupun ide terlintas dalam fikiranku.
"Bar?" Tanya Azza memastikan.
"Iya" Jawabku tegas, membuat dia diam seribu bahasa.
Kutatap matanya sebelum aku pergi kembali ke tempat duduk ku. Cukup satu suap saja, aku tidak lapar. Sudah cukup kenyang dengan penilaian buruk semua orang tentangku.
Aku memasang earphone ke kedua telingaku, kembali mendengarkan melody menenangkan yang di lantunkan oleh Boyce Avenue. Belum genap 2 lagu kudengarkan, tiba-tiba seseorang menarik salah satu earphone dari telingaku.
"Apa-" Baru hendak memprotes, tapi tiba-tiba sendok berisi nasi dan lauknya masuk kedalam mulutku.
Aku terkejut, melihat siapa yang tengah menyuapkan nasi ke mulutku. Kuharap ini bukan mimpi dan kuharap waktu berhenti saat ini juga.
Ku kunyah makanan yang sudah Azza suapi untukku, setelah kutelan barulah aku sadar ternyata Azza sudah duduk di sampingku, dia menarik kursinya menghampiriku. Jarang sekali dia berinisiatif seperti ini.
Kuperhatikan dia masih menyendokkan nasi dan ayam goreng, berarti itu adalah bekal milikku. Dia menyuapiku lagi, seakan terhipnotis oleh perhatiannya aku membuka mulutku dan menerima setiap suapan demi suapan.
Setelah suapan terakhir, dia menutup kembali kotak bekal itu. Aku bingung kenapa dia begitu berani menyuapiku, setelah mataku melihat ke sekeliling kelasku ternyata tidak ada orang lain kecuali kami berdua. Pantas saja!
"Kok lo mau nyuapin gue?" Tanyaku yang dibalas dengan botol aqua yang dia berikan padaku.
"Kenapa suapin gue?" Tanyaku lagi setelah menerima botol aqua itu.
"Minum dulu" Titahnya, yang langsung kuturuti.
"Jadi kenapa?" Ucapku dengan lembut.
"Mama saya udah masak, jadi mubazir kalo ngga dimakan" Jelas Azza yang membuat hati kecilku sedikit kecewa.
"Ternyata hanya demi mama nya" Batinku, yang membuatku tersenyum miris.
"Kamu beneran mau ke bar?" Azza dengan beraninya menatap mataku, membuat aku gugup setengah mati.
Kunetralkan ekspresi serta suaraku, aku ingin Azza melihat sisi angkuhku dan aku juga ingin menunjukan segala kekuranganku. Jika dia bisa menerimanya, maka untuk seperangkat sifat manis beserta keromantisanku itu hanya tinggal mengalir saja.
"Iya, emang kenapa? Lo mau ikut" Ucapku dengan nada datar.
"Apa alasan kamu pergi kesana?"
Aku bungkam, aku tak mungkin memberi alasan yang sejujurnya pada Azza. Aku takut terlihat seperti laki-laki lemah yang bahkan mudah terluka hanya karena perkataan orang lain.
"Karena omongan cewek-cewek?" Tanya Azza, yang membuatku terkejut bukan main.
Kunetralkan lagi wajah terkejutku "Kalo iya kenapa?" Masih nada ketus yang kuberikan pada gadisku.
"Kalau begitu, pulang sekolah kita pergi kemana pun yang kamu mau. Aku udah ijin ke mama sama ayah dan mereka bilang pulangnya jangan malem-malem"
Pernyataan Azza lagi-lagi membuatku terkejut, dia mengajakku kencan?
"Yakin banget gue mau?" Aku sengaja sok jual mahal sedikit.
Azza mendengus sebal " Yaudah kalau ngga mau, Wassalam" Ucapnya yang kemudian melenggang pergi ke tempat duduknya.
Memang tak bisa mengharapkan ke peka'an dari seorang Azzalea Tiffany Anhakar.
Setelah 30 menit istirahat, Bel masuk kelas pun berbunyi. Semua murid kelasku pun sudah duduk ditempatnya masing-masing.
"Lo ngga jajan Al?" Tanya Dika setelah duduk di kursinya.
"Udah tadi"
"Makan sama apa? Perasaan gue ngga lihat lo ke kantin" Dika memang pribadi yang cukup perhatian padaku, dia mengetahui latar belakang serta semua permasalahanku.
"Makan nasi sama ayam" Jawabku sembari tersenyum, ingatan tentang Azza yang menyuapiku selalu berputar di fikiranku.
Dika tertawa terbahak-bahak "Abis dong nasinya, dimakan sama ayam"
Dia memang se-receh itu. Aku hanya bisa menghargainya dengan tertawa hambar.
***
Sekarang pukul 4 sore, aku sudah berada di dalam mobil bersama Azza yang duduk manis di sampingku. Aku melajukan mobilku menuju Mall terdekat. Entahlah, hanya tempat itu yang terngiang dalam fikiranku.
Setidaknya lebih baik kan, daripada membawa gadis berkerudung pergi ke bar?
Selama perjalanan, seperti biasa kami bungkam seribu bahasa. Kebisingan dihasilkan dari radio mobilku yang memutar lagu yang dinyanyikan ulang oleh Boyce Avenue.
Setelah 30 menit perjalanan, kami sampai di The greatest Mall. Aku dan Azza turun dari mobil, aku tidak berniat membukakan pintu mobil untuk Azza. Belum saatnya...
"Kita ke toko baju dulu, supaya lo bisa ganti baju" Ucapku sembari berjalan menuju escalator, karena semua toko baju berada dilantai atas.
Ketika kami sampai di depan tangga berjalan itu, Azza menarik lenganku yang tertutup oleh jaket bomber army andalanku. Aku menoleh, memberinya tatapan seolah bertanya "ada apa?"
Dia melepas genggamannya pada lenganku, dia menunduk menatap sepatunya sendiri.
"Saya takut naik escalator"
Aku hendak tertawa, tapi kutahan. Aku ambil pergelangan tangannya yang tertutup oleh seragam putih panjang, kugenggam erat dia. Aku menuntunnya untuk melangkah menaiki tangga berjalan itu.
"Terimakasih gue sampaikan pada pencipta Mall, yang telah berfikir untuk menjadikan tangga berjalan sebagai penghubung antara lantai bawah dengan lantai atas" Batinku.
Ketika kami sampai di lantai atas, Azza melepas genggaman tanganku. Dia terlihat salah tingkah, dia berjalan ke arah kiri menuju tempat permainan anak-anak.
"Toko baju sebelah kanan Za" Ucapku dengan santai yang membuatnya langsung putar arah.
Aku terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepalaku, gemas sekali aku dibuatnya.
"Varo ngga perlu beliin saya baju, saya ngga papa kok" Ucapnya malu-malu.
"Bukan apa-apa, tapi gue berasa nyulik anak sekolahan" Alibi ku yang membuat Azza bungkam.
Kami sampai di toko baju yang pernah aku kunjungi bersama Dika. Penjaga tokonya pun masih sama, dia melihatku seperti melihat hantu.
"Mba tolong ambilin outfit simple untuk dia yah" Ucapku pada penjaga toko itu.
Penjaga toko itu menarik lengan Azza kesisinya "Mas nya udah normal sekarang?" Tanya penjaga toko itu yang membuatku mengernyit bingung.
"Maksudnya gimana yah mba?" Tanyaku dan Azza bersamaan.
"Kemarinkan mas nya beli hoodie couple buat si mas satunya, udah dicoba juga kok sama mereka berdua" Ucap pelayan toko itu yang membuatku membelalakan mata.
"Maksudnya apa sih Var?" Kini gadisku bertanya padaku, aku tidak bisa mengatakan bahwa hoodie itu untuk aku dan Azza. Aku bahkan belum berani memberikan hoodie itu.
"Kemarin itu si Dika, teman sebangku gue. Dia minta bantuin milih buat pacarnya".
"Maafin gue Dik karena pake nama lo untuk alibi gue, nanti gue beliin cilok bang omay sampe puas deh sebagai gantinya" Batinku.
Gadisku dan juga Wanita penjaga toko itu mengangguk, menandakan mereka mengerti.
"Oh normal toh, kan sayang banget kalo bener belok... Mas nya ganteng gini" Ucap penjaga toko itu yang membuatku bergidik ngeri.
"Za, abis ini ke restaurant yah, gue laper" Tawarku yang dijawab anggukkan kepala oleh Azza.
Azza dibawa ke ruang ganti oleh penjaga toko, untuk mengganti pakaian yang telah dipilihnya.
Tak berapa lama Azza keluar dengan outfit baru yang membuatku terbengong sendiri. Dia tampak begitu cantik memakai kaos putih lengan panjang dengan baju kodok sebagai luaran nya, tak lupa kerudung pashmina yang sudah di tumpuk sana tumpuk sini.
Aku mengambil dompet disaku celanaku "Jadi berapa semuanya mba?"
"500 ribu mas, mau dipelastikin atau dipakai langsung?"
"Kalau bisa juga udah saya karungin orangnya, mba" Ucapku keceplosan, aku langsung melirik kearah Azza. Untung saja dia sedang fokus pada ponsel nya.
"Eh, ini mba" Ucapku sembari memberi salah satu kartu atm ku.
Azza meletakan ponselnya kembali kedalam tas nya. Dia melihat dirinya sendiri dari bawah sampai bagian atas tubuhnya. "Varo, kalo kata saya ini kemahalan deh"
"Kalo kata gue lo cantik, udah deh rejeki ngga boleh ditolak. Lagian uang gue masih banyak kok, bulan depan juga tabungan gue udah satu M" Sekali-kali sombong sama calon istri.
Setelah selesai dengan masalah pakaian, kami berjalan lagi menyusuri Mall mencari restaurant terdekat.
"Varo mending kita makan baso di luar aja yuk, disini pasti mahal. Sayang, jangan menghambur-hamburkan uang" Ucap Azza yang menarik lenganku keluar dari restaurant yang baru saja kami temui.
Sesederhana itu gadisku, tapi perasaanku padanya Sesempurna itu.
Aku menarik lengan Azza balik, aku mengajaknya masuk kedalam restaurant. Sebelum dia pergi dengan segera aku ke kasir restaurant itu, aku langsung memesan dua spaghetti ogli olio dan dua ice tea.
Setelah berhasil memesan aku menoleh ke arahnya yang sedang menatapku dengan tatapan kesal.
"Udah gue pesen, ngga bisa batal. Jadi duduk yuk di meja itu...Sayang" Ucapku yang semakin membuatnya cemberut.
Azza membelalakan matanya, dia jadi salah tingkah sendiri setelah sadar dengan maksud ucapanku "Ih Varo apaan sih! Orang tadi maksud saya bilang sayang bukan untuk panggilan" protes Azza yang kubalas dengan senyuman menggoda.
Aku dan Azza duduk di salah satu meja dekat jendela kaca. Keheningan melanda kami berdua, tapi dapat terlihat jika Azza masih kesal karena godaanku tadi.
"Jadi kenapa kamu sampai mau ke bar?" Tiba-tiba Azza membuka percakapan tentang itu lagi.
"Suntuk gue" Jawabku dengan cepat.
"Iya, saya tahu. Tapi ngga harus ke bar kan?" Ucap Azza dengan tatapan tidak sukanya.
Aku menatap matanya, kutunjukan ekspresi kesalku sembari memainkan jari-jariku diatas meja. "Selama di Perancis gue pergi kesitu tiap hari juga ngga masalah kok, ngga ada yang perduli juga" Ucapku dengan nada tak suka juga, aku tak suka disalahkan.
"Sekarang aku ngelarang kamu pergi ketempat itu".
Aku tersenyum kecut, apalagi niat gadisku ini. Apa dia bilang ini demi ayahnya, karena jika aku pergi ke bar aku tidak akan belajar agama pada ayahnya lagi?
"Kenapa?" Aku tahu mungkin jawaban dia akan menyakitiku, tapi aku masih saja penasaran dengan pemikiran nya.
"Karena saya perduli" Ucapnya dengan lantang, yang membuatku terkejut sekaligus bahagia.
"Ya..ya...ya abisnya... Mulut mereka tuh ngga di filter apa?! Perlu gue beli mulut mereka biar bungkam semua" Aku mengalihkan pembicaraan, hatiku tak sanggup untuk menerima lebih banyak kejutan dari gadisku. Hatiku sudah ingin meledak saat mengetahui gadisku perduli denganku.
"Varo...kamu cuma punya dua tangan, kamu ngga mungkin bisa membungkam mulut mereka semua. Tapi kamu bisa gunakan dua tangan itu untuk menutup telinga kamu, selagi kamu berusaha membungkam mereka dengan pembuktian" Ucap Azza menenangkan.
"Boleh gue terbang saat ini? Seharian ini diperlakukan manis sama Azza membuat gue seolah tak menapak lagi di bumi" Batinku.
Aku memang menyukai Azza, bahkan berniat mengejarnya. Tapi semenjak ada respon positif darinya, terkadang membuatku mudah terluka hanya karena dia tidak seperti harapanku. Entah kenapa aku jadi meminta lebih, seolah dialah yang harus membujukku. Seolah dialah yang mengejarku, aku terus jual mahal padanya. Aku ini bodoh yah? Tapi aku hanya ingin Azza lebih dulu menerima keburukanku, baru merasakan manis serta romantisnya diriku.
Untuk judul tiap bab ini lebih tertata dan gue emang suka cara menulis lo yang semi baku, klo bisa di cerita baru lo tiap bab judul'y kayak gini aja
Comment on chapter First Atom ♡