Read More >>"> PESAN CINTA (****) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - PESAN CINTA
MENU
About Us  

****)

🍁🍁🍁

           Malam, hitam legam. Butiran yang sering ia hitung bersembunyi di balik kapas-kapas keabuan. Permadani di atas kepalanya seperti kehilangan atribut. Kosong. Membosankan. Meski hawa dingin siap menusuk tulang, ia tak membiarkan kaki yang sengaja terpasak ke bumi bergeser sejengkal pun.

Gadis bertubuh ramping itu merapatkan jaket parasit merah muda--cara ampuh untuk menghalau udara agar tak manyusupi piyama tidurnya. Biji mata berkilaunya menyisir area depan rumah sakit. Teliti dan hemat. Ia tak ingin melewatkan satu orang pun. Dokter, perawat dan rupa-rupa asing. Sayangnya, dari sekian banyak rupa yang datang, tak tampak paras yang sejak tadi ternantikan.

Ponsel hitam putih di genggaman mendadak menjadi musuh yang paling ia benci. Dia Angkuh, karena tak mengindahkan perintahnya. "Berhenti saja." --angkanya bertambah terus seiring waktu. Rasa kecewanya yang sejak tadi ditahan, kini merangsek dan mengakari hati. Sudah terlalu malam untuk jam besuk. Amir mengingkari janji. Tempo hari ketika ia datang menjenguk bersama Kamila, Amir menjanjikan kehadirannya --sehari sebelum ia pulang. Nyatanya, bukan Amir yang datang bersama Kamila tadi sore, tapi abi, ummi, dan Mas Darmaji sebagai supir.

"Sya, masuk ... ya, Allah kenapa berdiri di sana?" panggil bu nyai Posisi tubuhnya tepat di depan pintu lobi.

Nasya memutar badan. Air muka kesal dan khawatir sang ummilah yang ia temui. Tergopoh, bu nyai menghampiri. Ketika sudah berada di samping Nasya, ia memukul bahu putrinya itu agak keras.

"Mau menggantikan Pak Satpam?"

"Aduh, sakit, Ummi." Sesaat lalu -- setelah mengoloknya, bu nyai melayangkan pukulan kedua.

"Masuk! Sebentar lagi mau hujan. Sebenarnya, siapa yang sedang kamu tunggu?"

Dahi bu nyai berkerut penasaran. Kelopak matanya menyipit penuh selidik. Sedang Nasya, ia menggeleng cepat. Anti mengatakan. Jika ummi sampai tahu ia berdiri di sini mengharapkan kehadiran Amir, yang ada ia pasti dimarahi habis-habisan.

Namun, bu nyai tak percaya begitu saja. Jurus mengelak Nasya tak mempan. Ia anti dibohongi. Jika sudah tertangkap mata jelinya, segala macam kebohongan pasti terbongkar.

"Ustad Amir tidak akan datang, Sya. Ada hadiran setiap ba'da maghrib di pesantren. Jangan kamu harapkan."

Mata Nasya terbalalak. Kedua telapak tangannya terangkat sampai dada, bergerak berlawanan. Berusaha menepis anggapan sang ummi..

"Nggak, Ummi. Nasya nggak sedang menunggu siapa pun."

"Sya, menanti laki-laki yang bukan suami atau mahramnya itu dosa. Mau dihukum sama Abi. Ummi bisa saja bilang ke Abi, kalau Nasya mulai melewati batasannya"

Nasya menjerit dalam hati. Ah, bukankah menaruh hati pada laki-laki baik itu sah-sah saja?

"Tanpa harus kamu katakan, Ummi tahu betul apa yang sedang kamu rasakan. Ummi sudah curiga sejak terakhir kali Nasya pulang ke rumah saat liburan kuliah."

Lagi-lagi pernyataan sang ummi membuat netra Nasya melotot lebar.

"Ummi, ayo, masuk saja, deh," putus Nasya. Lalu mendahului sang ummi. Ia berjalan cepat masuk ke dalam rumah sakit. Terus berada di sini bersama ummi, bisa-bisa rahasia akan perasaannya pada Amir makin terbongkar semua.

"Sya, ingat. Jaga tingah laku kamu."

Ummi memulai kultumnya sembari jalan. Kalau sudah begini, yang bisa ia lakukan hanya mendengarkan, sambil sesekali mengangguk tanda mengerti. Tangga lantai pertama terlewati. Kira-kira perlu berjalan lima puluh meter baru bisa sampai kamar rawatnya. Letak kamar itu tepat di samping lorong menuju bangsal anak.

"Jangan sampai keputusan Abi yang memperbolehkan kamu mandiri dan kuliah menjadi bahan pertanyaan. Abi itu panutan banyak orang. Ummi tidak mau Abi dicap gagal mendidik akhlak putrinya sendiri."

Nasya berhenti, menggeser posisi tubuhnya. Menyelami kedalaman hati sang ummi yang salah menilai tentang kepribadiannya.

"Ummi, Nasya nggak melakukan kesalahan apa pun. Nggak perlu khawatir, karena Nasya nggak mungkin mencoreng nama baik Abi. in sya Allah," ucapnya.

Seperti belum puas dengan gumpal awan kesal di hatinya, Nasya menjatuhkan hujan protesnya lagi.

"Mengharapkan laki-laki baik sebagai pendamping hidup, apakah salah? Meski Nasya belum mau menikah untuk saat ini, setidaknya kelak, ketika Nasya siap akan itu, calon imam yang mampu membimbing ke jalan Allah-lah yang Nasya harapkan. Dan, sejak dulu, Nasya memang menemukan seluruh kriteria itu pada Ustad Amir. Salahkah, Ummi?" Nada suaranya rendah. Ia tak ingin terkesan menantang sang ummi.

"Sya, tugas Ummi itu memberi nama yang baik, mendidik dengan akhlak baik, dan menikahkan kamu dan Mbakmu, Kamila dengan laki-laki yang baik pula. Kalau Nasya sudah siap membina rumah tangga, biar ummi carikan jodoh yang in sha Allah, dapat membimbing Nasya dengan baik."

Dahi Nasya berkerut dalam. Ummi seperti memangkas paksa harapannya pada makluk Allah, yang ia rasa cukup sempurna itu. Namun, Nasya yang tak ingin lebih dalam mendebat sang ummi, memilih tak memberi jawaban dan berlalu pergi.

***

         Mobil kijang LGX merah yang Nasya, Kamila dan kedua orang tuanya tumpangi, transit sejenak di Polsek Mojokerto untuk mengambil barang-barang Nasya yang masih bisa diselamatkan. Hanya tas selempang rajutnya. Tas bajunya entah kemana. Meski begitu, Nasya cukup lega karena barang-barang penting seperti dompet, novel cinta favoritnya, dan ijaza S-1, tersimpan di sana.

Deretan bagunan, motor berbagai merek, serta mobil-mobil mengilap nan mentereng menjadi asupan netra Nasya selama perjalanan. Sejenak, karena setelah itu pikirannya bermain-main ke masa ketika masih di rumah sakit. Ia mengalami kecelakaan, itu kata abi, ummi atau pun Kamila. Ingatannya akan kejadian itu lenyap. Batok kepalanya tak memuat kejadian apa pun selain dirinya yang hendak naik ke atas bus. Sekuat apa ia mengingat, akhir memorinya selalu meloncat ke saat ia terbangun di rumah sakit dan melihat kedua orang tuanya berwajah cemas. Traumatik otak, itu penjelasan dokter terkait kondisinya saat ini.

Anehnya, situasi hatinya seperti tak sepakat dengan ruang kosong di ingatannya. Setiap kali mencoba mengingat proses terjadinya kecelakaan itu, rasa sesak, sedih, dan titis air mata mendadak timbul tanpa alasan yang mendasari. Adakah kejadian penting yang harusnya tak ia lupakan?

"Hujan, ya?"

Nasya teralih. Nada kecewa sang Abi menghasilkan kerut di dahinya. Karena penasaran dan ingin membuktikan, biji matanya kembali ke luar jendela. Sedikit mendongak. Langit siang itu tampak gelap. Mungkin di sini pun sebentar lagi akan turun hujan.

"Ya, ya, biarkan santri-santi masuk. Tidak apa, ini juga sudah masuk kota Jombang,'" terang sang Abi yang duduk di kursi depan. Ponsel segenggaman tangan menempel di telingannya.

Nasya memandang ke depan. Gapuran kota Jombang sudah terlewati, tapi masih perlu satu jam lagi untuk sampai di rumah. Tempat tinggalnya memang bisa dikatakan terpelosok dibandingkan kecamatan-kecamatan lain. Meski begitu, pondok pesantren yang dikelolah keluarga besarnya, selalu menjadi rujukan baik warga asli Jombang mau pun luar daerah.

"Wah, hujan Kiai," ujar Mas Darmaji.

Samar-samar dari balik kaca depan mobil, Nasya melihat rintik hujan itu datang seperti tarian penyambutan. Membasahi segala yang terlewati. Suaranya bising. Uap seperti nyawa yang melayang dari jalan-jalan aspal. Aroma khas yang bisa Nasya rasakan. Petrikor favoritnya. Namun, Nasya tak bisa menurunkan kaca. Hujan terlalu deras di luaran sana. Nanti, ketika sudah sampai rumah, ia akan membalas dendam dengan menghirup aroma langkah itu dalam-dalam.

"Sya, maafkan, Abi, ya? Harusnya ada hadroh untuk menyambut kepulanganmu di pintu gerbang. Di pesantren juga sedang hujan deras, jadi Abi meminta mereka kembali ke asramanya masing-masing."

"Nggak apa, Abi." Nasya mengulas senyumnya.

Sisah perjalanan terlalui dengan nyanyian hujan, serta tubuh-tubuh yang makin lelah. Hampir sebagian dari mereka terlelelap tidur, kecuali Kyai Jamal dan Mas Darmaji.

Mobil yang membawa mereka mulai memasuki kecamatan Drayungan. Awalanya jalan beraspal, tapi lama kelamaan, jalanan itu menjadi bebatuan. Jajaran pohon pisang serta tanah lapang luas, menandakan batas antara pesantren dan perkampungan warga. Gapura besar, hijau muda dengan plakat berbahan aluminium bertuliskan "Darul Ulum" menggerai selamat datang. Genangan air, serta ilalang basah menjadi pagar alami menuju aula depan pesantren.

"Astagfirullah!" pekik bu nyai, dan Kamila, sembari berjingkat bangun.

"Oh, my God!" teriak Nasya, lebih keras. Bahkan, kepalanya sukses membentur langit-langit mobil.

Mobil yang mereka tumpangi tak sengaja melewati lubang besar yang tertutup genangan air.

"Maaf, maaf saya tidak melihat karena lubangnya tidak terlihat," ucap Mas Darmaji tak enak hati.

"Tidak, apa, Dar." Kyai Jamal menanggapi. Menepuk ringan bahu pria di sebelahnya.

"Pak, lain kali hati-hati, ya. Kepala. Saya, nih, jadi korbannya.," keluh Nasya.

"Hust! Pak Darmaji, kan, nggak sengaja, Sya." Kamila memeringatkan.

Nasya mencebik kesal. Sang Ummi yang duduk di samping kiri Kamila meliriknya penuh peringatan.

"Maafkan saya, Neng Nasya." Sekali lagi Mas Darmaji menguntai maaf.

"Sudah, Pak, nggak usah minta maaf." Itu suara Kamila.

Hening untuk beberapa saat. Sampai akhirnya mobil itu berhenti tepat di depan rumah Nasya. Pintu terbuka bersamaan, Nasya turun lantas merentangkan tangannya lebar-lebar. Menghirup dalam-dalam aroma tanah yang tertimpa hujan. Hujan tak lagi lebat. Curahnya pun sudah mulai berkurang.

"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," sapa seseorang.

Nasya yang saat itu melihat ke arah tanah lapang yang biasanya digunakan para santri untuk bermain bola, seketika memutar badan. Didapatinya, Ustad Rahmad, Ustad Amir, dan ...?

Ia menyelidik. Laki-laki berwajah Arab yang berdiri di samping Ustad Amir itu, tak pernah ia lihat sebelumnya.

"Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh, sahabatku. Bagaimana kabarmu? Kapan kamu datang?"

Kiai Jamal memeluk sahabatnya itu.

"Aku baru saja datang."

"Bagaimana kabar putrimu? Maaf aku belum bisa menjenguk."

"Alhamdulillah, sudah diperbolehkan pulang kemarin. Anak umur lima tahun, rentan akan perubahan cuaca seperti ini, bukan?"

Kyai Jamal menepuk bahu kanan sahabatnya itu menguatkan.

"Oh, ya, saya dengar dari Ustad Amir, Neng Nasya, tertimpa musibah. Bagaimana kondisinya?"

"Alhamdulillah, Ustad Rahmad. Saya sudah pulih."

Ustad Rahmad menganggut lega.

"Ayo, silahkan masuk," pinta bu Nyai setelah membuka pintu. "Dilanjut di dalam saja mengobrolnya," tambahnya.

Semua orang masuk. Tak terkecuali, Nasya. Sayangnya sang ummi yang memintanya langsung masuk ke kamar, membuatnya tak bisa lagi memandangi Amir terlalu lama.

Nasya berjalan di depan dengan Kamila mengekorinya. Kamar mereka berada di lantai dua. Baru saja meginjak anak tangga ke tiga, Nasya berhenti, lalu membalikkan badan. Tergesah menuruni tangga, melewati Kamila dan melongokkan kepala dari balik tembok pemisah ruang tamu dan ruang tengah. Mata penuh binarnya menyasar sosok yang teramat ia kagumi.

"Sya, ayo... kalau Ummi tahu bisa kena marah, loh."

"Sebentar, Mbak."

Kamila pun ikut-ikutan mengintip.

"Siapa, yang kamu lihat, sih, Sya?"

Nasya tersenyum. Tentu saja ia melihat Amir.

"Melihat, Ustad Azan, ya?"

Tubuh Nasya menegak. Memandang Kamila penasaran.

"Ustad Azan?" ulangnya.

Kamila mengangguk.

"Ustad Azan itu yang duduk di samping Ustad Rahmad."

Nasya kembali memandang ke depan. Oh, jadi namanya Azan, lumayan tampan juga, puji Nasya dalam hati.

♥♥♥

Setiap pertemuan, menggelar takdir baru bagi napas-napas yang saling berjalinan -- Nasya Hanum

Kulla liqo', yahduru haditsu qororot li ifrodt yatarafaq -- Nasya Hanum

****

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • rara_el_hasan

    @Ardhio_Prantoko wah makasi banyak ya bang

    Comment on chapter ***
  • Ardhio_Prantoko

    Aku teraduk nih, berasa di sana. Belum ada cerita romance religi yang membuka hati bisa aku nikmati selain tulisanmu. :)

    Comment on chapter ***
  • rara_el_hasan

    @SusanSwansh matur nuwon say

    Comment on chapter *
  • SusanSwansh

    Woowwwe. Jalaluddin Rumi. Behh ini penyair sufi idolaku. Sama rabbiyah al adawiyah. Apalagi konsep cintanya yang luar biasa itu. Behhh. Mantul mom.

    Comment on chapter BAB 1
Similar Tags
10 Reasons Why
1882      748     0     
Romance
Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun tak pernah menganggap Keira lebih dari sekadar sahabat. Hingga suatu hari datanglah Gavin, cowok usil bin aneh yang penuh dengan kejutan. Gavin selalu pu...
Kemana Perginya Ilalang
665      421     0     
Short Story
bukan hanya sekedar hamparan ilalang. ada sejuta mimpi dan harapan disana.
Sang Musisi
343      213     1     
Short Story
Ini Sekilas Tentang kisah Sang Musisi yang nyaris membuat kehidupan ku berubah :')
Heaven's Song
282      180     0     
Short Story
Kisah ini dideikasikan untuk : Orang-orang yang tanpa pamrih mendoakan dan mengharapkan yang terbaik. Memberi dukungan dengan ikhlas dan tulus. Terimakasih. Terimakasih karena kalian bersedia menunjukkan bahwa kasih tidak mengenal rentang waktu dan dimensi, Terimakasih juga karena kalian menunjukkan doa yang penuh kerendahan hati dan keikhlasan adalah hal yang terindah bagiNya.
Who Is My Husband?
13413      2445     6     
Romance
Mempunyai 4 kepribadian berbeda setelah kecelakaan?? Bagaimana jadinya tuh?! Namaku.....aku tidak yakin siapa diriku. Tapi, bisakah kamu menebak siapa suamiku dari ke empat sahabatku??
Raha & Sia
2730      1087     0     
Romance
"Nama saya Sia Tadirana. Umur 17 tahun, siswi kelas 3 SMA. Hobi makan, minum, dan ngemil. Sia nggak punya pacar. Karena bagi Sia, pacaran itu buang-buang waktu." *** "Perkenalkan, nama saya Rahardi. Usia saya 23 tahun, seorang chef di sebuah restoran ternama. Hobi saya memasak, dan kebetulan saya punya pacar yang doyan makan. Namanya Sia Tadirana." Ketik mereka berd...
The Maze Of Madness
3775      1537     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
Sang Musisi (2)
369      247     2     
Short Story
Apakah kau mengingat kata-kata terakhir ku pada cerita "Sang Musisi" ? MENYERAH ! Pada akhirnya aku memilihnya sebagai jalan hidupku.
HEARTBURN
349      254     2     
Romance
Mencintai seseorang dengan rentang usia tiga belas tahun, tidak menyurutkan Rania untuk tetap pada pilihannya. Di tengah keramaian, dia berdiri di paling belakang, menundukkan kepala dari wajah-wajah penuh penghakiman. Dada bergemuruh dan tangan bergetar. Rawa menggenang di pelupuk mata. Tapi, tidak, cinta tetap aman di sudut paling dalam. Dia meyakini itu. Cinta tidak mungkin salah. Ini hanya...
About love
1097      509     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...