Read More >>"> Senja di Tanah Senja (Senja Ketiga) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Senja di Tanah Senja
MENU 0
About Us  

            “Ayah, ke mana lagi kita akan dibawa pergi?” Mardian menatap kapal besar yang baru sesaat lalu berlabuh dengan cemas.

            Pak Mantri mendesah. “Entahlah, Nak. Ayah sendiri tidak tahu ke mana kita akan dibawa pergi. Tapi, sepertinya ke tempat yang sangat jauh. Mungkin Sumatera atau Kalimantan.”

            “Apakah kita akan dipenjara lagi?”

            “Ayah tidak tahu, Mardian. Apa pun itu, Ayah yakin sekali cobaan ini pasti ada maknanya. Bersabarlah, Nak. Terkadang cobaan memang begitu keras hingga tak dapat dipahami maknanya. Namun, pasti ada pembebasaan dalam kemeranaan hidup ini meski dalam bunyi gumamannya sekalipun.”

            “Tapi aku takut sekali, Ayah. Bukan pada penjara atau penjaganya yang kejam. Aku takut dipisahkan dari Ayah. Apakah Ayah tahu betapa tersiksanya diriku jauh dari Ayah? Aku hampir gila.”

            Luka-luka lecet pada kaki Pak Mantri terasa semakin sakit. Sambil memunggungi angin yang bertiup dari laut ke pelabuhan, dia menggigil di antara tahanan lain yang berlalu lalang. “Sebaiknya kita bergegas. Kapal akan segera berangkat.”

            “Aku benci sekali laut. Seandainya saja mereka mengizinkanku berjalan kaki ….”

            “Sudahlah, Nak. Ayo kita naik.”

            “Ayah tahu, kesalahan ayah memang sulit dimaafkan,” kata Pak Mantri, sambil memutar badan membelakang Mardian. “Tetapi, engkau pun tahu ayah melakukan semua itu demi dirimu. Ayah tidak ingin kamu jadi benci dengan ibumu dan menanggung beban kebencian itu selama hidupmu. Ayah tidak ingin kamu menderita. Cobalah mengerti, anakku ….”

 

 

            Cahaya dan hawa dingin menyelusup masuk melalui lubang palka. Siapa pun yang tingginya lebih dari lima kaki harus membungkuk dan menundukan kepala supaya bisa bergerak.Berimpitan di antara dek dan dinding pemisah yang terbuat dari tumpukan peti-peti kayu, karung, dan keranjang, Mardian dan penumpang lainnya,yang sesama tahanan, berjongkok sambil bertumpu pada lutut masing-masing.

            “Apa kau bersalah?” seseorang tak dikenal yang berjongkok persis di mukanya bertanya.

            “Karena apa?”

            “Apa saja. Kuharap begitu. Karena lebih berat bagi yang bersalah.”

            “Aku rasa Bungbenar. Tapi aku dan ayahku mungkin memang bersalah.”

            “Kalau begitu kalian beruntung. Setidaknya kalian nanti akan disidang.”

            Mardian menegakan kepalanya. “Disidang?”

            “Ya, benar. Bukankah itu yang selalu dilakukan?”

            Dengan penuh kecurigaan, Mardian membiarkan pertanyaan itu menggantung. Dia mencoba berpikir, mengingat-ingat posisi dirinya, ayahnya, menyadari keadaannya. Paman Kardi dan Parta yang terluka, tentara, deportasi: apakah dia benar-benar bersalah? “Bagaimana dengan diri Bung, apakah Bung bersalah?”

            Lelaki kumuh yang tampak telah beberapa minggu tidak bercukur itu menggerakan bahunya. “Aku rasa, ya. Karena aku ini penulis jujur. Bukankah sekarang orang yang berani jujur dan berani menyaatakan pendapatnya yang diperangi oleh negara?”

            Mardian mengerutkan kening. “Entahlah, aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Yang aku tahu, kejujuran itu justru mata uang yang berlaku di mana pun.”

            “Itu pepatah lama. Sekarang ini sudah tidak berlaku lagi.”

            Mardian menatap lelaki di hadapannyaseakan-akan menatap orang gila tapi tidak mengatakan apa-apa.

            “Jadi kau ditangkap bersama ayahmu?” lelaki yang berusia kira-kira dua puluh satu tahun itu mengalihkan topik pembicaraan. Mungkin dia melihat cemooh di mata Mardian. “Yang mana ayahmu?”

            Mardian menoleh pada lelaki paruh baya di samping kirinya. “Dia ayahku.”

            “Sepertinya dia sangat menyayangimu.”

            “Lebih dari apa pun.”

            “Itu tampak jelas sekali. Ah, seandainya aku punya ayah.”

            “Apa maksud Bung?”

            “Aku ini anak pelacur. Ibuku yang jahanam tidur dengan lusinan lelaki. Mungkin saja aku terbentuk dari seperma lusinan lelaki itu.”

            “Bung tidak boloh mengutukinya. Bagaimanapun dia tetap ibu Bung.”

            Lelaki itu tertawa. “Tidak, jangan salah paham. Aku mengutuki ibuku karena begitulah cara menegaskan cintaku padanya. Justru, saat aku berbicara manis dan penuh cinta, dia akan memukuliku sampai aku bersumpah serapah. Kau tahu kenapa? Karena saat kami saling mengutuk dan bersumpah serapah, maka semuanya baik-baik saja.”

            “Aku belum penah mendengar cinta yang seperti itu. Tetapi, aku rasa aku bisa mengerti.”

            “Kau baik sekali. Terima kasih. Namaku Pramoedya, siapa namamu?”

            “Aku Mardian. Aku dari desa Pada Suka.”

            “Nama desa yang bagus. Aku baru pertama kali mendegar nama desa sebagus itu. Pasti desa itu begitu indah dan damai.”

            “Bung benar. Desaku memang sangat indah. Kami semua hidup damai dan bahagia.”

            “Kalau begitu, sekarang aku akan memejamkan mataku dan membayangkan berada di sana. Menikmati keindahan panoramanya, udara segarnya, kicau burung, dan kebebasaan.”

            “Bagaimana caranya?”

            “Dengan imajinasi, tentu saja.” Pramoedya mengedipkan sebelah matanya. “Apa kau lupa? Aku ini, kan, penulis.” Dia menangadah dan memejamkan mata.

            Seandainya saja aku juga seorang penulis, batin Mardian.

 

            Ada sekitar tiga ratus orang tahanan politik yang diangkut kapal itu dari pelabuhan Sodong, Nusakambangan. Mereka semua adalah orang-orang yang dianggap terkait dengan Partai Komunis Nasional, yang mencoba mengobarkan makaruntuk merobohkan Republik dan menggantinya dengan pemerintahan komunis.Orang-orang yang diduga turut andil saat Indonesia yang baru berusia tiga tahun mengalami sesuatu yang tampaknya merupakan pergulatan filosofi-politik dengan kesadarannya. Meskipun sebagian besar dari mereka sebenarnya hanya mengikuti revolusi itu dari jarak tertentu dan dengan sikap tak memihak.Bahkan sebagain besar dari mereka sama sekali tidak tahu mengapa dirinya ditangkap.

 

            Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Mardian bahwa dia akan menjalani kehidupan yang begitu akrab dengan air: di atas air, dikelilingi air, dibuat muak olehnya, tapi juga sangat membutuhkannya. Terus terombang-ambing dan tak tahu ke mana tujuannya pergi, membuat dia menahan diri sekuat tenaga agar tidak mencakar penumpang lain karena frustrasi. Kemudian dia berbicara kepada laut dalam kepapaan. “Tenanglah, jangan bergerak, jangan hempaskan aku wahai laut yang baik. Tenanglah, aku tak akan menyakitimu.” Kemudian, “Tidak. Bergeraklah, menarilah, hibur aku laut jahanam. Jangan khawatir, aku berjanji akan menjaga rahasiamu: bahwa baumu seperti darah wanita yang sedang datang bulan, bahwa engkaulah penguasa dunia ini dan daratan hanya mahkota kecil kepalamu, bahwa jauh di dalam mulutmu ada kuburan sekaligus surga.” Tetapi, semua itu tidak lebih daripada gema dalam kepala Mardian.

 

            Tertindih rapat di antara sesama penumpang, otak menjadi suatu pusaran air kenangan yang membusuk. Ketidakpedulian membunuh semangat. Di kapal ini ataudi tempat lain, apa bedanya? Mati hari ini, atau esok, atau kelak, bukankah sama saja? Laut itu luas dan nasib tidak mengenal negosiasi. Setelah satu minggu lebih, hari siang bagaikan malam, dan malam menggantikan endapan kekelaman jiwa para tahanan. Mereka tidak tahu berapa lama lagi perjalanan panjang itu akan berakhir dan ke mana tujuan mereka. Bagi mereka yang tidak bisa melihat birunya langit, waktu sama seperti gelombang laut; tak bisa ditandai, abadi, dan tidak berwujud.

            “Sepertinya Tuhan tidak mengenal siapa kita. Kalau kenal, Dia pasti akan menyukai kita. Tapi menurutku Dia tidak mau kenal kita.”

            “Tapi, bukankah Dia yang menciptakan kita?”

            “Memang. Tapi Dia juga yang menciptakan ekor merak, dan itu pasti lebih rumit, bukan?”

            “Benar. Tapi tetap saja suara lebih rumit daripada ekor merak. Kita bisa bernyanyi, bisa berbicara dalam berbagai bahasa. Merak, kan, tidak bisa. Dia hanya bisa mengibas-ibaskan ekornya dan berkaok-kaok monoton.”

            “Kita perlu itu. Merak tidak.”

            “Dan kita perlu akal juga tangan untuk membuat banyak hal. Merak bisa hidup tanpa itu.”

            “Persis. Banyak hal baik dan bagus. Juga karya-karya sastra yang menakjubkan. Tetapi, itu semua urusan pribadi kita. Bukan urusan Tuhan. Sebab Tuhan sendiri sibuk dengan urusan yang lain lagi. Dia tidak punya waktu mengurusi urusan remeh kita. Bahkan sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran-Nya, aku rasa.”

            “Kalau tidak sedang mengawasi kita, lantas apa yang Dia lakukan di atas sana?”

            “Itu rahasia Tuhan. Kita tidak perlu tahu. Kita, kan, cuma mahluk-Nya.”

            Semua orang tertawa sampai terbatuk-batuk mendengar lelucon nakal itu. Kecuali Pak Mantri dan Mardian. Lelucon itu sama sekali tidak menghibur jiwa mereka, sebaliknya, lelucon itu melukai. Mungkin semua orang sudah tidak peduli lagi terhadap apa yang telah mereka tinggalkan dan apa yangsedang menanti mereka. Masa lalu tidak lagi menghantui, meski tidak ada bayangan masa depan. Atau lebih mungkin lagi mereka sudah terlalu lelah dan kehabisan kata-kata. Namun, bagi ayah dan anak lelaki itu, apa pun alasannya, adalah perbuataan sangat jahat mengolok-olok Tuhan.

 

            Palka itu selalu bagaikan sarang lebah. Orang-orang berbicara dalam berbagai bahasa, melontarkan lelucon, mengutuk, dan berkelekar.Mereka tidak menggubris suara langkah kaki di atas mereka atau debur ombak lautan. Sampai pada suatu ketika terdengar percakapan awak kapalyang mengusik hati semua tahanan.

            “Barang-barang kita turunkan di Gulag, dan kita langsung menuju Halmahera.” Seseorang mengulangi percakapan itu. “Kira-kira apa maksudnya?”

            “Sepertinya kita akan dibuang sangat jauh. Gulag, di mana pun tempat itu, kedengarannya sangat mengerikan,” ujar seorang lain.

            “Semoga saja yang dimaksud barang itu bukan kita,” sahut seseorang lain lagi.

            “Mustahil!” temannya menyela, “barang itu sudah pasti kita. Apa kau tidak lihat di sini tidak ada barang apa pun selain kita, manusia buangan?”

            “Kau yang buta, Bung! Menurutmu apa karung dan peti-peti kayu di sana itu bukan barang?”

            “Hentikan Saudara-saudara!” seru Pak Mantri. “Tak ada gunanya berdebat. Lebih baik kita beristirahat selagi bisa. Setelah turun dari kapal nanti, di mana pun itu, kita tidak akan lagi punya cukup waktu untuk tidur atau sekadar duduk-duduk.”

            “Bagaimana mungkin kami tidur, Bung, sementara kami ketakutan setengah mati.” Yang lain menimpali.

            “Apa kalian bersalah?”

            “Apakah mereka peduli?”

            “Tidak memang. Tetapi, setidaknya itu bisa mengurangi beban di hati. Jika kalian tidak bersalah, ini berarti ujian. Namun, jika kalian bersalah, sudah pasti semua ini balasan sekaligus hukuman untuk dosa dan kesalahan yang kalian lakukan.”

            “Dosa itu tidak ada, Bung. Karena Tuhan sendiri sudah pergi meninggalkan tanah air kita. Bukan manusia, bukan. Melainkan Tuhan yang pergi.”

            “Sekalipun benar begitu,” sahut Pak Mantri dengan nada sama sekali tidak berubah, “memangnya ada hal lain lagi yang dapat kita lakukan? Kita berada di tengah laut, Saudara-saudara. Pilihan kita hanya tetap tinggal atau melompat ke laut. Itu pun kalau bisa.”

            Sambil mengesah dan mengutuk lirih, semua orang mencari posisi paling nyaman untuk mencoba tidur. Meskipun mereka sama-sama tahu bahwa itu tidak mungkin dilakukan.

            “Paman benar-benar bijaksana,” ujar Pramoedya kepada Pak Mantri. “Seandainya saja negara kita juga dipimpin orang yang bijaksana.”

            “Jadi, menurut Bung, pemimpin kita yang sekarang tidak bijaksana?” Mardian menyela.

            “Apakah orang yang bertindak semena-mena, otoriter, arogan dan suka main kekerasan itu bijaksana?”

            “Tetapi, bagaimanapun juga beliau tetap pemimpin kita.” Pak Mantri menengahi. “Kita harus tetap hormat dan tunduk pada perintahnya.”

            “Dan satu lagi, jangan pernah berani mengatakan bagaimana pendapatmu. Atau kau akan berakhir di kamar penjara.Dan yang lebih buruk lagi, kau akan ditenggelamkan ke dasar samudera.”

            “Itu lelucon yang jahat sekali, Bung.”

            “Terima kasihh. Aku anggap itu pujian.”

 

            Cahaya di atas lubang palka semakin meredup, kegelapan mengancam mata siapa pun yang masih terbuka. Semua orang sudah jauh lebih tenang sekarang. Dalam momen-momen yang sesaat itu, mereka akhirnya mengerti bahwa mereka tidak sendirian. Di kala mereka merasa takut akan kerapuhannya sendiri, ingatan inilah yang menghilangkan rasa was-was mereka. Apabila dada mereka mulai berdebar-debar memikirkan kehidupan yang menanti di depan, ingatan ini juga yang meredakannya. Ingatan bahwa mereka tidak sendirian.

 

            Setelah berlayar selama dua minggu penuh, melewati beberapa pulau kecil, dermaga, dan badai, dan musibah, kapal ADRI XV akhirnya berhenti di pelabuhan Namlea. Beberapa orang yang mengenakan seragam loreng berdiri di depan pintu dek dengan tongkat kayu ditangan.

            “Semua keluar kapal, segera!”

            “Bentuk kelompok dua puluh-dua puluh!”

            Orang-orang berseragam loreng itu sekali lagi mengayun-ayunkan tongkatnya ke mana-mana. “Cepat berbaris, binatang malas!”

            Pimpinan merekaseorang lelaki bertubuh tinggi tegapyang berusia sekitar lima puluh tahun berkata, “Dengar, untuk sampai ke kamp, kalian harus menunggu giliran naik sekoci. Sampai giliran kalian tiba, kalian harus tetap berdiri di sini. Mengerti?”

            Tiga ratus lebih kepala mengangguk letih.

            “Jangan putus asa, Saudara-saudara. Simpanlah baik-baik tenaga kalian. Tenaga itu akan berguna nanti. Dan yang akan menolong kalian supaya tidak menyerah.”

 

            Dua buah sekoci yang diturunkan dari kapal mesinnya dihidupkan. Kelompok pertama dan kelompok kedua bersiap-siap berangkat. Sambil menunggu gilirannya tiba, Mardian mengalihkan pikirannya dari laut dengan mengamati segerombolan pohon bakau mati yang batangnya miring karena susunan akarnya yang membusuk tak jauh dari dermaga. Sudah tak ada satu pun daun di dahan pohon-pohon itu, batangnya yang kelabu tampak bertambah kelabu oleh proses pembusukannya yang lambat. Hal itu mengingatkan Mardian pada akar pohon pidada yang tumbuh subur di sekitar rawa-rawa Pada Suka. Ketangguhan tumbuhan itu menghadapi curahaan air dan terpaan badai membuat Mardian iri sekaligus takjub. Mereka benar-benar pejuang tangguh, batin Mardian sambil terus mengamati gerombolan bakau mati itu. Tiba-tiba Mardian seolah melihat lapisan kabut tipis yang menggantung di sekitar pohon bakau itu—tidak, bukan kabut, tetapi pembusukan tumbuhan tersebut tengah mewujudkan diri—serpihan-serpihan kecil dari bagian batang yang busuk melayang dan bergabung membentuk selubung kehidupan yang baru. Untuk beberapa saat lamanya beban di pundak Mardian seperti terisap ke dalam pohon-pohon mati itu. Dan dia yang telah begitu lelah dengan segala bentuk cobaan hidup beserta lelucon-leluconnya yang memuakan yang sama sekali tak dapat dimengerti maksudnya, membuka diri dengan senang hati. Selama ini dia tanpa lelah mencari makna di balik cobaan hidup yang dialaminya, dia menggali jauh ke dalam inti diri, ke ceruk-ceruk hati, jatuh-bangun, dan kemudian tenggelam kembali.

 

            Tarikan tangan serta suara Pak Mantri membangunkan Mardian dari lamunan setengah sadarnya.

            “Ayo, Nak, cepat!”

            Mardian mengikuti ayahnya naik sekoci. Sekali lagi dalam hari itu dia harus berhadapan dengan laut: dengan aroma asinnya yang bersih namun memualkan, dengan tangan ombak yang menggulung isi perut, dengan kuburun gelap di bawahnya yang selalu mengejak. Mardian berpegangan lebih erat pada tepian sekoci menahan sesuatu di dalam dirinya yang meronta-ronta ingin dibebaskan.

 

            Perjalanan menggunakan sekoci itu tidak memakan waktu yang lama. Mardian merasa lega saat mereka menuju tepian pantai. Dua tentara yang mengawal perjalanan memerintahkan semua tahan turun.Satu persatu dari mereka meloncat dan segera berjalan menembus ombak, melangkah hati-hati di atas meninggalkan lautan biru dengan buih-buih putih di atasnya.Saat ombak telah berada cukup jauh di belakang, bau busuk tumbuhan mati, getah pohon, dan air garam menguar di udara. Terik matahari mengubah hamparan pasir menjadi permadani keemasaan yang tebal dan panas di bawah empat puluh pasang kaki yang segera bergabung dengan empat puluh pasang kaki lain yang sampai di pantai Sanleko lebih dulu.

            “Cepat bergabung dengan yang lainnya, bajingan malas!” seru seorang tentara sambil mengayun-ayunkan gagang senapan memukul di kiri-kanan.

 

            Sekali lagi, saat berdiri menunggu tahanan yang lain tiba Mardian menghibur dirinya dengan mengamati pohon mati. Sebatang pohon sagu.Pohon mati bukan pertanda baik, pikir Mardian. Ada sebuah rawa-rawa tak jauh dari pohon mati itu. Airnya yang tak bergerak membentang bagai cermin hitam, hampir sejajar dengan pematang sempit yang terbentuk oleh jalan setapak sebagai bingkainya. Pepohonan di sini terlihat kerdil, batangnya amblas di bawah genangan lumpur. Pada pohon lain, yang sedikit lebih besar, akar dangkalnya dilapisi lumutgambut berwarna hijau gelap dan tumbuh merambat hampir hampir disekujur akar. Mardian mengedarkan pandangannya, mengamati pohon-pohon lain, tanah, langit, awan.

            “Hei, bajingan bodoh, tidak boleh menoleh ke kiri-kanan!” salah seorang tentara memperingatkan Mardian sambil memukul kepalanya.

            Mardian menunduk beberapa lama kemudian mengangkat mukanya sedikit seraya tersenyum ke arah ayahnya. Tidak apa-apa, tidak sakit, kata-kata Mardian yang tidak terkatakan.

 

            Setelah semua tahanan selesai diangkut sekoci, pimpinan para tentara yang berusia sekitar empat puluh lima tahun dan tampak tidak berprikemanusiaan berkata, “Kami ucapkan selamat datang di kamp kosentrasi Pulau Buru.” Dia berhenti sejenak. Memandang para tahanannya seakan-akan mereka sekawanan anjing berpenyakit kusta yang tak mau mati. “Ingat ini,” sambungnya,“kalian berada di kamp kosentrasi. Di sini, kalian harus bekerja sangat keras jika ingin bertahan hidup. Jika tidak, kalian akan mendapatkan hukuman yang sangat pedih. Bekerja atau dihukum, pilihannya ada di tangan kalian. Namun, sebelum kalian mulai bekerja, kalian akan kami bagi ke dalam beberapa kelompok terlebih dahulu. Sekarang, bentuk empat barisan, cepat!”

            Hiruk pikuk. Orang-orang berlari ke sana-ke mari, para tentara saling meneriaki. Mardian mengambil barisan di belakang ayahnya, dan Pramoedya mengambil barisan tepat di belakang Mardian.

            “Kami akan memanggil nama kalian satu persatu dan ke kelompok mana kalian harus pergi. Dengarkan baik-baik, karena tidak akan ada pengulangan. Bagi yang kemudian bertanya, kami tidak akan segan menghajarnya. Mengerti?”

            “Mengerti!”

            “Bagus. Kita mulai sekarang.”

            Mardian, Pak Mantri, dan Pramoedya masuk kelompok B bersama sebagian besar tahanan lainnya.

            “Aku harap kelompok B bukan artinya kelompok yang bersalah. Karena nama-nama yang tergabung di kelompk A semuanya pemimpin makar.”

            Kecemasan dalam suara Pramoedya membuat Mardian sedikit gemetar.

            “Masih belum pasti, Nak Pram. Tetapi, menurut bisik-bisik yang kudengar, katanya semua pengkhianat negara akan dihukum mati.”

            “Itulah yang membuatku cemas, Paman. Nama-nama yang masuk di kelompok A adalah pemimpin makar yang akan segera dihukum mati. Sedangkan kelompok B meskipun aku belum tahu pasti, tapi sepertinya ….”

            “Apa pun itu,” sahut Mardian, “kita tetap tidak boleh menjadi pengecut yang putus asa. Seandainya pun harus menghadapi tiang gantungan, kita hadapi tanpa gentar.”

            Pak Mantri menepuk bahu Mardian dengan sayang. Sebulir air mata meluncur deras dari kedua mata lelahnya. Itulah kali pertama Mardian melihat ayahnya menangis.

            “Semuanya akan baik-baik saja, Ayah. Jangan khawatir.”

            “Anakmu benar, Paman. Semuanya akan baik-baik saja. Kita tidak perlu mengkhawatirkan apa pun.”

            Pak Mantri mengangguk. “Semuanya pasti akan baik-baik saja. Kemanusiaan tidak akan tinggal diam dengan semua ini.”

            Setelah pembagian kelompok semua tahanan diminta kembali membentuk barisan.

            “Bentuk barisan lima sejajar, cepat!”

            Terdengar suara tembakan di udara.

            “Maju jalan!”

 

            Arak-arakan itu mulai bergerak. Semua orang berjalan tanpa pernah menengok kembali ke laut yang mereka tinggalkan, ke hamparan pasir yang berkilau seperti permata tertimpa sinar matahari bulan Agustus. Pada punggung setiap orang ada pikulan, dalam mata setiap orang ada penderitaan bercampur kebencian.

            “Lebih cepat, keparat! Lari!”

            Seperti robot, tiga ratus pasang kaki itu seketika berlari. Beberapa tentara yang menanti di pinggir jalan dengan tongkat kayu ditangan memukul seenaknya; memukul siapa saja yang melewatinya tanpa sebab. “Lari lebih cepat lagi,pemalas!”

 

            Kaki semua tahanan secara mekanis menempatkan yang satu di depan yang lain. Menyeret tubuh tulang-belulang yang terasa berat oleh rasa haus dan lapar dan beban barang bawaan.Akan tetapi, ketakutan di dalam diri mereka jauh lebih kuat dari rasa haus dan lapar. Beberapa dari mereka terjatuh, merangkak-rangkak seperti anjing kena pukul, lalu bergegas bangun menyeret-nyeret pikulan dan kakinya. Mereka terus berlari, sesak napas,kehabisan tenaga, kehilangan akal.

 

            Ujung jalan setapak dan akhir dari arak-arakan itu adalah sarang maksiat. Sebuah kompleks yang dikelilingi oleh pagar kawat berduri, dan dijaga ketat oleh sekitar 30 sampai 40 tentara bersenjata di pos penjagaan. Kamp kosentrasinya sendiri hanya berupa sembilan barak sederhana dari kayu dan papan yang lebih mirip kandang ternak. Di samping bangunan-bangunan itu, terhampar lapangan yang ditumbuhi rerumputan yang cukup luas dengan sebuah tiang bendera mengibarkan bendera merah putih. Di gerbang kamp segerombolan tentara bersenjata lengkap menghalau tahanan ke lapangan berkumpul. Perintah pun diberikan melalui pengeras suara oleh Jendral Sumarto selaku kepala penanggung jawab.

            “Sebelum kalian menempati kandang anjing masing-masing, kalian harus membersihkannya lebih dulu. Kemudian kalian boleh langsung tidur atau mencari sesuatu untuk dimakan karena kami tidak menyediakan makanan untuk binatang. Tapi ingat, besok pagi-pagi sekali kalian harus berkumpul di sini untuk melaksanakan apel pagi. Bagi siapa pun yang tidak mengikuti apel pagi akan mendapat hukuman. Sekarang kalian boleh enyah dari hadapanku.”

 

            Kamp kosentrasi itu memang tampak seakan-akan baru dilanda suatu wabah: terbengkalai dan mati. Mardian melirik ayahnya. Alangkah berubanya orang ini, begitu kurus, begitu kering, begitu menyedihkan. Mardian ingin menghampirinya, ingin berbicara kepadanya. Tetapi dia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Semua orang telah menjadi manusia yang lain sama sekali. Meraka yang dahulu telah mati dalam penjara, yang tersisa hanya sesosok tubuh yang mirip dengan mereka.Sesosok tubuh yang tidak seberapa memikirkan yang lainnya, sesosok tubuh yang inderanya sudah ditumpulkan, yang mustahil menangkap suatu makna kehidupan. Dalam suatu saat yang mutakhir, tampak jelas oleh semua orang bahwa mereka seperti jiwa-jiwa terkutuk yang berkeliaran dan terkatung-katung di dunia. Jiwa yang dihukum—entah oleh Tuhan, etah oleh alam—tidak dapat naik ke langit hingga umat manusia tumpas, kehidupan berakhir, dan segala sesuatunya kembali dalam ketiadaan.Jiwa-jiwa yang tidak pantas mendapat kata maaf apalagi pengampunan.

 

            Pintu-pintu barak terbuka; suatu kuburan yang menganga. Semua tahanan mulai bekerja membersihkan barak masing-masing.

            “Apakah tentara-tentara di negara kita begitu biadabnya menyuruh kita membersihkan kandang busuk ini tanpa memberi sesuatu alat pun?” keluh Pramoedya. “Menurutnya akar alang-alang ini bisa tercerabut sendiri atau bagaimana?”

            “Apa kau lupa kita ini siapa, Bung?” seseorang sesama penghuni barak menyahu. “Kita ini tahanan politik, manusia buangan.”

            “Masih manusia,kan, belumjadi anjing? Tapi perlakuan mereka terhadap kita lebih rendah dari memperlakukan seekor anjing. Dan ini baru permulaan. Mungkin besok mereka akan menyuruh kita memindahkan gunung, mencerabuti pohon-pohon di hutan, atau bahkan harus menguras air laut dan membersihkan lumut di terumbu karang berikut memandikan ikan-ikannya.”

            “Atau mungkin mereka akan menyuruh kita membuat tangga ke langit untuk menjemput para bidadari yang telanjang di surga.”

            Semua orang di barak itu tertawa.

 

            Di sudut yang lain, Mardian yang menyaksikan bagaimana teman barunya melucu mendapati dirinya terkagum-kagum melihat hal sepele itu melahirkan kebahagiaan. Dia yang telah terkurung begitu lama di tanah moyangnya merasa bagai baru saja menemukan rahasia kehidupan dari dasar lumpur hitam di bawah kakinya. Orang-orang ini tidak pernah lelah untuk melarikan diri, pikir Mardian, mereka terpedaya oleh keyakin semu bahwa jika mereka mampu berlari cukup kencang dan juah, mereka akan lepas dari masa lalu atau masa kini mereka. Bahkan mungkin lepas dari diri mereka sendiri.

            “Kalian tahu, aku rasa kita dikirim ke kamp kosentrasi ini semata-mata untuk dijadikan pelampiasaan dendam Jendral Sumarto dan anak buahnya.” Pramoedya mulai lagi. “Mengapa aku berkata demikian? Tentu karena aku tahu persis bagaimana sekolah militer dan kebiadaban di dalamnya. Karena itu aku berani mengatakan ini: mereka ingin kita merasakan apa yang mereka dahulu rasakan.”

            “Tetapi mengapa kita? Maksudku, apakah kesalahan kita begitu besar hingga sama sekali tidak bisa dimaafkan?” tanya Mardian.

            “Pernah dengar cerita Qabil dan Habil? Menurutmu, mengapa Tuhan menerima persembahan Habil sedangkan persembahan Qabil ditolak?”

            “Itu karena Habil memberikan persembahan dengan hati yang tulus, sedang Qabil tidak. Hati Qabil penuh kebusukan.” Seorang lain menyahut.

            “Jawaban yang bagus sekali. Tapi pernahkah di antara kalian berpikir untuk mencari jawaban yang lebih sentimental lagi yang tidak berdasarkan buku yang kalian baca? Misalnya saja bahwa seharusnya Tuhan tidak menerima satu pun persembahan dari Qabil maupun Habil, atau jika tidak, setidaknya Dia menerima separuh persembahan Qabil untuk menghormatinya sebagai sesama mahluk ciptaan-Nya. Bukankah Tuhan telah bersikap sedemikian tidak adil dengan hanya menerima persembahan Habil yang kemudian menumbuhkan kecemburuan di hati saudaranya?”

            “Apa sebenarnya maksud Bung Pram?” Mardian yang merasa imannya terluka menyela.

            “Maksudku, dalam kasus sejarah Qabil dan Habil yang patut dipersalahkan seharusnya Tuhan sendiri. Soal diterima dan ditolaknya persembahan anak Adam dan Hawa itu sama sekali tidak dapat dikatakan satu ujian. Itu adalah tindakan sembrono akibat keangkuhan Tuhan sendiri. Sebagai zat yang berdaulat atas segala sesuatu, seharusnya Dia lebih bijaksana sebelum mengambil keputusan, juga sanggup menghentikan pembunuhan atas diri Habil.” Pramoedya mengamati pengaruh kata-katanya. Kemudian, “Aku tahu ini ucapan durhaka. Ya, mungkin memang demikian. Tetapi, dapat kupastikan kepada kalian kalau aku yang menjadi Tuhan, aku tidak akan meminta manusia untuk memilih antara kejahatan dan kebaikan dan kemudian aku menimpakan hukuman kepada mereka yang memilih kejahatan sedang kepada mereka yang memilih kebaikan aku memberikan kebahagiaan. Tidak. Aku tidak akan menguji manusia dengan cara rendah seperti itu. Jika aku menjadi Tuhan aku akan membebaskan manusia menentukan jalan hidupnya masing-masing tanpa ancaman. Agar aku bisa melihat apakah mereka bijaksana atau tidak.”

            “Aku semakin tidak mengerti arah pembicaran Bung ini,” kata seseorang yang mulai jengah.

            “Kami pun tidak.” Yang lain menimpali.

            “Ya, ya. Langsung saja, Bung. Katakan yang ingin kau katakan sebenarnya. Jangan bertele-tele.”

            “Baiklah, yang ingin aku katakan pada kalian semua adalah kita sama sekali tidak pantas berada di sini dan diperlakukan dengan keji layaknya binatang yang berbahaya. Aku yakin beberapa di antara kalian sama sekali tidak bersalah. Bahkan mungkin tidak tahu apa-apa. Tentara-tentara bodoh itu main asal tangkap, dan tak mau repot-repot melakukan penyelidikan. Selain para pemimpin makar di Madiun yang dimasukan dalam kelompok A, yang lainnya hanyalah korban. Sama seperti Qabil yang tidak puas dengan Tuhan, kalian semua juga tidak puas dengan kerja pemerintah. Kalian menyipan rasa tidak puas itu jauh di dalam hati kalian, sebab kalian semua tahu tidak ada kebebasan menyuarakan pendapat di negeri ini. Pemimpin kita terlalu otoriter. Kita hidup di negara yang merdeka, akan tetapi, kita sama sekali tidak merdeka. Yang merdeka hanya negara kita, bukan penduduk negaranya. Itulah alasan besar dari kalian menjadi pengikut makar yang sebanarnya.Tidak lebih dari sekadar cari perhatian pemerintah supaya diperhatikan dan didengarkan.”

            Bayangan pohon-pohon bakau yang mati berkelebat di benak Mardian. Tumbuhan itu tampak mati, sudah lama mati, namun entah bagaimana terus bertumbuh.

            “Anak Muda,” sela Pak Mantri, “aku tahu kau sama sekali tidak memiliki maksud apa pun di balik perkataanmu barusan. Tetapi, kalau sampai ada penjaga yang kebetulan lewat dan mendengar yang baru kau katakan itu, akibatnya pasti sangat tidak baik.” Pak Mantri mengingatkan Pramoedya karena khawatir kata-kata pemuda itu akan memicu kerusuhan.

            “Betapa bodohnya, aku lupa sedang berada di kandang macan. Aku bisa habis dimangsanya gara-gara menyimpan sepotong kecil daging di saku celanaku.” Pramoedya tertawa seolah-olah itu lelucon yang menggelikan.

 

            Siang hari itu berlalu seperti awan kecil di musim kemarau, sebagai mimpi di waktu fajar. Malam luruh bersama hawa dingin yang tajam menggores kulit semua tahan. Bintang-bintang di langit tidak lebih dari percikan kecil api yang sekiranya api itu padam suatu malam nantimaka tak akan ada lagi cahaya lain yang tertinggal di langit malam selain rembulan.Sebab bintang-bintang telah mati.

            “Engkau belum tidur?”

            Mardian menoleh. “Ah, Bung Pram rupanya. Bung membuat kaget saja. Aku tidak bisa tidur. Bung sendiri mengapa tidak tidur?”

            Pramoedya duduk. “Berhentilah memanggilku bung. Panggil aku Pram atau kawan atau apa pun sesukamulah. Tapi asal jangan bung. Karena aku menghargaimu sebagai seorang dewasa bukan anak yang baru tumbuh remaja.”

            “Tapi—”

            “Aku tidak menerima alasan, sama seperti perutku yang lapar dan tidak mau berkompromi.”

            Entah mengapa Mardian tersenyum. “Memang terkutuk bagian tubuh yang satu ini. Karena hanya dia yang sadar akan tuntutan waktu danyang tidak mentoleransi keadaan.”

            Pramoedya tertawa. “Tidak kusangka kau pandai juga melontarkan lelucon.”

            “Mungkin karena aku juga lapar.”

            “Kalau begitu seharusnya semua orang mengurangi setengah porsi makan mereka agar dapat melucu sepertimu.”

            “Aku anggap itu sebuah pujian.”

            “Itu kata-kataku.”

            “Tetapi, bukan itu yang membuatku tidak bisa tidur.”

            “Lalu?”

            “Aku memikirkan ayahku juga lelucon tidak lucu Bung, maksudku leluconmu tentang kerja paksa siang ini.”

            “Jadi kau tahu?”

            Mardian mengangguk

            “Kau benar. Aku memang sama sekali tidak sedang melucu. Apa yang aku katakan siang ini sama sekali bukan lelucon, itu prediksi.”

            “Itulah yang aku takutkan. Maksudku, bagaimana jika prediksi itubenar-benar terjadi? Karena aku melihat kebengisan yang tidak manusiawi di mata para tentara. Selain itu … hutan di seberang kamp ini mengganggu kepalaku.”

            “Kau khawatir hutan itulah yang akan diperintahkan untuk kita babat?”

            “Begitulah, tidak mungkin kita dideportasi ke kamp kosentrasi ini jika tidak untuk mengerjakan sesuatu, bukan?”

            Pramoedya mengangguk lalu melipat kakinya. “Kau tahu, Kawan, menurutku negara kita ini masih sakit dan terlalu rapuh sistim pemerintahannya. Di sisi lain bayang-bayang penjajahan mengganggu tidur semua orang, menjebak mereka dalam ketakutan yang menumbuhkan rasa tidak percaya terhadap petinggi negara. Perasaan inilah yang kemudian berkembang menjadi rasa tidak puas juga pemberontakan di hati semua orang.”

            “Aku tidak mengerti, apa maksudmu?”

            “Kawanku yang lugu, apabila kau melihat seorang pengemis lapar yang harus kau lakukan adalah mengajaknya pergi dari persimpangan jalan dan membawanya ke panti sosial untuk diberi makanam juga minuman. Setelah pengemis itu kenyang dan kuat, orang-orang panti itu akan membinanya, mungkin akan menyuruh si pengemis mengairi kebun.Setelah dia cukup mahir dia pun akan diberi tugas yang lain. Menanam benih, memanen buah dan sayur-sayuran misalnya. Ketika pengemis ini tahu lebih dalam tentang struktur panti itu, maka dia tak akan pernah bertanya mengapa dia dibawa ke sana, dan tidak akan pernah menyalahkan orang yang membawanya pergi dari persimpangan jalan itu. Maksudku adalah, jika pemerintah ingin membasmi komunisme di negara ini, seharusnya yang mereka lakukan adalah mempelajari struktur keorganisasian komunis itu lebih dalam sebelum mengambil tindakan. Bukan semena-mena menangkap orang yang entah benar-benar bersalah atau tidak dan menyiksanya bagai binatang. Karena bagaimanapun juga kita ini manusia, atau katakanlah masih berwujud manusia jika kau suka.”

            “Jangan menakutiku,Pram.”

            Paramoedya menatap Mardian lekat-lekat. “Tidak, kawan. Aku bersungguh-sungguh. Kau pikir mengapa mereka menangkapku jika bukan karena khawatir aku menyuarakan pendapatku? Kuberitahu, di masa ini pemerintah lebih takut dengan orang yang memegang pena daripada seseorang yang menghunuskan senjata. Kau tahu maksudku? Pena lebih mengancam pemerintahan negara kita; suara-suara rakyat yang kecewa lebih berpotensi menimbulkan bencana daripada aktifnya gunung berapi.”

            “Aku sama sekali tidak pernah memikirkan hal itu,” sahut Mardian seraya mendongak menatap langit. “Bagiku—atau barangkali lebih tepatnya bagi penduduk di desaku—sebagai warga negara kami semua hidup menurut kehendak seorang pemimpin; kehidupan kami di tanah moyang ini kami percayakan ke dalam perlindungan seorang pemimpin. Apabila kami berharap pemimpin kami memahami yang kami inginkan, maka pertama-tama, kami harus melakukan apa yang pemimpin kami inginkan. Dan jika kami tak mau melakukan apa yang diminta dari diri kami, maka kami takkan pernah bisa mengerti apa pun tentang pemimpin kami.”

            “Apakah itu berarti kau bersedia jika seandainya suatu hari nanti kau mereka pisahkan dari ayahmu?”

            “Untuk yang satu itu, tidak. Aku takkan membiarkan siapa pun, bahkan Tuhan sekalipun, memisahkanku dari ayahku. Ayahku adalah segalanya, dia hidupku.”

            “Kau membuatku iri, Kawan. Sungguh. Selama hidupku aku belum pernah bertemu orang sepertimu. Kau ini pemuda naif, tapi disisi lain kau seorang yang lain sama sekali.Bagimu pantai adalah Tuhan, ombaknya adalah tradisi, dan sampannya pemimpinmu sendiri. Tetapi, Kawan, kau pun harus ingat ini: semakin kau mendayung ke tengah, makin cepat ombak membawamu keluar jalur. Kau akan hanyut di jalur yang panjang, sangat panjang sampai-sampai kau mampu mendengar deru riam tempatmu ditakdirkan untuk binasa dan sampanmu hancur berkeping-keping di dalamnya. Disaat itulah kau baru akan melihat ketakutan yang tersembunyi di hatimu, yang ke arahnya kau melaju tanpa pikir panjang selama ini.”

            “Satu-satunya ketakutanku adalah berpisah dari ayahku.”

            “Aku dapat mengerti. Simpanlah ketakutanmu itu sedalam kau mampujangan sampai ada yang mengetahui kelemahanmu. Karena itu akan berbahaya untuk ayahmu. Ingat baik-baik kata-kataku ini.”

            “Tentu. Aku akan selalu mengingat kata-katamu itu. Terima kasih.”

            “Jangan berterima kasih. Teman tidak mengenal kata tolong, maaf, atau terima kasih. Teman hanya mengenal kata berbagi.”

            “Kau lelaki yang jalan pikirannya terlalu rumit untuk kupahami.”

            Pramoedya tertawa. “Aku anggap itu sebuah pujian. Omong-omong, apakah kau belum mengantuk?”

            “Aku rasa begitu.”

            “Bagaimana kalau kita berjalan-jalan?”

            “Malam-malam begini?”

            “Kau pikir apa? Justru malam-malam begini yang tidak akan ada yang melihat kita.”

            Mardian dan Pramoedya baru saja hendak berdiri ketika seseorang berseru dari arah belakang, “Hei, siapa di situ?” seorang penjaga berjalan ke arah mereka. “Apa yang kalian lakukan malam-malam di sini?”

            “Kami sedang mencari angin, Pak,” sahut Pramoedya.

            “Dan melihat bintang,” imbuh Mardian.

            Penjaga itu terbahak-bahak mendengar jawaban Mardian. “Melihat bintang katamu? Yang benar saja! Cepat kembali ke barak masing-masing, atau aku akan menghajar kalian sampai babak-belur!”

            Sambil menggerutu dengan bahasa ibunya Pramoedya mengikuti Mardian pergi.

 

            Semua orang bangun sebelum fajar. Rasa lapar menyiksa tidur mereka. Belum lagi ribuan nyamuk ganas yang dengungannya bagai dengung kematian di telinga sebelum kemudian melahap daging dan menghisap darah. Seolah belum cukup, udara malam pun turut mencabik-cabik tubuh hingga ke sumsum tulang. Beberapa dari mereka mengawasi langit timur yang telah menampakan cahaya bagai kilasan api di kejauhan, berharap cahaya itu segera merekah utuh menjadi sebentuk matahari. Menjelang pukul empat pagi para penjaga mengusir mereka keluar barak. Satu persatu mendapat pukulan di wajah. “Cepat keluar, binatang malas! Lari!”

 

            Kepekatan malam lambat-laun mulai pudar, bintang timur muncul sebagai cahaya harapan di pagi yang baru. Semua tahanan telah berkumpul di lapangan. Jendral Sumarto berdiri di mimbar kayu dengan pengeras suaranya. Setelah memberi pidato singkat, Jendral Sumarto menyuruh semua tahanan lari mengitari lapangan sebanyak tiga putaran. Kaki semua tahan serentak berlari di luaar kesadaran mereka ketika mendengar aba-aba dari Jendral Sumarto. Namun, di tengah-tengah putaran kedua, Pak Mantri keluar dari barisan dan menepi. Dia tergopoh-gopoh menghampiri salah satu penjaga untuk meminta izin ke kamar mandi. Sakit perut. Penjaga itu mengamati Pak Mantri dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya sendiri jika yang sedang berdiri di hadapannya, menyapanya, benar-benar manusia. Mahluk hidup yang mempunyai perut dan tubuh yang terdiri dari darah dan daging, bukan tulang-belulang. Lalu, seperti terjaga dari lamunannya, penjaga itu memukul wajah Pak Mantri begitu kerasnya hingga dia memekik nyaring sebelum jatuh tertelungkup, dan merangkak sebelum mampu berdiri lalu kembali ke barisan. Dari kejauhan, Mardian yang menyaksikan kejadian itu hanya memandang sekilas dan bisu. Dia terus berlari dalam barisannya tanpa menoleh lagi kepada ayahnya; tahu tidak bisa berbuat apa-apa.

 

 

            Mardian memejamkan matanya erat-erat. Mulutnya tertarik ke bawah, berusaha menahan diri agar tidak menangis keras-keras. “Setelah apa yang kita lewati bersama di Nusakambangan dan di kamp, seharusnya Ayah tahu aku ini bukan anak ingusan lagi. Seharusnya Ayah bisa melihat aku telah tumbuh dewasa. Dan seharusnya itu cukup untuk Ayah percaya bahwa aku sanggup menerima kebenaran malam itu. Tapi, sampai akhir hidup Ayah, Ayah tetap saja menyembunyikan kebenaran itu dariku. Ayah tidak pernah percaya aku cukup kuat menghadapi kenyataan yang paling menyakitkan, dan Ayah tidak pernah bisa melihat aku telah tumbuh dewasa. Di mata Ayah, aku masihlah sama:si Mardian kecil yang lemah dan cengeng, yang selalu sembunyi di belakang punggung Ayah jika Parta menjahilinya. Tetapi, apakah Ayah lupa, saat hari di mana Ayah dipukul di depan mataku, aku tidak menangis dan berlari ke arah Ayah?”

 

 

            Setelah lomba gila itu selesai semua tahanan diminta untuk membersikan diri lalu kembali ke lapangan itu lagi. Semua orang berhamburan bagai kawanan lebah. Mardian segera menghampiri ayahnya, menanyakan keadaannya.

            “Tidak apa-apa, Nak. Tidak sakit.” Pak Mantri memaksakan senyuman. Dagunya memar akibat pukulan.

            “Maafkan aku, Ayah. Jika saja aku punya sedikit keberanian, niscaya kucabik-cabik si jahanam itu dengan kuku-kukuku ini. Tapi …. ”

            “Sudahlah, Anakku. Tidak sakit. Jangan kau pikirkan lagi. Biar Allah yang membalas semuanya. Sekarang sebaiknya kita bergegas mandi atau kita akan terlambat apel dan dihukum.”

            Sepuluh orang penjaga mendatangi barak-barak satu jam kemudian. Cambuk dan tongkat menari-nari di udara.

            “Cepat kembali ke lapangan, binatang malas!”

            Mardian menarik tangan Pak Mantri bersembunyi di balik orang lain untuk menghindari pukulan.

            “Bentuk barisan lima sejajar!”

 

            Sebelum apel pagi dimulai mereka harus berlatih baris-berbaris. Jendral Sumarto naik ke atas mimbar, memberi komando dengan pengeras suaranya. Semua orang harus mengikuti komandonya dengan irama ketat. Bagi siapa yang bergerak tidak sesuai irama akan mendapat pukulan dari anak buahnya. Kiri, kanan, pukul! Kiri, kanan, pukul!

 

            Latihan baris-berbaris itu memakan waktu setengah jam. Meski banyak tahanan yang belum bisa mengganti langkah dan patuh irama, Jendral Sumarto menunjuk beberapa anak buahnya sebagai petugas upacara. Selesai apel adapengumuman tentang apa-apa yang harus mereka kerjakan. Hari itu hari yang cerah di pertengahan bulan Agustus. Dengan pengeras suara Jendral Sumarto mengumumkan bahwa semua tahanan mulai hari itu harus bekerja membabat hutan di lembah Waepo dibawah pengawasan penjaga. Semua tahanan wajib tunduk dan patuh pada perintah penjaga. Di kamp tidak disediakan bahan makanan, karena itu semua tahanan wajib mencari makanan untuk dirinya sendiri juga untuk penjaga. Barang siapa yang melanggar peraturan ini akan mendapat hadiah berupa pukulan.

 

            Mardian ingin mencubit lengannya sendiri. Masih hidupkah aku? Terjaga, tidak mimpi? Dia melirik Pramoedya dengan ekor matanya. Bagaimana mungkin dia bisa setenang itu setelah mendengar pengumuman ini, sedangkan dia tahu sebentar lagi dia harus bekerja dan diperlakukan seperti binatang. Sebenarnya siapa dia, mengapa dia tidak memiliki rasa takut sedikitpun?

            “Bubar barisan, jalan!”

            Perintah dari pemimpin upacara itu menyadarkan Mardian dari lamunan setengah sadarnya.

 

            Kira-kira pukul delapan pagi hari laknat itu dimulai. Semua tahanan alih-alih digiring meninggalkan lapangan upacara oleh sekitar seratus lima puluh orang penjaga bersenjata lengkap, digiring ke lembah Waepo.

            “Berbaris, cepat!”

            Dalam beberapa menit semua tahanan sudah berbaris, barak demi barak. Gerbang kamp di buka. Sekitar dua puluh penjaga memimpin tahan penghuni barak pertama. Yang lainnya menunggu giliran keberangkatan mereka. Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya giliran barak Mardian tiba.

            “Maju jalan!”

            Mardian mengucapkan beberapa baris doa sebelum mulai berlari meninggalkan kamp itu dalam barisannya. Di sampingnya, ayahnya pun tampak baru selesai berdoa.

 

            Lembah itu adalah belantara yang sepertinya tidak pernah terjamah tangan manusia. Pohon-pohon besar menjulang tinggi bagai raksasa jahat yang ingin menaklukan bumi. Kabut yang bergulung-gulung di antara semak belukar yang hampir setinggi dada orang dewasa, membentuk sosok hampir menyerupai tubuh-tubuh manusia yang transparan sebelum terburai dikacaukan angin yang mulai berembus. Ketika tahanan dari barak terakhir tiba, seorang yang berpangkat kolonel yang merupakan pimpinan penjaga, memberitahu jika ada tahanan yang lapar dia memberi waktu setengah jam lamanya untuk mereka mencari makanan di hutan sebelum mulai bekerja.

            “Aku tidak yakin kita akan menemukan sesuatu yang dapat dimakan di sini,” ujar Pramoedya, saat dia, Mardian, dan Pak Mantri mencari makanan. “Ini memang hutan, tetapi tidak ada sesuatu pun yang dapat kita makan tanpa di masak selain rumput alang-alang.”

            “Bagaimana ini, Ayah?”

            “Kita harus terus mencari, mungkin saja kita akan menemukan pohon yang buahnya dapat dimakan.”

            “Paman benar. Kita tidak boleh putus asa, kita harus terus mencari karena hanya itu harapan kita, hanya itu yang bisa kita lakukan di tempat terkutuk ini. Meskipun aku sendiri tidak yakin kita akan menemukan sesuatu yang berarti.”

            “Kita pasrahkan saja segala sesuatunya kepada Tuhan yang pengasih dan penyayang.”

            “Aku juga tidak yakin dengan hal itu, Paman. Apa artinya keagungan Tuhan di hadapan seluruh kebusukan ini? Di manakah Dia yang konon maha penyayang itu disaat seperti ini, dan mengapa Dia masih tega mengganggu kita yang lemah, yang tidak berdaya, yang tengah ditimpa kemalangan dengan kelaparan?”

            “Jangan bicara yang bukan-bukan, Nak Pram. Itu tidak baik.”

            “Aku tahu, Paman. Ah, sudahlah. Sebaiknya kita jangan membuang waktu lagi. Kita harus bergegas mencari sesuatu yang dapat dimakan sebelum kolonel jahanam itu meniup peluitnya dan menyuruh kita kerja paksa.”

 

            Mardian biasanya tidak merasakan ancaman dari alam terbuka. Di Pada Suka dia sendiri terbiasa dengan hutan: aromanya, nyanyian binatangnya, dan kadang keheningannya yang mendadak. Tapi hutan di Pada Suka berbeda. Hutan itu aman. Di sana, alam, binatang, dan manusia hidup dalam harmoninya sendiri. Hutan di hadapan Mardian memang masih menguarkan bau layaknya hutan pada umumnya: bau tanah lembab, daun-daun busuk, dan aroma tubuh binatang. Tetapi, entah mengapa Mardian merasa ada sebentuk kehadiran seperti suatu sosok misterius yang berbahaya yang terus mengawasinya. Berkali-kali, alih-alih mencari sesuatu, Mardian memperhatikan rumpun semak, menoleh ke kiri-kanan, menengok langit, menghela napas.

            “Ada apa?” tanya Pramoedya.

            “Tidak ada. Aku hanya merasa hutan ini tidak begitu menyenangkan.”

            Pramoedya tertawa. “Hutan ini memang terkutuk, Kawan. Terutama untuk kita manusia buangan.”

            “Kalian berduake marilah. Lihat ini, ada pohon beringin yang berbuah cukup lebat. Kita bisa makan buah ini, tidak apa, tidak beracun.” Seru Pak Mantri dari kejauhan.

            Mardian dan Pramoedya bergegas menghampiri Pak Mantri.

            “Makanlah, pilih yang berwarna merah. Jangan pikirkan rasanya, yang penting perut kita terisi sesuatu.”

            “Rasanya tidak terlalu buruk,” sahut Pramoedya. “Sedikit manis dan agak asam. Lumayanlah.”

            “Kau benar,” ujar Mardian.“Tidak kusangka buah beringin ini bisa dimakan. Kupikir buah ini hanya bisa dijadikin peluru ketapel.”

            “Makanlah kalian yang banyak. Pilihlah yang masih baik buahnya. Setelah itu kita harus bergegas kembali.”

 

            Pukul sepuluh pagi kerja paksa itu pun dimulai. Perintah yang diberikan adalah membuka hutan untuk lahan pertanian dan kayu-kayu besarnya untuk membuat barak.

            “Kalian harus membabat hutan ini bagaimanapun caranya dan mengubahnya menjadi lahan pertanian. Kayu-kayunya kalian gunakan untuk membuat barak baru, karena masih banyak tahanan yang akan dibuang ke sini. Selain beberapa golok dan gergaji untuk menebang pohon, kalian harus membabat hutan ini dengan tangan kosong. Baiklah, selamat bekerja, Saudara-saudara.”

            “Cepat bekerja, binatang malas! Jalan!”

            “Anjing!” umpat Pramoedya lirih. Tapi telinga penjaga sangat sensitif.

            “Apa katamu?” seorang penjaga berseru padanya.

            “Anjing!” teriak Pramoedya mengundang perhatian.

            Penjaga itu menghampiri Pramoedya. “Kotor sekali mulutmu, Bung. Kau harus diajari tata krama!” dia memainkan tongkat kayu ditangannya.

            “Tunggu, Pak!” seorang tahanan lain berseru. “Dia mengatakan yang sebenarnya, maksudku, aku juga tadi melihat anjing lari ke semak-semak.”

            Pramoedya mengenali suara itu. “Itulah yang ingin saya katakan,” dia memainkan peran. “Saya melihat seekor anjing liar lari ke semak-semak, karena itu sepontan saya—”

            “Hetikan omong kosong kalian! Kau dan kau cepat maju ke depan!”

            “Tunggu!” Pak Mantri berseru. “Jangan hukum mereka, mereka tidak bersalah. Memang ada seekor anjing yang berlari ke semak-semak di belakang Bapak sana. Saya juga melihatnya.”

            “Ayahku benar,” imbuh Mardian. “Aku juga melihatnya. Posisi Bapak membelakangi semak itu, karena itulah Bapak tidak melihatnya.”

            Kesaksian dari Pak Mantri dan Mardian membuat si penjaga sedikit melunak. Tetapi tatapan matanya kepada Pramoedya tetap keras. “Kali ini mulut busukmu itu aku maafkan. Tapi tidak lain kali. Sekarang enyah kau dari hadapanku.”

            Pramoedya mencium ancaman yang yang ditebarkan lelaki itu: aroma apak kotoran lama dari baju yang belum dicuci, keringat, dan sesuatu yang lain yang seperti bau-bau kematian. Dia pun segera menunduk mengambil golok di dekat kakinya lalu bergegas pergi.

            “Kau bajingan gila, kau membuat kami hampir terkena masalah.” Seorang lelaki bertubuh kecil, kurus, dan berpakaian kumuh menghampiri Pramoedya dengan marah.

            “Aku hanya ingin menegaskan kemanusian.”

            “Menegaskan kemanusiaan katamu? Yang kau lakukan itu hampir membuat kami celaka.”

            “Baiklah, baiklah.Kali ini aku mengaku salah. Sekarang katakuan padaku, bagaimana kau bisa berada di sini? Apakah mereka mengejarmu sampai ke Australia?”

            “Aku tidak jadi berangkat ke Australia. Orang-orang biadab itu menyandra istriku, mengancam akan menyakitinya jika aku tidak menyerahkan diri. Omong-omong, siapa mereka berdua? Ayah dan adikmu?”

            “Berhenti mengejekku, keparat! Perkenalkan, Mardian dan ayahnya dari Pada Suka.” Pramoedya menoleh sambil mengangguk kecil. “Perkenalkan, ini Tan Djiman.Teman lamaku di Madiun. Salah seorang pemimpin makar yang akan segera dieksekusi mati.”

            Tan Djiman mengulurkan tangannya untuk berjabat. “Jangan didengarkan,” ujarnya, “bajingan gila ini hanya bergurau. Aku seorang jurnalis untuk sebuah surat kabar di Madiun. Aku ditangkap bukan karena aku menjadi partisipan komuis, tetapi lantaran aku mengkeritik pemerintah secara terbuka di surat kabar. Dan kalian berdua, mengapa bisa berada di sini? Dari wajah kalian berdua aku tidak yakin kalian partisipan orang komunis.”

            “Entalah,” sahut Mardian. “Aku rasa aku dan ayahku memang melakukan kesalahan, atau tepatnya sebuah kebodohan.”

            “Baiklah, baiklah. Acara perkenalannya sudah selesai. Kita harus bergabung dengan yang lainnya jika tidak ingin kena cambuk.”

 

 

            Air mata Mardian tak dapat dibendung lagi. Bersama kemarahan, rasa kecewa, dan putusa asa yang kian mendesak dadanya, air mata itu tumpah ruah. “Gara-gara kebohongan Ayah itu hidupku menjadi hancur! Dan gara-gara kebohongan ayah itu juga aku menggadaikan idealismeku sendiri karena aku tidak punya lagi pegangan hidup. Semua ini gara-gara Ayah, salah Ayah! Lalu sekarang Ayah datang minta pengertian dan maaf? Setelah penderitaan yang Ayah timpakan padaku dengan tidak bertanggungjawab, setelah segala sesuatunya Ayah tahu tidak mungkin dapat diperbaiki lagi? Tidak, Ayah! Tidak ada maaf untukmu. Meskipun aku punya cukup alasan untuk tetap menyayangimu, meskipun aku tahu alasan kau melakukan semua itu, tapi aku sama sekali tidak bisa memafkanmu. Kau telah menghancurkan hidupku, kau juga yang membuatku seperti ini, tidak, aku tidak bisa memafkanmu begitu mudah.”

            Pak Mantri kembali memutar badan. “Dengar, Anakku. Tidak ada seorang orangtua di muka bumi ini yang tidak percaya dengan anaknya. Ayah percaya padamu, dan ayah juga tahu kamu telah tumbuh dewasa. Hanya saja ….”

            “Hanya saja apa, Ayah?!”

            Pak Mantri menghela napas dalam-dalam. “Anakku, Ayah yakin sekali kamu tahu mengapa Ayah belum bisa percaya penuh padamu, kan?”

            “Karena Pram dan Tan Djiman?”

            Pak Mantri menghapus air mata di pipi Mardian. “Mengertilah, Nak. Bukan karena siapa pun Ayah belum bisa percaya penuh padamu. Melainkan, karena dirimu sendiri.”

 

 

            Musim penghujan datang di awal bulan September. Lautan yang mengepung areal kamp berdebur ganas bagai binatang buas yang terusik ketenangannya. Badai menduduki pulau hampir setiap hari di waktu pagi dan menjelang sore. Dalam waktu sekejapair menggenang di mana-mana, membawa wabah, membawa maut bagi para tahanan. Banyak dari mereka terjangkit penyakit kulit, masalah saluran pencernaan, dan belum lagi perkembangbiakan nyamuk yang meningkat dua kali lipat di musim hujan memperburuk keadaan.

            “Kami tidak menyediakan obat-obatan untuk para tahanan,” ujar seorang penjaga ketika ada yang meminta obat padanya. “Katakan ini pada yang lainnya: jika ada di antara kalian yang sakit, pergilah cari obat sendiri. Atau biarkan saja dia mampus untuk mengurangi beban kalian. Mengerti?”

            “Ini sudah keterlaluan!” Tan Djiman berseru marah ketika mengetahui berita itu. “Terkutuklah Jendral Sumarto yang tidak berprikemanusiaan itu! Semoga dia lekas mampus digulung ombak atau disambar petir.”

            “Jangan bicara yang bukan-bukan, Nak Tan,” ujar Pak Mantri. “Kita serahkan saja segala sesuatunya kepada Yang Maha Kuasa.”

            “Aku tahu manusia tidak berhak menyuarakan hal seperti itu, Paman.Aku tahu dengan sangat baik kalau manusia terlalu kecil, terlalu rendah, terlalu lancang jika dia berupaya ingin mengerti takdir Tuhan yang terselubung. Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku ini hanya seorang manusia biasa yang terkadang merasa muak juga putus asa dipermainkan nasib.”

            “Yang dikatakan Bung Tan benar,” sahut salah seorang tahanan lain. “Jika Tuhan memang ada, sekarang di mana Dia? Apakah kita begitu hinanya hingga Tuhan sekalipun tak sudi memafkan kita, begitu besarkah kesalahan kita? Kalau itu benar, lalu di mana sifat maha pemaaf Tuhan, di mana letak kasih Tuhan yang konon maha pemaaf lagi maha penyayang?”

            “Mungkin Pak Mantri menganggap hal ini sebagai bentuk kepecatan iman kami,” seorang lain menanggapi, “tetapi, kami ini manusia, bisa merasakan sakit juga terhina. Perlakuan keji yang kami terima yang melebihi perlakuan terhadap binatang, telah merenggut sisa-sisa iman kami. Sekalipun masih ada sebentuk harapan dalam hati kami, tapi itu sama sekali bukan keimanan. Hanya harapan kecil agar kami dapat makan dengan kenyang.”

            “Biarlah kami semua pecat imannya,” timpal yang lain lagi. “Kami begini karena Tuhan memasang harga yang terlalu tinggi. Kami ini miskin, kami tidak mampu membayar harga yang ditetapkan Tuhan untuk harapan yang lebih besar daripada bermimpi makan kenyang dan tidur dengan layak. Biarlah kami dikubur di dasar neraka atau lidah kami ditenggalamkan ke dasar lumpur hitam jika ucapan kami ini dianggap menghina Tuhan. Biarlah, kami terima nasib kami sebagai orang melata.”

            “Aku mengerti, ya, aku sangat mengerti,” sahut Pak Mantri. “Kehidupan kita di sini memang sangat sulit. Tetapi Saudara-saudara, kita juga tidak boleh lupa bahwa apa yang kita alami di sini, mungkin saja dialami orang lain di luar sana. Tepat hari ini, di luar sana, mungkin di suatu pedesaan yang liar di negara tertentu yang baru saja pagi atau malam, ada sekumpulan orang, orang tertentu yang sedang dihukum gantung karena kesalahan dan alasan tertentu, dan tak ada yang dapat menyelamatkan mereka dari kejahatan manusia; dan juga ada sekelompok orang dari suku tertentu, yang diusir dari kota tertentu, karena alasan dan hasrat tertentu yang kadang tidak masuk akal, dan mereka tidak dapat berharap lagi pada kebaikan manusia. Namun, Saudara-saudara, kukatakan pada kalian semua baik yang lebih muda maupun yang lebih tua dariku: kasih sayang Tuhan itu ada dan nyata, jika kalian membuka mata lebih lebar lagi kalian dapat melihatnya bertebaran seperti debu.”

            “Sudahlah, Ayah,” kata Mardian. “Tidak usah Ayah meributkan soal Tuhan dan iman lagi. Saat ini semua itu tidak penting, hanya membuang-buang waktu. Kemarahan juga tidak berguna, sia-sia. Yang harus kita pikirkan hanya satu: cara untuk bertahan hidup. Aku tahu, aku masih terlalu muda untuk mengatakan ini semua, usiaku belum lagi tujuh belas, tetapi, dari apa yang aku alami selama dalam pengasingan ini, perkenalan-perkenalanku dengan banyak orang dari berbagai latar belakang yang berbeda yang memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda, aku belajar satu hal: akar dari semua masalah yang ada adalah kesalahpahaman.”

            “Kau benar sekali, Kawan,” kata Pramoedya. “Dalam keadaan kita yang seperti sekarang ini, satu-satunya yang harus kita pikirkan adalah cara bertahan hidup. Di barak sebelah, setengah penghuninya terkena diare dan kondisi mereka cukup memprihatinkan. Di barak kita baru ada sembilan orang yang kesehataannya terganggu yang harus kita upayakan kesehatannya supaya tidak menulari yang lain. Masalah ini lebih penting dan lebih mendesak daripada mengutuki Jendral Sumarto yang keparat atau meributkan soal Tuhan dan keimanan.”

            “Jadi, sekarang bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Pak Mantri.

            “Aku dan Tan akan mencuri gula dan garam penjaga. Sementara itu, yang lainnya pastikan si sakit banyak minum air putih agar tidak lemas.”

            Dan untuk pertama kali selama hidupnya Pak Mantri menyetujui adanya pencurian.

 

 

            “…bukan karena siapa pun Ayah belum bisa percaya penuh padamu. Melainkan, karena dirimu sendiri,” kata-kata Pak mantri itu berdengung dua kali di kepala Mardian seolah-olah lebah kembali menyengat ingataannya dan menimbulkan rasa sakit. Seketika, Mardian menepis tangan Pak Mantri daripipinya. “Katakan, memangnya apa yang salah dengan diriku, Ayah? Jawab aku, buat aku mengerti!”

            Pak Mantri mendesah berat. “Yang salah padamu adalah kau mencintai Ayahmu jika Ayah memenuhi harapanmu. Itulah alasan yang sebenarnya, Anakku.”

            Mardian gemetar pada kakinya. Dia menatap wajah ayahnya setelah sekian lama tanpa mampu berkata-kata. Berbagai kenangan masa lalu menyeruak di kepalanya.

            “…jangan menakut-nakuti anakku, Karman. Aku tidak ingin karenamu dia jadi membujang selamanya.”

            “…bersabarlah, Nak. Terkadang cobaan memang begitu keras hingga tidak dapat dipahami maknanya.”

            “…tidak apa-apa, Nak. Tidak sakit.”

            “…makanlah, pilih yang berwarna merah. Jangan pikirkan rasanya, yang penting perut kita terisi sesuatu.”

            “…jangan hukum mereka, mereka tidak bersalah. Memang ada seekor anjing yang berlari ke semak-semak di belakang Bapak sana. Aku sendiri melihatnya.”

            Seketika Mardian jatuh terduduk.

            “…jadi ayahmu sama sekali tidak pernah memberitahumu?”

            “…ayahmu tahu segalanya.”

            Mardian menangis sejadi-jadinya.

            Cukup lama Pak Mantri membiarkan anaknya meluapkan apa yang menyiksa dirinya. Baru setelah dia merasa anaknya sedikit tenang, dia berjongkok dan memegang lembut bahu Mardian. Kali ini tangannya tidak ditepis. “Anakku,” ujarnya memberi pengertian. “Tak ada satu pun keburukan atau kejahatan yang sanggup menghilangkan rasa cinta orangtua kepada anaknya, dari harapan untuk hidup dan kebahagiaan mereka. Semua orangtua mencintai anak-anaknya tanpa syarat. Bagi mereka kebahagiaan seorang anak adalah segala-galanya. Cinta orangtua abadi sepanjang masa.”

            Mardian menyeka air matanya. “Ayah, maukah Ayah memafkanku untuk semua kesalahan yang kuperbuat?”

            “Sedetik pun Ayah tidak pernah berpikir untuk menyelahkanmu, Nak. Ayah tahu, kesalahan-kesalahan yang kau perbuat juga tidak lepas dari kesalahan-kesalahan yang Ayah lakukan di masa lalu.”

            Mardian meraih tangan Pak Mantri, menciumnya, lalu memeluknya kuat-kuat. “Terima kasih, Ayah…. ”

 

 

            Kehidupan di kamp semakin hari semakin tidak tertahankan. Perlakuan dari para penjaga yang tidak manusiawi, ketidaktersediaannya makanan yang layak, dan ancaman berbagai penyakit memicu berbagai konflik di antara sesama tahanan.Perselisihan pun menjadi nyala api yang mendapat bahan bakar dari kesalahpahaman. Pada suatu pagi di tahun kedua, Pak Mantri terserang sakit disentri. Dia terbaring di atas papan, pucat, gemetar dan kejang-kejang.

            “Mardian, Anakku … bawakanlah Ayahmu setetes minum,” gumamnya. Suaranya yang sendu memancing belas kasihan dan menghantam jiwa Mardian.

            “Tapi, Ayah…. ”

            “Anakku, Ayah sangat haus. Tolong … setetes air.”

            Pak Mantri panas tinggi karena demam. Tanpa berpikir panjang lagi Mardian berlari menambil segelas air.

            “Terima kasih, Anakku. Terima kasih banyak.” Pak Mantri mereguk air itu dalam dua kali tegukan panjang. Cahaya terima kasih berpijar di matanya bagaikan binatang berterima kasih pada majikannya. “Pergilah, Nak. Jangan sampai terlambat apel.”

            “Tapi Ayah bagaimana?”

            “Ayah baik-baik saja. Pergilah, Nak. Ayah tidak ingin kamu kena pukul. Pergilah, Ayah mohon.”

            “Baik, Ayah. Tetapi Ayah harus berjanji padaku kalau Ayah akan baik-baik saja.”

            “Ayah janji. Pergilah, Nak. Jangan khawatirkan Ayah.”

            Mardian meraih tangan Pak Mantri. “Jaga diri ayah baik-baik. Aku segera kembali.”

            Tapi Mardian tidak diizinkan penjaga menjenguk ayahnya selesai apel.

            “Tidak ada alasan untuk tidak bekerja, semua harus bekerja! Cepat kembali ke satuan masing-masing!”

            “Biadab!” Tan Djiman yang mendengar cerita Mardian tentang ayahnya berseru marah. “Semoga mereka sakit yang lebih parah dari disentri.”

            “Semoga Tuhan mendengar doa kita.”

            “Semoga saja.”

 

 

            Mardian melepaskan pelukannya. “Ayah, ada sesuatu hal lain yang ingin kuakui,” ujarnya. “Ingatkah Ayah pada Darkam yang menghilang secara misterius?”

            Pak Mantri mengerutkan kening. “Ya, Ayah masih mengingatnya dengan baik. Pemuda yang malang. Kasihan sekali dia.”

            “Tapi, aku tidak, Ayah. Karena aku yang melenyapkannya!”

            “Apa maksud ucapanmu, Nak?”

            “Ya, Ayah. Akulah yang membunuh Darkam dan menenggelamkannya di rawa-rawa. Dia tidak pergi dengan pelacur, Darkam mati kubunuh. Sekarang, setelah Ayah mengetahui kebenaran ini, apakah Ayah masih akan memafkanku, tidak akan membenciku?”

 

 

            Masalah dengan Darkam muncul di hari ketiga Pak Mantri sakit. Lelaki bertubuh tinggi-besar itu memukuli tetangganya karena merasa terganggu dengan igauan Pak Mantri. Ketika Mardian kembali dari lembah Waepo sore itu, dia menemukan ayahnya menangis bagai anak kecil.

            “Nak, dia memukul Ayah terus!”

            “Siapa, Ayah?”

            “Si Darkam yang tinggi-besar itu. Katakan padanya, Nak, agar jangan memukul Ayah. Ayah tidak berbuat salah apa-apa.”

            Sesuatu terasa menggelegak di dada Mardian. “Ayah jangan khawatir. Aku akan berbicara dengannya, dan aku berjanji akan membuat Darkam mengerti. Dia tak akan berani menyentuh Ayah lagi.”

            “Bicaralah tanpa ribut-ribut, Nak.”

            “Tidak akan ada keributan, aku janji.”

 

            Mardian menepati janjinya. Dia pergi menemui Tan Djiman dan Pramoedya untuk meminta pendapat.

            “Kalau hanya menegurnya akan dianggap angin lalu,” komentar Tan. “Kita harus memberinya pelajaran berharga. Terutama soal sopan santun terhadap orang yang lebih tua.”

            “Aku setuju,” sahut Pramoedya. “Kadang-kadang kita perlu juga berbuat kasar, kejam, untuk memberikan pelajaran agar orang bisa lebih menghargai sesamanya.”

            “Tapi kita coba bicara dulu,” Mardian tidak setuju. “Kalau dia tidak mengindahkan, baru kita beri pelajaran.”

            “Aku ragu dia mau mendengarkanmu. Aku tahu persis lelaki macam Darkam itu. Bajingan busuk seperti dia akan lebih mudah mengerti kalau diberitahu dengan tangan daripada dengan mulut.”

            “Tapi setidaknya kita sudah mencoba, bukan? Atau setidaknya aku sudah memenuhi janjiku kepada ayahku untuk bicara baik-baik.”

            “Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Kawan. Aku dan Tan akan mengajak Darkam ke tempat pertemuan kita. Tunggulah kami di sana.”

            “Baiklah. Aku tahu apa yang harus aku lakukan.”

 

            Jalan setapak itu tertutup semak dan tanaman berduri dengan begitu rapi, sehingga tidak mungkin membedakannya dari wilayah lain di hutan kecuali bagi orang yang tahu ke mana harus melangkah. Mardian menyibak tanaman yang menutupi jalan dengan ranting, mengangkat sedikit lebih tinggi lampu minyak bertutup kaca yang dia bawa, dan bergegas meninggalkan lumpur di belakangnya. Semakin mendekati tujuan semakin banyak pohon sekarat dan daerah rawa airnya meluas. Dunia di sini terasa sunyi, tak terdengar suara apa pun selain napas dan suara langkah kaki Mardian sendiri. Kehidupan di sini tersembunyi, hanya bisa dilihat oleh mereka yang sabar menunggu kehidupan tersebut mau membuka diri: laba-laba dan serangga malam, ngengat dan kumbang, serta mamalia kecil seperti tikus sawah dan tupai sibuk berkeliaraan di dalam dunia ini. Akhirnya melalui celah-celah pepohon Mardian bisa melihat cahaya lampu lain di depan sana. Dia memanjangkan kepala, melihat tanda-tandanya. Setelah pasti dia berbelok ke kiri mengambil jalan memutar. Semak dan tanaman berduri tumbuh pesat di sepanjang jalan setapak itu, tetpi warnanya tidak hijau. Dan cabang-cabang keringnya patah di tangan Mardian saat dia menyentuhnya. Tumbuhan itu sepertinya telah lama mati, namun entah bagaimana terhindar dari proses pembusukan.

 

            Mardian sudah hampir sampai ke tempat tujuan ketika dia melihat gerakan di arah semak sekitar lima belas meter darinya. Lalu ada gerakan lain di arah yang berlawanan namun tidak terlalu berjauhan. Mardian pergi ke sana.

            “Kau tidak ada masalah dengan penjaga, kan?” tanya Pramoedya dengan setengah berbisik saat dilihatnya Mardian muncul dari balik semak-semak.

            “Aku tidak tahu bagaimana kalian melakukannya, tapi terima kasih. Penjaga di pintu kamp baik sekali padaku malam ini.”

            “Mereka sudah kami jinakan, Kawan,” sahut Tan Djiman. “Kami memberinya mainan.”

            Mardian tidak perlu bertanya lebih lanjut mengenai mainan apa yang kedua sahabatnya berikan. Karena pada saat itu terdengar raungan Darkamdi antara gemerisik semak bergoyang. “Kalian juga memberinya mainan?”

            “Bandot itu perlu dijinakan.”

            “Dan kalian tahu persis caranya.”

            “Semua orang tahu isi otak lelaki, Kawan.”

            “Dan semua orang tahu mainan kesukaan mereka.”

            “Tentu saja, Kawan. Tentu saja. Rokok?”

            “Aku tidak merokok, Tan.”

            “Ah, ya. Aku lupa. Kau kan anak seorang ahli agama.”

            Mardian tidak menyahut. Sinar bulan yang pucat menyepuhi dahan dan rantingdan semak-semak yang bergoyang dan ketiga lelaki yang menunggu dalam diam.

 

 

            Pak Mantri membelai rambut Mardian. “Anakku,” ujarnya lirih, “Ayah tidak bisa menyalahkanmu sepenuhnya untuk kejadian itu.” Dia diam sejenak, lalu dengan perasaan terluka dia melanjutkan, “Siapa pun yang tinggal di kamp kosentrasi seperti itu akan kehilangan watak bahkan rasa kemanusiaan. Ayah dapat mengatakan ini dengan tegas: kehidupan di kamp kosentrasi membuat kita lupa pada Tuhan. Kita tak hanya akan meragukan kemungkinan keberadaan Tuhan, tetapi juga keberadaan diri kita sendiri. Ya, Anakku. Ayah pun merasakan semua itu. Hanya saja, Ayah tidak punya cukup keberanian untuk mengakuinya, bahkan pada diri Ayah sendiri. Ayah terus mengingkari kebenaran itu dan bertempur tanpa keyakinan. Ayahlah di sini yang sebenarnya pecundang. Itu benar, Anakku. Selama ini Ayah mengira Ayah hidup di jalan kebenaran, padahal kenyataannya Ayah melata di pinggir keberadaan. Jauh dari manusia, jauh dari perjuangan mereka, yang Ayah anggap salah jalan. Ayalah si pengecut itu, Anakku. Bukan, kau, bukan Prmoedya, bukan Tan Djiman.”

            “Cukup, Ayah! Jangan katakan apa pun lagi. Kumohon.”

            Tetapi Pak Mantri tidak mendengarkan. “Rasa takut itu, Anakku, luar biasa melumpuhkannya. Memang, kadang-kadang rasa takut membuat kita lebih kuat lagi, tetapi itu hanya terjadi pada mereka yang memiliki kepakaan dan ketangguhan hati. Bagi orang-orang yang lemah jiwanya seperti Ayahmu ini, rasa takut adalah musuh yang cepat berbiak dan mengerikan kejamnya. Ya, Anakku, kau harus tahu itu. Kau harus tahu bahwa Ayahmu ini seorang penakut. Kau—”

            “Hentikan, Ayah!” sergah Mardian sambil mengguncang-guncang bahu Pak Mantri seolah-olah membungunkan lelaki itu dari mimpinya. “Kumohon, jangan bicara lebih banyak lagi. Diamlah, kumohon.”

            “…Ayahmu bukan seniman yang sanggup menggempur rasa takut dengan berkutat menciptakan karya seni yang—”

            “Ayah!”

            Pak Mantri menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan melalui mulut. “Ceritkanlah pada Ayah bagimana caramu membunuh Darkam.”

 

 

            “Bajingan busuk itu mainnya lama sekali, sih?” Pramoedya mulai geram. “Bagiamana kalau kita seret saja si brengsek itu? Kurang ajar dia membuat kita menunggu selama ini dan jadi santapan nyamuk!”

            “Aku setuju,” sahut Mardian.

            “Baiklah, biar aku yang menyeretnya ke sini.” Tan Djiman menawarkan diri.

            “Biar aku saja,” cegah Pramoedya yang bergegas meloncat pergi.

            Mardian menoleh pada Tan Djiman. “Lalu bagaimana perempuan itu?”

            “Itu urusan kami.” Tan Djiman menyalakan rokok murahannya yang mati. “Kau urus saja Darkam. Selesaikan masalahmu, beri pelajaran agar dia tidak macam-macam lagi.”

            “Aku mengerti.”

            “Kau kan sudah bersenang-senang. Sekarang giliran temanku yang bersenang-senang.” Pramoedya mendorong Darkam hingga lelaki yang tengah mengancingkan celananya itu tersaruk hampir roboh. “Bajingan busuk ini milikmu, Kawan.”

            “Ada apa ini?” Darkam terkejut melihat Mardian. “Kenapa kau ada di sini?”

            “Kau sudah memukuli ayahku saat aku tidak ada di sampingnya.”

            “Ayahmu bau dan suka menginggau. Dia tidak ada harapan hidup lagi. Aku meringankan bebanmu. Seharusnya kau berterima kasih padaku telah mempercepat kematian ayahmu agar kau bisa bebas.”

            “Kau seharusnya malu, pengecut!” teriak Pramoedya, murka. “Memukuli orang tua sekarat itu bukan sikap laki-laki sejati.”

            “Sebaliknya, Bung. Aku justru melakukan apa yang seharusnya laki-laki lakukan.”

            “Apa katamu, hah?” Pramoedya menraik kerah belakang Darkam sampai mencekik. “Dengar, brengsek, jika bukan lantaran Pak Mantri meminta untuk bicara baik-baik denganmu, aku dan kedua temanku sudah menghajarmu sampai mampus!”

            “Mengapa Bung Pram yang marah? Bung Pram kan bukan anak Pak Mantri.”

            “Aku memang bukan anak Pak Mantri. Tapi aku masih punya hati, belum jadi binatang sepertimu.Jangan mentang-mentang badamu lebih besar dari kami bertiga kau pikir kami takut padamu. Kami bisa menghabisimu dengan mudah jika mau.”

            “Dengar, lelaki bodoh,” sahut Tan Djiman. “Jika aku jadi dirimu aku sudah meloncat ke jurang atau menceburkan diri ke dalam sumur. Mencari masalah dengan kami bertiga berarti mencari masalah dengan maut.”

            “Jangan menggertakku! Kau pikir kau ini siapa, hah? Kau cuma manusia buangan yang punya sedikit uang untuk membeli selangkangan beberapa pelacur.”

            “Jangan salah, Kawan. Aku jauh lebih kaya raya dari yang kau duga, dan aku bisa melakukan apa pun yang aku mau dengan uangku.”

            “Kau tidak mungkin sekaya itu. Aku tidak percaya.”

            “Kau mau percaya atau tidak, itu bukan urusanku. Pram lepaskan dia. Jauhkan tanganmu dari binatang bodoh itu.”

            Pramoedya melepaskan cengkeramannya seraya mendorong Darkam ke arah Mardian.

            “Dengar, Bung. Aku sarankan kaui segera minta maaf pada ayahku dan jangan sekalipun kau berani menyuntuhnya lagi,” ujar Mardian. “Kalau kau masih berani menyentuhnya aku bersumpah tidak akan pernah mengampunimu.”

            Darkam terbahak-bahak. “Kau mengancamku? Kau pikiri siapa dirimu, hah, bocah ingusan? Ayahmu yang tua bangka itu sudah tidak ada harapan sembuh. Dia akan mati dalam satu atau dua hari lagi. Yang aku lakukan hanya mempercepatnya, tidak lebih. Seharusnya kau berterima kasih padaku.”

            “Kau ingin aku berterima kasih? Baiklah.” Mardian maju beberapa langkah, mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.

            Dengan seringai penuh kemenangan Darkam menjabat tangan Mardian. “Itu baru ben—” sebuah tarikan yang tiba-tiaba membuat Darkam hilang keseimbangan dan jatuh tepat dalam pelukan Mardian. Lalu ada sesuatu yang terasa panas, tetapi bukan di antara kedua pahanya, lebih ke atas, di perut.

            “Aku sudah memperingatkanmu. Jangan salahkan aku.” Mardian menarik pisau lipatnya dari perut Darkam.

            “Bedebah!”

            “Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan. Sama sepertimu.”

            “Aku tidak akan mengampunimu, bajingan!” Darkam melompat hendak menerkam Mardian. Tapi ia terlalu lemah. Rasa panas membakar seluruh isi perutnya dan terus naik sampai ke dada. “Aku akan membunuhmu, Mardian. Akan kubunuh kau ….” Sesuatu terasa seperti meledak di tenggorokan Darkam diikuti sengatan rasa sakit yang luar biasa disekujur tubuhnya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata mencari keberadaan Mardian. Namun dia tidak menemukan apa pun selain kegelapan yang pekat.

            “Sampai jumpa di neraka, keparat!”

 

 

            “Ayah, sebenarnya Darkam bukanlah satu-satunya orang yang kubunuh malam itu,” Mardian mengakui. “Setelah mengubur Darkam di dalam lumpur, aku membunuh perempuan yang bersamanya. Dia memang berjanji bahkan bersumpah atas na

ma Tuhan akan tutup mulut, tapi aku tidak bisa percaya pada wanita. Aku menusuk leher belakangnya saat dia berbalik karena mengira aku percaya padanya. Aku melempar jasadnya ke tengah rawa-rawa setelah membebaninya dengan batu.”

            “Kenapa Anakku, kenapa kau sampai hati melakukan itu?” suara Pak Mantri bergetar dicengkeram kengerian. “Bukankah Ayah cuma memintamu bicara baik-baik agar Darkam mengerti?”

            “Dia menghinamu, Ayah! Aku tidak terima ada yang menghina Ayahku entah di belakang atau depan mataku. Tak kan pernah kumaafkan.”

            “Kalau itu alasanmu seharusnya kau juga membunuh Tan Djiman.”

 

 

            Menghilangnya Darkam membuat geger seluruh penghuni barak. Ditambah pengakuan Tan Djiman sebagai orang terakhir yang bersama Darkam.

            “Darkam pergi dengan seorang gadis. Mungkin gundik salah satu penjaga. Aku tidak tahu ke mana mereka.” Tan Djiman menjelaskan.

            “Keterlaluan! Si keparat itu isi kepalanya cuma melulu sekalangkangan perempuan.” Yang lain menanggapi.

            “Tapi, ke mana kira-kira dia pergi? Apa Darkam berhasil melarikan diri dari sini?” sahut penghuni barak yang lain.

            “Itu tidak mungkin,” kata Tan Djiman. “Sekalipun Darkam berhasil keluar dari kamp busuk ini, dia tidak akan mungkin bisa meninggalkan Pulau Buru.”

            “Aku yakin sekali saat ini Darkam masih di hutan menggagahi perempuan itu,” sela Pramoedya.

            “Tapi ini sudah dua hari, Bung.”

            “Hei, siapa tahu? Maksudku, mungkin saja Darkam berhasil menyelinap dan pergi ke perkampungan pribumi sini. Mungkin saja, kan?”

            “Benar juga, cuma itu satu-satunya alasan yang masuk akal.”

            “Ya, pasti begitu. Kalau tidak Darkam tidak mungkin belum kembali.” Tan Djiman menambahkan.

            Hari berikutnya semua orang sudah melupakan Darkam dan beralih membicarakan Pak Mantri yang telah pulih. Namun tidak dengan Mardian. Darkam tetap hidup, dia berwarna dan dia cokelat tua. Dia hitam, dan dia putih. Dia di dalam diri Mardian.

            “Ini terdengar konyol,” ujar Mardian pada suatu sore, “tapi aku rasa Darkam ingin balas dendam padaku. Pelacur itu juga.”

            “Apa maksudmu, Kawan?” tanya Pramoedya yang duduk di tonjolan akar di samping Mardian.

            “Darkam menghantuiku, maksudku, dia datang dalam mimpiku semalam.”

            Tan Djiman terbahak-bahak. “Maksudmu dia gentayangan?”

            “Begitulah kira-kira.”

            “Yang benar saja, orang mati tidak mungkin hidup lagi, Bung. Jangankan mengganggumu, bangkit dari kuburnya saja sulit.”

            “Tan benar,” sahut Pramoedya. “Kau hanya terlalu memikirkannya sampai terbawa mimpi.”

            “Tapi mimpi itu rasanya nyata sekali,” Mardian berkeras. “Darkam sudah tua, bungkuk, terselubung lumpur, ranting, dan daun mati. Baunya busuk sekali.”

            Tan Djiman tertawa lebih keras lagi. “Darkam sudah tua, bungkuk, terselubung lumpur, ranting dan daun mati? Wah, wah. Imajinasimu luar biasa, Kawan.”

            “Aku tidak sedang bercanda, Tan!”

            “Aku tahu, tapi, yang namanya orang mati itu tidak mungkin hidup lagi, dan hantu itu tidak ada. Hantu dan arwah gentayangan cuma omong kosong orang tua dulu untuk menakut-nakuti anak kecil. Mereka cuma ilusi.”

            “Jangan lemahkan hatimu oleh karena perasaan bersalah yang terus menghantuimu,” kata Pramoedya. “Kesalahan yang kau perbuat harus dihadapi dengan berani. Ya, Kawan. Kau tidak boleh takut, kau laki-laki, kau harus menghadapi masalah hidupmu dengan berani. Bukankah kau sendiri yang mengatakan hal itu saat pertama kita datang ke tempat ini dulu?”

            Mardian mendesah. “Kau benar, Pram. Hatiku melemah karena perasaan bersalah dan rasa takut.”

            “Kau sebenarnya tidak takut pada apa pun, kau telah membuktikan itu. Kelemahanmu adalah ayahmu. Sumber perasaan bersalah, rasa takut, dan tuntutan moral. Kau takut ayahmu kecewa padamu jika tahu yang telah kau lakukan, itulah sumber kegelisahanmu, kelemahan hatimu.”

            “Cintamu pada ayahmu terlampau besar, dan itu tidak baik,” imbuh Tan Djiman. “Kelak, pada suatu masa ayahmu mengecewakanmu, kau akan patah hati dan hancur.”

            “Apa maksudmu, Tan?”

            Tan Djiman melipat tangan di dada. “Mardian, sadarkah engkau kalau rasa cintamu pada ayahmu itu berbahaya?”

            “Aku tidak mengerti.”

            “Begini, anak baik. Jika kau membuka hati, pikiran dan matamu lebih luas lagi, kau akan melihat bahwa sebenarnya cintamu terhadap ayahmu adalah upaya melarikan diri. Kau menjadikan dirimu bagian tak terpisahkan dari ayahmu yang memandu dan melindungimu. Karena itu, kau menjadi budak nafsu. Ketika kau dipaksa untuk membuat keputusan sendiri, ketakutan ‘akan’ mengecewakan ayahmu menjadi beban tersendiri. Itulah sumber kelemahanmu, Mardian. Cintamu pada ayahmu.”

            “Menurut Fromm,” sahut Pramoedya, “cinta itu aktivitas, bukan efek pasif; cinta adalah ‘keberadaan dalam’, bukan ‘jatuh’. Dan cintamu pada ayahmu temasuk efek pasif, Kawan. Kau mengerti kan maksud kami?”

 

 

            “Aku mengerti, Ayah. Ya, Ayah benar. Aku membunuh Darkam memang bukan karena dia menghina Ayah, melainkan karena ingin membuktikan aku tidak seperti Ayah pada Tan. Aku … aku malu karena Ayah selalu berbicara soal agama melulu. Dan malam itu aku tidak tahan melihat sorot mata Tan yang mengejek dan menyepelekanku.” Mardian mendongak, menatap langit. “Tapi tetap saja, Ayah, Tan tidak bisa disalahkan. Karena yang dia katakan semuanya benar. Maksudku, soal diriku.”

            “Memangnya apa yang Tan katakan padamu?”

            “Cintaku pada Ayah berbahaya. Seperti langit yang menjadi gelap, malam hadir dalam diriku jika kudengar seseorang menghina Ayah. Detak jantungku berdentam laksana tembakan meriam; kemarahan menekan bersama penderitaan yang menggerogotiku. Disaat itulah aku berubah menjadi sosok lain, sosok buram yang bahkan tidak kukenali.”

            Pak Mantri menepuk bahu Mardian dengan sayang. “Ingatkah engkau saat dulu Ayah mengatakan padamu ada misteri dalam cinta yang masih belum bisa dipahami?”

            Mardian mengangguk.

            “Sekarang Ayah telah memecahkan misteri itu.”

            “Apa jawaban misteri itu, Ayah? Katakan padaku.”

            “Misteri itu bernama tindakan meyakini.”

 

 

            “Kalau orang mati mulai bicara, tidak ada yang bisa menghentikannya,” Tan Djiman mengolok-olok Mardian. “Tapi Kawan, orang mati itu tidak bisa lagi bicara. Mulut mereka tersumpal tanah. Bagaimana mungkin bicara?”

            “Aku bersungguh-sungguh!” Mardian berkeras. “Darkam datang dan mengancam akan membunuhku. Kau juga melihatnya kan, Pram?”

            Yang ditanya menghela napas. “Kuatkan dirimu, Mardian. Tak lama lagi kita akan keluar dari tempat terkutuk ini. Setelah itu aku akan membawamu menemui ahli jiwa.”

            “Aku tidak gila!”

            “Kau depresi.”

            “Aku baik-baik saja!”

            “Tapi halusinasimu mengatakan sebaliknya.”

            Mardian terbahak-bahak. “Jadi kau juga tidak percaya padaku?”

            “Bukan itu maksudku. Tapi—”

            “Menyedihkan, bahkan kedua sahabatku sendiri menganggapku sudah tidak waras lagi.”

            “Dengar, kawan,” ujar Tan Djiman, “kalau kau begini terus, mencercau yang tidak-tidak, semua orang akan tahu kalau kau yang membunuh Darkam. Sekarang diamlah. Jangan katakan apa pun lagi meski kau melihat seriba Darkam membawa kapak untuk memenggal kepalamu. Kalau kau muak mendengar ocehannya, robek saja telingamu. Kau mengerti, jagoan?”

            “Tan benar,” sahut Pramoedya. “Kalau kau seperti ini terus, orang akan curiga padamu.Pikirkan ayahmu, bayangkan kalau dia sampai tahu segala-galanya.” Pramoedya menyerang tepat dititik lemah Mardian. Seketika pemuda yang berdiri dihadapannya itu pun melenguh dan lemas seperti ban dalam kempis.

            “Ayahmu akan terluka dan kecewa berat padamu kalau dia sampai tahu yang kau lakukan malam itu.” Tan Djiman menambahkan. “Kau tidak mau itu terjadi, kan?”

            Mardian menunduk. “Apa yang harus kulakukan?”

            “Jangan pernah membahas Darkam lagi. Bahkan dengan kami sekalipun.”

            Itulah alasan Mardian mau berteman dengan Rohanah, gadis kelabu bermata bulat yang ditemuinya di dasar jurang yang rasa tubuhnya melekat di lidah tak bisa diludahkan. Satu-satunya teman yang percaya bahwa Darkam hidup kembali dan ingin mencelakainya.

            “Saya mempercayai Bung seperti saya mempercayai diri saya sendiri,” kata Rohanah hari itu. “Jangan khawatir,” sambungnya, “saya tahu Bung sama sekali tidak gila ataupun depresi.”

            “Kau sungguh-sungguh percaya padaku, soal Darkam itu?”

            “Saya melihat Darkam sejelas melihat Bung di sini. Bagimana mungkin saya mendustainya?”

            “Ana, kau tidak sedang bercanda, bukan?”

            “Saya bersungguh-sungguh. Demi Tuhan, kalau Bung bung tidak percaya.”

            Mardian mendesah. “Maafkan aku. Bukan itu maksudku, aku hanya … masih sulit percaya ada yang percaya ceritaku. Cerita yang bahkan kedua sahabat baikku sendiri tidak mempercayainya.”

            “Orang yang tidak bisa mengerti kita dengan baik,” sahut Ana, “tidaklah pantas disebut teman. Teman adalah mereka yang mampu mengisi kekosongan di hati, mengisi lubang sepi. Teman harus mengerti perasaan temannya tanpa dia menceritakan keresahan hatinya.”

            “Tidak, Ana. Bukan begitu. Pramoedya dan Tan tidak begitu. Mereka tidak seperti yang kau pikirkan. Tidak seperti itu. Memang, kadang-kadang kami berbeda pendapat atau tak saling percaya satu sama lain. Tapi itu bukan berarti kami tidak peduli atau tidak saling memahami. Kami peduli, kami mengerti, tapi kadang cara kami yang berbeda. Dalam hal ini pun aku yakin sekali begitu. Mereka bukan tidak percaya, mereka hanya ingin rahasiaku aman saja. Ya, pasti begitu.”

            Ana tersenyum melihat keraguan yang coba disembunyikan diwajah Mardian. “Rokok, Bung?” Ana menyodorkan sekotak sigaret.

            Mardian mendorong kotak sigaret yang disodorkan Ana. “Terima kasih. Aku tidak merokok.”

            “Bung tidak merokok?”

            “Aku tidak merokok. Ayahku melarangku merokok. Ayah percaya rokok itu barang haram dan dilarang menurut agama karena bisa menjadi candu.”

            Senyum Ana semakin lebar. “Bung benar. Rokok memang bisa menjadi candu berat. Tapi bagi saya rokok adalah semangat hidup.” Ana mengambil sebatang sigaret, menyelipkan di antara kedua bibir indahnya, dan menyalakannya. “Jadi, sekarang rencana Bung apa?”

            “Aku ingin menghabisi Darkam untuk selama-lamanya.”

            “Caranya?”

            “Dengan tidak mempedulikan kehadirannya, tentu saja. Kelemahan orang mati adalah tidak dipedulikan. Mereka akan membunuh diri mereka sendiri jika tidak dipedulikan.Tapi untuk itu aku perlu bantuanmu, Ana.”

            “Apa yang harus saya lakukan?”

            “Sederhana saja, kalau Darkam muncul, ajak aku bicara. Apa saja.”

 

            Tiga bulan setelah rencana itu dibuat Darkam sama sekali tidak muncul. Dia baru muncul kembali saat hari kedua kamp dilanda wabah diare dan disentri. Ana yang melihat kemuncul Darkam bergegas memberitahu Mardian.

            “Bung, saya melihatnya. Darkam datang lagi!” Ana memberitahu Mardian yang tengah duduk di samping ayahnya yang terbaring sakit.

            “Apa? Darkam datang lagi?”

            “Benar, Bung. Tapi kali ini tidak sendiri. Saya melihatnya bersama seorang perempuan berkebaya kuning bertubuh sangat kurus.”

            Mardian menatap Ana dalam-dalam. “Bersiap-siaplah Ana, mereka sudah bersatu untuk melawan kita. Sepertinya orang-orang mati bersatu ingin menghancurkanku.”

            “Darkam membawa temannya?”

            “Bukan teman, pelacurnya. Dia juga mati ditanganku. Darkam pasti mempengaruhi perempuan jalang itu untuk membalas dendam padaku. Karena sebelum-sebelumnya dia tidak pernah mendatangiku. Ah, mungkin saja ini ada hubungannya dengan ayah yang mengatakan segalanya pada pamanku yang kolonel itu. Ya, pasti begitu. Darkam tidak rela aku bebas dari tempat terkutuk ini, dia ingin aku membusuk bersamanya.”

 

            Karena sibuk dengan rencananya melawan Darkam, Mardian pun melupakan ayahnya yang terkapar tak berdaya akibat disentri.

            “Apakah tidak apa-apa Bung meninggalkan ayah Bung sendirian? Bagimana jika sesuatu hal yang buruk terjadi?” Ana mengingatkan Mardian.

            “Ayahku bisa mengurus dirinya sendiri, Ana. Dia tidak lebih sakit dari seseorang yang terkena diare biasa. Maksudku, ayahku pernah jauh lebih sakit dari sekarang ini. Kau tidak perlu mengkhawatirkan ayahku. Dia akan baik-baik saja dengan atau tanpa diriku.”

            Tetapi Mardian salah.Saat dia kembali malam hari itu, kondisi Pak Mantri memburuk. Dia duduk di sisi ayahnya, meyakinkan bahwa lelaki tua itu akan baik-baik saja,

            “Mardian, anakku … sebentar lagi kau akan bebas dari sini, Nak. Pamanmu Darto sedang mengusahakan kebebasaan untukmu. Kau akan pulang ke Pada Suka, ke rumahmu.”

            Mardian menangis. “Cobalah tidur, Ayah. Jangan bicara apa pun lagi.”

            “Nak, apa kau tidak ingin pulang ke rumah? Ke kampung halamanmu?”

            “Tentu saja aku ingin, Ayah. Sangat ingin. Karena itu, Ayah harus cepat sembuh. Kita pulang bersama-sama ke Pada Suka. Sekarang Ayah harus tidur, cobalah untuk tidur Ayah. Demi aku, kumohon.”

            Pak Mantri sudah tidak sanggup lagi untuk mendengar. Dia terlalu letih. Air ludah bercampur darah mengalir di antara bibirnya, bersama bunyi seperti mengorok. Matanya terpejam. Napasnya berat. Bagaikan binatang buas Mardian berlari mencari Kolonel Sudarto, pamannya. Satu-satunya kerabat yang dia miliki setelah pamannya Kardi tertembak mati sawaktu ditangkap dulu. Tetapi Mardian terlambat. Saat dia kembali bersama pamannya, Pak Mantri sudah meninggal dunia. Sejak saat itulah Mardian tidak pernah bisa memafkan dirinya sendiri, dan mulai memburu Tuhan untuk minta jawaban atas penderitaan juga nasib buruknya. Dan sejak saat itu pula Mardian mulai tergoda untuk menyerahkan diri pada kebebasan yang sepenuhnya, kegilaan.

 

 

            Mardian bangkit dari duduknya, berdiri mendongak menantang kegelapan. “Wahai engkau yang mengaku dirimu Tuhan!” serunya,“jika kau pikir penjara terkutuk ini akan membuatku kembali berlutut pada-Mu memohon pengampunan, Kau salah. Meskipun kegelapan dan kesunyian mengambil jiwaku di malam hari, meskipun kewarasanku memudar di pagi hari, aku tetap menolak jasa-Mu. Asal Kau tahu, aku lebih suka gila di luar diri-Mu—jauh dari-Mu—daripada bersama-Mu yang tak punya belas kasih!”

            Jauh di atas lubang penjara, Kolonel Sudartomenyedot ingus dengan lembut lalu menguci pintu. “Kau butuh banyak keberanian sebelum menyerah dalam petualanganmu, untuk menerima kebenaran yang ada dan kembali padanya. Tapi kau membuat keputusan yang salah, Mardian.”

 

Tags: Senja

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (32)
  • qarinajussap

    Romance history ya sayyy... Awal ceritanya menarik euyy.. Aku cinta kolonel sudarto tersenyum sekilas... 😁 kata2 nya...

    Comment on chapter Senja Pertama
  • CandraSenja

    Sebuah cerita pergulatan batin yang seru. Banyak banget pelajaran2 yang bisa kita ambil di sini. Bukan cuma mengangkat kisah cinta sepasang kekasih tetapi juga mengangkat tentang betapa rapuhnya hati manusia menghadapi kekecewaan. Keren.

  • Ardiana

    @HananArrahman terlatih patah hati kak :V

    Comment on chapter Senja Pertama
  • Ardiana

    Indie banget gak sih?

    Comment on chapter Senja Pertama
  • DimasNR

    Jarang sekali seorang penulis crime fiction dan thriller bisa nulis senyastra ini. Aku suka WS nya. Diksinya tetap strong. Dan tetap pada karakternya: rasa terjemahan.

  • HananArrahman

    Buat kalian yang belum siap untuk patah hati, sebaiknya jangan dulu baca cerita ini. Karena cerita ini akan memaksa kalian merenung ke dalam diri kalian sendiri lebih dalam lagi hingga kalian lupa diri kalian manusia. Dan membaca cerita ini membawa saya kembali ke masa lalu TNI yang perih. Ke masa di mana ayah saya masih aktif dan bertugas. Ini memang hanya sebuah karya fiksi. Namun begitu ....

    Comment on chapter Senja Pertama
  • SusanSwansh

    @SusZie 41 kak. Biar puas. Hehehe. Selamat menikmati Kak.

    Comment on chapter Senja Pertama
  • SusanSwansh

    @Ardhio_Prantoko baaahaaa. Kalau kamu yang bilang aku percaya Kak.

    Comment on chapter Senja Pertama
  • SusanSwansh

    @Ivaumu dunia ini tidak lebih dari sekadar panggung sandiwara. Nasib dan takdir memang gemar mengolok2 kita Va. Tapi percayalah, jika kita tidak terlalu menanggapinya dengan serius dan dibawa santai seperti di tepi pantai, hidup kita akan diliputi kebahagiaan. Jangan mengeluh, nikmati saja. Itu kuncinya. Bahahaa. Sok bijak, judul ceramahnya.

    Comment on chapter Senja Pertama
  • nandreans

    Kakakku...😭😭😭 Dunia memang kejam. Semua sandiwara ini membuatku lelah. Kadang ingin tertawa lebih keras. Tapi dunia menertawakan kita lebih keras lagi.

Similar Tags
Kala Senja
32793      4714     8     
Romance
Tasya menyukai Davi, tapi ia selalu memendam semua rasanya sendirian. Banyak alasan yang membuatnya urung untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. Sehingga, senja ingin mengatur setiap pertemuan Tasya dengan Davi meski hanya sesaat. "Kamu itu ajaib, selalu muncul ketika senja tiba. Kok bisa ya?" "Kamu itu cuma sesaat, tapi selalu buat aku merindu selamanya. Kok bisa ya...
My Universe 1
3789      1273     3     
Romance
Ini adalah kisah tentang dua sejoli Bintang dan Senja versiku.... Bintang, gadis polos yang hadir dalam kehidupan Senja, lelaki yang trauma akan sebuah hubungan dan menutup hatinya. Senja juga bermasalah dengan Embun, adik tiri yang begitu mencintainya.. Happy Reading :)
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
8024      1486     7     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
Senja di Sela Wisteria
426      266     5     
Short Story
Saya menulis cerita ini untukmu, yang napasnya abadi di semesta fana. Saya menceritakan tentangmu, tentang cinta saya yang abadi yang tak pernah terdengar oleh semesta. Saya menggambarkan cintamu begitu sangat dan hangat, begitu luar biasa dan berbeda, yang tak pernah memberi jeda seperti Tuhan yang membuat hati kita reda. “Tunggu aku sayang, sebentar lagi aku akan bersamamu dalam napas abadi...
Senja (Ceritamu, Milikmu)
6034      1531     1     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
Secarik Puisi, Gadis Senja dan Arti Cinta
1160      769     2     
Short Story
Sebuah kisah yang bermula dari suatu senja hingga menumbuhkan sebuah romansa. Seta dan Shabrina
Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
533      364     2     
Short Story
Entah apa yang lebih indah dari petang, mungkin kau. Ah aku keliru. Yang lebih indah dari petang adalah kita berdua di bawah jingganya senja dan jingganya lilin!
Senja Belum Berlalu
3763      1355     5     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...