Read More >>"> Senja di Tanah Senja (Senja Kedua) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Senja di Tanah Senja
MENU 0
About Us  

 

            Cahaya senja terakhir baru saja lenyap digulung malam ketika sebongkah cahaya lain berkilau menggantikannya. Dia berwarna kuning lembut dan memancarkan kehangatan yang sama dengan mentari pagi. Mardian terpukau memandangnya. Ketika bergerak mendekat, kepangannya melonggar. Beberapa helai rambutnya yang menjuntai dikacaukan angin. Seekor anjing liar melintas. Lolongannya yang terluka terdengar menyayat.

            “Nah, dia sudah datang.”

            Mardian tidak mendengar. Dia sedang berada di dunia lain yang ditumbuhi ilalang menatap ribuan bintang.

            Parta mengangkat sebelah tangannya. “Mar, kami di sini.”

            Seorang perempuan muda berkebaya kuning mendekat. “Maaf membuat menunggu. Becak di sore hari agak susah di sini.” Dia tersenyum. Lalu, “Omong-omong siapakah Bung yang di samping Bung Parta ini? Kawan barukah?”

            “Dia teman masa kecilku. Namanya Mardian. Kawan, perkenalkan, ini Marni. Teman perempuanku.”

            Mardian mengulurkan tangan dengan kikuk.

            “Marni, panggil saja aku Marni,” sahut perempuan muda berwajah purnama di hadapannya. Suaranya begitu penuh perasaan dan sedikit bergetar; menyisakan alur bayangan di dalam bayangan.

            Mardian tak mampu memalingkan matanya. Dia menggigit bibir agar tak memekik nyaring karena begitu tak kuasa mengelak untuk mengendalikan dirinya. Gadis muda itu, dengan tangan terulur menjabat tangannya, tampak seakan-akan seorang dewi yang menawarkan sepasang sayap kebebasaan untuk Mardian.Tiba-tiba dunia miring pada porosnya.Bintang-bintang yang saling terjalin di angkasa melepaskan diri, berlarian, meloncat-loncat, bebas seperti kunang-kunang di padang rumput.

            “Bung Parta telah bercerita banyak tentang Bung Mardian. Aku turut prihatin atas apa yang menimpa Bung dan ayah Bung.”

            Simpati tulus perempuan muda itu seperti belati yang mengoyak luka sekaligus sebagai salep yang mengobatinya. “Terima kasih, Marni. Terima kasih banyak.”

            “Kadang-kadang,” ujar Marni seraya mengangkat kepalanya sedikit dan menengadah menatap langit, “ketika segala sesuatunya membusuk, tanpa sadar kita menawarkan getaran hati kita kepada waktu.Dan alih-alih agar bisa menyelamatkan diri dari genangan lumpur, agar bisa menjernihkannya, kita justru memperluasnya. Memberi ruang pada legenda, dan tak memberi tempat pada kemungkinan adanya harapan.” Dia tersenyum. “Malam mengisi kekosongan didadanya dengan cahaya rembulan, gemintang, kunang-kunang, dan terkadang kembang api. Dia mengusir keheningan yang menyayat dengan nyanyian burung hantu karena dia tidak ingin kegelisahannya memanjang. Malam membuka dirinya untuk dunia, menawarkan persahabatan pada kehidupan, juga hari esok. Dia terus berusaha tanpa mengenal kata lelah.”

            Pipi Mardian bersemu. Kata demi kata yang keluar dari mulut Marni menancaptepat sasaran. Dia benar, seharusnya aku tidak menenggelamkan diri dalam kesedihan tak berarti ini, pikirnya. Menutup diri tanpa memberi kesempatan pada harapan, sama saja dengan mengikat leherku sendiri di tiang gantungan.

            “Ah, maafkan perkataan saya yang mungkin terlalu lancang dan membuat Bung tersinggung,” Marni meralat ketika tidak ada tanggapan. “Sebenarnya saya sedang membicarakan diri saya sendiri. Saya juga pernah terluka dan patah hati seperti Bung. Tapi saya berhasil menyelamatkan diri dengan menunggangi kenangan manis di masa lalu. Itulah mengapa saya bekata demikian. Saya ingin berbagi penderitaan yang pernah saya alami dengan Bung. Agar Bung mengerti bahwa Bung tidak sendirian, bahwa selalu ada yang mendengarkan Bung, memahami keinginan yang tak terkatakan.”

            “Marni ini mahasiswi hukum di salah satu universitas ternama di kota ini,” ujar Parta. “Dia juga bergabung dalam sebuah lembaga pemerintahan sebagai aktivis kemanusiaan.”

            Marni tertawa. “Sebenarnya aku ingin menjadi penyair atau sastrawan. Tapi mendiang ayahku melarang. Katanya: di zaman sekarang pemerintah membutuhkan seorang ahli hukum, bukan penyair yang suka beromong kosong tentang cinta atau sastrawan yang hidup dalam dunia berbeda. Penyair dan sastrawan dicampakan ke dinding. Dan lebih buruk lagi, mereka ditengelamkan ke dasar samudera.”

            “Sayang sekali, padahal aku ingin jadi pendongeng jika aku dilahirkan kembali.” Parta menimpali kemudian tertawa.

            “Bagaimana dengan Bung, apa yang Bung inginkan?”

            Mardian teringat temannya yang masih jadi tahanan, Pramoedya. “Aku ingin menantang Tuhan berduel denganku.”

            Semilir angin dingin berembus. Bintang saling berkejaran di langit yang amat jauh. Gedung-gedung menyelimuti rahasia mereka dengan jubah beratnya sebelum memejamkan mata untuk melepaskan lelah setelah sehari penuh bekerja.

 

 

            “Tidak, Ana. Tidak sekarang. Aku belum punya cukup kekuataan. Aku ingin mengutuk tapi aku belum sanggup melakukannya. Aku masih terlalu lemah. Di setiap waktu aku menantang-Nya, aku mengayun-ayunkan tinjuku, aku berteriak-teriak penuh amarah, tetapi itu hanya menegaskan padaku bahwa aku mengakui keberadaan-Nya, bahwa aku tidak bisa tidak memikirkan-Nya, bahwa pengingkaraan diri adalah persembahan atas keagungan cintaku pada-Nya. Pada hari ketika segala amarah itu tetap murni dalam bentuknya, aku berjanji padamu akan menceritakan tentang hal itu.”

            Ana menatap langsung bola mataku. “Jangan pernah lagi mengatakan itu, Bung. Saya mohon. Sebab, mengatakan ‘Aku menderita maka aku ada’ berarti Bung mendustai hakikat manusia.Jika Bung memikirkan Tuhan dengan melupakan kemanusiaan, Bung akan menanggung risiko penderitaan karena salah tujuan.”

            Aku sedikit terkejut. Belum pernah Ana bicara sekeras ini padaku. “Bukan maksudku, Ana. Sungguh.”

            “Ah, Bung. Saya sama sekali tidak bermaksud menyinggung. Hanya, semua ini mengingatkan saya kepada seorang temanjauh yang sekarang telah tiada.” Ana tersenyum meminta maaf.

            “Maukah kau menceritakan kawanmu ini padaku?”

            “Jika Bung menginginkannya, dengan senang hati saya akan menceritakannya. Teman saya ini seorang pendeta Kristen dan cendekiawan miskin dari Busrah, Suriah. Namanya Buhairah. Di kota Busrah pada waktu itu, konon sedang tumbuh sebuah komunitas Marcionites. Terdiri dari orang-orang Nasrani yang ingin menyingkap tabir ajaran Kristus.

            “Pada suatu hari, datang seorang pelajar menemui Buhairah dan minta diberi pelajaran. Dia bahkan menawarkan sejumlah besar uang. Namun, Buhairah teman saya menolaknya karena curiga pelajar ini dikirim oleh kaum Marcionites. Kemudian terjadilah perdebatan di antara mereka.

            “ ‘Aku tak akan mengajarimu,’

            “ ‘Kalau begitu, biar aku yang mengajarimu. Dengarkanlah, wahai engkau cendikiawan yang pandai. Dengarkanlah, karena kebenaran terletak pada keseimbangan kata-kata. Coba pikirkan ini, pendeta yang suci. Kau dan aku sama-sama tahu jagat raya tidak sempurna dan manusia pun tidak sempurna. Karena itu, sangatlah masuk di akal kiranya Dia Yang menciptakan jagat dan manusia, juga tidak sempurna. Tapi, Tuhanmu Yang Esa itu, tidak pernah mau mengakui ketidaksempurnaanya. Bisakah kau jelaskan mengapa?’ Saat melihat Buhairah bergeming di tempatnya, si pemuda kemudian melempar sobekan kitab Perjanjian Lama ke kaki Buhairah. Kemudian, ketika pemuda itu berbalik, Buhairah berkata, ‘Kau telah mengutukku.’

            “Sejak dahulu, sejarah umat manusia adalah adalah sejarah kesalahpahaman antara kita dengan Tuhan. Karena Dia tidak begitu memahami kita, dan kita tidak begitu bersungguh-sungguh berusaha memahami-Nya. Seperti halnya Buhairah dengan orang Marcionites itu. Mereka berdua bersumpah setia terhadap cahaya dan bayangan. Hingga akhirnya mereka bertemu dan saling menihilkan karena jalan yang mereka tempuh bersilangan.”

            Aku termenung memikirkan kata-kata Ana. Di belakangku, matahari berjingkrak mentertawakan kebodohan manusia.

 

 

            Hari demi hari merangkak pergi. Matahari bersinar lebih cerah. Mendung tak berani mendekat. Badai tidak lagi menampakan diri. Lautan yang semula diam bergelora kembali. Dan Mardian yang baru, dilahirkan. Lebih utuh, penuh gairah, simpatik, dan menawan. Dia adalah si buruk rupa yang tiba-tiba menjelma jadi pangeran setelah bertemu bidadari dari kahyangan. Dia kini bercukur, berpakaian rapi, dan memakai minyak wangi. Sesekali, dia pun keluar malam untuk menonton sandiwara atau ikut Parta dan Marni menghadiri diskusi partai.

            “Kawan-kawan,” ujar Parta pada suatu pertemuan, “kita semua tahu kemiskinan itu bukan takdir. Penderitaan, nasib, dan takdir, itu hanya omong kosong. Seorang manusia mempunyai kendali penuh atas urusan hidupnya sendiri. Hukum alam hanya berkuasa atas masa lalu, masa depan sepenuhnya milik manusia. Jika kita hingga hari ini masih miskin, masih tertindas, itu semua salah kita. Kita semua seharusnya menghubungkan hidup kita dengan hidup orang lain untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Kemiskinan salah satunya. Tapi bukan itu yang kita lakukan. Kita takut tenggelam, karena itulah kita tidak mau ikut kapal. Kita hanya berkumpul di tepi pantai, di tepi laut yang amat kita takuti, bahkan buihnya sekalipun.”

            “Bung benar,” sahut Marni. “Hingga hari ini pun kita masih takut naik kapal. Kita membiarkan kapal itu berlayar tanpa diri kita.”

            “Ah, itulah yang mengkhawatirkan. Orang-orang kini semuanya pengecut!Mereka tidak punya keberanian untuk membedakan kebaikan dan kejahatan. Mereka semua penakut! Banyak sekali kejahatan yang dilakukan di bawah hidung mereka, hak-hak pribadi dirampas di jalan-jalan, penindasaan, ketidakadilan, tetapi tak ada yang berteriak, tak ada yang menggugat. Semuanya diam, bersembunyi di balik bayangan masing-masing.”

            “Untuk itulah,” sela Kasim,“kita harus berjuang sekali lagi, kita harus melawan, kita harus berkata ‘tidak!’ kita harus bersatu, satu gerakan tubuh, satu tindakan, satu revolusi.”

            “Bung Kasim benar. Sudah waktunya kita memerangi ilusi kekanak-kanakan yang memabukan masyarakat kita. Sudah waktunya kita membuka mata, telinga, pikiran, serta kesadaran semua orang tentang pentingnya melawan kapitalisme dan menggulingkan kekuasaan kaum penindas yang secara historis selalu mempertahankan kelestarian kelasnya.

            “Jangan terburu-buru, Mar. Kegegabahan kita di masa lalu membuat kita kalah sama sekali. Dampaknya, sekarang semua orang menjadi sangat berhati-hati. Jika mereka tahu kau ini orang kiri, tidak peduli siapapun dirimu, apakah kau anak jendral atau anak petani miskin, kau akan tetap mereka habisi. Ingat, di tanah moyang kita ini, orang-orang kiri adalah selalu pemberontak di mata kebanyakan orang. Cita-cita mulia kita untuk menghapuskan kelas sosial dianggapnya sebagai omong kosong busuk yang tidak lucu. Ingatlah itu baik-baik.”

            “Lalu bagaimana rencana Bung Kasim sendiri?”

            “Kau kan tahu, Mar. Seleraku ini sederhana saja. Aku hanya ingin puas dengan melakukan yang terbaik.”Lelaki beralis tebal itu tersenyum lebar memamerkan gigi kuningnya yang besar-besar dan kotor.

 

 

            “Si Marx itu, Bung, oh alangkah kasihan dia.”

            Aku menegakan badan, kaget dengan kata-kata yang baru dilontarkan sahabatku. “Apa maksudmu, Ana?”

            “Bung tentu tahu bahwa laki-laki berdarah Yahudi ini menganggap agama dan Tuhan adalah hasil atau akibat dari suatu masyarakat yang tidak sempurna, bukan? Atau lebih tegasnya lagi buatan manusia.”

            Aku hendak menjawab, “Apa hubungannya semua itu?” Namun, Ana tidak memberiku kesempatan. Dia melanjutkan apa yang tersirat dalam benakku, “Hubungannya adalah, pada saat dia mengutarakan pemikirannya itu, sebenarnya dia tengah membicarakan kekecewaan hidupnya sendiri.” Ana menyalakan sigaretnya yang mati. “Di masa itu, Bung, bahkan saya sendiri menyangsikan keberadaan Tuhan. Bagaimana tidak? Perang di memorak-porandakan hampir seluruh negara di berbagai penjuru dunia. Kota-kota musnah hanya dalam waktu semalam, orang-orang meregang nyawa seperti binatang, mayat-mayat bertimbunan, yang lainnya bangkit dilanda murka, jutaan orang hanya berpikir untuk membunuh jutaan orang lain. Selama perang, mata saya ini menyaksikan orang-orang saleh menjadi penjahat.Semua hanya demi segenggam gandum—segenggam gandum berkutu, Bung. Saya tidak mampu mengingkari semua itu. Gandum berkutu. Hal tak masuk akal yang mampu mengubah tatanan alam, menjungkirbalikkan struktur penciptaan, dan membatalkan kearifan Yang Maha Kuasa sebagai arsitek semesta raya. Kita anggap gandum berkutu ini, pada waktu itu, hanya menjadi perantara kehendak Tuhan. Dan kita anggap gandum berkutu ini serupa angin segar di dalam penjara. Tetapi mengapa, Bung? Mengapa kejadian yang teatrikal itu terus bermetamorfosis? Untuk mengajari manusia bahwa kehidupan tidak lebih dari senda-gurauan? Bahwa dunia tidak lebih dari medan laga tempat dua kekuatan bertarung demi sebuah gagasan yang tak mampu diterima semua orang? Atau hanya sekadar supaya Tuhan ditakuti dan didengarkan? Itukah, hanya itu itukah arti kehidupan di dunia terkutuk ini? Saya, Marx, dan yang lain, memerlukan jawaban langsung dari Tuhan! Tetapi, Tuhan justru mengirim nabi-nabi palsu, penyelamat palsu. Kami mencari keberadaan-Nya. Di manakah Tuhan? Di manakah Dia bersembunyi? Di mata kami, di perut kami, di hidung kami? Selama puluhan tahun kami menghabiskan waktu untuk menjelajahi dan menemukan makna tubuh kami sendiri. Tapi kami tidak menemukan-Nya.”

            Aku menegakan kepala dan spontan bertanya, “Kau kenal Marx?”

            “Saya mengenal Marx sedalam saya mengenal diri saya sendiri.”

 

 

            Saya mengenal Marx sedalam saya mengenal diri saya sendiri. Kami bertemu di suatu masa terbaik, sekaligus masa terburuk yang pernah ada. Zaman kebijaksanaan, juga zaman kebodohan. Zaman kekuasaan iman,sekaligus zaman keragu-raguan. Setiap hari kami menunggu Musim Terang datang menggantikan Kegelapan yang dingin. Jika kami lelah menunggu, kami keluar berjalan-jalan. Kami pergi mengunjungi museum-museum, perpustakan, pemakaman. Kadang-kadang, kami pergi ke taman kota yang terbengkalai di malam hari tanpa tujuan. Marx dan saya memiliki rasa haus dan ambisi yang sama: kami ingin menjelaskan manusia kepada manusia. Kami ingin merengkuh peristiwa dan menelanjanginya.

 

            Saat itu sore hari di musim gugur. Kami sedang membaca buku di perpustakaan. Marx duduk di depan saya, bersandar pada sikunya.

            “Bung sedang memikirkan apa?” tanya saya saat melihat Marx termenung di hadapan bukunya.

            “Aku hanya sedang bertanya-tanya, sebenarnya kita ini menunggu apa, Ana? Jika yang kita tunggu Tuhan, aku rasa Dia tak akan datang ke dunia yang terkutuk ini.”

            “Saya tidak mengerti, apa maksud Bung?”

            Marx meletakan bukunya di meja. “Sudah sekian lama aku bertanya-bertanya kepada diriku sendiri mengapa dunia dan kehidupan ini selalu kacau padahal agama sudah beribu-ribu tahun dipeluk manusia? Mengapa perbedaan kelas, perbudakan, ketidakadilan masih ada? Aku rasa, ini karena agama hanya matahari ilusi yang berputar di sekitar manusia. Sejak pertama kali lahir, manusia harus berhadapan dengan alam. Dia harus hidup dari alam, dari tanam-tanaman yang tumbuh di atas tanah, dari ikan yang hidup di dalam air, dari burung-burung yang beterbangan di angkasa, atau pendek kata dari segala apa yang ada di dalam alam. Dalam pengembaraannya mencari makan itu, dia sering kali ditimpa hujan lebat, ditimpa banjir dahsyat, kadang-kadang gempa bumi dan gunung meletus yang menyebar maut, ke kiri ke kanan. Di tepi laut dia melihat ombak bergulung-gulung, memukul-mukul, memecah bibir pantai. Semua itu hebat, dahsyat. Dan manusia merasa kecil menghadapinya. Maka dia pun berikir, jika ini semua bukan pekerjaan manusia, tetapi pekerjaan sesuatu mahluk yanglebih berkuasa daripada manusia. Kemudian, daya pikirnya dipkasa bekerja. Dengan khayalnya yang sempit, dia menciptakan makhluk-makhluk yang berkuasa itu dengan berbagai nama. Seperti setan, dewa, Tuhan, dan lain-lain. Dari sanalah timbul kepercayaan akan adanya Tuhan, setan, dewa, juga kepercayaan pada agama sebagai yang mengatur kehidupan.”

            “Yang saya tahu,” sahut Ana, “Tuhan itu ada dan harus ada. Pengetahuan tentang agama memang lahir dari asal-usul yang misterius. Yaitu Tuhan. Selama ratusan, bahkan ribuan tahun, saya mengembara mencari-Nya. Saya menggauli bayangan manusia, menelanjangi sejarah, menampar waktu. Saya pergi ke laut, berharap buih memberitahu di mana tangan yang menggulung ombak. Saya pergi ke puncak gunung merobek langit malam, barangkali Dia bersembunyi di antara bintang-bintang. Tetapi, Tuhan tidak ada di sana. Dia tidak ada di langit maupun di laut. Dia tidak ada di mana-mana meskipun saya dapat merasakan keberadaan-Nya.”

            Marx tersenyum. “Semua konsep tentang Tuhan, bukanlah Tuhan. Suatu konsep adalah sesuatu yang terjadi di dalam diri si penggagas sendiri;konsep tentang Tuhan adalah sesuatu yang bisa manusia timbulkan dalam pikirannya sesuka hatinya. Lagipula tak ada satu pun mukjizat yang dapat membuktikan Tuhan itu ada, karena mukjizat hanya ada di dalam imajinasi manusia dan tak masuk akal.”

            Saya tidak menyahut.

            “Untuk seseorang memahami hidup,” sambung Marx, “dia harus memahami, bukan kehidupan orang-orang dalam kemewahan yang sebenarnya adalah parasit melainkan kehidupan para buruh yang bersahaja, yang menciptakan kehidupan dan membuatnya bermakna. Agama adalah nafas dari orang yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati dan jiwa dari keadaan yang tak berjiwa. Agama adalah candu masyarakat.”

            “Tuhan yang saya pahami adalah Ia yang berperan sebagai ikatan antara benda dan mahluk hidup, antara hati dan jiwa, antara kebaikan dan kejahatan, antara masa lalu dan masa depan, antara hidup dan mati. Tuhan yang saya pahami adalah kekuatan terbesar yang dimiliki manusia, sekaligus kelemahan terbesarnya. Tetapi di manakah Dia? Saya tidak tahu. Saya hanya mampu merasakan keberadaan-Nya, dekat, hangat, nyaman.”

            “Baiklah, Ana. Kau teruskan saja pencarianmu, tapi aku tidak. Aku lelah. Selain itu, aku kehabisan roti dan kopi. Aku lapar dan aku miskin. Tuhan tidak pantas bertemu gmbel sepertiku.Lagipula, ada sesuatu hal yang lebih penting untuk dilakukan daripada membuang waktu mencari keberadaan Tuhan.”

            “Bung punya rencana lain?”

            “Ya, Ana. Aku ingin mengatur ulang dunia. Aku ingin menciptakan kehidupan baru yang lebih ideal. Aku ingin menyempurnakan keberadaan manusia dan produktivitasnya.”

            Saya tersenyum oleh pikiran saya sendiri. “Dahulu, saya pun pernah bermimpi ingin menyelamatkan seluruh umat manusia dengan tangan yang saya miliki. Bukan hanya satu kehidupan manusia, melainkan kehidupan umat manusia itu sendiri. Tapi, cita-cita saya itu hilang di suatu tempat pada suatu masa dalam perjalanan hidup saya. Dan sekarang saya tak lagi memiliki hati yang pernah saya miliki, tak lagi memiliki kepala yang dahulu, juga imajinasi liar yang meloncat-loncat. Sekarang saya tak lagi memiliki apa-apa kecuali ini: sepasang kaki untuk berjalan-jalan jika segala sesuatunya mulai terasa membosankan.”

            Marx tertawa. “Jadi bagaimana, apa kau ingin bergabung denganku membangkitkan kembali impianmu dan mewujudkannya menjadi nyata, Ana?”

            “Entahlah. Saya sudah tidak bersemangat lagi menaklukan dunia.”

            “Karena Tuhan?”

            “Saya rasa bukan. Ada sesuatu yang lebih dari Tuhan yang ingin saya mengerti.”

            “Apa itu, Ana? Katakan padaku. Barangkali aku tahu.”

            Ana tersenyum malu. “Cinta, Bung. Saya ingin mengerti tentang cinta.”

            “Cinta?”

            “Benar. Apakah Bung tahu sesuatu?”

            “Cinta itu ungkapan khusus yang memanifestasikan tujuan hidup manusia yang nyata, Ana. Akan tetapi, kemurnian cinta tidak akan ada jika manusia teraliensi dari hubungan produksi yang timpang. Karena aliensi ini terjadi dalam hubungan manusia dengan objeknya.” Marx kembali ke kursinya. “Mari kita mengasumsikan manusia menjadi manusia dan hubungannya dengan dunia menjadi hubungan yang manusiawi. Kemudian cinta hanya dapat ditukar dengan cinta, kepercayaan dengan kepercayaan, dan sebagainya. Jika kau ingin mempengaruhi orang lain, kau harus yang memiliki pengaruh yang menstimulir dan bersemangat pada orang lain. Setiap hubungan yang kau miliki dengan orang lain dan dengan alam pasti merupakan ungkapan khusus yang berkaitan dengan tujuan keinginanmu, tujuan hidup pribadimu yang nyata. Jika kau mencintai tanpa membangkitkan cinta, yakni jika kau tidak dapat dengan memanifestasikan dirimu sebagai orang yang mencintai, membuat dirimu sebagai orang yang dicintai, maka cintamu itu tumpul dan mengenaskan.”

 

 

            “Hentikan, sudah cukup. Jangan ceritakan apa pun lagi. Aku tidak sanggup mendengar lebih banyak dari ini. Marx adalah orang kedua yang paling aku kagumi setelah ayahku. Marx, pemikiran-pemikirannya banyak sekali mengubahku. Idelismenya jugalah yang mempertemukanku dengan cinta sejatiku. Marx, dia cahaya yang menggetarkan, tangan yang hangat, dan keindahan.”

            Ana mengembuskan asap sigaretnya lalu tersenyum. “Cinta pada dasarnya adalah kemampuan untuk memberi, atau setidaknya untuk berbagi dengan orang lain. Ketika seseorang mencinta, dia akan mencurahkan yang ada dalam dirinya yang paling berharga yang dia miliki dan mengabdikan hidupnya. Tapi ini bukan berarti dia mengorbankan dirinya untuk orang lain, melainkan dia membagi apa yang hidup di dalam dirinya; dia memberikan kegembiraannya, kasih sayangnya, perhatiannya, pengetahuannya, canda tawanya, kesedihannya, keputusasaannya—seluruh ungkapan dari yang hidup di dalam dirinya.”

            Mendengar kata-kata manis Ana aku jadi teringat kekasihku, Marni.

 

 

            Mardian dan Marni berjalan beriringan sepanjang alun-alun. Malam itu cuaca mendung, dingin.Tetapi mereka tidak memperhatikannya.Mereka menundukan kepala seolah-olah baru kembali dari upacara pemakaman, begitu takzim dan penuh perenungan, berdebar sambil mencemaskan saat ketika akhirnya mereka akan berduaan dan bisa saling memandang, saling memuja, saling membuka diri.

            “Mari kita cari tempat duduk,” ujar Marni. “Aku lelah.”

            Keduanya memasuki kedai minum, duduk dan memesan kopi. Marni menceritakan kisah hidup dan perjuangannya yang memukau. Dia memang sangat pandai bicara. Perempuan muda yang penuh semangat. Kecanggungan di antara mereka meleleh bersama api yang menyapu wajah.

            “Kata kuncinya adalah komitmen,” Marni menutup kisahnya. “Tak penting lagi soal menerima diri sendiri atau menolaknya. Karena menurutku, arti manusia ditentukan oleh apa yang dia lakukan. Bukan apa yang dia pilih atau apa yang ia tolak.”

            “Ah, memalukan. Selama hidup aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Bahkan ketika segala sesuatunya belum membusuk.”

            “Aku suka bocah kecil lugu yang bertahan hidup dalam dirimu itu, Bung.”

            “Panggil saja aku Mardian. Aku bukan orang penting, jadi kau cukup memanggil namaku.”

            Marni tertawa mendengar jawaban Mardian. Dan itu membuatnya tampak lebih cantik, lebih menggairahkan, lebih perempuan.“Ah, lelucon kekanak-kanakan itu!” serunya lalu kembali tertawa.

 

            Tenggorokan Mardian mendadak terasa kering. Dia sangat terkejut menyadari betapa tawa Marni telah mengisi kehampaan di dalam hatinya, membuatnya begitu tentram. Dia teringat ayahnya. Teringat percakapan mereka tentang cinta hari itu. Apakah ini yang dinamakan cinta? Apakah ini misteri ternama itu? Kekosongan di dalam hatinya berubah menjadi kesempurnaan. Dinding-dinding yang gelap tak lagi mengerikan. Tawa seorang perempuan muda ada di sana dan dunia tak lagi sama. Bergema mengisi kesenyuan. Segala sesuatunya tak lagi sama. Menjadi sederhana, nyata, mungkin. Kau dan aku. Itu sudah lebih dari cukup untuk menyatukan kembali kekuatan yang bertebaran di suatu tempat di alam semesta. Kebahagiaan.

            “Ada apa?” tanya Marni. “Kau duduk begitu diam seakan-akan kau sedang menderita.”

            Mardian menelan ludah dengan susah payah, kemudian menjawab, “Ya, Marni. Aku menderita. Aku memikirkan mendiang ayahku dan aku menderita.” Lalu dengan nada lebih rendah, “Ayahku adalah segalanya. Dia hidupku. Kematiannya membawa separuh jiwaku.” Dan masih dengan nada rendah, tetapi lebih jelas, “Begitu juga dengan dirimu, Marni. Ini terdengar gila memang. Tapi aku tidak bisa mendustai diriku, aku mencintaimu.”

            Marni hanya menatapnya: matanya membelalak, tampak lebih hitam, dipenuhi angin sejuk, dipenuhi harapan, dipenuhi masa lalu. Kemudian dia tersenyum.

            “Mengapa kau hanya tersenyum?”

            “Karena Bung. Karena bocah kecil dalam diri Bung itu. Dia membuat segala sesuatunya menjadi sangat sederhana, dan aku percaya kesederhanaan. Dia mengatakan ‘aku cinta padamu’ saat dia mencintai seseorang. Saat ingin menangis dia pun mengatakan ‘aku ingin menangis’. Dia dan aku memiliki sesuatu yang sama: percaya akan selalu ada yang mau mendengarkan. Tuhan menjadi Tuhan bukan hanya karena Dia memiliki keagungan. Tuhan menjadi Tuhan karena Dia selalu mau mendengarkan.”

            “Jadi bagaimana?”

            Wajah Marni mendadak muram. “Saya minta maaf,” sahutnya pelan, “meskipun saya menyukai anak kecil dalam diri Bung itu, meskipun saya menginginkannya, saya tidak tidak bisa menerima uluran tangannya. Karena saya sudah menjadi milik Bung Parta.” Marni mengangkat tangan kanannya, menunjukan cicin emas yang melingkari jari manisnya. “Kami sudah bertunangan.”

 

 

            “Dia memang kekasihku, Ana,” jawabku. “Duduklah, biar kuceritakan lebih banyak tentangnya padamu. Tentang matanya yang mampu melumat waktu, senyumnya yang merampas kehangatan sinar mentari, dan kelembutan suaranya yang menggetarkan dada alam semesta. Di hadapannya bumi bukan lagi bumi dan matahari hanya sebentuk bola api tua yang menjemukan. Tidak berarti.Setelah malam Marni tahu aku mencintainya, dia pergi menemui Parta. Marni memutuskan ikatan pertunangannya dengan Parta dan mengatakan padanya bahwa dia jatuh cinta padaku. Dengan sikapnya yang menyenangkan, Marni berhasil meyakinkan Parta untuk melepaskan dirinya.”

            “Dia pasti perempuan yang luar biasa.”

            Aku mengangguk. “Dia lebih dari sekadar luar biasa.Dia tak terungkapkan dengan kata-kata, Ana.”

 

 

            Seorang lelaki berwajah mengantuk mengguncang-guncangnya dengan panik.

            Perlahan-lahan Mardian tersadar. Semua bunyi serta gema tanah dan laut datang padanya, memenuhinya. Aku masih hidup, aku terluka, aku mual.

            “Bung baik-baik saja?”

            Mardian mengerjapkan matanya. Ya.

            “Bung tadi tidak sadarkan diri. Bung terus mengiggau memanggil-manggil nama Marni,” pelayan di tempat minum itu menjelaskan.

            Bibir Mardian bergetar, pandangannya kembali mengabur, dia hanya bisa mengeluarkan bunyi-bunyian yang sulit dimaknai. Luka dihatinya kembali menganga saat dia mendengar nama Marni disebutkan. Demam tiba-tiba menderanya. Melumpuhkan sebagian besar syaraf-syaraf tubuhnya.

            “Saya rasa Bung terlalu mabuk. Bagaimana jika Bung saya antarkan pulang?”

            Mardian kembali mengerjapkan mata.

            “Baiklah, saya anggap itu persetujuan.”

 

            Sebentar lagi fajar tiba. Lidah-lidah berpijar api bermunculan dari balik bumi yang gelap, menghamparkan kemilau cahaya di cakrawala. Mardian berjalan terhuyung-huyung seakan-akan menyeret beban yang amat berat, beban mimpi buruk. Tangan kirinya berpegang lemah pada pundak si pelayan yang memapahnya.

            “Bung terlalu banyak minum. Bung tidak biasa minum, bukan?”

            “Pertama minum,” sahut Mardian berupa gumaman.

            “Sudah saya duga. Apa Bung baru patah hati?”

            Mardian tidak menyahut. Tiba-tiba dia merasakan kejang perut yang luar biasa. Dia berhenti. Napasnya terengah-engah, keningnya dipenuhi bulir-bulir keringat.

            “Bung baik-baik saja?”

            “Mar-ni,” Mardian bergumam dalam ratapan yang disadarinya. Giginya gemeretak. Dada dan kerongkongannya terbakar, perutnya terasa membesar. Dia sedang berjalan di lautan api. Marni, Marni. Dia ingin meneriakan nama itu, melepaskan belenggunya. Tapi dia tidak punya cukup kekuataan. Dunia tidak memberinya kesempatan.

            “Sebaiknya kita beristirahat dulu. Bung tampak pucat dan lelah.”

            Mereka duduk di bangku taman yang terbengkalai di pinggir jalan.

            “Setiap kali seseorang menyebut nama Marni kondisi Bung langsung ambruk. Siapa dia? Kekasih Bung? Kerabat?”

            “Kekasihku,” Mardian bergumam lemah setelah berhasil mengerahkan semua sisa kekuatan dalam dirinya.

            “Ah, saya mengerti. Pasti sangat berat mengusung mayat di punggung Bung. Tetapi, demi Tuhan, tahanlah sebentar. Setidaknya sampai di rumah Bung. Saya tidakmau mengusung mayat Bung di punggung saya.”

 

            Mardian memejamkan matanya kuat-kuat, berusaha melawan kegelapan yang mencekik. Kemudian nama Marni muncul memenuhi benaknya. Seakan-akan dia mengirimkan namanya sebagai pesan yang menyuruhnya untuk bertahan, memberitahunya, “Bung tidak boleh membiarkan diri Bung tertidur di sini, bangunlah, aku ada di sini!”

            “Marni,” Mardian bernapas lagi.

            “Tahan nama perempuan itu di hatimu. Atau aku akan membiarkanmu membusuk di sini.”

            Dunia mendadak senyap, alam raya tertidur, manusia dan binatang lupa memiliki suara.

 

 

            “Apakah aku sudah mulai gila? Apakah ini tanda-tanda kegilaan itu?” Mardian mulai panik. “Tidak, tidak. Itu tidak mungkin. Aku tidak merenung. Aku mengenang masa laluku. Ya, aku hanya mengenang masa laluku. Aku masih waras. Dua ditambah dua sama dengan empat. Empat dikali empat enam belas. Otakku masih berfungsi, normal. Aku masih waras. Aku tidak gila. Ya, aku tidak gila. Aku hanya sedikit ketakutan.” Mardian merengkuh kakinya. “Aku harus tidur. Aku tidak boleh memikirkan masa lalu. Aku tidak boleh sampai merenung.”

 

 

            Mardian tidur seperti sebongkah batu, tanpa kesadaran, tanpa tanggung jawab, tanpa rasa bersalah. Dalam kepapaannyadia bermimpi melihat langit menyala dengan warna-warna yang lembut meski matahari belum terbit. Dia menengadah. Di langit dia melihat seribu jalan setapak menuju seribu cabang takdir. Kepekaannya menajam, keberadaannya membuka: kini aku mengerti mengapa pengorbanan begitu menarik bagi manusia, dan mengapa dia sampai rela menanggung penderitaan tak terperi melampaui batas-batas yang dapat diterima akal sehat manusia. Semua itu karena kehidupan semata tidaklah cukup; dia menginginkan kehidupan yang lebih dari kehidupannya itu. Suatu kehidupan lain yang berdenyut di nadinya yang menguasai jeritan dan tangisan orang-orang yang dihancurkan.

            “Apa kau benar-benar menginginkannya, anakku?” seseorang bertanya dari arah belakang.

            Suara parau itu itu tidak asing. Mardianmengenalinya di manapun dia berada. Tapi itu tidak mungkin, pikirnya, aku pasti salah dengar.

            “Mengapa kau tidak menjawab ayahmu, Anakku? Apakah kau sudah tidak mengenali suaraku?”

            Tentu saja aku mengenalinya. Suara itu adalah kedamaian hatiku. Sumber air yang menyejukan jiwa ragaku.

            “Mardian, anakku. Apakah kau sudah tidak mengenali suara ayahmu sendiri, Nak?”

            Mardian menekankan satu tangannya ke kepalanya. Sebongkah batu seakan menghantam dadanya. Dia terpuruk ke dalam lubang yang teramat dalam dan gelap.

            “Anakku, ini ayah, Nak. Apakah kau tidak rindu ayahmu?”

 

            Mardian sudah tidak kuat lagi menahan diri. Sengatan rasa sakit yang tajam dan membakar menembusnya, sesaat pada telinganya, di saat lain pada matanya, dadanya, kakinya. Dia menahan napas, mengembuskannya; mengepalkan tinju kuat-kuat, lalu membukanya. Kemudian, dengan sangat perlahan, Mardian memutar badan. Seorang lelaki tua berwajah sedih berdiri menatap hampa ke arahnya. Selama beberapa detik Mardian yang terlumpuhkan oleh kejutan kenangan masa lalu, tak mampu bergerak. Beban yang luar biasa berat menekan pundaknya.

            “Ayah…. ” Mardian berjalan gundah dan amat susah payah. “Ayah…. ” dia berusaha keras lari. “Ayah…. ”

            “Anakku, Mardian. Ke marilah, Nak. Ayah rindu sekali padamu.”

            Mardian menghampiri ayahnya. Tanpa peringatan apa pun dia mencengkeram pundak lelaki bungkuk yang hampir tembus pandang itu lalu mengguncang-guncang tubuhnya. “Kau lelaki biadab! Teganya kau membohongiku, anakmu sendiri. Setelah apa yang kita lewati di Pulau Buru, seharusnya kau bisa melihat aku tumbuh dewasa. Tapi mengapa kau menyimpan segalanya sendiri, mengapa kau tak pernah memberitahuku? Jawab aku!”

            Lelaki yang dituntut itu mengatupkan giginya kuat-kuat, menahan air mata yang siap tercurah, kenangan, dan kata-kata.

            “Mengapa kau diam saja? Apakah kau terkejut aku tahu semuanya?”darah berdenyut di pelipis Mardian. Kemarahan, penyesalan, dan rasa rindu surut dan pasang dihatinya.

            “Ayah memang bersalah. Ayah akui semua kesalahan ayah itu. Tapi, ayah melakukan semua itu karena ayah sangat menyayangimu. Engkau adalah segala-galanya bagi ayah. Apa pun akan ayah lakukan untuk kebahagiaanmu.”

            Sunyi. Sungai tak lagi mengalir menuju lautan, angin tak lagi berembus, angkasa tak terbatas. Akhirnya sang juru bicara bagi semua kata “mengapa” diam. Mardian jatuh berlutut. Air matanya tak terbendung lagi. Matahari terbit dari ufuk timur.

Tags: Senja

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (32)
  • SusanSwansh

    @Ivaumu wkwkwkkwkwk selamat berpusing riaaa

    Comment on chapter Senja Ketiga
  • nandreans

    Aku sampai sini dibikin ora paham-paham. Sik sik. Kayaknya butub baca lagi di suasana tenang. Hmmm. Ndak sabar terbit.

    Comment on chapter Senja Ketiga
  • nandreans

    Kampret sampeyan yuk. Aku dibuat campur aduk.

    Comment on chapter Senja Ketiga
  • Ardiana

    @RizzalRr bukan hindi kok kak. Indie yang anak Indie itu, kan identik dengan senja, hehe

  • Fildannn

    Kereeeeeeeeeen bgt ceritanya kak san.

  • Diyahparamita

    satu chap panjang banget. Tapi nggak kerasa bacanya.

    Comment on chapter Senja Pertama
  • viviriswar

    đź‘Ťđź‘Ťđź‘Ť

    Comment on chapter Senja Pertama
  • RizzalRr

    @Ardiana coba deh baca chap 1 sampai rampung.

  • RizzalRr

    @Ardiana kalau yang dimaksud indie itu india, menurutku sih enggak sama sekali. Filsafat yang dipake di sini bukan filsafat hindi malah. Beberapa justru mengadopsi pemikiran2 barat moderen. Kalau india itu kan biasanya identik dengan perjuangan cinta. Cerita ini justru condong ke konflik batin si mardian dengan Tuhannya.

  • RizzalRr

    Mantul banget. Aku bingung mau komentar apa. Dari awal baca rumahnya udah kuat banget. Narik terus. Jadi nggak kerasa baca satu chapter yang segitu panjangnya.

Similar Tags
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
8024      1486     7     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
My Universe 1
3789      1273     3     
Romance
Ini adalah kisah tentang dua sejoli Bintang dan Senja versiku.... Bintang, gadis polos yang hadir dalam kehidupan Senja, lelaki yang trauma akan sebuah hubungan dan menutup hatinya. Senja juga bermasalah dengan Embun, adik tiri yang begitu mencintainya.. Happy Reading :)
Senja di Sela Wisteria
426      266     5     
Short Story
Saya menulis cerita ini untukmu, yang napasnya abadi di semesta fana. Saya menceritakan tentangmu, tentang cinta saya yang abadi yang tak pernah terdengar oleh semesta. Saya menggambarkan cintamu begitu sangat dan hangat, begitu luar biasa dan berbeda, yang tak pernah memberi jeda seperti Tuhan yang membuat hati kita reda. “Tunggu aku sayang, sebentar lagi aku akan bersamamu dalam napas abadi...
Kala Senja
32793      4714     8     
Romance
Tasya menyukai Davi, tapi ia selalu memendam semua rasanya sendirian. Banyak alasan yang membuatnya urung untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. Sehingga, senja ingin mengatur setiap pertemuan Tasya dengan Davi meski hanya sesaat. "Kamu itu ajaib, selalu muncul ketika senja tiba. Kok bisa ya?" "Kamu itu cuma sesaat, tapi selalu buat aku merindu selamanya. Kok bisa ya...
Senja Belum Berlalu
3763      1355     5     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...
Senja (Ceritamu, Milikmu)
6034      1531     1     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
Secarik Puisi, Gadis Senja dan Arti Cinta
1160      769     2     
Short Story
Sebuah kisah yang bermula dari suatu senja hingga menumbuhkan sebuah romansa. Seta dan Shabrina
Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
533      364     2     
Short Story
Entah apa yang lebih indah dari petang, mungkin kau. Ah aku keliru. Yang lebih indah dari petang adalah kita berdua di bawah jingganya senja dan jingganya lilin!