Read More >>"> Senja di Tanah Senja (Senja Pertama) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Senja di Tanah Senja
MENU 0
About Us  

            Dia berdiri di tepi hutan lebat menantang langit. Tangannya ditempatkan beratesuatu, sepucuk senapan. Tali kulitnya yang kasar menjalar hampir menyentuh tanah. Di sabuknya tersimpan sebilah pisau, tempat bubuk mesiu dari tanduk kerbau, dan sekantung penuh peluru. Senja semerah darahmenyengat dirinya sendiri sampai padam. Langit berpegangan tinju semakin erat, tanah meregang, pepohonan menyempit seolah ingin melesak. Tapi Mardian tak gentar. “Tuhan, hari ini aku berhenti memohon. Aku tak sudi lagi meratap. Jika Kau ingin membakarku di neraka, bakarlah! Aku menerima nasibku dengan sepenuh hati.”

            “Apa katamu?”

            “Aku menerima nasibku dengan sepenuh hati,” kata Mardian.

            “Kau memang harus menerimanya, semua orang harus menerima nasibnya masing-masing.” Suara Kolonel Sudarto terdengar tenang, tidak menandakan ketertarikan atau ketidaksabaran.

            “Jangan salah paham, Kolonel. Aku menerima nasibku bukan berarti aku akan mengatakan segalanya padamu. Tidak. Aku menerima nasibku karena aku tak sudi lagi meratap.”

            “Semua manusia yang hidup di muka bumi ini memang menikmati hidupnya, hidupnya sendiri. Dia tidak perlu menenggelamkan kepaladalam ekosistem takdir demi menjaga makna dirinya yang paling dalam. Akan tetapi, sekali lagi kusarankan Anda:bicaralah, katakan untuk apa kau kembali dan bagaimana caranya.”

            “Aku kembali karena ada suatu keperluan, dan itu bukan urusanmu.”

            “Jangan keras kepala, Mardian. Ini adalah kesempatan terakhirmu. Bicaralah, dan aku akan mengupayakan kebebasanmu.”

            “Itu juga yang kau katakan pada ayahku hari itu. Tetapi apa yang terjadi? Kau dibunuh. Kau membunuh ayahku meskipun dia mengatakan segalanya.”

            “Ayahmu meninggal karena sakit disentri. Aku tidak membunuhnya, tidak ada yang membunuhnya. Kau tahu itu dengan baik.”

            “Ayahku memang sakit disentri.Tapi, jika kau mengupayakan dokter untuknyadia pasti masih hidup sampai saat ini.”

            “Ayahmu terlalu sakit dan tak mungkin diselamatkan. Tuhan mengakhiri penderitaannya karena Dia tahu ayahmuterlalu baik untuk menderita lebih lama. Jangan lupa, saat itu kau berada dalam kamp kosentrasi. Di sana tak ada ayah, tak ada saudara, tak ada sahabat, tak ada ikatan apa pun. Setiap orang harus mengupayakan hidupnya sendiri, mempertahankan nyawanya sendiri.Kau dan aku tahu itu dengan baik.”

            “Omong kosong!”

            Kolonel Sudarto mendesah.“Tapi itulah kebenarannya, dan kebenaran yang lain adalah jauh di dalam lubuk hatimu, di pelosok nuranimu, seandainya kau berani mengakui, sebenarnya kau merasa bahagia terbebas dari ayahmu yang menjadi beban hidupmu. Aku memang tidak bisa menjamin janjiku, tapi aku bisa menjamin kata-kataku ini.”

            “Jangan tolol, Kolonel!Jika bukan karena ayahku, aku pasti sudah menyerah di Pulau Buru. Ayahku adalah alasan untukku tetap hidup.”

            “Itu jugakah alasanmu menggadaikan idealismemu?”

            “Jangan menghujat!”

            “Kau yang menghujat, Mardian. Kau menghujat ayahmu, menghujat pengorbanannya dengan mencederai idealismemu. Kau menghina ayahmu dengan benar-benar menjadi orang kiri. Renungkanlah kata-kataku ini. Renungkanlah, karena hanya itu yang bisa kau lakukan sekarang.”

            “Maksudmu aku akan segera dieksekusi seperti yang lain?”

            “Tidak, kematian terlalu baik untukmu. Sebagai pamanmu, aku punya tanggung tajawab menuntunmu kembali ke jalan yang benar. Aku akan memaksamu untuk merenung agar kau menemukan kembali identitas dirimu yang hilang. Kau akan tetap kupenjarakan di sini sampai kau mengakui segala-galanya.”

            Mardian tertawa. “Jangan bermimpi, Kolonel! Sampai mati pun aku tidak akan membuka mulutku.”

            Jauh di atas Kolonel Sudarto mengeleng-gelengkan kepala. “Tidak, Nak. Aku bersungguh-singguh. Aku berbicara padamu bukan sebagai penegak hukum, aku berbicara padamu sebagai seorang paman kepada keponakannya. Dengarkan aku, ini nasihatku yang terakhir: bicaralah, katakan semuanya padaku. Aku berjanji akan membantumu. Bicaralah kalau bukan demi dirimu demi ayahmu. Karena kau tak akan mungkin sanggup bertahan lebih lama di sini. Ketika kau tidak lagi melihat cahaya untuk waktu lama,tidaklagi memiliki teman bicara, sendirian dan tertekan, kau akan kehilangan kesadaran, kepribadian, dan jiwamu akan hancur. Pendeknya,kau akan menjadi gila. Kau mungkin dapat bernegosiasi dengan malaikat maut atau bahkan membayarnya dengan harga yang cukup tinggi, tapi, ketika kau berhadapan dengan kesunyian kau tidak akan sanggup berbuat apa-apa. Kau akan kalah. Kewarasaanmu akan memudar seiring kesunyian memaksamu merenung semakin dalam, dan kauharus berhadapan dengan dirimu sendiri dalam kejujuran yang tak terelakan. Kau tak akan sanggup bertahan. Tak ada yang sanggup.”

            Mardian tertawa semakin keras. “Apa bedanya, Kolonel? Belakangan ini orang-orang jujur memang hanya bisa melakukan satu hal: menjadi gila. Itulah yang harus dilakukan, itulah cara untuk tetap manusiawi.Orang gila tidak berkewajiban pergi menyelamatkan dunia atau kewarasaan mereka, itu tidak perlu. Jika hidup dalam damai berarti harus menampik martabat umat manusia, dia akan menerima itu. Dia akan membiarkan siapa pun membicarakan kewarasaan, gairah, kenyataan, dan kemanusiaan untuk kemudian ditertawakan.”

            “Jangan bicara yang bukan-bukan, Mardian. Aku tahu kau tak percaya padaku. Itu hakmu. Tapi, kumohon dengarkan aku untuk sekali ini. Demi ayahmu dan demi dirimu sendiri, bicaralah.”

            “Mengapa kau takut pada kegilaan, Kolonel? Memang apa yang coba kau buktikan dengan memegang teguh nilai-nilai orang lain? Bahwa kau ini tangguh? Bahwa kau tak takut akan rasa sakit dan ketakadilan? Bahwa kau manusiawi?Berbudi? Lalu, pada siapa kau meminta pengertian atau maaf? Pada siapa kau membenarkan diri? Jawab pertanyanku, Kolonel. Buat aku mengerti!”

            “Aku tidak punya jawaban untuk semua pertanyaanmu itu. Yang kutahu, setiap orang, setiap manusia yang hidup,harus menghubungkan hidup mereka dengan hidup orang lain dan berbagi dalam penderitaan juga kebahahagiaan untuk menegaskan keabsahan kemanusiaan. Karenahidup itu teramatsingkat, namun kemanusiaan lama.”

 

            Badai berkecamuk tiba-tiba. Petir menyambar dengan ganasnya. Angin menjerit seperti kawanan binatang buas yang murka. Kolonel Sudarto berhenti bicara, dan Mardian kembali ke Pada Suka. Dia masih berdiri di tepi hutan, menggugat Tuhan, mengutuk empat penjuru mata angin. Ada ranting patah di bawah kakinya. Di belakangnya, dunia tiba-tiba berubah: pohon-pohon tumbuh secara diagonal dan celah bebatuan yang sempit memperlihatkan langit malam. Mardian berkedip. Sesuatu yang lengket dan hangat mengalir turun dari kepala. Lalu rasa sakit itu datang. Mengalun, bergelombang, meledak. Dengan tangan gemetar Mardian menyeka darah dari kelopak matanya, lalu segala sesuatunyapun menjadi jelas.

 

            Dia terperosok ke dalam jurang, tali kulit dipinggangnya membelit semak liar yang tumbuh di celah bebatuan. Dia ingat saat samar-samar mendengar langkah kaki orang yang mengendap-endap, kertak ranting kering terpijak, dan suara bergemerisik. Dia juga ingat berlari tak tentu arah menghindari kejaran tentara yang menembakinya secara membabi buta. Peristiwa itu pun berputar mundur. Kumpulan gambar dan suara bercampur-aduk di kepala Mardian. Dia berada dibibir jurang. Terpojok. Lima orang tentara datang dari arah belakang, mengepungnya dengan moncong senapan.

            “Menyerahlah! Tak ada jalan untukmu lari.”

            “Tidak akan.”

            “Kalau begitu kami akan mengirimmu ke neraka!”

            Dan Mardian mendengar nyaring bunyi senapan.

            “Mengapa belum pergi, apa kau masih menungguku kalau-kalau berubah pikiran?”

            Kolonel Sudarto mendesah. “Kau tahu itu, bukan?”

            “Dan kau pun tahu aku tidak akan pernah berubah pikiran.”

            “Memang. Tapi aku percaya kau tak akan mengecewakan ayahmu.”

 

            Cahaya di atas kepala Mardian padam, bau tanah lembap menyeruak, kelam malam menyelimuti tubuhnya, keheningan mencengkeram jiwanya. Namun dia merasa baik-baik saja. Dia tidak takut. Mardian yakin bisa meloloskan diri dari waktu dengan mudah. Waktu tak membuatnya takut. Begitu juga tubuhnya. Selagimemeiliki kepala, tidak ada yang perlu ditakutkan. Kepala lebih kuat daripada maut, lebih berkuasa daripada waktu, takdir, dan kenyataan. Kepala adalah kekuatan tak terhinggayang dianugerahkan Tuhan untuk manusia; sayap yang akan membawamu terbang ke antah berantah, untuk melucuti malam mencuri bintang-bintang. Itulah rahasianya: kekuatan itu begitu besar namun tidak pernah disadari. Cukup dengan memikirkan masa lalu untuk Mardian bisa kembali ke masa silam, untuk memperhatikanjejak hidup yang ditinggalkannya, suara-suara yang terlupakan, inspirasi-inspirasi yang pernah dia pikirkan, dan beberapa janji kosong yang tiba-tiba muncul ke permukaan seperti hantu. Cukup dengan memikirkan sesuatu dan Mardian dapat meraih kebebasan hidup di masa lalu atau masa depan dengan segala hal yang dia inginkan. Begitu mudah dan nyaman.

 

            Pada mulanya Mardian memang terombang-ambing antara khayalan dan kenyataan yang bercampur-aduk menjadi satu. Tapi kini, perbedaan antara kedua alam itu semakin memudar.

            Ini khayalan.

            Ini bukan khayalan.

            Ini khayalan. Tadi khayalan.

            Perlahan, Mardian menyelam dan terbenam semakin dalam dalam pelariannya yang ganjil, aman, dan nyaman. Dia hanya perlu berkata, “Aku tak akan memikirkan kegelapan ini,” dan dia pun tak akan memikirkannya. “Aku ingin ke Pada Suka,” dan di sanalah, sebuah desa kecil suram muncul dari dasar kegelapan. Yang perludilakukan hanya memusatkan pikiran, mencerap suara-suara dari masa lalu di kepala,menyusunnya berurut, mewujudkannya menjadi serangkaian gambar hidup yang bukan hanya dapat bergerak namun juga berbicara dan mengambil keputusan. Dengan memusatkan pikiranMardian bukan hanya mampu mendengar suara dalam berbagai nada mayor atau minor, tetapi juga melihat warnadari ekspresi wajah orang-orang yang dicengkeram oleh takdirnya masing-masing,gerakan tubuh dan iklim pikiran di mata dan ekspresi wajah mereka. Tidak berhenti sampai di situ, dia juga dapat masuk untuk berinteraksi dan berbincang-bincang dengan mereka layaknya seorang pemain sandiwara ikut ambil peran dalam suatu pentas pertunjukan.

            “Akan kubuktikan pada kolonel sombong itu kalau aku mampu bertahan,” ujar Mardian. “Penjara busuk ini tidak ada artinya untukku. Aku bisa meloloskan diri dengan mudah.” Dia tersenyum membuka pintu di kepalanya dan melompat masuk.

 

 

            Tentara yang dijumpai Mardian saat pertama kali dia ditangkap memang nyaris tidak berprikemanusiaan. Dia dan ayahnya dipukul, diseret, ditendang, diinjak. Kaki dan tangan mereka dirantai sebelum diarak ke alun-alun desa.

            “Aku dan ayahku bukan komunis!” Mardian membela diri dengan sia-sia saat diinterograsi.

            “Kardi itu pamanmu dan Parta teman masa kecilmu, bukan?”

            “Itu memang benar. Tapi kami bukan komunis. Kami tidak tahu apa-apa.”

            “Jika kalian bukan komunis, mengapa kalian menyembunyikan Kardi dan Parta di rumah kalian?”

            “Paman Kardi membohongi kami. Diabilang dia difitnah membelot dari Serikat Islam dan butuh perlindungan. Dia terluka parah, kami hanya menolongnya.”

            “Sekalipun itu benar, kau pikir kami peduli? Tidak! Kau dan ayahmu akan tetap kami deportasi.”

 

            Bibir Mardian bergetar. Sebuah teriakan didalam kepalanya menggema menantang Keadilan yang melampaui sifat kemanusiaan di mana segala bentuk penderitaan tak lagi punya beban dalam keseimbangan. Waktu itu akhir tahun 1968. Pada Suka masih dengan musim hujannya yang tak kunjung datang, dengan pernikahan-pernikahannya yang terlalu muda, kelahiran-kelahiranyang terlalu cepat, dan sikap pasif yang tidak masuk akal. Di desa kecil yang terisolir itu setiap hari sama seperti hari sebelum-sebelumnya,memanjang dengan sebentuk mimpi menyerupai mimpi lain lalu mengerut bersama harapan yang tak kunjung menjadi nyata. Namun, di akhir tahun 1968, sebuah peristiwa yang tak akan terlupakan khususnya untuk Mardian, terjadi. Peristiwa yang kemudian menjadi awal dari mimpi buruk pemuda itu sekaligus bukti nyata kepasifan Pada Suka.

 

            Pada suatu tengah malam yang dingin, dari antah berantah muncul dua orang lelaki kotor yang terluka. Salah satu dari mereka mengetuk pintu rumah Pak Mantri. Awalnya perlahan, lalu lebih keras, seakan memaksa.

            “Siapa?”

            “Ini aku, Kang Mas. Tolong buka pintunya.”

            Pak Mantri yang menangkap kekhawatiran pada suara yang dikenalnya itu mendekat ke pintu. “Kardi, kaukah itu?”

            “Ya, Kang Mas. Ini aku. Cepat buka pintunya, aku butuh bantuan Kang Mas.”

            Pak Mantri menarik selot pintu, membuka ke dalam. “Inalillahi. Kardi, apa yang sudah terjadi?”

            “Ceritanya panjang, Kang Mas. Sekarang kita urus Parta lebih dulu.”

            “Bawa dia masuk. Baringkan di dipan.”

            Mardian dan Bu Mantri di panggil keluar. Segera Pak Mantri menyuruh Bu Mantri membalut luka Parta dan Mardian diminta membuatkan teh hangat. Anak lelaki berusia enam belas tahun yang bermulut moncong serigalaitu terbaringlemah menatap langit-langit. Kaki kirinya yang terluka telah dibersihkan dan dibalut kain berwarna putih. Mardian membawakannya segelas teh hangat.

            “Minumlah, ini akan menghangatkan tubuhmu.”

            Parta meringis kesakitan saat mencoba menegakan tubuhnya. “Terima kasih, Sobat. Kuharap kau tidak terlalu banyak menambahkan gula.”

            Mardian tidak mengindahkan ejekan itu. “Sebenarnya, apa yang sedang kau lakukan sampai kakimu tertembak seperti ini?”

            Parta belum sempat menjawab pertanyaan Mardian saat Pak Mantri menghampirinya. “Bagaimana keadanmu, Parta, apakah sudah lebih baik?” tanya Pak Mantri.

            “Jauh lebih baik, Paman. Terima kasih sudah menolongku.”

            “Syukur alhamdulillah kalau begitu. Sekarang, tolong jelaskan pada Paman apakah benar Paman Darto yang menembak kakimu?”

            “Aku memang tidak melihat wajahnya, Paman. Tapi, aku yakin sekali dialah orangnya. Maksudku Paman Darto.”

            “Tapi itu tidak mungkin,” tukas Pak Mantri.“Aku kenal betul Darto. Adikku tidak mungkin melakukan hal sekeji itu. Apa kau yakin tidak salah lihat?”

            “Kang Mas, yang dikatakan Parta itu benar,” sahut Kardi yang duduk di dipan seberang.“Memang Kang Mas Darto dalangnya. Dia yang memfitnah kami membelot dari SI ke kiri. Dia juga yang memimpin pasukan untuk meringkus kami.”

            “Kang Mas tetap tidak percaya.”

            “Benar. Bisa jadi, kan, Parta salah lihat?” Bu Mantri menimpali.

            “Aku memang tidak melihat wajah kolonel itu, Bibi. Tapi aku jelas mendengar seorang tentara memanggilnya Kolonel Sudarto,” sahut Parta.

            “Kang Mas dan Mbak Yu tidak boleh lupa siapa Kang Mas Darto sekarang dan siapa kami ini. Sejak tertangkapnya beberapa orang yang membelot ke kiri di SI, orang-orang Kang Mas Darto terus menaruh curiga pada kami. Karena kami orang dari Pada Suka.Tentu saja Kang Mas dan Mbak Yu tahu alasannya apa.”

            Sekelebat bayang lewat di kepala Pak Mantri. “Aku mengerti,” sahutnya dengan nada turun sama sekali. “Baiklah, kau dan Parta boleh bersembunyi di sini sampai kalian cukup sehat untuk pergi. Lagipula, Pada Suka sangat jauh dari kota. Seandainya pun mereka mencari ke sini, mereka butuh waktu lama.”

            Tapi Pak Mantri salah. Sebelum hari ketiga berlalu, tiga pria asing berseragam loreng membawa senapan muncul. Mereka mencari Parta dan Kardi.

            “Katakan, di mana kau menyembunyikan komunis jadah haram itu, mantri pasar?”

            “Apa maksud Pak Tentara?”

            “Kardi dan Parta. Di mana kau menyembunyikan mereka?”

            “Aku tidak tahu. Kardi—”

            “Jangan bohong!”

            “Aku tidak—”

            “Tangkap mantri pasar ini dengan anaknya.”

            “Anakku sama sekali tidak—”

            “Ikat dan seret mereka ke alun-alun!”

 

 

            Dahi Mardian bermandikan keringat dingin. Kegelapan total di ruang bawah tanah—empat dinding gelap dengan kesunyian yang buram—sedalam dua puluh meter, membuatnya sesak napas.

            “Jangan memikirkan udara yang mencekik. Kau tidak sedang berada di tempat busuk ini, kau berada di tempat lain.”Mardian memejamkan mata dan kembali memfokuskan pikiran.

 

 

            Ada cahaya perak di atas kepalanya. Itu cahaya bulan. Mardian menoleh, sesuatu setajam pisau merobek kulitnya. Dia berada dalam mulut kematian. Memeluk batu, bergelantungan pada rumpun semak berduri di lereng jurang. Mardian mencoba bergerak, dan rasa sakit menghantamnya bagai gelombang listrik. Kepalanya nyeri, seluruh tubuhnya terasa perih sekali. Namun, untuk sesaat pikirannya menjadi jernih. Jika dia bisa merasakan sakit, berarti dia masih hidup. Jika dia hidup, berarti ada harapan. Suara mendesis terdengar dari suatu tempat yang dekat. Sesosok tubuh mengambang di samping Mardian. Sosok itu bungkuk, terselubung dedaunan dan ranting-ranting kecil dan lumpur dan kegelapan. Dia mengangkat kepala ke arah Mardian, dalam keremangan cahaya yang memancar dari obor minyak di tangannya, Mardian dapat melihat kulit kelabu, mata gelap bagai gelembung minyak, bibir sobek tanpa darah, hidung yang patah, dan Mardian tahu sebentar lagi dia akan menyatu kedalam pola besar yang telah sekian lama bersembunyi di dalam dirinya. Namun, anehnya dia sama sekali tidak takut.

            “Tolong,” katanya pada lelaki itu. Tetapi dia justru melangkah mundur, berbalik pergi. Mardian merasakan lelaki itu takut. Ada sesuatu di sini yang bahkan ditakuti orang mati, pikirnya. Mardian mengulurkan tangannya, memohon. “Jangan pergi, jangan tinggalkan aku sendiri. Tolong.”

            Tetapi dia tidak sendiri.

            Seberkas cahaya dari tempat yang jauh berpendar-pendar menghampirinya. Sesosok bayangan hitam mengikuti di belakang cahaya itu. Mengambang. Ketika telah dekat, dilihatnya oleh Mardian sosok itu seorang perempuan kelabu bermata lapar. Rambutnya memutih tersiram cahaya bulan, begitu panjang dan kuyup hingga hampir menutupi seluruh bagian wajahnya. Dia merapat ke semak-semak. Tangan dan jari-jarinya yang kurus mencengkeram tali kulit yang membelit Mardian, berusaha melepaskannya.

            “Tidak bisa, talinya terlalu kuat.” Mardian terbata-bata. “Pergilah, cari bantuan.”

            Tapi perempuan itu tidak pergi. Dengan nyala api obornya dia membakar putus tali kulit itu. Tubuh Mardian seketika jatuh menghantam tanah, mulutnya terjerembab, bibir bawahnya pecah terkena gigi. Sinar pucat yang menerobos di sela-sela dahan pohon membentuk bayangan perempuan itu dan menaunginya. Dia menunduk, wajah perempuan itu sekarang berada sangat dekat dengan wajah Mardian. Aroma minyak hewani dan air garam menguar di udara.

            “Tidak ….” mulut Mardian terbuka saat mencoba bicara, tapi dia tidak lagi punya kekuatan untuk menutupnya kembali.

            Jari-jari kurus perempuan itu meraba-raba bibir Mardian, masuk di antara gigi-giginya, dan dia bisa merasakan kulit yang hancur, busuk, dan memualkandilidahnya. Lalu sesuatu yang lengket, basah, menempel dimulut dan menyengat. Mardian mengenali rasa tanah, daun mati, dan air gelap yang kotor. Dia meronta, mencoba menjerit. Tetapi mulut perempuan itu menekan mulutnya. Lidahnya menjangkau lebih jauh ke dalam diri Mardian, berusaha sekuat tenaga mengambil kehangatan dari dalam diri pemuda itu. Kini seakan-akan energi penghabisannya sedang dihisap maut, Mardian berusaha meludahkan rasa perempuan itu dari mulutnya. Sia-sia. Dia begitu lengeket, begitu kuat, begitu menyatu. Mata Mardian menggeletar tertutup, napasnya bergulung putih di udara, intisari meninggalkan tubuhnya. Dia sekarat. Dia salah. Tak ada lagi harapan. Kemudian, alih-alih mendengar suara ayahnya, ada suara yang bertanya padanya, “Jadi, sekarang Bung sudah mulai merenung?” Itu bukan suara ayahnya, bahkan bukan suara laki-laki. Itu suara seorang wanita. Mardian terperangah. Siapakah itu, kalau begitu?

 

            Mimpi itu hancur, meledak berkeping-keping. Lingkaran cahaya yang menyilaukan membentuk gambaran awal dan akhir hidup Mardian. Sudah berapa lama waktu berlalu? Lompatan dari satu dunia ke dunia lain telah membunuh kepekaan lelaki berusia dua puluh satu tahun ituterhadap waktu dan sedikit mengacaukan kesadarannya. Satu jam terasa seperti sepuluh jam. Satu menit bagaikan beberapa jam. Tubuh Mardian yang telanjang, kurus, penuh luka, mengeliat-geliat gelisah seperti iblis tua dihantui kenangan akan kemanusiaannya yang hilang. Lalu dia melihat Rohanah. Senyumnya lebar dan sedih.

 

 

            “Saya minta maaf mengagetkan Bung. Saya sama sekali tidak bermaksud melakukannya.”

            “Oh, Ana. Syukurlah kau datang. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Apa kau punya cukup waktu untuk mendengarkan ceritaku?”

            “Saya punya banyak waktu.” Ana menyalakan sigaretnya dan duduk di sampingku. “Silakan, Bung. Mulailah bercerita.”

            Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan melalui mulut. “Kau tentu sudah tahu bagaimana aku bisa berada di sini. Karena itulah aku tidak akan menceritakannya lagi padamu.”

            Ana mengangguk. Namun, tidak berkomentar apa-apa.

            “Jangan takut, Ana. Ceritaku tidak akan melukaimu, terlepas dari apa yang pernah kulakukan malam itu, aku berjanji aku tidak akan pernah menghunus belatiku atau menarik pelatuk senapanku untuk meluapkan amarahku seperti dahulu. Akan kujelaskan padamu. Kau boleh menganggap ceritaku ini sebagai sebuah pengakuan dosa, kalau kau suka. Namun, ada begitu banyak pelajaran-pelajaran yang terkandung didalamnya yang hanya dapat dijumpai di dalam kesadaran hati nurani yang tertinggi. Kau mengerti maksudku?”

            “Saya mengerti maksud Bung.”

            “Begitulah, Ana. Kepalaku disuluhi dua hal yang membingungkan, rasa bersalah akan ayahku yang telah tiada dan rasa takut tersesat dalam perjalan membalas dendam. Tak ada hal yang membuatku lebih gelisah sekaligus bersemangat daripada memikirkan kedua hal ini. Namun, seandainya saja waktu itu aku berani mengakui, sebenarnya memang ada perasaan semacam ‘akhirnya aku bebas’ dalam hati kecilku yang paling tersembunyi saat aku mengetahui ayahku telah tiada lagi, mungkin aku tidak akan berangan-angan membalas dendam dan diam-diam menyusun rencana bersama orang-orang komunis.”

            “Itukah alasan Bung kembali ke desa tak beradab itu lagi? Untuk membalas dendam?”

            “Jangan mengejek,” sahutku, merasa terluka. “Pada Suka itu desa yang memiliki cukup banyak keberuntungan untuk bertahan dari segala bentuk penjajahan: kemiskinan, kebodohan, dan rezim yang sewenang-wenang. Kau tahu, Ana: kau tidak bisa meledek desa kecil sehebat itu, desa yang tak pernah bisa ditaklukan. Badai pun tidak. Meski dengan pahit harus kuakui bahwa kami selama ini buta menghadapi suatu nasib,terlalu bersikap pasif dan meremehkan tawaran perubahan. Kami selalu berkata ‘semuanya akan baik-baik saja. Yang Maha Kuasa tak akan memberikan ujian lebih berat dari kemiskinan ini’, tapi kami keliru.”

            Entah karena Ana menangkap kesedihan dalam suaraku atau karena kasihan kepadaku, dia pun menyahut dengan manis sekali, “Semua orang pernah keliru, Bung. Kita semua pernah melakukan kesalahan.”

            Mardian menatap mata bulat temannya. Mata hitam tempat kebahagiaan, kebencian, dan ambisi berkecamuk dalam peperangan abadi yang tak kunjung padam. Mata yang mengandung janji tak terucap namun pasti terpenuhi. Senyum tipisnya yang mirip beban berat, memuntahkan caci makisekaligus ejekan di wajah abad-abad yang telah lewat dan abad-abad yang akan datang.

            “Menyedihkan. Selalu menyedihkan setiap kali aku ingat desa tempat kelahiranku itu. Betapa tidak, di desa itu terbaring wajah-wajah dan legenda, hari raya dan harapan, bibir suci dan mata yang sedih, dan doa yang dipanjatkan untuk memohon belas kasih Tuhan yang angkuh. Tetapi itu tetap desaku. Tanah kelahiranku.”

 

 

            Terletak di sebuah dataran tinggi di Utara pegunungan Serayu Selatan, Pada Suka adalah sebuah desa kecil yang miskin namun membanggakan kemiskinannya.Desa kecil itu telah tidur untuk waktu yang sangat lama. Masa lalunya tertidurtenang di bawah permukaan tanah, helaan napasnya membuat pepohonan berayun, perairan beriak, daun-daun mati saling berkejaran, dan debu-debu berterbangan. Pada Suka tidur seperti tidurnya orang yang telah mengalami penderitaan hebat, istirahatnya menjadi pelarian sekaligus pengungsian. Kenangan akan mereka yang tersiksa dan mati kelaparan di atasnya melayang-layang dalam kesadaran penuh selama puluhan tahun. Begitu terikat dengan tanah dan pohon dan batudan kehidupan hingga mustahil mengatakan mereka pernah hidup sebagai entitas berbeda.Pemberontakan, peperangan, penjajahan—semua itu adalah legenda yang mencabik ingatan. Penduduk Pada Suka terpuruk dalam dunia yang diciptakan oleh pendahulu mereka, dalam sistem yang telah ada sebelumnya, dalam kepasifan yang justru mereka banggakan. Di luar, para mahasiswa dan kaum terpelajar dengan penuh semangat mendiskusikan eksistensialisme dan realisme. Semua orang berbicara tentang martabat, kebebasan, tindakan. Mereka mencoba memahami—mencerap yang tak terpahami. Namun, tidak dengan penduduk Pada Suka. Mereka tetap bertahan dengan sikap pasif mereka yang tak masuk akal terhadap tawaran perubahan. Hanya keluarga Pak Mantri—kepala administrasi pasar di desa itu—yang berani mengambil risiko mengumpankan anak lelaki sematawayangnya, Mardian, untuk menempuh pendidikan di luar Pada Suka.

 

            Saat itu pagi hari di musim kemarau pertengahan tahun 1960. Pada Suka sedang diliputi suasana pagi yang amat indah: desa kecil ini sedang merekahkan kebeliaan, kesegaran, dan semangat hidup. Matahari kekuningan—tua, renta—merayap hati-hati di langit biru cerah. Kuning pucuk pepohonan, kuning pula dinding rumah-rumah bilik. Kuning dedaunan yang meranggas, kuning pulapenjual sayur-mayur yang telah menggelar dagangannya, yang pertama buka hari itu. Pepohonan membentangkan ranting-rantingnya untuk meraup panas awal matahari. Di sana-sini tirai terkuak. Suara “hung”, yaitu bunyi pongkor kosong yang ditiup para penyadap dari ketinggian pohon kelapa untuk memberi aba-aba bahwa dia hampir pulang—menggema dan bersahut-sahutan dengan suara alu dan lesung yang saling beradu di tangan perempuan yang tengah menumbuk padi.

            “Ayah, kudengar orang-orang komunis yang membuat kerusuhan di kota-kota sudah ditangkap.”

            “Begitulah, Nak. Tapi sayangnya, masih ada banyak dari mereka yang berhasil melarikan diri dan sembunyi ke desa-desa.”

            Berita ini segera menyebartanpa mereka tahu apa itu komunis dan mengapa membuat banyak kerusuhan. Tak lama kemudian menjadi buah mulut setiap orang. Tetapi tak lama. Optimisme segera bangkit kembali.

            “Orang-orang komunis yang jahat itu tidak mungkin sampai ke Pada Suka. Desa kita jauh dari kota. Selain itu, apa yang perlu ditakutkan? Allah bersama kita. Tidak akan Dia membiarkan manusia-manusia jahanam itu menyakiti kita.”

            Tapi mereka salah.

            Sebelum minggu itu berlalu, tiga pria asing muncul di Pada Suka. Tiga orang pria tampan berkulit putih dan berwajah cerdas. Namun, kesan-kesan pertama dari ketiga pria kota yang terang-terangan mengaku orang komunis itu adalah baik. Mereka menyawa rumah di seberang rumah Pak Mantri. Sikapnya terhadap empunya rumah sopan tetapi menjaga jarak. Mereka tak pernah menuntut yang macam-macam, tak pernah berkata tak senonoh, dan sesekali tersenyum kepada anak gadis empunya rumah. Tiga hari dari hari pertama mereka datang, dibawanya enam karung beras untuk dibagi-bagikan.

            “Nah, lihat saja! Jika kita berbaik sangka kepada sesama kita, inilah balasannya. Kebaikan. Kita telah salah menilai orang-orang komunis selama ini. mereka tidak seburuk yang kita kira, tidak sejahat yang negara gembar-gemborkan.”

            Tetapi Pak Mantri tetap menaruh curiga.Karena lelaki yang tak suka dipanggil nama aslinya itu, tahu betul sepak-terjang orang-orang komunis dari salah seorang adiknya yang tentara.

 

            Hari demi hari berlalu tanpa satu kejadian yang berarti.Ketiga orang komunis itu tidak menunjukan tanda-tanda kekejaman mereka yang tersohor. Sebaliknya, sikap mereka sopan dan simpatik. Kemudian, pada hari kesembilan, tirai pun naik. Di suatu tengah malam yang dingin, ada yang mengetuk pintu rumah Pak Mantri. Dengan marah si empunya rumah membukakan pintu. Tiga orang lelaki berdiri di sana dengan seorang mengacungkan senapan ke arah Pak Mantri. Sepontan lelaki paruh baya itu mengangkat tangannya ke atas kepala.

            “Apa yang kalian inginkan?”

            “Sst! Cepat masuk ke kamarmu!”

            “Aku tidak menyimpan uangku di sana.”

            “Kami tidak butuh uangmu.”

            “Lalu apa yang kalian inginkan dariku?”

            “Sesuatu yang berharga darimu.”

            “Apa itu?”

            “Kau akan segera mengetahuinya. Masuklah.”

            Wajah anak dan istrinya muncul di kepala Pak Mantri. Bersama gelombang dahsyat yang menghantam kesadarannya. “Kalian boleh membunuhku. Tapi, kumohon, jangan sakiti anak dan istriku. Mereka tidak tahu apa-apa. Kasihanilah mereka.”

            “Masuk!”

            “Ada apa ribut-ribut ini?” seru Bu Mantri yang menghambur keluar dari kamarnya.

            “Bagus sekali kalian terbangun. Jadi kami tidak perlu repot-repot membangunkan kalian berdua.”

            “Jangan ganggu anak dan istriku!”

            Ketiga lelaki itu menyeringai.

            “Apa sebenarnya mau kalian?”

            “Kami berjanji akan memberitahumu. Tapi tidak di sini. Masuklah.”

 

            Insting Pak Mantri yang peka segera menangkap ketidakberesan hanya dengan melihat sorot mata ketiga lelaki itu. Sesuatu hal yang buruk akan terjadi pada keluarganya. Tetapi, walaupun begitu, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak berdaya seperti ular kebun yang merayap menuju ambang pintu untuk menemui ajalnya.

            “Kalian berdua berdiri di sini,” ujar salah satu dari mereka pada Pak Mantri dan Mardian. Lalu dia menoleh ke Bu Mantri, “Buka pakaianmu dan naik ke ranjang.”

            Tiba-tiba waktu berputar lebih cepat, lebih berat, lebih kejam. Di bawah todongan moncong senapan, Pak Mantri gemetar menyaksikan bagaimana istrinya diperkosa secara bergilir. Udara berubah panas, menyesakan, menekan. Teriakan, lolongan, dan makian menggema dalam kepala Pak Mantri. Namun hanya sebatas itu. Sebatas dunia menunggu cuaca berkeretak pecah dan langit meledak menjadi butiran hujan. Dia menggengam tangan Mardian lebih kuat lagi. Anak lelakinya yang berusia tujuh tahun sudah berhenti menangis. Tangannya mengepal, matanya membara penuh dendam. Kemudian, tanpa peringatan apa pun, kilat menyambar di langit. Darah terciprat ke wajah Pak Mantri.Lelaki yang berdiri menodongkan senapan roboh ke samping. Di belakang lelaki yang roboh itu, seorang lelaki lain berdiri mengacungkan sebilah parang. Kardi. Pak Mantri melompat menyambar senapanyang terjatuh dan menembak kepala kedua lelaki yang tengah mengangkangi istrinya. Namun terlambat. Bu Mantri sudah tidak bernyawa lagi. Dia dicekik oleh yang mengangkanginya terakhir kali.

 

 

            “Kau boleh mengutukku dengan apa yang akan aku katakan padamu, Ana. Sekarang, jika aku mengingat malam di manaibuku terbunuh, aku tidak lagi merasa kasihan padanya. Justru aku puas dan berterimakasih kepada ketiga orang komunis itu. Kau boleh menyebutkan anak durhaka, biadab, atau apa pun sesuka hatimu. Aku akan menerimanya dengan senang hati. Tapi, setelah kau mendengar ceritaku, aku yakin kau akan mengerti. Setidaknya hati nuranimu mengerti. Aku memang membutuhkan waktu sangat lama untuk memahami binar mata itu. Sampai aku melihat mata yang sama bertahun-tahun kemudian di Pulau Buru.”

            “Apa sebenarnya maksud Bung?”

            “Mata itu, Ana. Mata ibuku. Takkan pernah kulupakan mata itu. Mata yang penuh penghinaan dan kemenangan.. Mata yang mencemooh maut. Selama bertahun-tahun aku terus memikirkannya.Tidak, mata itu tidak ditunjukannya untuk manusia-manusia jahanam yang mengangkangi selangkangannya. Sebaliknya, mata itu ditunjukan untuk ayahku.”

            Ana mengerutkan keningnya. “Saya jadi tidak mengerti yang Bung bicarakan.”

            “Ibuku sebenarnya menikmati setiap hentakan, setiap cengkeraman atas bangsat-bangsat itu. Dia bahkan membuku dirinya seluas-luas mungkin untuk mereka masuk ke dalamnya merasakan panas tubuhnya. Ibuku sama sekali tidak berkeberatan, Ana. Justru dia merasa bangga dan menang atas ayahku.”

            “Saya dapat memahami kebencian yang Bung rasakan,” komentar Ana. “Memang, dalam diri setiap manusia, dalam hasrat terdalamnya yang kadang terlupakan, sejatinya dia memiliki kekejaman, tabiat ingin menang sendiri, kebuasan seekor binatang, dan ketidakpuasaan yang hakiki. Hanya saja, semua itu tertimbun begitu rapat oleh berbagai hasrat lain yang membuatnya lupa pada keberadaan hasrat ini.”

            Aku mendesah berat. “Aku bersyukur jadah haram itu mencekik ibuku sampai dia tidak bernyawa lagi. Karena dengan kebencian yang kumiliki sekarang ini, dengan kekecewaandan sakit hatiku yang dalam, bukan tak mungkin aku akan tega menumpahkan darah ibuku sendiri. Oh, Ana. Seandainya kau melihat hari-hari di mana ayahku menahan rasa jijiknya, menyembunyikan rasa bencinya, seolah-olah dia tidak melihat atau pernah terjadi sesuatu pada malam itu. Memang baru sekarang aku dapat mengerti. Tetapi, meskipun sudah sangat terlambat, setidaknya aku bisa sedikit mamahami ayahku untuk dapat menyatakan bahwa aku ini anaknya. Dan setidaknya,aku punya alasan untuk menyayangi ayahku.”

 

            Orang telah melupakan siapa namanya. Dia biasa dipanggil Pak Mantri karena dia seorang mantri pasar di desa itu. Pria paruh baya bertubuh kurus dan berwajah cekung—meskipun dia tidak begitu menarik secara fisik—itu, merupakan salah satu tokoh penting di Pada Suka. Selain karena kepriyayiannya, Pak Mantri menjadi terkenal karena kemurahan hatinyameski kepada seorang yang gila sekalipun. Dia bahkan dengan senang hati memelihara Karman—lelaki malang yang dicintai penduduk Pada Suka dengan kejam—tanpa pernah memandangnya sebagai orang yang kehilangan akalnya.

 

            Tak ada yang tak mengenal si gila Karman di Pada Suka. Lelaki berambut kemerahan yang suka memaki-maki siapa saja yang dia temui di surau. Karman bukanlah orang jahat, tidak bisa dikatakan jahat. Masa lalunya yang kelamlah yang membuatnya sedikit sinting dan tidak beradab. Suatu hari pernah Mardian menyaksikan bagaimana orang gila itu memaki orang-orang di surau dan mendebatnya dengan begitu mengesankan.

            “Hei, manusia-manusia bodoh, pulanglah kalian! Tuhanmu tidak mabuk disembah, Tuhanmu tidak mabuk pujian. Pulanglah, urusi saja perut keluarga kalian!”

            “Hei orang gila, pergi dari surau ini! Rumah Tuhan tidak boleh dikotori orang hina sepertimu.”

            “Ha-ha-ha. Kau nabi?”

            “Aku imam di surau ini.”

            “Ha-ha-ha. Apa kau yakin Tuhanmu senang kau sembah-sembah lima waktu sehari?”

            “Itu yang Dia perintahkan dalam kitab-kitab-Nya, yang diajarkan nabi-nabi-Nya. Kami hanya melaksanakan apa yang di perintah-Nya sesuai yang dicontohkan pendahulu kami.”

            “Ha-ha-ha. Kenapa kau berdusta dan mengatakan hal-hal yang tidak sesuai?”

            “Apa maksudmu?”

            “Ha-ha-ha. Apa kau yakin yang kau lakukan itu benar?”

            “Agamaku adalah kebenaran sejati. Tiada agama lain selain agamaku yang benar.”

            “Ha-ha-ha. Kau salah. Tidak ada kebenaran bagi penjahat!”

            “Penjahat?”

            “Ha-ha-ha. Ya. Kalian semua penjahat.”

            “Omong kosong macam apa ini? Kami tidak mencuri, kami tidak membunuh, kami tidak pernah berzina. Kami ini hamba-Nya yang taat.”

            “Ha-ha-ha. Tapi aku tahu kalian penjahat; kalian mencuri banyak hak dari sesama kalian, dan mendustai diri kalian sendiri. Ha-ha-ha. Pulanglah! Katakan kepada sesamamu bahwa Tuhan tidak membutuhkan kalian menyembah-Nya untuk mengakui keberadaan-Nya. Potong lidahku bila perkatanku menyesatkan. Lebih baik kakiku buntung daripada jejak kakiku menutun orang menuju kesesatan. Lebih baik mataku buta daripada aku menunjukan sesuatu yang dusta.”

            Imam itu benar-benar tersinggung. “Pergi kau, Karman! Sebelum kami menyakitimu.”

            “Ha-ha-ha. Aku memang akan pergi jauh dan tak akan kembali lagi.”

            “Ya, pergilah dan jangan pernah kembali.”

            “Ha-ha-ha. Kau pikir aku sudi kembali ke desa tak beradab ini? Aku lebih baik mati.”

            “Bagus sekali. Kami semua muak mendengar tawamu.”

            “Aku tidak akan tertawa lagi. Aku akan bernyanyi.” Dan Karman pun mulai bernyanyi.

            Ketika Mardian telah sampai di rumah, dia pun bertanya pada ayahnya, “Ayah, aku tak mengerti mengapa si Karman yang gila itu selalu memaki siapa saja yang dia temui pergi ke surau. Apa Ayah tahu sebabnya?”

            Pak Mantri mengangguk. “Karman patah hati dengan Tuhan, Anakku. Dia sama sekali tidak gila. Dia hanya patah hati. Istri yang sangat dicintainya pergi mencampakannya karena dia begitu miskin dan tak punya apa-apa. Karman menggugat Tuhan untuk semua janji-janji-Nya. Dia telah menjalankan semua perintah Tuhan dengan patuh. Dia tidak pernah meninggalkan kewajiban untuk beribadah, tidak pernah mencuri atau meminta-minta meskipun kelaparan. Dulu, Karman seorang lelaki yang sangat saleh, penyabar, juga jujur. Orang desa bahkan membanggakannya sebagai Ayub. Dia membaktikan hidupnya untuk beribadah kepada Tuhan dan sedikit waktu di siang hari untuk bekerja mencari makan. Tapi, lelaki itu, betapa pun salehnya dia, betapa pun sabar jiwanya, dia tetap saja manusia biasa yang tidak memiliki cukup banyak imajinasi.Terutama soal cinta.”

            “Cinta?”

            “Benar, Anakku. Cinta. Cinta itu seperti korek api. Bagi sebagian orang cinta membawa cahaya, bagi orang lain cinta mendatangkan bencana. Ada orang yang terdorong oleh cinta menuju kebahagiaan dan ada orang yang karena cinta melompat ke jurang. Melalui cinta Tuhan menciptakan alam semesta, dan karena cintalah manusia menghancurkan alam semesta. Ada misteri dalam cinta yang sampai detik ini belum mampu manusia pahami.”

            “Cinta itu sumber penderitaan!” seseorang menyahut dari belakang. “Cinta tak akan memberimu apa pun selain penderitaan yang tak berkesudahan.”

            “Jangan menakut-nakuti anakku, Karman. Aku tidak ingin karenamu dia jadi membujang selamanya.”

            Laki-laki gila itu tertawa. “Aku tidak menakut-nakuti anakmu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Lihatlah dirimu, Pak Mantri. Baru setahun kau ditinggal mati istrimu, kau sudah lebih kurus dan tua.”

 

 

            “Kau seharusnya kenal dia, Ana. Kau akan menyukainya. Sayangnya, ketika kau pertama datang dulu, dia sudah mati dan jadi abu. Karman gantung diri usai meninggalkan rumah kami sore itu. Orang-orang desa tak ada yang sudi menguburkannya. Di malam yang sunyi di musim kemarau yang berangin Karman pergi ke langit di atas api yang membakar kepedihan hidupnya. Ya, Ana. Mereka membakar lelaki malang itu di tengah-tengah sawah dengan jerami kering layaknya seekor babi perusak. Ayahku tak bisa menolong Karman disaat-saat terakhirnya berada di dunia, karena sore itu dia pergi ke kota. Orang-orang menganggap ini sebagai persetujuan Tuhan untuk mereka melakukan aniaya terhadap diri Karman yang sudah tidak lagi bernyawa.”

            “Tidak berprikemanusiaan!”

            “Mereka memang tidak berprikemanusiaan. Di tahun-tahun itu, sembilan belas enam tiga, sembilan belas enamempat, kau tak akan menemukan kemanusiaan di desa-desa terpencil. Di tahun-tahun itu, masyarakat kita belum pulih dari sakit pasca penjajahan. Orang-orang yang mempunyai pemikiran yang berbeda dicurigai, dan orang-orang yang tak sepaham dengan mereka dianggap sesat.”

            Amarah membuat Ana sesak napas. Suaranya yang bertenaga penuh kemurkaan. “Di mana-mana peperangan memang mengubah watak manusia menjadi tidak beradab!Mereka menjadi buta hingga melupakan hal yang paling penting dalam esensial hidup, dan menggadaikan idealisme demi bisa melarikan diri dari bayang-bayang masa lalu yang kejam. Karman gila bukan karena patah hati dikhianati istrinya. Dia menjadi gila karena merasa patah hati terhadap dirinya sendiri. Dia sudah cukup berpengalaman dengan getiranya kehidupan, dengan kondisi-kondisi hidup yang paling bersahaja. Tapi dia tahu satu hal: di dunia ini tak ada yang lebih utuh daripada patah hati. Bung harus patah hati untuk menyaksikan cara matahari bekerja: memberi bentuk pada pepohonan jati, pada lereng, pada sungai, pada semua mahluk hidup. Bung harus patah hati untuk memenangkan jiwa Bung atas kekuatan jahat, untuk membayangkan segala kemungkinan di masa mendatang, untuk percaya pada kehidupan, untuk percaya pada Tuhan, untuk percaya pada manusia, untuk percaya pada perdamaian antara Tuhan dan manusia dalam kehidupan. Ya, Bung harus patah hati. Harus kecewa terlebih dahulu untuk memahami itu semua.”

            Aku mengerutkan kening memikirkan kata-kata Ana. Banyak sekali orang tertawa karena tidak melihat alasan untuk beresedih. Mereka percaya bahwa dengan kesalehan, Tuhan akan mencukupi hidupnya. Mereka tertawa meski miskin dan lapar. Mereka tertawa tanpa pernah memikirkan masa depan, kesejahteraan, dan desa, dan negara. Mereka tidak pernah peduli apa pun selain tertawa. Ya, tertawa untuk menghibur diri dari kemiskinan dan rasa lapar. Tertawa untuk menutupi kemalasaan. Tertawa dalam kegilaan. “Menyedihkan! Dampak dari peperangan selalu saja menyedihkan.”

            “Bung benar. Dampak dari peparangan memang sangat menyedihkan. Perang tidak menghasilkan apa pun selain penderitaan dan kehancuran. Ah, omong-omong soal penderitaan saya jadi teringat pengembaraan di masa lalu. Waktu itu saya pergi ke Kapilavastu untuk mencari Sidhrata Gautama. Saya bertemu dengan beliau di hutan usai beliau bermeditasi. Pada kesempatan langka itu kami bercakap-cakap tentang banyak hal. Tetapi, tidak ada yang lebih menarik perhatian kami selain pembicaraan mengenai penderitaan.

            “ ‘Penderitaan itu selalu ada dan merupakan sifat kehidupan,’ kata beliau. ‘Semua mahluk hidup adalah objeknya. Kehidupan berjalan beriringan dengan penderitaan.’

            “Mengapa begitu, Bikhu? Mengapa pederitaan selalu ada? Tanya saya.

            “ ‘Penderitaan itu karena hasrat,’ jawabnya. ‘Penderitaan disebabkan oleh hasrat dalam hati yang besar, yang berakar pada ketidaktahuan, yang akhirnya tidak dapat terpuaskan. Penderitaan akan berhenti jika hasrat juga berhenti, serta ketika hasrat egois dan nafsu kehidupan ditinggalkan. Saat itu terjadi, kedamaian hati sejati akan dicapai.’

            “Yang ingin saya katakan kepada Bung adalah: di dunia yang hina ini hanya orang gila yang tahu semuanya palsu. Hasrat itu palsu, hati itu palsu, air mata juga palsu. Semuanya palsu. Mungkin orang gila juga palsu.” Ana tersenyum penuh arti.

            “Hm. Jika semuanya palsu, katakanlah padaku, Ana, apa yang asli dalam hidup ini?”

            Senyum Ana melebar. Tetapi dia tidak berkata apa-apa lagi.

 

 

            Mardian menyadari kelelahannya. Dia lapar, kedinginan, sesak napas, dan yang lebih buruk dari itu dia mulai merenung. Mungkinkah aku telah mengabaikan sesuatu—sesuatu yang aku telah gagal memahaminya? Suara Kolonel Sudarto terngiang di telinganya: seandainya kau berani mengakuinya, sebenarnya kau merasa bahagia terbebas dari ayah yang membebanimu itu. Ayahku segalanya bagiku, Mardian menegaskan pada dirinya sendiri. Ayahku adalah alasan untukku tetap hidup, berjuang, menegakan keadilan. Ayahkulah sebab aku melakukan kejahatan. Kegelapan yang menyelimuti tubuh Mardian terasa dingin di tengkuk.

            “Menjijikan!” Parta tiba-tiba melompat dari pikiran Mardian. “Kau menjadikan ayahmu kambing hitam untuk kesalahan yang kau buat sendiri.”

            “Aku menyayangi ayahku lebih dari aku menyayangi diriku sendiri. Semua orang tahu itu. Kau juga.”

            Parta tertawa keras. “Tidak, tidak. Kau sama sekali tidak menyayangi ayahmu. Kau membencinya. Tetapi kau menutupi kebencianmu dan tak pernah mau mengakuinya.”

            Mardian mengerutkan bibir. “Jangan menghakimiku, Parta. Kuperingatkan kau.”

            Parta tertawa lebih keras lagi. “Memang apa yang bisa kau lakukan, jagoan? Membunuhku?”

            “Lebih buruk lagi. Aku akan membuatmu berdoa kepada Tuhan.”

            “Aku bukan Marni kekasihmu yang lemah dan pengkhianat. Aku tidak akan pernah menodai kesucian ideologi partai dengan berdoa apa pun yang terjadi.”

            Tubuh Mardian bergetar menahan amarah. Dia mengepalkan kedua tangannya seakan-akan untuk menghancurkan kekuatan jahat yang mengalir dalam pembuluh darahnya. “Kuperingatkan kau untuk terakhir kali. Jangan—”

            “Aku tidak sedang menghakimimu, Kawan. Semua yang kukatakan adalah kebenaran yang tidak mau kau akui.”

            “Tutup mulutmu, bangsat!” Mardian meloncat, menerkam lelaki yang beridiri di hadapannya bagaikan binatang buas. “Kau tidak tahu apa-apa tentang diriku, ayahku, ataupun Marni. Kau sama sekali tidak tahu.”

            “Aku tahu segalanya. Termasuk sepatu merah muda pelacurmu itu.”

            Mardian mencoba untuk tidak mengingat apa yang dulu pernah dia lakukan bersama Marni di pematang sawah, dan sebagai gantinya dia berpikir tentang kunang-kunang yang berterbangan di rerumputan yang kering dan tinggi, angin yang berkesiur, bulan yang mengambang, malam yang bersih. Tapi Mardian menatap seluruh semesta menjelma perempuan. Marni. Tubuhnya adalah kunang-kunang yang memberi bulan cahayanya, pesonanya, keajaibannya. Rambutnya ialah rerumputan kering yang mengombak seiring kesiur angin. Dan wajahnya bulan keemasan yang merekah hidup. Petir seakan menyambar dalam darah Mardian, lambungnya bergolak, tapi dia tetap mengambil sepatu merah muda berhak tinggi itu.

            “Seharusnya kau tidak datang ke sini. Akan sangat berbahaya bagimu jika sampai ada yang melihat.”

            “Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi,” ujar Marni. Tubuh mudanya berbicara dalam bahasanya sendiri, meneguhkan satu-satunya alasan mengapa dia ada di sana.

            “Aku tahu, tapi kau harus sedikit lebih bersabar sampai aku—” mata Mardian bertemu mata Marni. Hatinya bergetar. Dia merasa mual, demam, dan tercabik oleh gairah di luar nalar.

            “Aku tak bisa jauh terlalu darimu—aku tak bisa hidup tanpamu.” Marni meraih tangan kanan Mardian dan mendekatkan ke mulutnya; napasnya terasa hangat dan lembut. “Sejak kau meninggalkan kota, setiap malam aku memperkirakan di mana kau berada dan bagaimana caranya menuju ke sana. Aku mencintaimu, Bung. Kau tahu itu. Aku tahu bahwa kau tahu.”

            Mardian memejamkan matanya, tak ingin melihat celah bumi di bawah kaki mereka. Suara Marni mengingatkannya pada padang rumput tak bertepi, kerimbunan hutan yang muram, dan kesendirian tak terperikan. Kemudian, dia mendengar dirinya sendiri berbisik, “Aku pun sangat mencintaimu. Karena itulah aku melarangmu menemuiku di sini. Aku tidak mau sesuatu yang buruk sampai terjadi.”

            “Aku mengerti. Tapi untuk sekali ini saja, untuk membalas jarak yang telah memisahkan kita, untuk mengejek takdir, Tuhan, dan keadaan. Sekali ini saja, mari jadi anarkis untuk menenggelamkan dan mengenyahkan dunia ke dalam pusat badai alam semesta.” Marni menelusupkan tangan kiri Mardian ke bawah pinggangnya. Senja menggelinjang. Sepatu ditangan kanan Mardian jatuh ke parit. Awan bergulung naik. Angin mendesah. Adam dan Hawa mendekati pohon buah khuldi, memetik buahnya lalu menikmatinya bersama. Tuhan murka. Iblis tertawa. Tapi itu bukan tawa iblis, itu tawa Parta.

            “Kau telanjang, Kawan. Kau telanjang.”

            Mardian melepaskan cengkeraman tangannya. Dia teringat Ana. Teringat janjinya. Perasaan terhina, bagaimanapun sulitnya untuk ditutupi, harus dikesampingkan. “Ya, kau benar. Aku memang telanjang. Tetapi dalam ketelanjanganku, ada cinta yang utuh. Sesuatu yang tidak pernah atau dapat kau miliki selama hidupmu.”

 

 

            “Lihat, Ana, aku memenuhi janjiku. Aku mampu mengesampingkan amarahku. Meskipun aku tahu penghinaan ini tidak termaafkan.”

            Ana mengembuskan asap sigaretnya sambil tersenyum. “Saya tahu janji Bung dapat dipegang. Dan saya tahu keutuhan perasaan Bung yang begitu mendalam. Bung benar. Penghinaan yang dilakukan Parta memang tidak termaafkan. Seseorang yang berani menghina keutuhan cinta telah dengan lancang menghina kemanusiaan.” Ana mendongak, menatap gumpalan asap kelabu yang kelur dari mulutnya. “Manusia dinamakan manusia karena memiliki cinta. Cinta adalah identitas diri manusia.Kemanusiaannya. Orang yang berani menghina cinta, melecehkan dengan kurang ajar, benar-benar tak bisa dimaafkan!”

            “Aku tidak menyangka seseorang sepertimu memahami cinta, Ana.”

            “Jangan mengejek, Bung. Bukan berarti karena saya tidak pernah memiliki kekasih saya tidak memahami cinta. Saya memahami cinta seperti saya memahami kematian.”

 

 

            “Kau membuatku ingin tertawa, Kawan. Cinta itu omong kosong melodramatis yang menggelikan.”

            “Lelaki malang. Semut yang kecil pun tahu benar bahagianya mencinta dan dicinta. Tapi kau tidak. Kasihan sekali.”

            “Bangsat!” Parta berlalu meninggalkan Mardian.

 

            Mereka bersahabat karib. Parta, anak lelaki yang setahun lebih tua darinyamemang memiliki kekejaman yang mencengangkan. Orang-orang memanggilnya Qabil. Tentu saja bukan tanpa alasan mereka menyebutnya begitu. Parta menunjukan kekejamaannya dari kanak-kanak.Masih segar dalam ingatan Mardian bagaimana temannya tanpa belas kasih mengakhiri hidup seekor burung pipit yang terluka.

 

            Dia berlutut mengamati paruhburungpipit membuka lalu menutup. Leher binatang malang itu terpuntir dengan sudut tidak lazim. Wajah Parta menggantung terbalik di pupil hitamnya, bulan yang pucat mengambang di langit gelap, dan rasa sakit di sekujur tubuh si burung menyatu dengan kelam malam.

            “Kenapa anak burung itu?” tanya Mardian. Dia berumur delapan tahun dan seumur hidupnya belum pernah melihat binatang sekarat, sampai saat itu.

            “Lehernya patah,” jawab Parta.

            “Apa kau bisa menolongnya?”

            Temannya menggeleng.

            Mardian berlutut dan mengulurkan jari telunjuknya untuk menjolok burung, tapi tangan Parta menangkap jari Mardian sebelum sempat menyentuhnya.

            “Jangan lakukan itu.”

            “Kenapa aku tidak boleh menyentuhnya?”

            “Karena dia sedang kesakitan, dan kau akan membuatnya makin sakit jika menyentuhnya.”

            “Kita bisa membawanya pulang dan mengobatinya.”

            “Itu tidak perlu. Aku akan menghilangkan rasa sakitnya.” Parta mengulurkan kedua tangannya, tangan kiri menaungi tubuh si anak burung seperti tempurung, jari telunjuk dan ibu jari kanannya diletakan di sisi leher. Menjanjikan keabadian dan pengampunan. “Sebaiknya kau jangan melihat.”

            “Mengapa?”

            “Aku tidak ingin membuatmu takut.”

            “Aku tetap ingin melihatnya.”

            “Aku sudah memperingatkanmu.” Tanpa berkata apa pun lagi, ibu jari dan jari telunjuk Parta bergerak bersama-sama menjepit leher si burung dan dengan serentak menarik serta memutarnya. Sehelai daun mahoni jatuh dan berputar-putar riang di atas rerumputan, meliuk-liuk saat angin meniupnya pergi.

 

            Setelah mendapatkan kebebasaannyaMardian menetap di kota, menyewa sebuah sebuah kamar mungil dan menghidupi diri dari uluran tangan seorang paman. Dia tak kenal seorang pun di kota itu, dia tak punya lingkaran pertemanan, tak menjadi bagian kelompok mana pun. Mardian menarik diri dan menjaga jarak.

 

            Seorang lelaki pincang bermulut seperti moncong serigalaadalah satu-satunya tamu yang sesekali datang mengetuk pintu kamarnya.Terutama di hari Jumat. Lelaki itu berusia dua puluhan tahun, tetapi bahunya telah bungkuk, dan wajahnya tampak lebih tua. “Izinkan aku masuk, kawan,” ujarnya. “Ini aku. Tidakkah kau mengenali suaraku?”

            “Enyah! Pergilah, Parta! Aku tak ingin bertemu bangsat sepertimu!” teriak Mardian. Dia kembali lagi! Dia ingin merengkuh bayanganku, mencuri tidurku lagi.

            “Ada yang ingin kujelaskan padamu. Banyak hal. Kita harus bicara.”

            “Tidak ada lagi yang perlu kubicarakan. Pergi dari sini, pergilah dari pintuku.”

            “Kau tidak mengerti. Bukalah, kawan! Izinkan aku masuk.”

            Mardian tidak membuka pintu, tidak menyahut. Aku takut, batinnya. Sebagian dari diriku adalah bagian dari dirinya. Aku tak ingin menyatu, tak ingin memberikan apa pun padanya.

            “Kita perlu bicara, Mardian. Demi ayahmu.Kumohon, bukalah pintunya. Izinkan aku masuk.”

            Dia masih di sana. Lelaki keras kepala! Tiba-tiba sebuah gagasan gila terlintas di kepala Mardian. Aku akan membiarkan Parta masuk, menikamnya, dan membuang jasadnya di malam hari. Dia pantas mati. Mardian meraih selot pintu, kemudian dia menariknya.

 

            Dia ada di sana, teman masa kecilnya. Itu perjumpaan pertama mereka sejak Mardian dideportasi. Mengenakan setelan cokelat tua bergaris-garis, Parta tampak lebih tua dan menyedihkan. Kelopak matanya mengernyit, sebuah gerakan syaraf yang tak terkendali. Namun matanya tetap membara penuh tekad.

            “Masuklah.”

            Parta masuk tanpa ragu. Dia duduk di atas satu-satunya kursi di ruangan itu, sementara Mardian menjatuhkan dirinya di ranjang.

            “Aku tahu kau pasti sangat membenciku,” ujar Parta mulai. “Aku memang pantas mendapatkannya. Tapi kau harus tahu posisiku waktu itu. Aku dan pamanmu terluka parah, kami membutuhkan perlindungan.”

            Bibir Mardian mengerut, siap menumpahkan segala caci maki dan amarah ke wajah temannya. “Kau membohongi kami.”

            Parta tersenyum perih. “Karena itulah aku harus menemuimu. Aku tahu kesalahanku tak termaafkan, tapi kau juga harus tahu bahwa yang kulakukan adalah untuk membela keadilan. Apa kau ingat yang terjadi dengan ibumu di malam itu?”

            Gundah gulana, Mardian terdiam membisu. Dia tidak ingin mengingat masa lalu. Sebuah kenangan akan memunculkan kenangan lain, dan jurang akan menganga semakin lebar setiap kali muncul satu kenangan lain.

            “Aku tahu itu membuatmu sakit. Tapi kau harus tahu kebenarannya. Ibumu adalah juga seorang anggota partai komunis. Ketiga laki-laki itu, mereka rekan seperjuangan ibumu.”

            “Kau pikir aku percaya omong kosongmu? Dulu kau memang bisa membohongiku, bangsat. Tapi sekarang tidak lagi. Aku tidak percaya padamu.”

            “Aku mengatakan yang sebenarnya, Kawan. Apa ayahmu tidak pernah menceritakan hal ini kepadamu?”

            “Apa maksudmu?”

            “Ayahmu tahu segalanya.”

            Mardian seketika meloncat dan menerkam Parta. “Hentikan omong kosongmu itu atau aku akan menyakitimu.”

            “Jika kau masih meragukan kata-kataku, aku bisa membawamu ke salah satu teman ibumu.”

            “Antarkan aku padanya.”

 

            Suasana kota di siang hari seperti tangan yang terbuka ketika cahaya matahari menyirami debu jalanannya yang keemasan. Di bawah matahari tembaga alun-alun kota bermandikan cahaya kuning kemilau yang unik. Hanya cakrawala yang menyiratkan sedikit rona kebiruan. Dengan beberapa gurat awan putih yang bergulung-gulung naik menghindari tiupan angin.

 

            Berbulan-bulan lalu saat pertama kali Mardian menginjakan kakinya di kota itu, dia banyak berjalan kaki. Dalam waktu seminggu dia telah menjelajahi sudut-sudut yang terpencil. Dia menemukan lorong-lorong sempit tempat berlindung gembel kotor dan anjing peliharaannya. Lorong itu begitu kumuh dan hanya disinari matahari dalam sekali waktu yang langka setiap hari. Bukan hanya lorong-lorong gelap yang sempit, Mardian juga banyak menemukan taman terbengkalai, gudang kosong yang dijadikan rumah bordil, dan banyak pemakan yang dilupakan.

 

            Dua puluh menit kemudian, ketika akhirnya mereka sampai di tempat tujuan, Mardian tiba-tiba merasa terasing seperti benda langit yang baru sedetik jatuh ke bumi. Dia terdiam di ambang pintu, segumpal asap tebal memaksanya mundur.

            Seorang lelaki beralis tebal dan berambut perak bangkit dari kursinya. “Selamat datang Kawan Parta. Omong-omong siapakah yang bersama Kawan ini?”

            “Dia teman masa kecilku, Mardian. Anak lelaki Pak Mantri. Tentu saja Kawan Kasim tahu siapa Pak Mantri yang kumaksud.”

            Lelaki yang dipanggil kawan Kasim itu menghampiri Mardian dan menepuk bahunya. “Aku turut bersedih atas meninggalnya ayahmu,” ujarnya dengan keramahan seorang teman dekat. “Hidup memang kejam. Dan dunia penuh ketidakadilan. Orang-orang yang berkuasa menganggap hukum seperti tanda kurung yang bisa mereka buka dan tutup kapan pun mereka inginkan.”

            “Aku ingin mengetahui kebenaran tentang ibuku. Benarkah ibuku temanmu, anggota partai komunis?”

            “Jadi, ayahmu sama sekali tidak pernah memberitahumu?”

            “Apa maksud ucapanmu?”

            “Dia tahu. Ayahmu tahu segalanya.”

            Saat kata-kata ini terhujam, pandangan Mardian menjadi buram. Sosok hitam menyeruak dari mana-mana, dari dinding, dari meja, dari rak buku, dari benaknya. Dari dasar lubang yang paling dalam: sosok-sosok itu ada, menjelma ayahnya. Mardian memegang kepalanya dengan kedua tangannya sendiri dan menekannya keras-keras. Sebentuk murka yang amat keji dan merusak tiba-tiba saja meraja dalam diri Mardian. Matanya berkilat-kilat. Benaknya berkobar. Dia memandang ke sekeliling ruangan seperti seorang yang tak terkendali karena dikuasai kegilaan yang mencari-cari benda untuk dihancurkan. Meja, kursi, rak buku: benda-benda remeh tak berarti. Keempat dinding kusam yang menakutkan: dinding yang mengungkung itu bisa dibuatnya menjadi puing. Itu juga pekerjaan yang terlalu mudah.

            “Tabahkan hatimu, Nak. Ayahmu mungkin tidak ingin melukai hatimu. Kau masih kecil waktu itu dan terlalu banyak penderitaan yang harus kau tanggung. Kasih sayang orang tua memang tak masuk akal. Menurut ibumu, ayahmu telah kehilangan daya untuk memuaskan gairahnya yang membara. Tentu kau mengerti. Ayahmu sudah cukup tua sedangkan ibumu masih begitu muda. Dia sangat takut kehilangan ibumu jika melarangnya terlalu banyak. Selain itu, jika sampai orang lain tahu siapa sebenarnya ibumu, dia khawatir nama baik keluarganya ternoda. Dia menelan segalanya sendiri. Meskipun ibumu sengaja menghinanya di depan matamu malam itu, dia bergeming. Dia membawa keterhinaannya sampai ke kubur.”

            “Sebenarnya,” Parta menambahkan, “ayahmu hanya salah satu dari sekian banyak korban kebobrokan masyarakat feodal dan kolonial yang primitif, yang tidak memberikan kebahagiaan kepada manusia dan memaksa mereka menggali lubang ke dalam inti pribadi mereka sendiri, juga menutup mata dari segala kekacauan sejarah. Kepercayaan yang ada di masyarakat dan falsafah-falsafah kuno kehidupan telah melemahkan hati semua orang. Mengungkung mereka dalam rasa takut sehingga mau tidak mau mereka menerima nasib buruk mereka.”

            “Hidup memang busuk, Nak. Tapi kau harus tetap bangkit.Tunjukan pada takdir bahwa kau tidak takut padanya, bahwa takdir bukanlah pemegang otoriter tertinggi, bahwa kau bisa mengolok-oloknya, tertawa di depan wajahnya, meludahinya. Ambilah idealisme itu dan selesaikan revolusimu; dobraklah sisi dinding yang lain, dinding yang memenjarakan ayahmu. Dinding yang membelenggu jiwamu.”

            Beragam wajah dan takdir bertempur hebat di dada Mardian bagaikan binatang ganas yang menyadari kekuataannya. Dia merasakan kemanusiaannya sedang bergejolak, mendapati dirinya sendiri dititik pusat sejarah, menggoyangkan alam semesta.Mardian berbalik dan berlalu dengan langkah gontai. “Beri aku waktu untuk memikirkan semua itu. Sekarang, aku ingin sendiri.”

 

            Malam harinya Mardian melewati setiap menit yang berlalu dengan gelisah, disela oleh kenangan masa laluyang melumpuhkan. Dadanya terasa sakit dan napas terengah-engah. Dia bangkit mengelilingi kamarnya. Apakah aku sangat mencintai mereka? Apakah aku sangat mencintai ayah dan ibuku? Mardian berpikir: tentu saja, itu dia. Aku mencintai mereka, sekaligus membencinya. Mengapa sedemikian mencinta, mengapa sedemikian membenci? Kelopak mata Mardian bergetar, kedua tangannya mengepal kuat. Kemarahan bergejolak dalam hatiku, tapi bukan kebencian. Hanya saja setelah beberapa lama….

 

            Dia melangkah menghampiri jendela, membukanya lebar-lebar, seakan-akan mengundang angin malam merasuki dirinya, agar lidah api fajar melumat jiwanya. Dia mencondongkan tubuhnya keluar. Pandangannya menyapu lorong jalan yang sunyi. Lalu sebentuk rasa jijik melingkupi tubuh Mardian.Perlahan-lahan, dari kepala hingga kaki. Dia tak paham apa yang sedang terjadi pada dirinya, apa yang tiba-tiba mengaduk-aduk, melonjak-lonjak, minta dibebaskan. Dia hanya berserah kepada kekuatan maha dahsyat yang membutakan, yang mengalir deras dari dalam tubuhnya. Kekuataan itu menerobos keluar, pecah bagai bendungan ambrol. Serta merta Mardian membenturkan kepalanya ke dinding. “Mengapa Kau mengambil identitas terakhirku, Tuhan? Belum cukupkah masa kecilku untuk-Mu?”gigi geligi Mardian gemeretak seperti orang gila, dua sungai air mata yang hangat mengalir di pipinya. Dan tanpa memedulikannya dia tertawa kuat-kuat, tawa yang membekukan darah. Topeng kesendirian yang menyekatnya dengan dunia, dengan kehidupan. Getar dari kedalaman waktu menyadarkannya. “Apa yang telah kulakukan dengan hidupku? Aku telah menderita dan dibuat menderita; aku telah menerima dan diberi; berharap dan kehilangan harapan. Bagaimana mungkin aku akan terus hidup setelah berkali-kali dihancurkan, setelah melihat sekilas garis batas antara harapan dan keputusasaan? Seandainya aku bertahan, masih sanggupkah aku menahan berbagai gempuran dan tetap berharap akan datangnya kebahagiaan, memimpikan hari esok yang lebih baik?” dia menarik napas dalam-dalam untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia masih hidup, dan dia akan tertawalebih keras lagi dengan sebentuk gairah yang melebihi keputusasaan, ketidakberdayaan, dan kelemahan di esok hari.

 

            Parta datang siang harinya. Dia membawakan makanan, pakaian, dan beberapa buah buku. Mardian belum sempat mengobati luka lebam di dahinya ketika terdengar suara ketukan pintu. Tetapi lelaki itu tampak tidak terkejut sama sekali.

            “Dengarkan aku, kawan,” ujar Parta. “Kita sekarang hidup di hutan. Jangan pedulikan masa silam yang menyenangkan, cita-cita kekanak-kanakan, juga hukum, prinsip, segala kata-kata indah, dan kalimat dahsyat. Enyahkan semua itu. Sekarang, di mana pun kau dan aku berada, kau akan melihat orang menggigit orang. Jika kau tidak mau mati, kau harus bertahan dan menyerang.”

            “Aku tak bisa. Tidakkah kau lihat bahwa aku kini sebatang pohon?”

            “Mungkin kau memang sebatang pohon, tapi kau pohon jati. Karena kehidupan memang seperti itu. Saat kau hidup kau harus mengatakan, ‘nasib buruk!’ dan saat kau berada di ambang kematian kau harus mengatakan, ‘Ini tidak adil!’ ”

            “Jangan menghiburku, Parta. Kau tahu aku sudah lama mati. Sekarang pergilah. Tinggalkan aku sendiri.Aku butuh menyendiri.”

            “Tidak, kawan. Aku tidak akan pergi kalau kau tidak pergi bersamaku.”

            “Aku butuh menyendiri, Parta. Pergilah. Tinggalkan aku.”

            “Tidak akan.”

            “Apa yang sebenarnya kau inginkan?”

            “Merengkuh bayanganmu, membangunkan dari tidurnya yang nyaman, dan mengajaknya berjalan-jalan.”

            “Aku tidak ingin jalan-jalan.”

            “Aku akan memaksamu.”

            “Tapi aku—”

            “Kau akan menyakiti hatiku jika kau menolak niat baikku.”

            Mardian menghela napas. “Baiklah, kau menang.”

            Parta tersenyum senang. “Aku minta maaf, hanya ini yang bisa kulakukan untuk Kawan. Aku sudah tidak sanggup melihatmu perlahan-lahan menunjukan tanda-tanda kegilaan.”

 

 

            Aku menggeleng dengan sedih. “Tidak, Ana. Parta benar. Aku memang berada di ambang kegilaan. Aku merajut semesta khayalan. Membaurkan masa lalu dengan masa depan dan menciptakan nilai yang mutlak untuk membuat pembenaraan atas keberadaanku, dan juga untuk memahami kebutuhanku akan pembenaran yang menekanku dengan kuat hingga membuat sulit bernapas. Nilai itu menjadi prisma yang kugunakan untuk menilai segala tindakan dalam keberadaanku selama ini. Aku mengitarinya, semua orang di jagat raya ini mengitarinya. Namun, seperti dalam mimpi, mimpi yang paling nyata, satu-satunya yang nyata, suaraku menggema memenuhi kepala, berkata bahwa hanya ada dua kemungkinan untukku: apakah aku akan memerdekakan diriku dengan menerima kegilaan, atau harus mati-matian bergulat menjaga keseimbangan kewarasanku. Pilihan kegilaan menggodaku. Ini cara melarikan diri yang paling mudah, paling nyaman, paling aman. Itu merupakan tindakan dari kebebasaan berkehendak yang menghancurkan dinding pembatas kebebasaan itu sendiri. Selimut yang akan selalu memberimu kehangatn.”

            Ana berkaca-kaca mendengar ceritaku, seakan-akan dia merasakan pergulatan batin yang luar biasa itu. “Memang benar kita kerap kali percaya bahwa hanya dengan mendorong penderitaan ke titik paling ujung—mendorongnya ke dalam lubang kegilaan—berarti kita telah mengenyahkannya. Namun, pasti ada jalan lain untuk pembebasan. Setidaknya ada gerakan pembebasan dari dalam keheningan jiwa yang telah cukup putus asa untuk dialihkan menjadi harapan di hari kemudian. Saya tahu, itu mustahil. Tapi, setidak-tidaknya jangan biarkan siapa pun menolak kesempatan ini. Karena dengan menolak, sesungguhnya seseorang menolak pembebasaan dirinya sendiri; memilih menjadi musuh kemanusiaan.”

            “Tidak ada yang bisa kukatakan. Siapa pun bisa menjadi kehilangan akal karena keputusasaan. Seperti katamu, Ana. Di dunia ini memang tak ada yang lebih utuh dari patah hati. Kebenaran masa silam yang disembunyikan ayahku mengahacurkan diriku. Kebenaran itu juga yang meluluh-lantakan imanku, yang merenggut Tuhan dari dadaku. Aku rasa, hari itu, untuk pertama kalinya aku menyentuh rahasia kekejian. Kadang-kadang kita melakukan perjalan teramat jauhnya tanpa mengetahui bahwa kita melakukan perjalanan itu hanya untuk menyampaikan suatu kalimat atau kata tertentu di tempat tertentu pada orang tertentu. Dan pengungkapannya terkadangmenimbulkan harapan juga menghancurkan harapan.”

            “Sejak Adam pertama kali dapat berbicara, manusia selalu saja menyarikan kata dari ceruk terdalam keberadaannya. Namun, dia tak benar-benar tahu bagaimana atau mengapa dia mengucapkan kata tertentu, menyatakan kesan tertentu, dengan cara tertentu, terlepas dari apa yang diajarkan padanya, atau yang pernah dilihatnya, atau yang terbayang di benaknya. Yang lebih buruk lagi, tak seorang pun dari mereka berteriak lebih nyaring, tak seorang pun membuat dirinya sungguh-sungguh dimengerti. Kadang-kadang kita lupa bahwa yang apa mengikat suatu kata dengan kata lainnya tak kurang gaibnya dengan yang mengikat Tuhan dengan mahluk ciptaan-Nya.Mengingat, pada prinsipnya kata membuat kita memiliki kontak dengan kedalaman paling dalam dari jiwa kita yang disebut gejolak batin, sehingga kita nantinya bisadengan cukup absah mengungkapkan kegelisahan yang gelap, cinta yang manis, dan kekecewaan yang kelam. Maka hati dan pikiran menjadi kamar bergema tempat berkumpulnya segala bunyi dan getaran bagi orang-orang yang takut akan kesunyian dan keputusasaan yang kejam, yang takut terhadap rasa takut yang mereka anggap pengecut, dan yang hanya sekadar melarikan diri dari dunia yang mulai membusuk.” Ana menegakan duduknya seraya tersenyum perih padaku.

 

 

            Mereka berjalan berdampingan dengan berdiam diri. Parta sengaja menjalin keheningan dan musiknya. Demikian juga Mardian. Dia hanyut dalam pikirannya sendiri di duianya sendiri.Sore hari telah menguasai kota itu dengan badai dan mendudukinya perlahan-lahan. Trotoar jalan dipenuhi manusia yang lalu-lalang. Mereka begitu tergesa-gesa, tak ada yang bertegur sapa, tak ada yang berbicara. Mereka mungkin hanya sosok-sosok mahluk di depan ribuan cermin yang saling bersilangan, pikir Mardian. Tetapi kemudian, di antara orang yang lalu-lalang, Mardian melihat beberapa lelaki berseragam loreng menyandang senjata. Parta menarik tangannya, menjauh. Mungkin itulah sebabnya, pikir Mardian. Tetapi mengapa orang-orang takut dengan tentara? Dia memikirkan beberapa kemungkinan, tapi tidak satu pun yang dapat diterimanya.

 

            Mereka melewati lorong pasar. Seorang pendongeng tua duduk bersila menuturkan kisahnya, berusaha menarik perhatian pejalan kaki yang melintas untuk melemparkan beberapa rupiah ke dalam kaleng di dekat kakinya.

            “Seandainya aku harus hidup dalam kehidupan yang lain, aku ingin menjadi pendongeng.” Parta mengolok-olok ketika mereka melawati pendongeng tua itu.     Seorang anak lelaki berbaju kumuh menabrak Mardian. Di belakangnya beberapa orang berlari dan berteriak-teriak. Anak itu melesat dan bersembunyi di belakang karung penjual ubi.

            “Hei Bung, apa kau melihat anak lelaki kumuh lewat sini?”

            “Ya. Dia berlari ke sana.” Parta memberitahu ke arah berlawanan. “Sebaiknya kalian cepat.”

            “Mengapa kau membiarkan pencuri itu?”

            “Dunia ini memang penuh sesak oleh pencuri. Memang begitu adanya. Kau tak bisa berbuat apa-apa soal itu.”

            “Yang kau lakukan itu salah. Perbuatan mencuri tidak pernah dibenarkan dalam hukum ataupun agama.”

            Parta tertawa. “Kau yang bilang, bukan? Tapi siapa yang jujur zaman sekarang ini? Kau kira siapa pun yang hidup pasca perang bisa tetap jujur, Kawan? Tidak. Orang jujur sudah mati semua! Dibunuh atau membunuh dirinya sendiri. Yang lainnya—termasuk kau dan aku—berkompromi membuat kesepakatan dengan ingatan, dengan masa silam, dengan penderitaan, untuk bersikap seakan tak pernah terjadi sesuatu pun. Apa itu jujur? Tidakkah itu justru munafik?”

            “Salah,” ujar Mardian lirih. “Mereka mempertahankan prinsipnya dengan hebat. Terkadang mereka bahkan jemu bertahan dan menyerang. Karena mereka percaya Tuhan bersamanya.”

            “Lalu di manakah Tuhanmu saat ayahmu terkena disentri? Mengapa dia tidak menampakan batang hidungnya?”

            Mardian tidak punya jawaban.

 

            Sebentar lagi malam tiba. Lidah-lidah api bermunculan dari balik bumi sebelah barat, menghamparkan kemilau cahaya kemerahan di cakrawala.

            “Lihatlah ke angkasa,” ujar Parta, yang tiba-tiba menghentikan langkah kakinya dan mendongak. Mereka berada di alun-alun kota. “Hari sebentar lagi malam,” sambungnya. “Jika kau tak berhati-hati, kegelapan bisa merampas sebagian dari dirimu, dan menawarkannya kepada sang malam yang mengentalkan waktu untuk berdamai.”

            Mardian bergeming.

            “Lihatlah dulu. Angkat kepalamu dan tataplah ketakterhinggaan di atas sana.”

            Dengan enggan Mardian menuruti perintah temannya. Dia mengangkat kepala sedikit, menggulirkan kedua bola matanya ke atas, mengamati langit. Gumpalan awan gelap bertepi merah menyala perlahan menyapu angkasa; menyapu matahari yang hampir padam, menyapu awan-awan kelabu yang melewatinya.    “Seperti awan manusia adalah mahluk yang bebas,” ujar Parta seolah mampu membaca pikiran Mardian. “Dia membawa kebebasaannya sejak lahir dan akan tetap bersamanya hingga masuk kubur. Kebebasaan ini adaalah hak. Tidak bisa diikut campuri bahkan oleh Tuhan—jika kau mempercayainya—sekalipun. Karena kebebasaan hanya milik manusia. Tuhan tidak bebas.”

            “Apa maksud perkataanmu yang terakhir itu?”

            Parta tertawa seraya menepuk bahu Mardian. “Kawanku yang sial, lepaskanlah segala ilusi yang membelenggu jiwamu itu. Biarkan angin menerbangkan mereka, menerbangkan beban yang membelenggu.Dengarkan aku. Kau menderita karena jiwamu tidak merdeka, terbelenggu keyakinan bahwa ada yang menguasai. Itulah masalahmu, masalah terbesar sebagian besar umat manusia yang terlalu lemah dan khayalannya terlalu miskin. Orang-orang sepertimu ingin masuk ke dalam rumah, tapi juga ingin tetap berada di luar dinding pagar. Biarkanlah tidak berarti tidak, tapi ya juga berarti tidak, Kawan. Dengan begitu, kau akan mampu merentangkan sayapmu dan terbang bebas di angkasa seperti seekor burung membelah cakrawala.”

            Mardian mendengarkan dengan terlogong-logong. Saat kata-kata ini menghujam,cahaya matahari terakhir menjilat dinding langit sebelum menghilang dalam gelap.

            “Keyakinan yang kau peluk itu yang membelenggumu,” sambung Parta. “Seperti yang kau dan aku lihat,keyakinan semacam itu sama sekali tidak memiliki tempat di dalam kehidupan ini dan tak pernah ikut ambil bagian dalam hubungan antarmanusia. Kita sama-sama tahu,bahwa orang hidup menurut prinsip yang terkadang tidak hanya berkaitan dengan beberapa ajaran suatu keyakinan tertentu tetapi juga bertentangan. Dan soal yang menguasai, atau apa pun kau memilih sesukamulah—itu tergantung jiwa pada pemikiran dan khayalan masing-masing pendahulu kita.Gampangnya, suatu keyyaninan berikut penguasanya, pada dasarnya adalah bentuk protes manusia kepada alam semesta yang membiarkan penderitaan, kekecewaan, ketidakadilan, ketidakberdayaan, membelenggu mereka di masa lalu. Dan seiring berjalannya waktu, ketika ikatan ini masih ada, maka berbagai keyakinan baru bermunculan.”

            “Aku tidak mengerti yang sedang kau bicarakan.”

            “Kau akan segera mengerti. Aku berjanji padamu.” Parta tersenyum penuh arti.

 

Tags: Senja

How do you feel about this chapter?

0 0 3 0 0 0
Submit A Comment
Comments (32)
  • SusanSwansh

    @Ivaumu wkwkwkkwkwk selamat berpusing riaaa

    Comment on chapter Senja Ketiga
  • nandreans

    Aku sampai sini dibikin ora paham-paham. Sik sik. Kayaknya butub baca lagi di suasana tenang. Hmmm. Ndak sabar terbit.

    Comment on chapter Senja Ketiga
  • nandreans

    Kampret sampeyan yuk. Aku dibuat campur aduk.

    Comment on chapter Senja Ketiga
  • Ardiana

    @RizzalRr bukan hindi kok kak. Indie yang anak Indie itu, kan identik dengan senja, hehe

  • Fildannn

    Kereeeeeeeeeen bgt ceritanya kak san.

  • Diyahparamita

    satu chap panjang banget. Tapi nggak kerasa bacanya.

    Comment on chapter Senja Pertama
  • viviriswar

    đź‘Ťđź‘Ťđź‘Ť

    Comment on chapter Senja Pertama
  • RizzalRr

    @Ardiana coba deh baca chap 1 sampai rampung.

  • RizzalRr

    @Ardiana kalau yang dimaksud indie itu india, menurutku sih enggak sama sekali. Filsafat yang dipake di sini bukan filsafat hindi malah. Beberapa justru mengadopsi pemikiran2 barat moderen. Kalau india itu kan biasanya identik dengan perjuangan cinta. Cerita ini justru condong ke konflik batin si mardian dengan Tuhannya.

  • RizzalRr

    Mantul banget. Aku bingung mau komentar apa. Dari awal baca rumahnya udah kuat banget. Narik terus. Jadi nggak kerasa baca satu chapter yang segitu panjangnya.

Similar Tags
Senja (Ceritamu, Milikmu)
6034      1531     1     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
Senja di Sela Wisteria
426      266     5     
Short Story
Saya menulis cerita ini untukmu, yang napasnya abadi di semesta fana. Saya menceritakan tentangmu, tentang cinta saya yang abadi yang tak pernah terdengar oleh semesta. Saya menggambarkan cintamu begitu sangat dan hangat, begitu luar biasa dan berbeda, yang tak pernah memberi jeda seperti Tuhan yang membuat hati kita reda. “Tunggu aku sayang, sebentar lagi aku akan bersamamu dalam napas abadi...
Kala Senja
32793      4714     8     
Romance
Tasya menyukai Davi, tapi ia selalu memendam semua rasanya sendirian. Banyak alasan yang membuatnya urung untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. Sehingga, senja ingin mengatur setiap pertemuan Tasya dengan Davi meski hanya sesaat. "Kamu itu ajaib, selalu muncul ketika senja tiba. Kok bisa ya?" "Kamu itu cuma sesaat, tapi selalu buat aku merindu selamanya. Kok bisa ya...
Senja Belum Berlalu
3763      1355     5     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...
My Universe 1
3789      1273     3     
Romance
Ini adalah kisah tentang dua sejoli Bintang dan Senja versiku.... Bintang, gadis polos yang hadir dalam kehidupan Senja, lelaki yang trauma akan sebuah hubungan dan menutup hatinya. Senja juga bermasalah dengan Embun, adik tiri yang begitu mencintainya.. Happy Reading :)
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
8024      1486     7     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
Secarik Puisi, Gadis Senja dan Arti Cinta
1160      769     2     
Short Story
Sebuah kisah yang bermula dari suatu senja hingga menumbuhkan sebuah romansa. Seta dan Shabrina
Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
533      364     2     
Short Story
Entah apa yang lebih indah dari petang, mungkin kau. Ah aku keliru. Yang lebih indah dari petang adalah kita berdua di bawah jingganya senja dan jingganya lilin!