•REWIND•
©Elsy Jessy
Aku masuk kamar dan merebahkan tubuh di kasur. Memeriksa ponsel dan melihat pesan dari Riska tadi siang yang belum kubalas sampai sekarang. Kuputuskan untuk menghubunginya saja. Aku mencari kontak nomor Riska lalu menekan ikon warna hijau.
"Hallo?"
"Hallo, Ta."
"Sorry, Ris. Gue nggak balas sms lo, gue baru pulang ini barusan nggak ngecek hp."
"Oh. Emang habis kemana? Abis jalan sama kak Ryan, ya."
Sindiran Riska membuatku tak nyaman. "Nggak."
Sepertinya Riska menyadari keenggananku membahas Ryan. "Sorry, Ta. Ketemuan, yuk."
Jujur saja aku lelah hari ini. "Besok aja ya, Ris. Gue capek banget, nih."
"Kalo gitu. Besok pulang sekolah aja, gimana?"
"Oke."
***
Dari mulai bel istirahat berbunyi, Riska ada di kelasku. Melda yang duduk di sampingku heran, kenapa Riska bersikap seolah tak ada apa-apa diantara kami. Padahal yang dia tahu hubungan aku dan Riska merengenggang akhir-akhir ini. Riska juga bersikap biasa seperti tak ada apa-apa. Ini lebih baik jadi kami bisa terus bersahabat.
"Pulang sekolah main, yuk," ajak Riska padaku dan Melda.
Melda melirik ke arahku. "Boleh. Main kemana?" jawabku.
"Ke mall tempat biasa aja gimana?" ujar Riska.
"Oke. Sip. Kalo gitu gue izin ke mami dulu, ya." Aku mengambil ponsel dan menuliskan pesan ke mami. Aku tak ingin mami dan ayah khawatir seperti tempo hari.
***
Sepulang sekolah aku, Riska dan Melda sekarang berada di salah satu restoran cepat saji. Tiba-tiba Riska menatapku dalam. Dia berkata, "Ta, maafin gue, ya."
Bingung harus merespon apa, aku hanya tersenyum. Dia sudah mengatakannya kemarin lewat telepon. Aku tahu dia berusaha minta maaf secara tulus. Terlihat di matanya pancaran kesungguhan. Aku pun tak dapat menolak itu. Bagaimana pun juga Riska tak salah. Karena perasaan cinta tak dapat diatur semaunya.
"Lo nggak salah, kok. Gue juga minta maaf, ya." Akhirnya kata-kata itu yang terlontar. Aku juga merasa bersalah, seharusnya dari awal aku tahu lebih dahulu perihal perasaannya. Jadi aku tak sesakit ini. Aku bersyukur persahabatan kami masih bisa terselamatkan.
Melda yang cuek cenderung tak peduli dengan hal-hal seperti ini melihat aku dan Riska menahan haru malah ikut memeluk kami. Dia berkata, "Semoga persahabatan kita selamanya."
Aku dan Riska serentak menjawab, "Aamiin."
Setelah makan kami bermain di area permainan. Aku senang, kami sudah berdamai. Riska juga sudah kembali seperti sebelumnya. Sifat cerewet dan ingin tahunya masih saja tergambar. Kami bermain banyak permainan.
Tak terasa hari sudah sore. Aku, Melda dan Riska menuju area parkir. Karena aku dan Melda menumpang mobil Riska. Area ini cukup sepi tapi tiba-tiba ketika hendak menuju mobil, kami dikagetkan dengan suara kegaduhan tak jauh dari tempat itu. Kami langsung menengok ke arah sumber suara.
Aku terkejut ketika mendapati perkelahian di sana. Ada mantan Dina dan Arya yang beradu jotos. Riska dan Melda buru-buru mencari bantuan dan hendak melaporkan ke pihak keamanan. Yang lebih mengagetkan lagi di sudut situ aku melihat Dina yang meringkuk sambil menangis. Aku mendekatinya lalu memeluknya. Aku tak habis pikir, apa lagi yang dilakukan Rey padanya.
Rey kabur setelah melihat security dan banyak orang mengejarnya. Arya yang jadi lawan Rey saat itu langsung memeriksa keadaan Dina. Padahal keadaanya juga tak baik. Ada luka robek di ujung bibirnya. Tapi nampaknya dia tak peduli.
"Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Arya khawatir.
Dina hanya mengangguk pelan.
Bekas tamparan lagi-lagi di temukan di pipi kirinya.
Arya mendekatiku, "Lo kembarannya Dina, kan? Tolong jagain Dina, ya."
"Iya. Lo mau kemana?"
"Gue masih ada urusan. Nanti kalo ada apa-apa sama Dina tolong hubungi gue, ya. Ini nomor gue." Arya memberikan nomor ponselnya padaku kemudian pergi.
Melda dan Riska juga ikut menenangkan Dina dan membawanya masuk ke mobil.
"Lo kenapa nemuin si kecoak itu lagi, sih?!" omelku.
"Tadinya dia bilang mau minta maaf dan nyuruh gue cabut laporan kepolisian itu," kata Dina sambil terisak. "Tapi gue nggak mau, jadi dia marah dan nampar gue," imbuhnya.
"Terus lo masih percaya sama dia setelah apa yang udah dia lakuin sama lo?" Ini benar-benar tak dapat dipercaya. Aku tak tahu Dina itu polos atau bodoh. Aku saja yang pernah di-bully tak sekonyol ini, terjatuh di lubang yang sama berkali-kali. Untung saja ada Arya yang datang menolong.
"Sebenarnya tadi gue nggak sengaja kepencet manggil Arya. Soalnya dia habis telepon gue sebelum ini. Kebetulan Arya emang lagi nyari komik disekitar sini. Untung aja dia langsung kemari. Nggak tahu lagi kalo nggak ada dia gimana nasib gue." Tangis Dina pecah sambil terus memelukku erat. Aku yang melihat keadaan Dina ikut merasakan kesakitannya.
"Kayaknya deket sini ada klinik," kata Riska.
"Nggak usah, Ris. Anterin gue pulang aja. Gue cuma pengen pulang." Dina menanggapi dan aku setuju.
_____________Bersambung____________