Sebuah kursi, meja, dan nakas. Di langit-langit yang putih dengan ornamen timbul berbentuk bunga lili dan di tengahnya terdapat sulur panjang seperti mahkota bunga. Sebuah lampu gantung bercahaya temaram digantung di sana. Jarak dari tempatnya ke langit-langit itu sekitar enam meter, tidak mungkin dirinya bisa bunuh diri menggunakan tali lampu itu.
Sebuah jendela dengan tirai merah darah, sedikit lebih terang dari warna dindingnya. Jendela panjang berterali besi tebal yang separuh terbuka membuat angin bertiup masuk dan menggoyangkan tirainya. Seperti sebuah penjara eksklusif—atau bisa dibilang neraka?
Seorang perempuan berambut hitam duduk di kursi dekat jendela dengan kedua tangan terlipat di atas paha, memandang ke luar jendela, menikmati langit malam yang mendung. Bulan hari ini tidak muncul karena tertutup awan, benar-benar gelap, dan ia benci saat seperti ini.
Karpet bulu merah darah terhampar di lantai, berbentuk persegi. Dinding berwarna merah kehitaman benar-benar polos, tak ada hiasan satu pun. Benar-benar monoton. Ataukah memang seperti ini tempat tinggal para jalang lainnya? Ataukah hanya dirinya jalang di tempat ini? Tidak, orang-orang itu selalu datang bergantian setiap malamnya, menemuinya dengan berahi yang tinggi.
Sebuah tempat tidur, berukuran dua orang, cukup empuk dengan seprai putih. Tempat tidur yang biasa digunakannya melayani orang-orang kotor. Ia tahu kenapa kamar ini dibentuk tanpa hiasan yang terbuat dari kaca, atau benda tajam, juga tali yang bisa membantunya bunuh diri. Ia tidak akan pernah bebas dari sana. Semuanya tertutup dan jika berhasil keluar dari kamar ini, orang-orang yang berjaga di luar akan langsung menangkap dan menyiksanya dengan sadis.
Sebenarnya, ruangan ini bisa menjadi tempat yang cantik jika saja orang-orang itu mau menempatkan beberapa hiasan. Ruangan yang cukup sempit dengan aroma lily of valley dengan sebuah kamar mandi kecil berbentuk persegi panjang. Tempat yang menyimpan hubungan-hubungan seksual yang sering dilakukan sejak dulu, disertai harapan atas sesuatu yang tak berbentuk—kebebasan. Ia ingat sejak kapan dirinya berada di sini, tapi mau diingat seperti apa pun, semuanya tidak akan bisa kembali.
Ia menantikan masa depan. Bagaimana dirinya berhasil keluar dari tempat ini dan merasakan kebebasan. Kerinduan akan hal itu mengelilinginya, selalu ada. Suatu yang selalu ia renungkan setiap kali orang-orang itu menidurinya, lalu perlahan terlelap.
Mereka tidak memberikannya uang, karena hal itu tidak dibutuhkan. Mereka hanya memberikannya makanan yang hambar. Tidak ada perasa, karena itu membuatnya gemuk. Mereka tidak suka dirinya gemuk, merasa risi dengan lemak-lemak seperti babi. Mentega yang enak, teh yang harum, kopi hangat, cokelat panas, hamburger dengan potongan daging sapi yang tebal atau sup daging yang lezat. Semua itu begitu mewah untuknya.
Kapan dirinya merasakan kebebasan? Sekitar lima atau enam tahun silam, ketika usianya masih empat belas tahun. Saat orang tuanya masih hidup, saat bermain-main dengan kakaknya, mendengarkan alunan piano yang seolah menjadi lullaby.
Apakah ia bisa menjadi perempuan yang bebas? Menuntut ilmu, bermain bersama teman sebaya, merasakan jatuh cinta pertama, ulang tahun kedewasaan, atau baju-baju cantik seperti perempuan bangsawan di Nilfheim, yang mengecup kedua pipi orang tuanya sebelum pergi. Apa ia punya rumah? Punya tempat yang akan menerimanya suatu saat nanti? Atau orang-orang yang akan menerima semua keadaan dalam dirinya? Adakah lelaki waras yang menerima dan mencintainya setulus hati? Punya anak, lalu menua bersama? Konyol. Hal itu tidak akan pernah terjadi.
Tidak akan pernah.
Ia tidak punya rumah, tidak punya tempat untuk kembali.
Orang-orang Turk telah mengangkat rahimnya sebelum mereka menidurinya. Agar tidak ada kehamilan. Dengan begitu, tidak akan ada masa depan untuk dirinya menjadi orang tua. Tidak ada. Lagipula, tidak akan ada lelaki waras yang mau mendekatinya. Mungkin sudah takdirnya menjadi perempuan seperti ini.
Kapan semua ini berakhir?
Ia menghela napas, lalu memejamkan mata. Tak menghiraukan embusan angin yang menusuk kulitnya. Meresapi ketenangan hawa dingin yang damai.
Semua benda-benda di sekitarnya telah menjadi saksi, tidak bisa diabaikan. Ia hidup, bernapas, dan bisa merasakan setiap sentuhan orang-orang sinting itu. Apakah Turk satu-satunya tempat yang mau menerimanya? Tidak. Mereka bukan menerimanya, mereka memanfaatkannya.
Lonceng penanda waktu telah berbunyi. Di sini, waktu ditandai dengan lonceng. Dan, seperti malam-malam sebelumnya, akan ada yang datang malam ini.
Ia berdiri, beranjak dari kursi dan menjejakkan kakinya di atas karpet bulu itu. Kakinya yang panjang dan kurus, bertelanjang kaki tanpa sepatu. Mereka tidak pernah memberinya alas kaki karena itu memang tidak dibutuhkan. Pakaiannya yang berbentuk seperti gaun tidur selutut berwarna putih sangat menerawang, menampilkan lekuk tubuhnya yang langsing.Rambut hitamnya jatuh, tergerai bebas, dengan aroma lily of valley yang disediakan orang-orang itu.
Ia menunggu, mempersiapkan dirinya. Diri yang harus disiapkan, layaknya sebuah manekin yang hendak dipajang di toko demi menarik minat pengunjung.
Semua akan baik-baik saja.
Meski tersiksa.
Dan terasa sunyi.
Pintu kamar terbuka, lalu seorang lelaki bertubuh besar masuk. Aroma alkohol bercampur keringat menyeruak, ikut bersamanya. Dengan langkah sempoyongan, lelaki itu menabraknya, menarik tubuh perempuan itu ke atas tempat tidur. Seperti biasa.
Aroma alkohol yang amat dibencinya merasuki indera penciuman, membuatnya mual, tapi tidak bisa ditolak. Jika ia menolaknya, maka kematian akan mendatanginya malam ini. Udara dingin kian menguasai, semakin menusuk tubuhnya yang telanjang. Ia sibuk dengan dunianya, begitu pun lelaki itu. Seperti berada di tempat lain. Dan ia berusaha tidak memikirkan semuanya. Semua ini hanya keuntungan sepihak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena waktu akan terus berjalan.
Dan, ia ingin mengatakan betapa beruntungnya perempuan di luar sana. Menikmati waktu yang bebas, tidak sepertinya. Berbahagialah dan pikirkan kematianmu nanti.
***
Ia menyibakkan selimut, bangun pelan-pelan, kaki telanjangnya menapak ke karpet tanpa suara. Perempuan itu melirik tempat tidur di sebelahnya yang kosong. Rupanya, lelaki itu sudah pergi sebelum ia bangun. Bekas-bekas percintaan mereka masih ada di seprai putih, membuatnya sedikit mual. Dengan perlahan, ia memakai kembali gaun tidurnya, beranjak dari tempat tidur menuju jendela, seperti yang dilakukannya setiap pagi.
Sinar matahari menerobos masuk dari jendela dan jatuh ke lantai. Langit pagi itu cerah, hanya ada awan-awan tipis. Ia benar-benar menikmati pemandangan pagi ini, seolah membuatnya melupakan segala kejadian semalam. Semua kekasaran, kehinaan, dan kehambaran yang dirasakannya semalam.
Beberapa tubuhnya sakit karena lelaki itu bermain kasar, tak segan mendaratkan pukulan di tubuh ringkihnya. Lelaki pencandu seks yang gila dan menjijikkan.
Merasa kotor, ia mulai meninggalkan tempatnya, beranjak menuju kamar mandi. Dindingnya berwarna senada dengan kamar. Ia tidak menggunakan bak mandi di kamar mandi sekecil ini, Namun, semua ini sudahlah cukup. Saat dirinya dengan bebas menanggalkan pakaian, merasakan kulitnya yang halus, merasakan rambutnya adalah sebuah kemewahan.
Namun, saat hendak menyalakan shower, ia mendengar suara pintu dibuka. Ia terdiam sejenak, dengan sebelah tangan menahan shower, menajamkan indera pendengarannya.
Siapa?
Sayup-sayup, ia mendengar suara obrolan. Ada dua orang, satunya memakai sepatu dengan sol yang tebal dan yang satunya adalah lelaki yang menidurinya semalam. Sudah jelas posisinya di Turk sedikit terhormat, lebih tinggi dari lelaki yang menidurinya semalam. Bicaranya juga sedikit lembut, tidak serampangan, terkesan arogan. Ia tetap di dalam kamar mandi, tidak mungkin baginya keluar dalam keadaan telanjang, tidak menyangka akan ada orang yang masuk setelah pagi datang.
Biasanya, mereka hanya mengantar makanan untuknya, tapi kenapa pagi ini berbeda?
Lalu, dengan sangat jelas dan pasti, ia mendengar seuntai kalimat yang mengerikan, diucapkan oleh lawan bicara lelaki yang menidurinya.
"Minggu ini akan dua pembersihan."
Pembersihan. Entah kenapa, ia selalu merinding ketika mendengar kata itu. Seolah, mereka bersiap sedang membersihkan sesuatu. Seperti kau membersihkan pakaian dari kotoran menggunakan peroksida.
Footnote
Peroksida = Pemutih pakaian yang tidak menyebabkan kelunturan dan bisa digunakan pada berbagai jenis kain.