Suasana lembah terpencil yang terletak dibawah kaki gunung itu terlihat tentram , di antara ribuan rumah penduduk , terselip rumah sederhana dengan dinding rotan yang luas rumahnya hanya 4x6 meter persegi. Rumah sederhana tersebut dihuni oleh sebuah keluarga kecil.
“ Bashiir , jaga adik kecilmu , ibu harus pergi membeli bahan makanan ”
Anak laki – laki yang baru berumur 15 tahun itu hanya mengangguk setuju saat adik perempuannya yang baru berumur 4 tahun itu sudah berada dipangkuannya. Adik kecilnya menatap Bashiir yang tengah meletakkan Al – Qur’an ke sudut ruangan dengan meraba - raba lantai. Selepas sholat subuh tadi , Bashiir melakukan aktivitas paginya yaitu mengaji menggunakan Al – Qur’an Braille yang dikhusukan untuk para Tuna Netra seperti dirinya. Al – Qur’an tersebut ia dapatkan dari kepala desa yang dengan senang hati memberikannya kepada Bashiir , didesa tersebut jarang sekali terdapat anak yang kurang normal , karena itulah kepala desa merasa jika Bashiir harus ikut perkumpulan mengaji juga seperti anak lainnya. Saat membaca Al – Qur’an , caranya membaca memang berbeda jika dibandingkan dengan anak normal lainnya , Bashiir hanya harus meraba setiap baris demi baris baru ia akan mengerti isinya. Bashiir sudah buta sejak ia lahir. Ada yang mengatakan jika mungkin saja terdapat masalah pertumbuhan pada saat mengandung Bashiir sehingga ia tidak bisa melihat.
“ Apa aku boleh mengaji juga seperti kak Bashiir ? Suara kakak merdu sekali setiap mengaji “ Adik kecilnya menatap Bashiir lamat – lamat.
“ Kau kan belum tamat Iqro , Nur. Lagipula kau harus tamat dulu baru setelah itu bisa mengaji seperti kak Bashiir” Ucap Bashiir sambil mengelus puncak kepala adiknya
“ Jika Nur sudah tamat , berarti Nur bisa mengaji dengan merdu seperti kak Bashiir ?” Ucap Nur.
“ Tentu saja “ Ucap Bashiir
“ Kenapa ibu lama sekali , Nur kan sudah lapar “ Ucap Nur , matanya terus melihat ke arah pintu , berharap ibunya akan muncul saat itu juga.
“ Sabar , Nur. Ibu sebentar lagi pulang. Nur bisa menjadi anak yang sabar seperti kak Bashiir kan ?” Ucap Bashiir
Nur mengangguk mantap dan berkata “ Bisa kak “
Setelah menunggu kurang lebih setengah jam , ibu mereka datang dengan membawa bahan makanan. Ibu mereka tertawa saat melihat wajah anak perempuannya.
“ Ibu lama sekali , Nur kan sudah lapar sejak tadi”
“ Iya iya , ini ibu sudah bawa bahan makanannya. Kau tunggu disini dengan kak Bashiir. Ibu akan masakkan makanan kesukaanmu. Bagaimana ?”
“ Setuju “ Ucap Nur dengan mengacungkan tangan kanannya. Ibunya tersenyum hangat dan pergi menuju dapur.
Setelah ibunya selesai memasak. Bashiir , adiknya beserta ibunya makan dengan lahap diiringi dengan tawa bahagia. Mungkin orang – orang diluar sana mengira keluarga ini adalah keluarga yang bahagia. Tidak ada masalah , tidak ada yang perlu merasa sedih. Walaupun ada kekurangan , mereka bahkan tahu bagaimana harus menghibur diri. Jika dilihat dari luar memang begitu kelihatannya. Tapi siapa yang tahu , jika di sepertiga malam saat semua orang sudah terlelap dalam mimpinya masing – masing. Ibu dari dua orang anak tersebut bangun dan melaksanakan sholat tahajut , berdoa dalam derai tangis. Mengadu kepada Yang Maha Pencipta. Menangis sejadi – jadinya.
“ Ya Allah , hamba ingin meminta agar anak hamba menjadi anak yang berbakti. Berikanlah kebahagiaan kepada anak hamba Bashiir agar ia bisa merasakan kebahagiaan seperti anak lainnya. Biarkanlah ia memiliki masa depan yang cerah. Masa depan yang bisa membahagiaan ibunya dan keluarganya. Walaupun itu harus mengorbankan sesuatu kebahagiaan lainnya , tapi hamba akan merasa bahagia saat anak hamba juga merasa bahagia. Hamba mohon kepadamu Ya Allah”
Ibunya tenggelam dalam doa – doa yang ia panjatkan. Doa yang tulus tersebut naik ke langit – langit. Hingga akhirnya doa tersebut sampai dilangit terakhir. Tidak akan pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi besok , besok dan besoknya lagi. Malam ini mungkin bisa jadi malam terakhir kebahagiaan mereka bersama. Siapa yang tahu jika bisa saja badai yang besar datang saat salah satu orang di desa tersebut baru membuka matanya . Atau sebaliknya. Ibu Bashiir menginginkan kebahagiaan anaknya. Maka saat itulah doa tersebut terkabul.
Saat Bashiir yang sibuk menghabiskan waktunya hanya membantu ibunya dengan membantu menjadi petani disawah. Ia yang juga tanpa pernah duduk dibangku pendidikan seperti anak lainnya , karena memang ibunya tidak memiliki biaya. Saat itu datang seorang pemuda dari kota. Umur bashiir sudah menginjak 17 tahun. Tinggi badannya sudah bertambah. Parasnya tidak berubah. Masih tetap tampan. Pemuda tersebut tertarik dengan Bashiir yang kepala desa bilang memiliki suara yang amat merdu saat mengaji. Mengaji menggunakan Al – Qur’an Braille. Hal yang baru bagi pemuda tersebut. Pemuda tersebut mengajak Bashiir untuk ikut dengannya ke kota , mengasah kemampuannya. Bersekolah layaknya anak pada umumnya dengan bimbingan khusus. Tapi siapa sangka , Bashiir menolak.
“ Bashiir tidak mau meninggalkan ibu sendirian disini” Ucap Bashiir , tangannya menggenggam erat jemari ibunya.
“ Tenanglah Bashiir , bukankah ini kesempatanmu ? Kau bilang ingin sekolah seperti anak lainnya , tapi kenapa kau menolak hanya karena tidak mau meninggalkan ibu ? Disini kan ibu tidak sendiri Bashiir “ Ucap Ibu Bashiir , suaranya bergetar.
“ Tidak , Bashiir tidak akan mau pergi “ Ucap Bashiir , matanya berkaca – kaca menahan tangis.
“ Bashiir , ibu akan bahagia jika kau mau ikut. Apa kau tahu seberapa bahagianya ibu saat tahu anak ibu bisa bersekolah seperti anak lainnya ?” Ucap Ibu Bashiir , air matanya menetes.
Bashiir menggeleng kuat – kuat. Berkata dalam hati jika ia sudah membulatkan tekatnya untuk tetap tidak ikut.
“ Bashiir ,ibu mohon kepadamu. Ini permintaan ibumu , Bashiir”
Bashiir termangu. Ibunya tidak pernah meminta apapun. Perkataan seperti itu baru pertama kali Bashiir dengar. Ini berarti ibunya sungguh – sungguh menginginkan dirinya ikut dengan pemuda tersebut.
Lama sekali Bashiir terdiam. Memikirkan banyak hal. Untuk kemudian anggukan Bashiir yang ibunya lihat itu membuat ibunya memeluk Bashiir dengan tangis bahagia.
Pagi sekali Bashiir sudah bersiap – siap. Memakai baju seadanya dan sepatu yang diberikan pemuda tersebut kepadanya. Seumur hidupnya ia tidak pernah memakai sepatu , jadi pada sata pertama kali memakainya , Bashiir sedikit kesulitan. Ibunya tahu bagaimana memakainya jadi ibunya mengajari Bashiir bagaimana cara memakainya. Bashiir cepat sekali paham , senyumnya mengembang saat sepatunya itu sudah terpasang nyaman dikakinya. Pemuda itu datang tepat saat Bashiir sudah selesai bersiap – siap.
“ Bashiir , apa kau sudah siap ?” Ucap pemuda itu.
Bashiir mengenali suara itu. Itu adalah suara Aidan.
“ Sudah , kak Aidan “ Ucap Bashiir
“ Sudah kubilang untuk memanggilku Aidan saja kan Bashiir. Lagipula umurku baru 18 tahun , Bashiir “ Ucap Aidan , ia tertawa mendengar Bashiir memanggilnya dengan sebutan ‘ kak ‘ untuk kesekian kalinya.
“ Ahh , aku lupa. Maafkan aku “ Ucap Bashiir.
“ Sudahlah , kau benar – benar sudah siap untuk berangkat ? “ Ucap Aidan
Bashiir mengangguk. Ia mengambil tas besarnya yang juga pemberian Aidan. Pemuda kota itu banyak membantu. Pikir Bashiir.
“ Ibu , aku berangkat dulu” Ucap Bashiir , ia mencium tangan ibunya dan memeluknya.
“ Jaga dirimu baik – baik Bashiir “ Ucap ibunya , air matanya menetes. Lama sekali mereka berpelukan. Hingga adik kecil mereka merengek ingin dipeluk juga.
“ Kak , Nur juga mau kak Bashiir peluk untuk terakhir kalinya” Ucap Nur , menarik – narik baju Bashiir.
Bashiir memeluk adik kecilnya itu erat sekali.
“ Kak Bashiir janji kan ingin membelikan oleh – oleh dari kota ? Teman – teman Nur bilang pakaian disana bagus – bagus semua , seperti yang kak Bashiir kenakan sekarang ini ” Ucap Nur
“ Tenang saja , akan kak Bashiir belikan yang bagus untuk Nur “ Ucap Bashir
Nur tersenyum bahagia mendengar ucapan kakaknya.
Setelah perpisahan yang cukup lama , akhirnya mereka berjalan menaiki bukit bersama. Jalanan setapak tidak akan muat untuk mobil besar , karena itulah Aidan memutuskan menitipkan mobilnya diluar lembah.
“ Apa kau pernah bertemu orang kota seperti ku juga , Bashiir ?” Ucap Aidan disela – sela perjalanan mereka.
“ Belum pernah “ Ucap Bashiir
“ Belum pernah ? Apa jarang sekali ada yang datang ke desamu ?” Ucap Aidan , matanya terus memandang Bashiir , untuk kemudian ia baru menyadari jika Bashiir tidak membawa tongkat seperti orang – orang buta lainnya , begitupun kemarin saat ia menemui Bashiir untuk memberitahukan beberapa informasi.
“ Desa kami terletak dibawah kaki gunung , lagipula desa kami tidak pernah menarik orang – orang untuk melihatnya karena ada sesuatu yang unik. Desa kami hanya desa biasa saja.” Ucap Bashiir yang terus melangkahkan kakinya. Ia hapal jalanan menuju kota. Sering sekali melewati jalanan setapak ini untuk menemani ibunya ke pasar.
“ Sebenarnya aku cukup penasaran , bagaimana kau melakukan aktivitas harianmu tanpa memakai tongkat ? Jika orang – orang melihatmu , mereka akan mengira kau bukan tuna netra , Lihatlah cara berjalanmu , sama seperti orang – orang pada umumnya ” Ucap Aidan
“ Aku bisa mengandalkan pendengaran , indera peraba dan juga ingatanku , lagipula yang tidak berfungsi kan hanya mataku saja , Aidan“ Ucap Bashiir
“ Kau benar juga , Bashiir” Ucap Aidan , ia menatap Bashiir takjub. Tidak ada yang tahu , jika ini pertama kalinya ia bertemu orang seperti Bashiir.