Hampir dua minggu berlalu pasca kejadian di mal itu. Dan sampai hari ini kalau bertemu dengan Sofi, Kevin masih acuh. Hampir sama seperti ketika awal hubungan mereka putus dulu. Bedanya kali ini Sofi lebih rela menghadapinya. Karena dia memang merasa kalau tantenya memang bersalah. Wajar kalau Kevin jadi ikut sakit hati setiap kali melihatnya, begitu pikirnya.
Selama dua minggu itu pula Sofi mulai terbiasa menjalani hari-harinya tanpa bayang-bayang Kevin. Kerelaan dan sedikit rasa bersalah yang ada di hatinya membuat gadis itu kembali menjalani semua seperti saat belum mengenal Kevin. Kalau dulu waktu putus dari Kevin nilai-nilainya sempat turun, lain halnya dengan sekarang. Nilai Sofi tetap stabil. Semangat belajarnya juga tetap terjaga. Tak ada satu hal pun tentang Kevin yang mengganggu ritme hidupnya. Namun, tanpa dia duga Kevin berhasil membuat perasaannya terpengaruh lagi tadi siang saat dia melihat cowok itu berada di taman sekolah. Ketika itu dia sedang izin ke toilet. Saat berangkat dia tak melihat Kevin. Namun, saat akan kembali ke kelas tiba-tiba saja dia melihat Kevin sedang menggali tanah. Di sekitarnya ada banyak teman sekelasnya. Mereka bergerombol membentuk kelompok. Ada beberapa murid laki-laki yang menggali tanah juga seperti Kevin.
Sebenarnya Sofi tak berniat mendekat, dia hanya penasaran dengan apa yang murid kelas dua belas itu lakukan, maka dia meperhatikan dari jauh. Tak disangka ternyata Kevin melihatnya. Menyadari itu, sebenarnya Sofi sudah berniat untuk menghindar. Namun niat itu urung dia lakukan karena tiba-tiba saja Kevin mendekatinya dan berkata, “Semua murid kelas dua belas dapet tugas ngumpulin tanaman buat kenang-kenangan kalau udah lulus nanti. Tiap kelas wajib menanam satu tanaman. Kamu tahu nggak kenapa aku minta kelompokku supaya ngasih kenang-kenagan bunga lavendel? Karena bunga lavendel itu selalu ngingetin aku ke bidadari penyelamat yang dulu pernah dateng di hidup aku.”
Entah apa yang Kevin maksud dan inginkan ketika mengucap kata-kata itu. Sofi tak bisa atau lebih tepatnya tak berani menebak apakah Kevin masih menaruh perasaan padanya atau tidak. Namun, yang pasti detik itu juga Sofi merasa seperti ada rasa nyeri membelenggu dadanya. Tanpa aba-aba, dalam waktu beberapa detik saja air matanya sudah mengumpul di kelopak mata. Membuat pandangannya jadi kabur. Dia yakin benar kalau waktu itu Kevin terus menatapnya. Cowok itu mungkin juga sempat melihat ketika air matanya mulai jatuh ke pipi sesaat sebelum dia melangkahkan kaki dengan cepat untuk kembali ke kelas.
Hingga sore ini, pikiran Sofi terus dipenuhi dengan bayang-bayang Kevin. Sejak siang itu dia sudah beberapa kali menangis. Tadi sehabis menjajakan kue keliling, dia kelelahan dan langsung berbaring di ranjang kamar. Ketika ingatannya tertuju pada Kevin, air matanya jatuh lagi. Saking larutnya, dia sampai tak mendengar kalau ada suara ketukan di pintu. Dia baru bangkit setelah ketukan dari pintu kamarnya terdengar lebih keras. “Iya, Bu,” katanya ketika bangkit. Setelah menyeka air mata, dia turun dari ranjang lalu segera membuka pintu.
“Aduh anak Ibu ngapain saja, sih? Dipanggil-panggil, pintu diketuk-ketuk dari tadi kok nggak digubris?” kata Tiara ketika masuk ke dalam kamar.
“Maaf, Bu, Sofi kecapekan,” balas Sofi setenang mungkin. Dia mencoba menyembunyikan kesedihannya. Namun percuma saja karena Tiara bisa membaca itu dari raut wajahnya.
“Kenapa, sih? Kamu nangis? Lagi ada masalah?” tanya Tiara ketika telah terduduk di tepi ranjang.
Sofi ikut duduk di tepi ranjang. Namun dia enggan menjawab pertanyaan ibunya itu. Terlalu cengeng rasanya kalau hanya urusan cowok saja dia ceritakan. Ini masalahnya. Dia bisa menyelesaikannya sendiri. Seiring berjalannya waktu, dia pasti bisa benar-benar melupakan semua perasaannya pada Kevin.
“Nggak ada apa-apa kok, Bu,” jawab Sofi akhirnya.
“Ibu tahu kamu bohong,” kata Tiara sambil tersenyum dan menatap raut suram Sofi. “Ayo, dong, cerita, atau kamu mulai berpikir kalau Ibu bukan lagi teman curhat yang baik?” lanjutnya sambil terus memperhatikan Sofi.
Sofi tak juga ingin menjawab. Dia terus diam. Dia tetap pada pendiriannya untuk tak menceritakan semua pada ibunya.
“Pasti karena Kevin, ya?” tebak Tiara. “Sofi, sekuat apa pun otak kamu berusaha berpaling tapi hati kamu tidak akan bisa berbohong. Karena hati akan selalu tahu apa yang diinginkan.” Tak sulit bagi Tiara untuk tahu dan menebak bagaimana perasaan anak gadisnya. Dulu Sofi pernah juga diam-diam menangis tak jelas seperti ini. Waktu itu karena dia tahu kalau cinta pertamanya di SMP sudah punya pacar. Awalnya Sofi juga tak mau bercerita. Namun setelah didesak, gadis itu mau berbicara juga pada ibunya.
Sofi terdiam. Perlahan air matanya jatuh lagi. Dia merenungi kalimat ibunya barusan itu. Hati akan selalu tahu apa yang diinginkan. Memang benar. Nyatanya sekuat apa pun otaknya mencoba memanipulasi semua dan berpikir kalau dia tak lagi menginginkan Kevin, hatinya tetap saja merasakan hal yang lain. Desir itu masih tetap ada ketika dia memandang Kevin, bahkan meski hanya dari kejauhan.
“Lihat itu,” kata ibu Sofi sambil menunjuk jendela kaca yang ada di kamar Sofi. Sofi ikut memandang ke sana. Gerimis kecil-kecil sedang turun rapat di luar sana. Seketika senyum Sofi terbit. Dia mengetahui maksud ibunya.
“Boleh Sofi keluar, Bu?” tanya Sofi sambil tersenyum cerah. Satu anggukan ibunya memantapkan langkahnya untuk menikmati rinai gerimis di luar.
Ketika membuka pintu, Sofi mendapati sosok yang dari tadi terus bergentayangan di kepalanya sedang berdiri di hadapannya. Gadis itu sempat mengedipkan mata beberapa kali untuk memastikan bahwa sosok yang berdiri di hadapannya memang benar Kevin dan dia sedang tak bermimpi.
Kembali melihat Kevin berdiri di depan pintu rumahnya di antara gerimis kecil-kecil dan rapat sperti ini rasanya seperti deja vu. Beberapa bulan lalu Sofi tak menyangka juga kalau tiba-tiba Kevin akan datang ke rumahnya sama seperti sekarang. Ketika melihat sekelilingnya Sofi sadar kalau Kevin tak membawa kendaraan pribadinya—sama juga seperti beberapa bulan silam.
“Ngg ... Kak Kevin kok bisa di sini, sih?” tanya Sofi canggung.
“Lagi mau ngajak kamu jalan,” balas Kevin santai. Berbanding tebalik dengan Sofi yang semakin berkerut keningnya karena kebingungan.
“Tapi, kan ....”
“Kenapa? Emangnya kalo udah nggak pacaran nggak boleh, ya, jalan bareng?”
Sofi belum sempat menjawab pertanyaan Kevin karena detik berikutnya perhatian mereka tertuju pada sebuah mobil yang berhenti tepat di depan rumah tante Sofi. Mobil itu adalah mobil Radit. Raut wajah Sofi berubah khawatir ketika melihat Radit turun dari mobil. Dia takut kalau ternyata pria itu dan tantenya masih menjalin hubungan dekat. Sofi menjadi semakin kaget dan heran ketika mengetahui kalau Radit sampai berani berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan pintu rumah tantenya. Sofi merasa ada yang aneh ketika dia tak melihat ada ekspresi kekagetan di wajah Kevin. Seharusnya cowok itu merasakan hal yang sama dengannya, kan?
Tak lama kemudian Tantri keluar. Dari kejauhan mereka mendengarkan percakapan yang terjadi di antara dua orang itu. Radit yang mulai berbicara.
“Maafkan aku, Tantri. Aku sadar apa yang kita lakukan ini salah. Sudah saatnya aku kembali ke keluarga aku dan kamu kembali ke suami kamu,” katanya sambil menatap Tantri.
“Maksud Mas Radit apa?” tanya Tantri dengan mata berkaca-kaca. Ada ketidakrelaan di sana, Sofi bisa melihat jelas itu.
“Keponakan kamu yang perempuan sudah menceritakan semuanya padaku. Lagi pula aku baru saja kehilangan putriku, Tantri. Aku benar-benar merasa bersalah karena selama dia sakit aku tidak berada di sampingnya. Seharusnya aku memberi dukungan mental pada istriku waktu itu, tapi aku malah dekat dengan kamu,” jelas Radit. Pelan, tenang, dan datar. Raut wajahnya melukiskan penyesalan mendalam.
Tantri tak menjawab kalimat Radit lagi. Wanita itu hanya menangis.
“Suami kamu adalah orang yang ada bersama kamu dari awal sedangkan aku hanyalah seseorang yang singgah sementara dan tak menemani kamu dalam jatuh-bangun kehidupan kamu. Suami kamu adalah seorang yang menjadi tempat kamu untuk pulang, untuk singgah selamanya. Begitu juga halnya dengan aku. Istriku adalah seseorang yang ada bersamaku dari awal. Seorang yang menjadi tempat aku pulang dan juga tempatku singgah untuk selamanya. Kedekatan kita ini tak perlu diteruskan aku rasa. Sudah saatnya kita kembali ke tempat kita pulang.”
Itu adalah kalimat terakhir yang Radit ucapkan sebelum akhirnya kembali melangkah mendekati mobil. Tantri terduduk di depan teras rumah sambil menangis ketika Radit pergi.
“Mama bilang dia masih suka lihat tante kamu SMS Papa, Sof. Maka dari itu aku terus ngedesak Papa supaya ngomong ke tante kamu. Tadi malem Papa bilang kalau dia mau dateng ke sini. Makanya aku nggak kaget waktu liat Papa turun dan medekat,” kata Kevin ketika pandangannya telah lepas dari Tantri.
Tadi Kevin sempat melihat Sofi melihat ke arahnya dengan tatapan penuh tanya. Maka dari itu dia menjelaskan.
“Udah nggak ada yang perlu dikhawatirin, kan, sekarang? Jadi nggak apa-apa, dong, kalo kita jalan bareng?” tanya Kevin, memastikan lagi apakah Sofi bersedia ikut degannya atau tidak.
“Mmm ... iya, nggak apa-apa sih!” jawab Sofi. Gadis itu mendongak, menatap Kevin sekilas lalu menundukkan kepalanya. Dia takut gemuruh di dadanya semakin menggila kalau harus menatap wajah Kevin terlalu lama. “Gerimisnya juga udah hilang,” lanjutnya sambil menadahkan kedua telapak tangannya dan tersenyum canggung.
Kevin meraih pergelangan tangan Sofi. “Yaudah ay ....” kalimat Kevin terputus karena Sofi menyahut dengan buru-buru.
“Ta ... tapi aku mau ganti baju dulu,” kata Sofi sambil menarik tangannya gugup. Dia tak ingin penampilannya terlihat tidak menarik saat berjalan bersama Kevin.
Bukannya melarang atau mengiyakan Kevin justru tersenyum sambil memperhatikan penampilan Sofi dari ujung kaki ke kepala. Sandal wedges warna peach, rok selempang warna cokelat tua, kaos warna peach, poni miring, dan rambutnya yang diikat ke belakang. Semua yang ada pada diri Sofi sekarang itu sudah tampak indah, tak perlu lagi ada yang diganti.
“Nggak usah. Gitu aja juga udah cantik, kok,” kata Kevin sambil mulai meraih jemari tangan Sofi, menggandeng gadis itu.
“Ta ... tapi,” bantah Sofi ketika mereka mulai berjalan.
“Aku tahu kamu mau ngeles, kan, pake bilang mau ganti baju segala,” kata Kevin setelah Sofi mensejajari langkahnya. “Kenapa, sih, jadi sok canggung gitu dan nolak aku gandeng? Bukannya dulu kita pernah lebih dari sekedar gandengan tangan, ya?”
Sofi menghentikan langkahnya ketika mendengar kalimat Kevin itu. Kevin juga melakukan hal yang sama. Mereka saling bertatapan selama beberapa detik. Ketika Kevin menaik turunkan alisnya sambil menyeringai, Sofi berkata, “Apaan, sih! Genit, deh!” sambi mendorong cowok itu.
Tawa Kevin meledak melihat tingkah Sofi.
Perjalanan yang mereka tempuh menggunakan bus memakan waktu sekitar kurang lebih setengah jam. Sofi merasa heran ketika tahu ternyata Kevin mengajaknya ke sebuah arena balap. Seingat dia Kevin sudah mengundurkan diri waktu itu.
“Ngapain ke sini? Bukannya Kak Kevin udah nggak ikut balapan, ya?”
“Iya, tapi Dion dan Ferro ikut, jadinya aku nonton. Kasihan mereka kalo nggak disemangatin,” jawab Kevin sambil tersenyum tipis. Senyum yang tak pernah pudar pesonanya di mata Sofi.
Akhirnya mereka masuk arena lalu duduk di bangku penonton. Di sana mereka tak sengaja bertemu Jessie. Sofi mengajak Kevin bergabung dengan Jessie di bagian depan. Tak perlu Sofi bertanya untuk siapa Jessie datang. Dia tahu kalau sahabatnya itu masih menyimpan perasaan pada Edo.
Pertandingan berlangsung sangat seru. Selama beberapa putaran Sofi melihat mobil Edo memimpin. Di putaran yang lain mobil Ferro atau Dion ganti memimpin. Tiga mobil mereka terus bersalip-salipan selama beberapa putaran.
Sofi tak terlalu menaruh minat dengan pertandingan ini sebenarnya. Dia tak suka balapan. Dia takut kalau harus berada di boncengan motor atau naik kendaraan umum yang melaju terlalu cepat. Perhatiannya pada arena itu tak terlalu fokus. Namun, akhirnya satu kejadian mampu mencuri perhatiannya. Ketika mobil Edo yang tengah melintas di depan mereka melenceng, menerobos lintasan. Mobil itu terbalik dan terpelanting agak jauh keluar lintasan balap. Perasaan Sofi semakin tak tenang saat dia sadar Kevin sudah tak ada di sampingnya. Cowok itu berlari secepat kilat mendekati mobil Edo. Saat akan berdiri, Jessie menahan lengan Sofi. “Terlalu bahaya, Sof, jangan,” katanya. Padahal gadis itu sendiri pun sebenarnya ingin mendekat dan melihat Edo. Namun apa daya, dia sudah bukan pacar Edo lagi.
Agak jauh dari tribun penonton, Kevin, yang sudah mencapai mobil Edo, segera berusaha menolong sepupunya itu. Dia tak peduli dengan kebencian Edo padanya selama ini. Naluri yang menggerakkanya untuk menolong Edo. Maka dengan gesit dia bergerak mendekat ke badan mobil dan mengulurkan tangannya agar Edo yang terjebak dalam himpitan kursi bisa keluar.
“Kasih tangan lo dan gue bakal narik lo supaya bisa keluar dari sini,” kata Kevin.
“Gue nggak butuh bantuan lo. Nggak usah sok baik lo, pembunuh!” balas Edo tajam.
Kevin terdiam sejenak. Tangannya dia tarik. Perhatiannya tertuju ke bagian bawah mobil yang telah berada di atas karena terbalik. Dari beberapa sudutnya mengeluarkan percikan-percikan api. Tak ada waktu untuk berdebat atau kalau tidak mereka berdua akan mati konyol terbakar karena kemungkinan besar mobil Edo akan meledak dan hangus.
“Nggak ada waktu lagi, Do! Oke, anggep aja ini semua gue lakuin untuk ngebales kesalahan gue waktu itu,” kata Kevin saat dia mulai mengulurkan tangannya lagi.
Akhirnya Edo mengulurkan tangannya juga setelah mencium aroma busuk seperti besi yang terbakar. Kevin terus berusaha menarik tubuh Edo hingga akhirnya cowok itu berhasil keluar dari mobil. Tanpa menunggu Kevin, Edo lantas berlari menjauhi mobil. Ketika Edo berhasil menyelamatkan diri, nasib sial justru menimpa Kevin. Saat akan mundur menjauh, kaosnya tersangkut karena terjepit di antara pintu dan badan mobil yang ringsek. Kevin baru berhasil melepaskan kaosnya bertepatan dengan terdengarnya dentuman keras seperti suara bom meledak.
“KEVIINN!” jerit Sofi saat melihat gumpalan api dan kepulan asap membumbung ke udara seiring dengan terdengarnya suara ledakan keras dari mobil Edo. Jantung Sofi seperti tertarik keluar menerobos dada dengan cepat seketika itu juga. Rasa takut, khawatir, sedih, dan cemas melebur jadi satu menyelimutinya. Tanpa aba-aba, air matanya turun dan mengalir deras membasahi pipi. Cengkeraman tangan Jessie yang ada di pergelangan tangannya terlepas ketika dia berdiri. Refleks, dia lantas berlari mendekati kobaran api. Dia tak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi pada Kevin.
Dengan terus mengabaikan segala kemungkinan buruk yang terjadi, Sofi terus berlari mendekati mobil ambulans tim medis. Di sanalah dia akhirnya menemukan sosok Kevin. Cowok itu sedang terbaring tak sadarkan diri dengan beberapa bagian tubuh dan baju yang menghitam karena asap ledakan. Beruntung, Sofi diizinkan ikut di dalam mobil setelah sempat memohon pada salah seorang tim medis. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Sofi terus mengenggam erat jemari tangan Kevin. Dia tidak bisa mengendalikan tangis saat melihat beberapa bagian tubuh Kevin yang terkena luka bakar.
***
Sudah hampir satu jam Sofi duduk di bangku panjang depan ruangan tempat Kevin dirawat. Tak ada pertanda dokter akan keluar. Di samping kiri Sofi ada Jessie. Gadis itu terus merangkul dan menenangkannya sejak kedatangannya beberapa menit lalu. Edo ada di sudut lain, tak jauh dari tempat mereka berdua duduk. Di wajah, lengan, dan kakinya ada beberapa luka goresan yang sudah dibersihkan dan mendapat perawatan dari suster. Ketika datang di depan ruang rawat Kevin, cowok itu langsung sibuk menelepon seseorang. Mungkin orangtua Kevin.
“Sof, gue minta maaf,” kata Edo ketika dia telah selesai menelepon dan duduk di samping Sofi. Sofi tak langsung menjawab. Dia memperhatikan raut wajah Edo untuk memastikan keseriusan cowok itu.
“Buat apa? Gue tahu kok lo nglakuin itu semua karena dendam lo sama Kevin. Harusnya lo minta maaf ke Kevin bukan ke gue,” balas Sofi setelah sempat terdiam beberapa detik.
“Iya, gue bakal minta maaf ke dia nanti kalo dia siuman, tapi gue butuh maaf dari lo karena ....” Edo menahan kata-katanya. Sangat sulit rasanya mengungkapkan apa yang pernah dia lakukan pada Sofi dengan kata-kata, apalagi di antara mereka ada Jessie. Edo takut gadis itu akan berpikir yang tidak-tidak. “Karena apa yang gue lakuin sama lo di rumah kosong itu sangat nggak pantas dan nggak sopan,” lanjutnya setengah berbisik, berharap Jessie tak mendengar apa yang dia ucapkan.
Sofi membalas ucapan Edo itu dengan anggukan. Baginya orang yang mau mengakui kesalahan dan meminta maaf itu adalah sosok yang sangat berjiwa besar. Maka mereka perlu diberi apresiasi dengan dimaafkan. Bagaimanapun maaf itu mampu meleburkan dendam dan melelehkan kebencian.
Kedua orangtua Kevin datang tak lama setelah dokter keluar dan berjalan beberapa langkah dari ruang rawat. Dua orang itu tampak gelisah, cemas, dan khawatir, terutama Mona. Mereka berdua masuk ke dalam ruang rawat setelah dipersilakan oleh dokter. Tadinya Sofi akan mendekat ketika tahu dokter telah keluar dari ruangan, tapi orangtua Kevin lebih dulu datang dan mengajak dokter itu berbicara.
Karena tak sabar menunggu, akhirnya Sofi berjalan mendekati pintu ruang rawat Kevin. Dari jendela dia melihat Radit merangkul Mona yang sedang menangis sambil terus meracau dan mengusap kepala Kevin. Entah apa yang Mona ucapkan, Sofi tak bisa mendengar dengan jelas. Pandangan Sofi lantas tertuju pada Kevin yang sedang terbaring dengan beberapa perban di kaki dan tangan. Cowok itu sedang menatap Mona dengan tatapan penuh penyesalan.
“Kita masuk aja. Ngapain malah bengong di sini kalau mau jenguk,” kata Edo sambil mulai membuka pintu.
Edo menyalami Mona dan Radit ketika masuk. Sofi dan Jessie juga melakukan hal yang sama. Seolah mengerti dengan kebutuhan tiga anak muda itu dengan Kevin, Radit dan Mona lantas pamit keluar.
Sebenarnya segala kebencian dan dendam yang ada pada diri Edo sudah sedikit luruh saat menyadari Kevin rela mempertaruhkan keselamatannya tadi ketika kecelakaan terjadi. Segala kebencian itu hilang sempurna tak berbekas ketika Edo melihat kondisi meyedihkan Kevin sekarang. Ada dua perban di tangan kanan cowok itu, sementara satu perban di kaki kirinya. Sementara itu di sekitar siku kanan dan bawah lutut kirinya ada beberapa luka bakar terbuka.
“Gue minta maaf, Vin,” kata Edo pelan. Raut wajahnya melukiskan penyesalan yang teramat dalam. Dia sadar Kevin tak akan repot-repot menolongnya kalau cowok itu memang jahat seperti yang dia pikirkan. Sebaliknya, Kevin justru akan membiarkannya terjebak dan mati hangus di dalam mobil.
Kecelakaan yang tadi terjadi padanya itu sungguh sangat mengerikan. Dia sadar semua itu terjadi tanpa adanya unsur kesengajaan dari siapa pun. Sama seperti kecelakaan yang terjadi pada Jasmine beberapa tahun silam. Lagi pula pacarnya itu tak langsung meninggal. Keluarga Kevin bahkan mau bertanggung jawab atas segala biaya rumah sakit Jasmine. Dia saja yang terlalu larut dalam kesedihan yang membuatnya terbelenggu pada kebencian. Kebencian itu menutup matanya. Dia buta akan kenyataan bahwa kematian itu adalah kehendak Tuhan yang akan datang kepada siapa saja, dengan pasti. Semua hanya tinggal menunggu waktu.
“Harusnya gue nggak nyalahin lo ....” Edo melirik Jessie sekilas. “Atas kepergian Jasmine,” lanjutnya kemudian. Dia melihat wajah Jessie lagi setelah melanjutkan kata-katanya dan mendapati begitu banyak tanda tanya di sana. Biar saja semua terbongkar. Dia akan menjelaskan pada Jessie nanti kalau gadis itu bertanya.
“Nggak apa-apa. Gue juga ceroboh waktu itu. Tapi, memang apa pun penyebabnya, bagaimana pun caranya, kematian seseorang itu sudah dituliskan kapan waktunya oleh Tuhan, Do. Percuma aja, lo mau ngebenci dan menyakiti seberapa banyak orang pun, itu nggak akan mengubah fakta kalau dia sudah pergi dari dunia ini untuk selamanya. Semakin lo nyakitin gue, semakin lo nggak bisa ngerelain dan ngikhlasin kepergian Jasmine, iya, kan?” kata Kevin lemah.
Edo mengangguk pelan menanggapi ucapan Kevin itu. Apa yang Kevin ucapkan itu benar. Semakin dia memupuk kebenciannya pada Kevin semakin dia tak bisa melupakan dan merelakan kepergian Jasmine. Hal itu juga yang sebenarnya menambah rasa sakit hatinya sendiri.
“Di dunia ini setiap yang pergi akan digantikan dengan yang datang. Begitu terus silih berganti. Tuhan ngambil dia dari lo bukan karena Tuhan nggak sayang sama lo. Buktinya Tuhan ngasih lo another J yang selalu setia sayang sama lo meski udah berkali-kali lo sakitin,” kata Sofi sambil melirik Jessie. Edo mengikuti arah pandang Sofi. Ketika saling bertatap, Edo dan Jessie saling tersenyum canggung. “Dia dateng ke arena balap tanpa sepengetahuan lo. Buat siapa lagi coba kalo bukan buat lo,” lanjut Sofi.
Entah apa yang akan Edo jelaskan pada Jessie nanti tentang Jasmine, tapi Sofi yakin hubungan mereka bisa baik kembali.
***
Segalanya berjalan normal dan baik lagi seminggu setelah kecelakaan itu. Sofi tak tahu siapa yang memenangkan lomba pada akhirnya. Karena bukan teman-teman Kevin yang mendapatkan gelar juara. Tak apa, asalkan kini Kevin sudah sehat kembali kondisinya.
Sofi sering melihat Kevin dan dua temannya berkumpul dengan Edo cs. Mereka sering terlihat jalan bersama seperti sekumpulan boyband. Tak terlalu berlebihan rasanya kalau Sofi beranggapan begitu. Karena para gadis di sekolah selalu tampak heboh ketika melihat gerombolan mereka lewat. Meski sulit menarik perhatian Kevin atau Edo, tapi mungkin bisa menarik perhatian salah satu cowok saja dari mereka bisa menjadi hal yang cukup membanggakan bagi para gadis itu.
Di hari-hari berikutnya Sofi sering melihat Edo datang ke kelasnya. Cowok itu tentu saja menemui Jessie. Saat pertama kali Edo menemui Jessie, gadis itu tampak ragu dan canggung. Meski begitu akhirnya Jessie mau juga diajak keluar kelas bersama. Setelah kembali ke kelas wajah Jessie berubah semringah. Ketika Sofi bertanya mengapa, Jessie hanya bilang kalau Edo telah minta maaf atas segala yang cowok itu pernah lakukan selama mereka berhubungan. Jessie juga bilang kalau Edo telah menjelaskan padanya tentang siapa itu Jasmine dan meminta maaf karena telah menyembunyikan semua itu.
Sofi tak pernah tahu apakah Jessie dan Edo sudah kembali berpacaran atau tidak karena gadis itu tak pernah bercerita. Dia hanya tahu kalau mereka kembali dekat. Semua baru tampak jelas di mata Sofi ketika pulang sekolah dia melihat Jessie di parkiran mobil. Gadis itu keluar dari sebuah mobil. Sebuah Jazz hitam milik salah satu teman Edo. Jessie menutup pintu mobil dengan agak keras sambil tertawa-tawa lalu menutup mulutnya dengan tangan kiri. Sepertinya dia baru saja selesai bercanda dengan seseorang di dalam sana.
“Jes, lo kenapa, sih?” tanya Sofi saat berjalan mendekati Jessie.
Jessie menggeleng sambil terus tertawa dan masih menutup mulutnya. Tak lama kemudian Edo keluar dari mobil. Cowok itu berjalan mendekati Jessie sambil tersenyum-senyum. Dari belakang dia raih pinggang Jessie lantas diciuminya leher gadis itu bertubi-tubi. Jessie tertawa geli sambil berusaha melepaskan diri. Melihat kedekatan mereka, Sofi tersenyum lega.
Deheman Kevin yang akhirnya membuat Edo melepaskan Jessie. “Do, gue udah lama ya kayaknya nggak fight sama lo,” katanya.
Fight? Kata-kata itu membuat Sofi menatap Kevin penuh tanya sambil mengerutkan keningnya.
“Balapan maksudnya, Sof,” jelas Kevin ketika menyadari raut bingung Sofi.
“Boleh,” jawab Edo santai. Hitung-hitung ini sebagi pelampiasan karena dia gagal ikut balapan akibat kecelakaan tempo hari.
“Oke. Start dari gepan gerbang sekolah dan finish di rumah gue gimana?” ujar Kevin.
“Deal,” balas Edo.
Setelah itu Edo segera masuk ke dalam mobil hitam tadi bersama dengan Jessie.
“Ketemuan di rumah gue, Gaes!” teriak Kevin pada dua temannya dan dua teman Edo sebelum melangkah ke mobilnya. Dia latas meraih tangan Sofi, mengajak gadis itu untuk ikut dengannya.
“Kenapa Kak Kevin ngajak aku, sih? Kan Kak Kevin tahu kalo aku nggak suka kebut-kebutan!” protes Sofi ketika telah berada di dalam mobil.
“Kalo Edo ada yang ngedampingin masak aku nggak, sih?” jawab Kevin sambil mulai menjalankan mobil.
Balapan asal-asalan ini dimulai ketika dua mobil sudah berada di depan gerbang sekolah. Ferro yang ada di pinggir jalan memberikan aba-aba. Menghitung dari satu sampai tiga hingga akhirnya dua mobil itu melesat cepat meninggalkan gerbang sekolah.
Sofi sudah panik sejak beberapa detik ketika mobil Kevin mulai melesat meninggalkan gerbang sekolah. Kepanikannya semakin bertambah saat dia melihat jarum speedometer terus merangkak naik menuju angka delapan puluh.
“Kak Kevin jangan kenceng-kenceng, dong, jalannya,” protes Sofi. Kedua tangannya terus mencengkeram bagian kiri dan kanan kursi di sebelah pahanya.
Kevin melirik Sofi sekilas lalu tertawa melihat ekspresi ketakutan gadis itu. “Namanya juga balapan, Sof. Gimana mau nggak cepet coba? Entar kalah, dong, kalo lambat!”
Sofi tak mengeluarkan protes lagi setelah itu. Dia hanya menatap jalanan di depannya dengan detak jantung yang tak beraturan.
Mobil Kevin tak lama memimpin di depan kerena beberapa menit kemudian Edo menyalip. Sofi sempat melihat Jessie tertawa dan melambai padanya ketika mobil yang dikemudikan Edo tepat berada di sisi mobil Kevin. Tak mau kalah, Kevin menambah kecepatan. Jarum speedometer naik lagi mendekati angka seratus. Ini sudah bisa dibilang ugal-ugalan. Sofi menutup matanya karena tak berani melihat pemandangan di depan matanya.
Akhirnya Kevin mampu menyalip Edo dalam waktu beberapa detik. Dua mobil itu saling mendahului beberapa kali sebelum akhirnya Edo yang berhasil menjadi pemenangnya karena Kevin sudah tidak tega melihat wajah pucat Sofi saat akan menambah kecepatan di beberapa meter terakhir mendekati rumahnya.
“Yes! Kita menang!” teriak Jessie sambil bertos dengan Edo saat mereka sudah turun dari mobil.
Kevin yang baru saja turun dari mobil segera protes. “Lo lagi beruntung aja kali, Do!” katanya seolah tak rela menerima kemenangan Edo.
“Lo itu, ya, udah kalah masih aja protes!” balas Edo tak terima.
“Tahu, tuh! Mendingan lo ambilin minum buat Sofi, deh! Tuh lihat, temen gue sampe pucet gitu,” kata Jessie.
Mendengar itu Kevin segera menoleh pada Sofi. Jessie benar. Wajah Sofi masih sangat pucat padahal balapan sudah berakhir selama beberapa menit. Tak perlu menunggu lama, Kevin pun segera masuk ke dalam rumah lalu berlari ke dapur untuk mengambil air minum. Ketika berjalan keluar dapur Kevin telah mendapati Edo dan lima orang lainnya di ruang keluarga. Ferro dan Dion sedang bermain PS. Dua cowok lain sedang menunggu giliran sambil menghabiskan snack di dalam toples dan minuman dingin di botol. Sementara itu Edo bermain gitar agak jauh di belakang empat orang lainnya. Di sampingnya, Jessie sedang bergelayut manja sambil bernyanyi-nyanyi. Sesekali gadis itu mengablil snack dan minuman yang ada di depannya. Pasti Edo yang mengambil snack dan minuman itu untuk mereka. Cowok itu tak berubah, selalu bertingkah seperti di rumahnya sendiri ketika berada di rumah Kevin.
Pandangan mata Kevin terus berkeliaran menjelajah ruang keluarga, tapi tak juga dia menemui Sofi. Matanya berhenti menjelajah saat dia mendapati sosok Sofi berjalan dari bagian dalam rumahnya.
“Tadi aku habis ke toilet, dianter Bik Tini,” kata Sofi saat menyadari raut binggung Kevin.
“Oh, ini minumnya,” ujar Kevin sambil menyodorkan segelas air putih ke hadapan Sofi.
Sofi menerima gelas itu dari Kevin dan segera meneguk seluruh isinya sampai habis. Rasa dingin menyapa kerongkongannya. Itu cukup menghilangkan rasa gugup yang sempat muncul akibat aksi kebut-kebutan Kevin tadi.
“Kita ke belakang aja, yuk! Mereka lagi asyik kayaknya,” kata Kevin sambil menoleh pada enam orang yang sedang ramai di ruang keluarga.
Sofi mengangguk. Dia lantas mengikuti langkah Kevin ke halaman belakang. Langkah mereka terhenti di dekat sebuah ayunan yang terdiri dari dua kursi yang saling berhadapan di taman belakang rumah Kevin. Setelah meletakkan gelas kosong Sofi di lantai, Kevin segera duduk di salah satu kursi ayunan itu.
“Duduk sini, dong, Sof, kok malah bengong,” kata Kevin saat melihat Sofi yang hanya berdiri dan terdiam.
Sofi tidak bengong sebenarnya. Dia hanya agak takjub saat tahu ternyata di belakang rumah Kevin ada taman yang cukup luas. Ada berbagai macam jenis bunga di sana. Beberapa bunga yang tertanam langsung di tanah tampak alami seperti tumbuh dengan sendirinya. Sementara bunga yang tertanam di pot, meski tak tampak alami, tetap terlihat indah karena ditata berjajar rapi. Sofi semakin takjub lagi saat dia menyadari bahwa bunga terbanyak yang tertanam di sana adalah bunga lavendel. Tak ingin berpikir terlalu jauh, akhirnya Sofi memutuskan untuk mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga lavendel itu. Belum tentu Kevin yang menanam sendiri bunga-bunga itu. Belum tentu juga semata-mata kerena dia. Siapa tahu Mona atau Alice juga penyuka bunga lavendel sama seperti dia.
“Ayunan ini dulunya Alice yang minta,” cerita Kevin ketika Sofi telah duduk di sampingnya. “Dia suka duduk diem di sini kalau lagi ngambek atau habis dimarahin Mama. Dia selalu nangis tiap kali aku nyusul dia dan ikut dateng ke sini. Kalo udah kayak gitu biasanya dia mulai ngadu. Dia bilang, ‘Mama jahat, Kak. Mama nggak mau beliin aku ini, itu,’” lanjut Kevin. Matanya mulai berkaca-kaca. Beberapa detik berikutnya cowok itu tersenyum getir sambil mengusap air mata yang keluar dari sudut matanya dengan jempolnya. Melihat itu, Sofi segera menenangkan Kevin. Dia mengusap pundak cowok di sampingnya itu pelan. Meski air mata Kevin hanya keluar beberapa tetes dan langsung hilang karena segera cowok itu keringkan dengan jari-jari tangan, Sofi bisa merasakan bagaimana rasa sakit yang cowok itu rasakan karena dia juga pernah merasakan sakitnya ditinggal pergi untuk selamanya oleh orang yang dia sayangi.
Tak akan habis rasanya berapa pun banyak waktu, kalau dipakai untuk menceritakan indahnya kebersamaan Kevin dengan Alice saat adiknya itu masih hidup. Kehadiran Alice mampu membuat Kevin menjadi sosok yang lebih bertanggung jawab. Kehadiran Alice mampu membuat Kevin mengerti betapa berbagi itu penting. Meski dalam hal-hal kecil. Meski dalam keadaan serba terbatas.
“Hayoloh! Dicariin kemana-mana nggak ada ternyata mojok di sini!” kata Jessie yang baru saja datang sambil menerkam punggung Sofi dengan kedua tangannya, bermaksud mengagetkan.
Sofi menepuk-nepuk dadanya pelan, mencoba menghilangkan rasa kaget sebelum akhirnya dia menoleh dan mendapati Jessie tertawa cengengesan. Di belakang gadis itu ada Edo dan Kevin—yang entah sejak kapan sudah berdiri—mereka berdua lantas berjalan menjauh sambil membicarakan sesuatu.
“Jessie, untung aja gue nggak punya penyakit jantung, ya!” kata Sofi saat dia telah berdiri.
“Maaf, Sof,” ujar Jessie sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dagu dan agak membungkuk. Gadis itu tampak menyesal, tapi tetap sedikit cengengesan.
“Iya!” balas Sofi, “Ngomong-ngomong lo udah balikan sama Edo, ya?” lanjutnya saat mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam rumah.
“Iya. Dia juga udah cerita tentang penculikan lo itu. Dia bilang dia mau janji memperbaiki semuanya,” jawab Jessie. Gadis itu terus bercerita tentang hubungannya dengan Edo yang semakin membaik selama berjalan menuju ruang keluarga. Sofi terus mendengarkan sambil sesekali tersenyum. Sofi ikut senang karena akhirnya Edo sadar kalau tak ada untungnya terus membelenggu diri dengan kesedihan masa lalu dan mengabaikan cinta yang sudah ada sekarang. Kesedihan masa lalu itu hanya akan menyakiti kalau terus-menerus diingat dan dipikirkan.
si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
Comment on chapter Prologberkunjung balikke ceritaku ya.