Terakhir kali Sofi tampak dekat dengan Kevin adalah saat berada di ayunan belakang rumah cowok itu beberapa hari lalu. Setelahnya mereka tak pernah terlihat bersama lagi. Sebenarnya Sofi ingin bisa mendekati Kevin dengan mudah. Berbicara dekat dan akrab dengan cowok itu saat di sekolah, tapi Kevin tak pernah terlihat benar-benar sendiri saat di sekolah. Saat jam istirahat, kemana pun cowok itu pergi pasti selalu disertai Edo dan empat orang lainnya. Kalau Edo sedang tak bersama Kevin karena menemani Jessie, Kevin juga masih bersama empat orang yang lain. Kalau para pasukan itu sedang tak bersama Kevin, cowok itu pun tetap tak pernah tampak sendiri karena selalu ada beberapa gadis yang mengikutinya ke mana-mana. Semua itu membuat ada jarak yang tercipta lagi antara Sofi dan Kevin.
Selama beberapa hari, kalau tak sengaja bertemu dan bersisipan mereka hanya saling melempar senyum tanpa bisa saling berkata-kata. Pernah suatu hari Jessie bertanya pada Sofi mengapa gadis itu hanya memandang Kevin dari kejauhan bukannya mendekat dan mengajak berbicara. Atau kalau dia terlalu malu bertatap muka langsung, paling tidak bisa, kan, menghubungi via telepon atau hanya sekedar chat melalui WhatsApp. Pertanyaan Jessie itu dia tanggapi dengan jawaban, “Gengsi kali, Jes, kan, gue cewek.”
Jessie yang merasa gemas tentu saja segera membantah Sofi. “Cinta itu butuh perjuangan Sof, dan perjuangan itu nggak kenal yang namanya gengsi apalagi gender,” ujarnya berapi-api.
Sofi bisa mengerti maksud Jessie. Namun dia tak mungkin melakukan seperti apa yang Jessie lakukan pada Edo. Dia bukan Jessie yang bisa mengungkapkan segala perasaan secara verbal dengan mudah. Dia hanyalah seorang gadis yang pandai merangkai kata dalam tulisan.
Kegalauan Sofi terus berlanjut sampai beberapa hari menjelang ulang tahun Kevin. Suatu malam saat sedang memandangi kalung bulu Elang dari Kevin dia terpikir untuk menulis sebuah puisi. Maka dia biarkan jemari tangannya yang memegang bolpoin menari dengan lancar di atas kertas binder yang selama ini dipakainya untuk menulis kumpulan puisi. Dia akan memberikan puisi ungkapan isi hati itu untuk Kevin di hari ulang tahun cowok itu.
“Lo kenapa sih, Sof, senyam-senyum gak jelas gitu?” tanya Jessie esok paginya ketika mereka telah duduk di kursi masing-masing. Jessie merasa heran dengan wajah semringah Sofi yang duduk di sampingnya sambil memegangi binder kumpulan puisi.
“Nggak ada apa-apa! Kepo deh!” jawab Sofi sambil terus tersenyum-senyum. Jessie tahu ada yang Sofi sembunyikan darinya. Dan pasti itu adalah sesuatu yang membahagiakan karena Sofi tampak sumringah. Jessie bertekad membongkar apa yang Sofi sembunyikan itu.
Semua tak berjalan seperti yang Sofi rencanakan ternyata. Di hari ulang tahunnya Kevin tak bisa ditemui. Sofi terus mencari Kevin dari pagi. Dia tanya pada Edo di mana keberadaan Kevin, tapi cowok itu bilang tak tahu. Selama mengikuti pelajaran di kelas, Sofi tampak gelisah. Dia sama sekali tidak fokus. Pikirannya terus tertuju pada Kevin. Dia takut kalau tak bertemu Kevin hari ini maka rencananya bisa gagal. Sedangkan dia tak mungkin nekat datang sendiri ke rumah Kevin. Malam itu saja, saat datang ke rumah Kevin untuk menemui Radit, Sofi memaksakan mental bajanya untuk keluar demi kebaikan dan keutuhan keluarga om dan tantenya.
Di jam istirahat Sofi datang lagi ke kelas Kevin. Namun dia masih tak bisa menemui cowok itu. ketika dia menanyakan pada Dion dan Ferro di mana keberadaan Kevin, mereka bilang tidak tahu. Terasa aneh memang. Namun dia tak mungkin bisa memaksa dua cowok itu. Mau mengancam juga memangnya dia bisa melakukan apa pada dua cowok itu? Yang ada dia yang akan habis dipiting Ferro atau Dion kalau macam-macam karena dari segi fisik postur mereka lebih besar dan tinggi.
Sialnya lagi saat kembali ke kelas dan mengecek binder, Sofi kehilangan puisinya. Dia bertanya pada Jessie yang dari tadi berada di dalam kelas tentang puisi itu, tapi gadis itu bilang tidak tahu. Dia sama sekali tak menyentuh buku binder Sofi katanya.
“Puisi buat siapa, sih? Kevin?” tanya Jessie saat Sofi masih sibuk mencari-cari, mengeluarkan satu-persatu isi tasnya.
“Iya sih, sebenernya. Tapi kertasnya itu hilang nggak tahu ke mana. Padahal gue yakin ada di binder itu karna gue nggak ngambil sama sekali, Jes,” jawab Sofi tanpa menoleh pada Jessie. Dia terus membalik satu-persatu halaman buku catatan, buku tugas, buku PR, hingga buku materi pendamping. Sofi akhirnya berhenti mencari dan kembali memasukkan buku-bukunya karena tak menemukan apa yang dicari. Wajahnya tampak kusut. Matanya berkaca-kaca seperti akan menangis.
“Udahlah, Sof, gue saranin mending lo ngomong langsung aja ke Kevin. Nggak ada salahnya kok cewek mulai duluan. Masak lo nggak mau menghargai perjuangan Ibu Kartini yang udah memperjuangkan emansipasi, sih?” kata Jessie sambil menepuk-nepuk pelan pundak Sofi yang mulai menangis.
Bukannya menjawab, Sofi malah memandangi Jessie. Dia merasa kalau hari ini Jessie lain dari biasanya. Gadis itu pasti akan ikut mencari biasanya kalau tahu Sofi sedang kehilangan sesuatu. Namun bukannya membantu, dari tadi gadis itu malah santai-santai saja sambil berkipas-kipas saat melihat Sofi mencari-cari. Apa jangan-jangan Jessie memang berpikir kalau puisi itu memang sama sekali tidak penting bagi Sofi? Ah, Jessie memang tak mengerti bagaimana berartinya rangkaian kata-kata di atas kertas bagi orang seperti Sofi.
***
Akhirnya Sofi memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke kelas Kevin lagi tepat saat bel pulang berbunyi. Selama beberapa jam pelajaran terakhir dia terus memikirkan ucapan Jessie. Tak ada salahnya memang mengungkapkan perasaan langsung melalui kata-kata. Sofi tak peduli kalau harus merasa malu. Apa pun itu akan dia tanggung asalkan Kevin bisa tahu bagaimana isi hatinya.
Meski seharian mencari-cari Kevin dan tak berhasil bertemu, Sofi yakin sekarang dia bisa menemukan Kevin karena saat jam istirahat tadi gadis itu melihat ada tulisan “Ahmad Nihil Prananta” di papan absen kelas Kevin. Tulisan itu yang membuat Sofi menyimpulkan kalau seluruh penghuni kelas itu masuk semua. Mungkin Kevin sedang berada di toilet atau perpus saat Sofi mencari tadi. Dan mungkin cowok itu tak sempat berpamitan pada teman-temannya.
Langkah Sofi terhenti ketika berada di dekat mading. Dia heran sekaligus penasaran saat melihat kerumunan manusia di sana. Rasa herannya semakin bertambah ketika tiba-tiba kerumunan itu menyibak saat mereka menyadari kehadiran dirinya. Kening Sofi semakin keriting saat dia melihat puluhan orang laki-laki dan perempuan yang tadi bergerombol itu mulai menatapnya sambil tersenyum-senyum. Sebagian bahkan malah ada yang bersorak, bersiul, bahkan tertawa-tawa. Belum juga lurus keriting di kening Sofi, dia sudah dikagetkan dengan keberadaan Kevin yang berdiri tepat di depan mading. Cowok itu bersedekap sambil menatapnya dengan senyum penuh arti.
“Makasih, ya,” kata Kevin setelah Sofi berdiri agak dekat dengannya.
“Makasih buat apa?” tanya Sofi heran. Dia sama sekali tak megerti maksud Kevin.
Kerumunan di belakang Sofi itu sekarang malah berciye-ciye. Sofi semakin tak mengerti dengan semua ini. Melihat kerumunan itu, Kevin yang berdiri sambil tersenyum aneh, dan ucapan terimakasih cowok itu, semua terasa terlalu membingungkan bagi Sofi. Sofi baru bisa mengerti apa arti dari semua itu setelah dia mengikuti isyarat mata Kevin yang tertuju ke mading. Tepatnya ke sebuah puisi yang ditulis di kertas binder. Dengan hati-hati Sofi mulai membaca puisi itu dalam hati.
Ich Liebe Dich
Hati rapuh ...
Luka lepuh ...
Ribuan luka t’lah sirna
Guratan asmara ciptakan asa
Jiwa menyala secerah nirwana
Tenggelam kalbu dalam telaga cinta
Lenyap sudah segala dahaga
Kobaran hasrat ini biar makin menjadi
Tak ingin kusesap pedihnya rindu lagi
Schatzi ... schatzi ... ich liebe dich
Mengalun indah nan syahdu
Menggelegar liar menghentak kalbu
Schatzi ... schatzi ... ich liebe dich
Syair cintamu menusuk jantungku
Mantra asmaramu selimuti sukmaku
Schatzi ... schatzi ... ich liebe dich
Merangsek brutal membelenggu kalbu
Getar suaramu indah bertalu
Mencumbu telinga menembus jantungku
Schatzi ... schatzi ... ich liebe dich
Dedicated to: Kevin Atharva Shankara
Sosok indah yang selalu menghuni hatiku.
Wajah Sofi seketika memerah dan keringat dingin membasahi wajahnya ketika dia sadar bahwa puisi itu adalah puisinya yang hilang. Rasanya malu sekali. Kalau ada topeng, Sofi mau memakainya untuk menutupi wajah. Atau kalau ada karung, gadis itu mau masuk ke dalamnya supaya tak ada lagi yang bisa melihatnya.
“Hati rapuh ... luka lepuh,” kata Kevin mulai membaca puisi itu dengan nada dibuat-buat seolah dia sedang benar-benar berada di atas panggung untuk mengikuti lomba baca puisi.
“Kak Kevin, diem nggak!” kata Sofi sambil berjinjit, berusaha membungkam mulut Kevin. Namun tentu saja usahanya itu tak berhasil. Selain karena memang lebih tinggi, Kevin juga terus berusaha berjinjit agar tangan Sofi tak bisa menjangkau mulutnya. Sambil tersenyum-senyum, Kevin lantas terus mengoceh.
“Schatzi ... schatzi ... ich liebe dich,” katanya lagi, terus membaca. Sofi terus berusaha membungkamnya dengan melompat-lompat, tapi terus gagal juga karena Kevin terus menghindar.
“Artinya apaan, sih?” tanya Kevin pada anak-anak di kerumunan.
Tak ada yang menjawab selama beberapa detik sampai akhirnya ada sahutan, “Sayang ... sayang ... aku cinta kamu!” itu adalah suara Jessie.
Ketika menoleh, Sofi mendapati Jessie tersenyum lebar sambil mengangkat jari tengah dan telunjuknya, memebentuk simbol peace. Sekarang Sofi bisa mengerti semuanya. Pasti Jessie yang mengambil puisinya. Pantas reaksi gadis itu tenang saja saat dia bercerita kalau puisinya hilang. Mungkin gadis itu juga sudah bersekongkol dengan Kevin. Sial! Sofi bermaksud memberi kejutan di hari ulang tahun Kevin dengan puisinya itu, tapi dia sendiri yang malah dikejutkan.
Wajah Sofi semakin memerah saat dia melihat Kevin masih terus membaca puisinya. Rasa malunya sudah tak terukur lagi. Berhadapan langsung dengan Kevin saja sudah bukan main malunya. Apalagi mengetahui puisi ungkapan hatinya harus dilihat dan dibaca banyak orang begitu? Beberapa detik setelah Kevin membaca bagian terakhir puisi itu dan sorakan terdengar semakin riuh, air mata Sofi keluar tanpa bisa dia bendung. Saat itulah kevin melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Segera dia dekap Sofi kemudian dimintanya kerumunan di sekitar mereka untuk bubar.
Karena tangisan Sofi tak juga Reda, Kevin akhirnya mengajak Sofi ke UKS setelah sempat meminta Jessie untuk mengambil puisinya dari mading. Dia bermaksud menenangkan Sofi di sana.
“Sof, udah dong nangisnya. Aku minta maaf, ya,” kata Kevin pelan sambil terus merangkul Sofi ketika telah berada di UKS.
Jessie dan Edo datang di UKS berberapa menit kemudian. Sekarang mereka berdua sedang memperhatikan Kevin yang terus berusaha menenangkan Sofi. Mereka duduk di depan ranjang tempat Sofi dan Kevin duduk. Entah sudah berapa kali Kevin meminta Sofi untuk berhenti menangis, tapi gadis itu tak menggubris.
“Lo, sih, Vin, ngerjain anak orang di depan keramaian, jadi malu, kan, tuh si Sofi. Kayak gue, dong, kalo ngerjain Jessie di tempat yang sepi dan temaram. Aman karena nggak ada orang yang lihat,” kata Edo sambil tersenyum bangga. Jessie refleks mencubit paha pacarnya itu hingga meringis kesakitan. Jessie gemas karena di saat seperti ini cowok itu masih sempat-sempatnya berbicara yang aneh-aneh.
“Ogah, ah! Gue bukan lo yang doyan mesum di kuburan. Biar mampus lo kesurupan kalo suka mojok sama cewek di tempat sepi,” gumam Kevin, tapi Edo bisa mendengarnya dengan jelas.
Edo baru saja akan berdiri, mengangkat tangannya hendak menjitak Kevin, tapi gagal karena Jessie menahannya. “Udah, dong! Kok kalian malah ribut, sih?! Sofi gimana, nih?” kata Jessie kesal. Edo lantas kembali duduk anteng setelah mendengar protes Jessie itu.
“Sof, udahan dong nangisnya, ya! Gue juga minta maaf karena gue yang nyuri puisi itu dan kasih ke Kevin. Gue juga yang nyuruh Kevin supaya ngilang dan nyuruh teman-teman dia supaya bilang nggak tahu kalo lo nanya,” kata Jessie dengan penuh sesal saat perhatiannya telah kembali pada Sofi.
Sofi sudah tak peduli lagi siapa yang ada di balik semua ini. Tak penting lagi. Toh semua terlanjur terjadi. Dia hanya tak bisa membayangkan bagaimana rasa malunya kalau harus bertemu dengan anak-anak yang tadi ada dikerumunan itu. Sofi yakin mereka semua pasti membaca puisinya.
“Sof. Ayo, dong, berhenti nangisnya. Gue nggak tahu, deh, harus gimana lagi supaya lo berhenti marah sama gue.” Jessie memohon pelan. Dia berharap kali ini Sofi mau mengikuti bujukannya.
“Gue nggak marah sama lo, Jes. Gue cuma ... cuma malu aja. Gue yakin, tuh, besok pasti seisi sekolah bakalan geger ... gara-gara puisi gue,” kata Sofi ketika telah mengangkat wajah. Kalimatnya terputus-putus karena diselingi sedikit isakan tangis.
Mendengar itu Kevin malah terkekeh.”Kamu boleh ngerasa malu kalo pada akhirnya kita nggak jadian,” ujar Kevin setelah tawanya reda.
Jessie dan Edo tersenyum-senyum mendengar kalimat cowok itu. Mereka mengerti maksud Kevin. Berbanding terbalik dengan ekspresi mereka, Sofi justru tampak kebingungan. “Emang kita nggak jadian, kan?” tanya Sofi setelah memandangi Kevin selama beberapa saat.
“Aku sendiri yang bakal mastiin kalau kita bakal jadian. Secepatnya,” kata Kevin. Pelan, tenang, tapi tajam sambil menatap manik mata Sofi dalam-dalam. “Kalo perlu aku umumin biar satu sekolah tahu.”
Sofi merasakan kehangatan menyapa dadanya semakin dia memandang mata indah Kevin. Senyum malu-malunya muncul bersamaan dengan senyum hangat yang tampak di bibir Kevin.
si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
Comment on chapter Prologberkunjung balikke ceritaku ya.