Read More >>"> Ich Liebe Dich (Lorong Gelap) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ich Liebe Dich
MENU
About Us  

   Sofi sedang berbaring di ranjang kamar ketika ponselnya berdering menandakan ada panggilan masuk. Dia sempat menoleh pada ponselnya sekilas lalu pandangannya tertuju ke langit-langit kamar lagi. Gadis itu sedang malas menerima telepon dari siapa pun.
   Di samping kepala Sofi ada bunga lavendel dan kalung bulu elang pemberian Kevin. Dari tadi gadis itu melamunkan Kevin. Kejadian di sekolah saat Kevin menatap matanya dalam hanya dari jarak beberapa senti terus terputar di otaknya. Kegembiraan yang berlebihan itu dia rasakan setiap kali raut indah Kevin terekam oleh indera penglihatannya. Rasa itu muncul seperti saat dia pertama kali jatuh hati dengan Kevin. Juga seperti saat pertama kali Kevin menyatakan perasaannya padanya. Semua ingatan itu membuat Sofi tanpa sadar tersenyum-senyum sendiri.
   Kepala Sofi kembali tertuju ke ponsel yang tergeletak tak jauh dari tubuhnya saat benda itu berdering lagi. Panggilan telepon untuk yang kedua kali. Beranggapan orang yang meneleponnya itu ada kepentingan, akhirnya Sofi bangkit dan meraih ponselnya.
   Senyum sofi yang sempat memudar muncul lagi saat melihat nama yang tertera di layar ponsel. Bahkan kali ini lebih lebar. Yang meneleponnya itu ternyata Kevin. Tahu begitu Sofi pasti sudah mengangkat telepon dari tadi. 
   Setelah meggeser logo telepon warna hijau, Sofi lantas menempelkan benda pipih itu pelan di telinganya. Dia menunggu orang di seberang berbicara.
   “Halo, Sof, kamu sibuk nggak sore ini?” suara bariton itu terdengar begitu merdu ditelinga Sofi. Rasanya mengagumkan bisa mendengar suara itu lagi melalui telepon. Seketika rasa hangat menjalar ke telinga dan merasuk hingga dada Sofi. Membuat getaran-getaran lembut bergejolak di sana.
   “Sof, kamu denger aku, kan?” terdengar lagi suara Kevin dari seberang. Bukannya menjawab, Sofi malah mengerjap-ngerjapkan mata. Ini bukan mimpi. Suara berat yang terdengar di seberang itu memang benar suara Kevin.
   “I ... iya, Kak Kevin. Ngg ... nggak, kok! Ada apa emang?” tanya Sofi saat dia telah berhasil melenyapkan rasa kagetnya.
   “Aku mau ajak kamu jalan sekarang. Sekaligus sebagai permintaan terima kasih karena kamu udah bantu aku bebas,” jawab Kevin. Selama beberapa detik tak ada jawaban dari Sofi. Di seberang Kevin menunggu, harap-harap cemas. Dia khawatir Sofi menolak permintaanya.
   “Bisa, Kak. Kebetulan aku udah selesai keliling jualan kue ini,” jawab Sofi. 
   Jawaban itu membuat Kevin lega. Seketika senyum cerah muncul di wajahnya.
   “Oke, aku otewe ke rumah kamu sekarang, ya.”
   “Iya.”
   Jantung Sofi semakin bergemuruh liar setelah dia mengakhiri telepon. Pertemuan ini bisa disebut kencan setelah sekian bulan lamanya hubungan keduanya berakhir. Sofi sama sekali tak berharap lebih dalam pertemua mereka kali ini. Dia memang masih menyimpan perasaan untuk Kevin, tapi duri itu masih mengganjal di kakinya. Menghalangi langkahnya. Duri yang juga mungkin akan menyakitkan bagi Kevin. 
   Sofi memutuskan untuk memakai kaos berwarna biru muda dan rok selempang berwarna krem. Tak lupa dia menyemprotkan parfum lavendel ke lehernya. Ketika melihat cermin dan menyadari wajahnya sedikit kusam, dia memakai pelembab dan bedak. Seolah tak puas dengan tampilan wajahnya, dia memoleskan liptint berwarna pink di bibirnya. Setelah mengambil tas dan memakai sepatu flat-nya, dia lantas berjalan keluar rumah. Sofi sempat menunggu Kevin selama lima menit sebelum akhirnya Jazz merah cowok itu muncul dan berhenti di depan rumahnya.
   Sofi tertegun saat memandangi Kevin yang sedang turun dari mobil. Mata Sofi tak beralih dari Kevin sejak saat cowok itu menapakkan kakinya ke tanah, menutup pintu mobil, hingga saat berjalan mendekat padanya. Penampilan Kevin terlihat sempurna dengan balutan celana jins berwarna cokelat muda. Kaos hitam yang melekat di badan dan berpadu dengan kulit cerah cowok itu tampak menawan di mata Sofi. Belum lagi rambut harajukunya yang ditata rapi dengan krim rambut. Semua perpaduan itu tampak begitu menyilaukan mata Sofi. Tingkat kegantengan dan kekerenan Kevin naik berkali-kali lipat daripada saat cowok itu menggunakan seragam di sekolah.
   “Jalan, yuk! Kok malah bengong!” kata Kevin ketika langkahnya telah terhenti tepat di depan Sofi.
   Kalimat Kevin itu otomatis membuyarkan kekaguman Sofi. “Eh ... i ... iya,” jawab Sofi tergagap karena rasa gugup yang terus melandanya.
   Selama di dalam mobil Sofi hanya terdiam. Rasa gugup yang tadi muncul sekarang bercampur dengan rasa canggung. Saat Sofi memperhatikan wajah serius Kevin ketika menyetir, rasa gugup dan canggungnya semakin bertambah besar. Untuk mengenyahkan rasa gugup dan menetralkan gemuruh liar di dadanya, Sofi memalingkan pandangannya ke kiri. Melihat beberapa pohon yang berbaris di tepi jalan dan beberapa kendaraan mampu sedikit menetralkan perasaannya. 
   Mobil kevin berhenti di parkiran basement sebuah mal. Ketika Sofi menatapnya dengan penuh tanya Kevin lantas berkata, “Lagi ada film bagus makanya aku mau ajak kamu nonton. Dinner-nya ntar pas abis nonton, lah! Nggak usah kuatir, di sini ada kafe romantis kok!”
   “Siapa juga yang ngarep diajak dinner romantis?” balas Sofi sambil melepaskan sabuk pengaman.
   Kevin tertawa mendengar bantahan Sofi itu.
   Langkah Kevin terhenti beberapa saat setelah keduanya baru memasuki mal. Karena merasa sosok cowok di sampingnya menghilang, akhirnya Sofi juga menghentikan langkahnya. Ketika menoleh ke belakang Sofi mendapat Kevin sedang bertelepon dengan seseorang. 
   “Dari Mama,” kata Kevin sambil menatap Sofi sesaat sebelum keluar dari mal untuk mencari tempat yang agak sepi. 
   “Kevin lagi jalan sama temen-teman, Ma. Iya nanti habis ini Kevin ke rumah sakit langsung kalo udah kelar,” kata Kevin menaggapi pertanyaan Mona yang menanyakan keberadaannya.
   “Ditunggu ya, Kak! Jangan lama-lama,” balas Mona di seberang. Entah benar atau tidak, Kevin merasa ada kekhawatiran yang terselip pada suara wanita itu.
   “Iya, Ma.”
   Setelah panggilan berakhir Kevin segera berbalik untuk kembali masuk ke dalam mal. Kevin agak panik saat dia tak melihat Sofi di tempat gadis itu berdiri tadi. Dengan langkah cepat dia lantas berjalan sambil celingukan untuk mencari Sofi. Senyumnya terbit saat melihat Sofi berdiri di dalam sebuah foodcourt masakan Jepang. Segera dia berjalan mendekati gadis itu.
   Sebelum sempat benar-benar dekat dengan Sofi, senyum Kevin memudar karena dia melihat ayahnya duduk di meja dekat dengan tempat gadis itu berdiri. Di depan ayahnya duduk seorang wanita yang tidak dia kenal. Wanita itu rambutnya terurai sebahu. Gaun ketat pendek selutut dan wedges yang dia pakai membuat penampilannya terkesan modis. Namun, bagi Kevin penampilan wanita itu lebih terlihat seperti tante-tante metropolitan yang suka kecentilan menggoda suami orang. 
   Kevin terus memandangi gelagat Sofi saat sedang berbicara pelan seperti memohon pada wanita itu. Kelihatannya Sofi sangat mengenal wanita itu. Menanggapi ucapan Sofi, Si wanita itu seperti tak peduli dan malah berdiri. Dengan tergesa dia lantas mengajak ayah Kevin berjalan meninggalkan foodcourt. Kevin semakin tak mengerti dengan pemandangan yang dia lihat. Apalagi saat dia mulai melihat Sofi menangis. Setelah ayahnya dan wanita tadi menghilang dari pandangannya, Kevin segera berjalan mendekati Sofi. Dia terus mengejar Sofi yang berjalan mendekati toilet wanita. Di lorong toilet akhirnya Kevin berhasil mencekal lengan Sofi dari belakang, membuat gadis itu menghentikan langkah lalu membalikkan badan.
   “Wanita tadi itu siapa? Kamu kenal sama dia? Kenapa kamu nangis?” cecar Kevin. Rasa penasaran yang ada di hatinya benar-benar tak terbendung. 
   Bukannya menjawab, Sofi malah terus menangis, bahkan sampai sesenggukan. Ada ketakutan, kekhawatiran, dan kesedihan di matanya. Kevin bisa membaca itu dengan jelas. 
   Kevin semakin memikirkan hal-hal negatif. Dia mengabaikan kemungkinan terburuk yang terjadi. Namun, tangisan Sofi justru semakin meyakinkannya akan kemungkinan buruk itu. Kalau Sofi terus menagis begini gadis itu tak akan bisa menjawab segala pertanyaannya. Maka dari itu Kevin memutuskan untuk mengajak Sofi kembali ke mobil. Perhatian beberapa orang sempat tertuju pada mereka ketika berjalan keluar mal. Orang-orang itu pasti berpikir kalau mereka adalah pasangan kekasih yang sedang bertengkar. Namun Kevin tak peduli. Dia terus menarik tangan Sofi untuk berjalan menuju mobilnya.
   Setibanya di mobil, Kevin segera mengambil tisu yang ada di dashboard agar dipakai Sofi untuk mengeringkan air mata.
   “Jadi, wanita tadi itu siapa?” kevin mengulang pertanyaannya setelah tangisan Sofi agak reda.
   “Dia ....” Sofi menahan kata-katanya, seolah apa yang akan dia ungkapkan memang begitu berat. Seolah segalanya memang tak semudah itu diungkapkan. Sambil terus mengusap sisa air mata, Sofi lanjut berbicara. Kevin menunggu dengan sedikit menahan kesabaran. “Dia ..tante aku. Dia udah lama katanya deket sama papa kamu, ” lanjut Sofi tanpa berani menatap Kevin.
   Mata Kevin membelalak dan mulutnya terbuka ketika mendengar jawaban Sofi itu. Dia tak percaya kalau ternyata dugaannya bahwa ayahnya menjalin hubungan dengan wanita lain benar. Yang lebih menyakitkan adalah, bahwa ternyata wanita itu adalah tante Sofi. Tante dari seseorang yang masih sangat disayanginya.
   “Kamu pasti masih inget kalau aku sempet menghilang dan nggak mau berhubungan baik via telepon atau SMS sama kamu waktu aku sakit. Itu karena sebenernya aku udah tahu tentang hubungan Tante dan papa kamu,” kata Sofi lagi. Tangisnya mulai pecah lagi. Kevin terus diam dan mendengarkan. Mati-matian cowok itu berusaha mengabaikan rasa sakit yang mulai membelenggu dadanya. 
   “Sore itu setelah aku pulang dari rumah kamu sehabis mempertemukan kamu sama Dion dan Ferro, aku nggak sengaja liat Tante turun dari sebuah mobil. Awalnya aku nggak yakin kalo itu mobil papa kamu. Aku baru yakin setelah liat papa kamu turun dari mobil. Aku sempet kaget waktu itu. Aku lebih kaget dan sakit lagi waktu liat papa kamu sempet ....” Sofi menghembuskan napasnya perlahan dan berat. “Sempet ... ciuman sama Tante.” Sofi menjelaskan taku-takut. Air matanya tak henti-hentinya mengalir.
   Hati Kevin semakin terasa panas seperti terbakar ketika mendengar kalimat Sofi yang terakhir itu. Napasnya menderu menahan amarah. Tangannya mengepal di atas paha. Rasa sakit yang dia rasakan bertambah parah ketika bayangan wajah Mona terlintas di benaknya.  
   “Aku minta putus bukan semata-mata karena lihat kamu minum alkohol. Aku tahu kok kalo sebenarnya kamu dipaksa sama dua teman kamu. Waktu mereka bilang mau ngerayain kemenangan kamu di sekolah itu sebenernya aku lihat,” kata Sofi lagi. Dia memberanikan menatap wajah Kevin sekarang.
   “Jadi kamu udah sempet masuk sekolah dan juga lihat lomba itu sebenernya?” tanya Kevin memastikan. Sofi mengangguk.
   “Aku minta putus karena aku ngerasa bersalah. Pas habis ngeliat Tante sama papa kamu itu, malemnya aku langsung datengin Tante dan minta dia supaya jauhin papa kamu, tapi Tante nolak. Dia bilang aku anak kecil dan nggak tahu apa-apa,” kata Sofi sambil sesekali menyeka air matanya. Dadanya terasa begitu sesak. Dia tak tega, tapi dia tetap harus menjelaskan semuanya pada Kevin. “Setiap kali ngeliat kamu, aku selalu dihantui rasa bersalah. Yang ada dipikiran aku waktu itu, aku cuma mau jauh dari kamu. Menghilang dari kehidupan kamu untuk mengubur rasa bersalah aku,” lanjut Sofi masih sambil terisak.
   Kevin menghidupkan mesin mobil setelah mendengar jawaban terakhir Sofi itu. Dengan kecepatan menggila dia memacu mobil. Sofi bisa merasakan amarah yang ada pada diri Kevin melalui cara cowok itu mencengkeram setir, juga melalui cara cowok itu mengebut. Sofi terus menangis selama dalam perjalanan. Rasa sakit yang menyergap Kevin juga menyergap dirinya. Dia tak ingin melepaskan Kevin, tetapi kenyataan berkata lain. Hubungannya dengan Kevin mungkin tak akan bisa baik-baik lagi sekarang, meski hanya sekedar menjadi teman biasa.
   Sesampainya di rumah, Sofi masih tak henti-hentinya menangis. Hal yang selama ini dia rahasiakan agar Kevin tak terluka akhirnya terkuak juga. Sekarang Sofi hanya bisa pasrah. Meski nyatanya dia masih mengharapkan Kevin, tapi kemungkinan untuk bisa meraih hati cowok itu sudah tak ada lagi. Kevin pasti sangat membencinya sekarang. Dalam kepedihan yang menyelimuti hatinya, Sofi memutuskan untuk menulis sebuah puisi. Barisan kalimat indah dalam puisi itu tak hanya susunan kata baginya, melainkan salah satu cara terapi untuk menyembuhkan luka di hati.
   Sejuta Bayangmu

   Dalam kelamnya malam 
   Dalam sepi batin yang mencekam
   Kubiarkan pedih ini menyeruak kalut   
   Gumpalan rasa di kalbu tersapu kabut

   Sejuta bayangmu merasuk dalam angan
   Bergentayangan berjejal sesak dalam pikiran
   Menghembuskan cinta terbalut kenangan
   
   Melodi suaramu menusuk rongga telinga
   Tatapan tajammmu bertahta di tempurung kepala
   Dekap hangatmu membekas meninggalkan lara
   
   Tak pernah bisa seutuhnya jiwaku pergi
   Maka biarlah aku bersimpuh di sini
   Mencecap setiap butir asa yang pernah terjadi
   Kisah ini takkan pernah mati  

   
***
   Hati Kevin masih terasa nyeri saat kakinya melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Dia benar-benar tak menyangka kalau kenyataan akan menjatuhkannya dengan cara sesadis ini. Melihat ayahnya dekat dengan wanita lain itu sudah sangat menyakitkan. Apalagi mengetahui fakta kalau wanita itu ternyata masih ada hubungan keluarga dengan gadis yang dia sayangi. Hati Kevin begitu pedih seperti dicabik-cabik puluhan gunting. 
   Kevin akan merasakan kehampaan yang menyakitkan kalau harus jauh dari Sofi. Namun dia juga tak mau menjadi egois dengan berbahagia di atas penderitaan dan air mata ibunya. Kenyataan itu membuatnya terseret dalam dilema pahit yang begitu mencekam.
   Kevin mencoba melupakan kejadian di mal tadi saat dia melihat ibunya menangis sambil menciumi tangan Alice sesaat setelah dia membuka pintu ruang rawat Alice.
   “Mama! Alice kenapa, Ma?!” tanya Kevin setengah berteriak. Cowok itu lantas berlari mendekati ranjang.
   Mona tak menjawab. Wanita itu hanya menangis semakin histeris. Tanpa sadar Kevin ikut mengeluarkan air mata saat melihat ekspresi wajah Alice yang seperti orang menahan kesakitan.
   “Nggak, Alice, kamu harus bertahan. Kamu harus kuat. Kamu pasti sembuh. Alice kamu denger Kakak, kan?” racau Kevin. Dia dekatkan wajahnya ke wajah Alice. Tangan kirinya mengelus puncak kepala adiknya itu dengan lembut. Matanya terus mengeluarkan air mata tanpa mampu dia bendung. Namun, Alice seperti tak mendengarkan. Separuh kesadaran gadis itu seperti sudah hilang. Matanya menatap awang-awang dengan napas yang sesak, seolah paru-parunya tak bisa lagi mengirup oksigen dengan sempurna.
   “Alice!” teriak Kevin saat kelopak mata adiknya mulai menutup perlahan hingga akhirnya terkatup sempurna. Suaranya bergetar karena tangis yang begitu hebat.
   Melihat itu jantung Mona seperti ditarik keluar melewati rongga dada. Langit seakan runtuh bersamaan dengan rasa sesak yang mendera batinnya. Wajahnya sektika keruh. Sinar matanya meredup. Segala harapan di hatinya pupus sudah. Mona ingin Alice tetap di sini bersama dengan Kevin juga dia. Dia ingin tawa Alice tetap menghiasi hari-harinya, tapi takdir berkehendak lain. Dia kehilangan salah satu dari lentera hidup yang selalu menerangi dunianya. Dia kehilangan salah satu dari dua buah hati yang selalu menjadi penyemangat hidupnya. Dia kehilangan salah satu dari dua kekuatan yang mampu membuatnya tetap berdiri tegar menghadapi dunia dengan segala kepelikan masalahnya. 
   “Al ... lice anak Mama. Ja ... ngan tinggalin Mama. Mama masih mau kk ... kamu ada di sini, Sayang.” Mona membungkuk, merangkul tubuh Alice. Melihat itu otomatis Kevin mundur ke belakang, memberi ibunya ruang untuk melampiaskan kesedihannya.
   Tak ada luka yang paling pedih dan menyakitkan selain melihat orang yang sangat kamu cintai pergi meninggalkan dunia ini bukan? Mona pun merasa demikian. Sudah dari dulu dia berharap Tuhan mau menggantikan kesehatan miliknya dengan Alice. Agar dirinya saja yang tersiksa. Agar dirinya saja yang menanggung segala penderitaan itu, bukannya Alice. Namun, takdir adalah ketentuan Sang Pencipta yang paling hakiki. Tak ada yang mampu menolak atau mengendalikannya. Meski Mona sadar kalau ratapannya ini akan sia-sia dan tak akan mampu mengembalikan jiwa putrinya, tapi dia tak peduli. Dia hanya ingin meluapkan semuanya. Dia ingin mengeluarkan segala sesak yang selama ini tersimpan di hatinya.
   “Alice ... jangan tingg ... nggalin Mama, Sayang,” kata Mona lagi, dengan lirih sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Alice. Isakan tangisnya terdengar semakin keras dan memilukan. Isakan yang terasa begitu menyayat hati Kevin.
   Sambil mengusap air mata yang terus keluar, Kevin mencoba memanggil suster melalui tombol yang terpasang di ranjang. Tak berapa lama seorang suster datang. Ketika melihat kondisi  di dalam si suster segera berbalik keluar ruangan untuk memanggil dokter.
   Kevin berjalan mendekati Mona lalu merangkul wanita itu untuk diajak berdiri saat dokter dan beberapa suster masuk dengan membawa alat pacu jantung. Alat itu ditekan ke dada Alice berkali-kali, tapi tak ada reaksi pada tubuh Alice. Gadis itu telah pergi meninggalkan dunia fana ini untuk selamanya. Mona semakin terisak karena tahu usaha dokter itu gagal. Anak gadisnya yang dulu selalu lincah dan ceria itu sudah tak mungkin kembali lagi. Mata cerah yang selalu berbinar itu tak mungkin terbuka lagi. Kata “sabar” yang keluar dari mulut dokter sebelum pergi meninggalkan ruangan hanya terdengar seperti gumaman yang tak terlalu jelas di telinga Mona. 
   “Jangan tinggal ... lin Mama, Sayang!” kata Mona sambil terus terisak. Suaranya lirih dan parau. Wanita itu memeluk tubuh Alice lagi dan menciumi wajah pucat anak gadisnya itu. 
   Bagi Mona, Alice adalah harta yang sama berharganya seperti Kevin. Anak keduanya itu tak ubahnya cahaya yang selalu menerangi setiap langkahnya. Memberikan warna di setiap lembaran hidupnya. Dan sekarang saat Alice pergi, segalanya terasa gelap bagi Mona. 
   Pipi Kevin masih basah. Matanya juga masih memerah. Namun, sekuat hati dia berusaha untuk menghentikan tangis karena dia harus menenangkan Mona. Dia tak tega melihat tatapan hampa Mona, maka dia rangkul ibunya itu. Tubuh Mona terasa begitu lemas saat mereka berjalan keluar ruang rawat. Kevin membiarkan Mona menyandarkan kepala di bahunya ketika mereka telah terduduk di luar ruangan. Air mata Mona masih terus mengalir dan tubuhnya bergetar saat beberapa suster mulai membawa jasad Alice ke luar ruangan. Tak ada yang lebih membuat Kevin sakit dan terpukul selain melihat keadaan Mona hari ini. Kevin bisa merasakan kesedihan mendalam yang menyergap Mona semakin dia menatap iris mata ibunya yang tak lagi cerah itu. 
   Ketika kejadian di mal tadi menyelinap lagi di kepalanya, dada Kevin terasa semakin sesak. Ayahnya sedang bersenang-senang dengan wanita lain di saat dirinya dan Mona sedang terpuruk dalam tangis meratapi kepergian Alice untuk selamanya. Rasa benci di hati Kevin pada Radit semakin menggumpal tebal. 
***
   Radit datang setelah pemakaman selesai, beberapa jam sebelum pengajian dimulai. Pria itu sempat datang ke makam dulu sebelum ke rumah. Penyesalan begitu menggunung di hatinya ketika dia melihat gundukan tanah yang telah menyelimuti jasad anak perempuannya. Air matanya tumpah tak terbendung. Radit merasa bahwa dia bukanlah orangtua yang baik karena tak sempat menemani Alice di saat-saat terakhirnya ada di dunia. Dia merasa tak berguna, merasa seperti pecundang karena tak sempat melihat wajah terakhir Alice sebelum anaknya itu tak terlihat lagi untuk selamanya. 
   Ketika memasuki rumah, Radit disambut tatapan-tatapan aneh orang di dalam rumahnya. Tak hanya menatap dengan sinis, sebagian di antara mereka malah ada yang berkasak-kusuk, membicarakan keburukan sikap Radit sebagai seorang ayah. Radit bisa mendengar suara mereka. Namun dia merasa tak berhak marah. Wajar kalau mereka menatap dan membicarakannya seperti itu. Mungkin mereka menganggap kalau dia adalah sosok orangtua yang aneh. Yang mungkin tak pantas lagi disebut orangtua yang baik. 
   Langkah Radit terhenti di ruang tengah. Dia mendapati Kevin sedang menatapnya dengan tatapan kebencian dan penghakiman. Juga tatapan kekecewaan dan kekesalan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Radit. Pria itu hanya menatap Kevin dengan penuh penyesalan. 
   “Ngapain anda ke sini? Jalan saja sana sama wanita yang tadi, lagian Mama udah nggak butuh anda lagi kayaknya. Nggak penting juga keberadan anda di hidup kami!” kata Kevin sambil menatap Radit tajam. 
   “Kevin kamu ...!” kata-kata Radit terputus karena Kevin menggigit tangannya yang dia angkat saat berbicara. Radit yakin Kevin pasti berpikir kalau dia akan memukul. Padahal dia hanya bermaksud menunjuk anak laki-lakinya itu.
   Radit mendesis karena rasa sakit yang dia rasakan akibat gigitan Kevin. Dia berusaha melepaskan cengkeraman Kevin di pergelangan tangannya, tapi tak berhasil. Alih-alih mundur, Kevin justru semakin menguatkan gigitannya.
  Beberapa detik kemudian Mona datang. Dia melepaskan tangan Kevin yang sedang mencengkeram pergelangan tangan Radit hingga anaknya itu melepaskan gigitannya.
   “Kevin, kamu nggak boleh begitu sama Papa, Kak!” katanya ketika Kevin telah melepaskan tangan Radit.
   “Masuk ... masuk!” kata Mona lagi sambil mendorong tubuh Kevin menjauh. Kevin menurut, tapi dia tak sepenuhnya pergi. Dia mengintip dari balik tembok, berjaga-jaga kalau nanti Radit marah atau bahkan sampai memukul Mona.
   “Sebentar aku ambilkan obat merah, Mas,” kata Mona saat melihat luka lecet yang ada di tangan Radit. Kulit Radit mengelupas dan sedikit mengeluarkan darah kerena gigitan Kevin.
   Ketika kembali Mona mendapati Radit tengah duduk di sofa. Wanita itu segera mendekat. Dia mengobati luka Radit dengan sangat hati-hati.
   “Kevin itu ....” kata Mona sambil terus meniup obat merah di tangan Radit. Matanya  melirik Kevin sekilas sambil tersenyum. “Sebenarnya dia nggak benci kok sama kamu, Mas. Dia cuma nggak suka sama perubahan sikap kamu. Seandainya kamu tetap bisa menjadi teman untuk dia seperti dulu, mungkin dia nggak akan sampai seperti ini,” lanjutnya ketika tatapannya telah kembali tertuju pada luka di tangan Radit.
   Betapa Mona ingin mengatakan pada suaminya itu kalau dia rindu kehangatan keluarga kecilnya yang dulu. Meski sekarang yang ada hanya sakit hati di dadanya, tapi dia mencoba mengerti kalau Radit sebenarnya tak pernah berubah. Mona mencoba meyakinkan diri kalau Radit pasti masih peduli padanya, pada Kevin. Kenyataan kalau Radit tak sempat datang di saat terakhir Alice—yang sebenarnya menurutnya sangat keterlaluan—dia abaikan. 
   “Sudah. Mudah-mudahan cepat kering lukanya,” ujar Mona setelah dia meletakkan botol obat merah ke meja.
   Mona menatap Radit sambil tersenyum manis. Wanita itu mencoba mengabaikan rasa sesak yang dari tadi hinggap di hatinya. Tadi dia sempat mendengar perkataan Kevin yang menyebut-nyebut bahwa suaminya itu jalan dengan seorang wanita. Dia ingin bertanya siapa wanita yang dimaksud Kevin itu, tapi dirinya terlalu enggan untuk memulai perdebatan. Radit mau hadir di hadapannya dan terduduk tenang di depannya begini saja sudah cukup mengobati sedikit luka yang selama ini melekat di hatinya.
   Sementara itu, Radit terhanyut ketika melihat Mona tersenyum. Senyum itu kalau diperhatikan ternyata masih sama indahnya seperti beberapa puluh tahun silam. Senyum yang membuatnya jatuh cinta. Senyum yang sekarang membuatnya takjub karena itu menunjukkan sebentuk ketegaran. Ya, istrinya itu sudah dia sakiti selama hampir tiga tahun. Menakjubkan rasanya masih bisa melihat senyum tulus itu terukir di wajah Mona setelah sekian lama menanggung sakit hati karena luka yang begitu dalam.
   Wanita di depannya ini adalah seseorang yang dulu dia kejar mati-matian. Wanita yang mampu menaklukkan hatinya setelah sekian tahun diliputi patah hati berkepanjangan. Setelah sekian tahun didera kehampaan karena kekasihnya di bangku kuliah telah menghianatinya dengan berselingkuh. 
   Waktu itu Mona yang keluarganya tak mempunyai biaya untuk kuliah memutuskan untuk mengikuti kursus karena dia merasa harus punya ketrampilan. Dia berangkat kursus dari rumahnya—di pusat kota Bogor—ke daerah Bogor selatan setiap pagi dan pulang menjelang tengah hari. 
   Radit terpesona pada pandangan pertama saat melihat Mona menyapanya dengan senyuman tulus suatu pagi saat dia akan berangkat kerja. Karena tempat kursus Mona jaraknya sangat dekat dengan rumah Radit, maka mereka jadi sering bertemu. Setiap kali Mona menyapaya, Radit hanya tersenyum canggung. Sampai suatu hari dia mengajak Mona berkenalan karena ada sesuatu pada diri Mona yang menarik hatinya. Dia berpikir kalau Mona itu berbeda. Wanita itu lain dari wanita-wanita di pabrik yang genit karena silau akan posisinya sebagai pewaris tunggal dan calon presiden direktur perusahaan tekstil. Sedangkan Mona, wanita itu tak kenal dengannya. Tak tahu siapa dia. Mona hanya melakukan apa yang selayaknya dia lakukan saat bertatap muka dengan manusia lain. Menyapa dengan senyuman. Terdengar simpel. Namun nyatanya ketika hal itu Mona lakukan setiap kali mereka bertemu, mampu membuka hati Radit yang telah lama beku. Radit merasa ada ketulusan yang terpancar dari wajah Mona setiap gadis itu menyapanya. Bukan karena memang ingin mencari perhatian atau genit belaka padanya.
   “Aku minta maaf, Mona,” ucap Radit pelan dengan mata berkaca-kaca. Ada penyesalan dalam di matanya. Mona bisa melihat itu.
   “Untuk apa?” tanya Mona sambil terus menatap mata Radit.
   “Untuk semuanya. Semuanya. Kesalahanku sudah terlalu banyak,” jawab Radit masih dengan pelan. Radit sudah kehilangan salah satu buah hatinya. Dia bahkan merasa sangat tak berguna, sangat tak pantas karena dia tak sempat berada di sisi Alice di saat-saat terakhir putrinya itu ada di dunia. Radit tak ingin kehilangan lagi orang-orang yang dia sayangi. Kevin dan Mona. Akan dia dekap erat dua hal terindah dalam hidupnya itu. Tak akan dia sia-siakan lagi.
   Mona tak langsung membalas ucapan Radit. Wanita itu justru menundukkan kepalanya dan mulai menangis. Terlalu banyak kesalahan yang Radit lakukan kalau Mona mau menghitung. Entah sudah berapa kali prianya itu menyakiti perasaannya. Dengan memakinya, berkata kasar padanya, dan memukulnya. Belum lagi kenyataan bahwa prianya itu tak lagi pernah memberinya nafkah semenjak mereka sering ribut. Kenyataan bahwa Radit seperti tak peduli lagi dengan Alice dan Kevin juga semakin membuat Mona sakit hati. Belum lagi tentang kedekatan Radit dengan wanita lain yang sebenarnya sudah Mona endus sekitar satu setengah tahun lalu saat dia melihat ponsel suaminya itu tak sengaja tertinggal di meja ruang tamu.
   Namun, segalanya mudah saja Mona maafkan. Asalkan Radit berjanji mau memperbaiki semuanya dia pasti akan memaafkan suaminya itu. Kalaupun ada yang paling sulit dimaafkan adalah hubungan Radit dengan wanita lain yang selama ini begitu rapih disembunyikan. Mona tak pernah tahu kapan tepatnya mereka mulai bertemu dan dekat. Sudah sejauh apa hubungan itu mereka jalani? Semakin memikirkan itu, Mona semakin ingin menanyakan sedikit tentang wanita itu pada Radit.
   “Termasuk tentang apa yang Kevin ucapkan tadi?” tanya Mona akhirnya. Hatinya semakin sakit memikirkan itu. Air mata yang mengumpul di kelopak matanya tak lagi bisa dia bendung hingga akhirnya jatuh menetes di pipi.
   Radit tak perlu bertanya untuk memastikan apa yang Mona maksud. Dari tadi dia sudah berjaga-jaga untuk menanggapi pertanyaan ini karena dia sudah waspada kalau Mona mendengar apa yang Kevin ucapkan. 
   “Maafkan aku, Mona.” lagi-lagi hanya itu kalimat yang mampu Radit ucapkan. 
   Mona semakin menangis sejadi-jadinya karena kata maaf yang Radit ucapkan itu menandakan bahwa semua dugaannya benar.
   “Mona ...,” kata Radit lirih sambil menagkup wajah Mona dengan kedua telapak tangannya.
   “Mas Radit hanya sebatas komunikasi via ponsel dan beberapa kali jalan dengannya saja, kan?” tanya Mona dalam tangisnya yang sesak. Pertanyaan itu muncul bersamaan dengan segala kemungkinan yang terlintas di kepalanya. “Mas Radit tidak sampai menyentuhnya, kan?” lanjut Mona setelah melepaskan tangan Radit dari wajahnya.
   Radit tertegun sejenak mendengar pertanyaan Mona yang terakhir itu. Dia tak menyangka kalau Mona berpikir sejauh itu. Dia memang tak sampai melakukan hubungan badan dengan wanita simpanannya itu. Namun apa yang pernah mereka lakukan selama ini tetaplah tak pantas dia ungkapkan. Meskipun hanya sekedar pegangan tangan atau berciuman, bagi Mona pasti itu akan terasa menyakitkan kalau didengar. Radit menundukkan wajahnya sejenak. Pria itu tampak kesulitan mengungkapkan semua dengan kata-kata. Matanya mulai berkaca-kaca ketika akhirnya dia menanggapi pertanyaan Mona dengan jawaban, “Maafkan aku ... Mona, aku dan dia memang melakukan hal-hal yang sama dengan apa yang aku lakukan denganmu ketika kita berpacaran. Tapi kami ... kami tidak melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan dua orang yang tidak terikat pernikahan yang sah. Kami tidak pernah berbuat sejauh itu.”
   Pandangan mona tertuju ke lantai. Tatapannya kosong. Air matanya mengalir begitu saja. Dia cukup mengerti apa yang Radit maksud. Mereka melakukan hal seperti yang biasa orang lakukan ketika kasmaran. Membayangkannya rasanya begitu sakit dan juga tak rela. Mona mengingat apa yang dulu dia pernah lakukan bersama Radit ketika berpacaran. Namun sosok wanita itu berganti, bukan dirinya, melainkan wanita lain. Tangan yang dulu pernah menggandengnya pernah juga menggandeng tangan wanita lain. Lengan dan tubuh yang pernah mendekapnya pernah juga mendekap wanita lain. Bibir yang dulu pernah mengecup bibirnya pernah juga mengecup bibir wanita lain. Semakin membayangkan, dada Mona terasa semakin sesak dan sakit. Seluruh tulang yang menyangga tubuhnya seperti remuk, membuatnya begitu lemas. Air matanya terus mengalir deras. Tangisannya semakin parah hingga tubuhnya bergetar. Radit yang dari tadi hanya bisa tertegun memandang raut sedih Mona akhirnya berpindah duduk saat melihat istrinya itu mulai sesenggukan. Dia duduk di samping Mona sambil membelai rambut wanitanya itu dengan lembut. 
   Yang Radit lakukan sekarang mungkin tak sebanding dengan rasa sakit yang telah dia berikan. Namun pria itu tak peduli. Tak tahan melihat Mona yang terus menangis, dia lantas mendekap istrinya erat sambil meracau, “Maafkan aku ... maafkan aku,” pelan. Berusaha menenangkan. Dia terus menciumi kening Mona di sela racauannya itu.
   Mona meronta, berusaha melepaskan pelukan Radit. Dia sedang tak ingin disentuh suaminya itu. “Aku sudah lama tahu kalau kamu dekat dengan wanita lain, Mas. Makanya aku selalu curiga. Aku bertingkah seperti itu karena aku tidak rela suamiku, ayah dari anak-anakku yang sangat aku cintai, berpaling dari keluarganya. Aku bersikap seperti itu karena aku mencintai kamu. Karena aku ingin di dunia ini hanya akulah satu-satunya wanita yang bisa memiliki hati kamu. Tapi kamu tidak pernah mengerti malah selalu marah dan kasar ke aku,” kata Mona lirih di sela isakan tangisnya. Beberapa detik kemudian dia mengusap pipinya dengan jemari tangan. “Mengetahui kamu dekat dengan wanita lain itu sudah sakit dan mengetahui kamu tidak peduli lagi dengan anak-anak jauh lebih menyakitkan. Tidakkah kamu ingat bagaimana awalnya kita membangun keluarga ini dengan penuh cinta? Dengan niat dan kesungguhan yang begitu mantap.”
   Radit menganggukkan kepalanya. Tentu saja dia ingat. Bahkan berbulan-bulan sebelum hari pernikahan mereka datang dia sudah membayangkan bagaimana nanti rumahnya akan diisi dengan tangis berisik serta tawa menggemaskan dari buah cinta mereka. “Maafkan aku, Mona. Aku berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.” ujar Radit pelan sambil menghapus air mata di pipi Mona dengan jari-jari tanganya. “Dengar, aku mungkin pernah khilaf dan sempat hampir berpindah ke lain hati. Kemudian aku sadar kalau di luar sana tak ada wanita lain yang pantas dijadikan teman hidup selain kamu. Mereka mungkin cinta dengan uangku, hartaku, tetapi mungkin sebenarnya mereka tidak pernah cinta padaku. Belum tentu wanita lain mau menemaniku dalam keadaan terpuruk seperti apa yang kamu lakukan. Hati ini milik kamu seorang. Sekarang, besok, dan selamanya,“ lanjutnya. Untuk meyakinkan dia lantas mengecup kening Mona lembut dan dalam. Ketika itulah Mona merasa bahwa Radit bersungguh-sungguh dengan penyesalan dan permintaan maafnya.
   Yang utama tetap akan menjadi utama selamanya. Meski kerapkali kebosanan melanda dan hati menginginkan tempat lain untuk petualangannya. Begitupun Mona bagi Radit. Dia sadar betul wanita itu adalah sosok yang selalu ada untuknya selama ini dalam sakit atau sehat. Mona yang selalu ada untuknya dan terus menyemangati saat pabriknya mengalami penurunan dan nyaris bangkrut di beberapa bulan awal pernikahan mereka. Wanita lain yang datang dalam hidupnya hanya silau dengan apa yang dia miliki sekarang. Wanita lain itu belum tentu sanggup menemaninya saat kondisi susah dan terpuruk seperti apa yang Mona lakukan.
   Tak ada pasangan hidup yang sempurna, tapi akan selalu ada cinta yang sempurna kalau kedua pihak mau saling menghargai dan memahami kekurangan masing-masing. Tak akan pernah ada habisnya kalau Radit hanya menuruti ego dan rasa bosan yang mungkin melandanya hanya sementara. Dia memang punya materi yang berlimpah. Dia bisa menaklukan hati wanita mana pun dengan itu. Namun itu semua tak sebanding dengan berapa banyak hati yang akan dia sakiti nantinya.
   Apa tujuan Radit hidup sejauh ini? Apa tujuannya menikah hingga detik ini? Tidakkah cukup waktu untuk bermain-main yang dia gunakan selagi dia masih ada pada usia belasan atau awal dua puluhan dulu? Sedangkan sekarang usianya sudah menginjak kepala empat. Percuma saja memliki usia sebagai seorang pria kalau kelakuannya masih saja seperti cowok. Bukankah seseorang itu dinilai dewasa dari seberapa mampu dia bertanggung jawab atas segala langkah yang telah ditempuh? Segala pertanyaan yang muncul dibenaknya itu membuat Radit malu pada dirinya sendiri. Juga pada Kevin—anak laki-lakinya yang mulai beranjak dewasa dan sudah mampu mengidentifikasikan bagaimana orangtua yang pantas dan tak pantas di contoh.  
   Di tempatnya berdiri Kevin tersenyum lega saat melihat tangis Mona mulai reda. Senyumnya semakin lebar saat melihat ayahnya mengecup kening, hidung, lalu bibir ibunya dengan lembut dan penuh cinta. Gumpalan rasa benci di hatinya yang tersimpan untuk Radit sedikit memudar. 
***
   Entah sudah berapa menit Sofi berdiri di depan pagar rumah Kevin, tapi keberaniannya untuk masuk tak juga muncul. Kamu pasti berpikir kalau Sofi datang ke sini untuk menemui Kevin? Namun, bukan itu yang menjadi keinginannya sekarang. Dia ingin berbicara pada Radit tentang Tantri, tantenya. Terdengar nekat memang karena akhirnya dia memilih untuk berbicara dengan ayah Kevin secara langsung. Tak ada jalan lain. Kalau tantenya tak bisa di ajak berbicara, tak mau mendengar semua kata-katanya, orang lain yang masih mungkin untuk diajak berbicara adalah Radit.
   Sofi tak peduli bagaimanapun reaksi Radit nantinya. Semua ini dia lakukan bukan hanya untuk memperbaiki hubungannya dengan Kevin, tapi juga untuk omnya. Dia tak tega melihat adik ibunya itu dihianati begitu, ketika dalam keadaan sakit pula. 
   Sofi tak terlalu polos untuk mengerti kalau tantenya mendekati Radit demi mendapatkan rupiah yang berlebih. Dulu omnya bekerja sebagai pegawai bank. Namun semenjak menderita stroke pria itu terpaksa harus berhenti bekerja. Ya, meskipun stroke-nya masih tergolong ringan, tapi tetap saja itu membuatnya tak bisa melakukan pekerjaan sehari-hari di kantor selayaknya orang normal. Penghasilan dari toko kebutuhan sehari-hari yang dimiliki di rumah tak mampu menyokong ekonomi keluarga. Mungkin itu yang akhirnya membuat Tantri melakukan perbuatan nekat dengan mendekati Radit.
   Tak ingin kulitnya merah semua karena beberapa kali digigit nyamuk, Sofi akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam gerbang yang terbuka sedikit itu. Sofi melihat Radit berjalan keluar rumah ketika dia baru melewati gerbang beberapa langkah. Wajah pria itu tampak suram diliputi kesedihan. Sofi tak perlu berpikir lama untuk segera tahu apa yang menjadi penyebab raut Radit jadi begitu. Ya, Sofi sudah mendengar berita tentang kepergian Alice dari grup Whatshapp sekolah. Selain itu dia bisa memastikan kebenaran berita itu dari acara pengajian yang baru saja selesai beberapa menit yang lalu.
   “Kamu temannya Kevin yang waktu itu, kan?” tanya Radit ketika mendapati Sofi berdiri tak jauh di depannya. Sofi hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Radit itu. Agak tak menyangka juga kalau ternyata Radit mengenalinya. Sofi pikir pria itu tak sempat melihatnya karena saat pertama kali dia datang ke rumah ini Radit sedang bercekcok dengan Kevin. 
   Sofi diam agak lama. Dia tak berani berkata-kata. Entah mengapa keberanian untuk berucap yang tadi dia miliki menguap begitu saja ketika berhadapan langsung dengan Radit.
   “Kamu ada perlu sama Kevin? Dia ada di dalam? sebenatar, Om panggilkan, ya!” kata Radit lagi sambil mulai membalikkan badan.
   “Bu ... bukan, Om. Saya ... saya ingin bertemu sama Om bukan sama Kak Kevin. Saya ingin berbicara sama Om,” balas Sofi. Perasaan takut bercampur khawatir melandanya ketika dia mengucap kalimat itu.
   Radit segera membalikkan badannya lagi. “Bicara sama saya?” tanyanya kemudian sambil menunujuk dirinya sendiri untuk memastikan. Sofi menjawab pertanyaan Radit itu dengan anggukan.
   “Saya keponakan Tante Tantri,” kata Sofi, mulai menjelaskan. Radit mendengarkannya dengan serius. Pria itu tampak tertarik mendengarkan penjelasan dari Sofi. “Tante saya itu punya suami, Om. Suaminya sekarang terserang stroke ringan. Kalau berjalan harus dibantu. Bahkan kadang dia pakai kursi roda kalau Tante atau anaknya sedang tidak bisa membantu,” lanjut Sofi.
   Radit membelalakkan matanya tak percaya ketika mendengar pengakuan Sofi. “Apa? Tapi Tantri bilang kalau dia itu seorang janda,” kata Radit setelah rasa terkejutnya agak hilang.
   Sofi juga tampak terkejut ketika mendengar balasan Radit, dia tak menyangka kalau ternyata tantenya berbohong. Sofi baru mulai menjelaskan lagi ketika rasa herannya hilang. “Suami Tante Tantri itu adalah adik ibu saya, Om. Saya tidak mau lihat dia sakit hati kalau nanti akhirnya dia tahu bahwa istrinya tengah dekat dengan pria lain dalam keadaannya yang sedang sakit. Beberapa bulan terakhir ini saya sering lihat Tante marah-marah ke om saya. Saya hanya ingin keluarga mereka kembali harmonis seperti sedia kala.”
   Sofi merasa tak perlu mengutarakan kalimat larangan yang tegas kepada Radit karena dia yakin pria di depannya itu mengetahui maksudnya. Kalimatnya itu sudah cukup mewakilkan keinginan hatinya agar Radit dan Tantri tak lagi menjalin kedekatan khusus. Lagi pula terlalu tak sopan nanti kesannya kalau Sofi meminta secara gamblang agar Radit menjauhi Tantri. 
   Radit terdiam sejenak mendegar kalimat Sofi. Dia tak menyangka kalau Sofi ternyata memiliki inisiatif sejauh itu untuk ukuran seorang anak remaja. Dia tak menyangka kalau Sofi berani langsung datang kepadanya untuk menyampaikan niatnya agar kondisi keluarga tantenya itu harmonis kembali.
   “Saya mengerti maksud kamu, Sofi. Saya sendiri sebenarnya sangat menyesal karena sudah menelantarkan keluarga saya. Saya merasa telah menjadi seorang ayah dan suami yang tak berguna. Yang tak bertanggung jawab,” kata Radit gamblang. Dia merasa tak perlu menyembunyikan penyesalannya di hadapan Sofi karena dia merasa kalau anak gadis di hadapannya itu mampu mengerti apa yang diucapkannya seperti layaknya orang dewasa.
   Apa yang Radit ungkapkan itu adalah sebuah fakta. Alih-alih merasa bangga karena mampu menaklukan hati wanita lain di luar sana, Radit justru merasa seperti pecundang karena dia tak memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan sebagai seorang ayah.
   “Saya akan berusaha memberi Tantri pengertian bahwa hubungan kami memang tak selayaknya diteruskan.”
   “Terima kasih, Om, sudah mau mengerti. Saya permisi dulu,” kata Sofi sebelum meninggalkan pelataran rumah Kevin. Sofi mendengar langkah kaki menjauh. Setelahnya dia tak mendengar apa-apa lagi. Maka dia semakin mempercepat langkahnya keluar gerbang. Keinginannya untuk bertemu Kevin menghilang. Dia takut kalau kemunculannya justru akan membuat luka hati Kevin semakin parah. Bagaimanapun juga perpecahan keluarga Kevin terjadi akibat ulah tantenya. Sofi tak ingin memperkeruh hubungannya dengan Kevin. 
***
   Radit mendapati pintu kamar Kevin terbuka ketika dia masuk ke dalam rumah. Tadinya dia ingin menemui Mona. Istrinya itu pasti masih sangat terpukul selepas kepergian Alice. Namun langkahnya terhenti ketika melihat kamar Kevin. Dia belum berbicara lagi dengan putranya itu semenjak kejadian gigit tangan yang dilakukan Kevin untuk menyambut kedatangannya. Radit pikir mungin ada baiknya dia meminta maaf dengan putranya itu. 
   Kadang ada orangtua yang merasa gengsi meminta maaf pada anaknya karena merasa merekalah yang lebih tua. Merasa lebih banyak makan asam garam kehidupan. Mungkin itu yang membuat mereka merasa selalu benar dan menganggap anak selalu salah. Seolah mereka lupa kalau sebenyak apa pun pengalaman hidup yang mereka punya, mereka juga hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa. Memangnya kenapa kalau orangtua meminta maaf pada anak? Mengapa harus terlalu tinggi hati mengakui kalau nyatanya memang bersalah? 
   Akhirnya Radit memutuskan untuk berjalan menaiki tangga. Dia melihat Kevin sedang berdiri menghadap jendela ketika langkahnya terhenti di depan pintu kamar yang terbuka. Entah apa yang Kevin perhatikan. Radit hanya fokus pada punggung anaknya itu. Perubahan dan pertumbuhannya begitu cepat rasanya. Tinggi Kevin hampir menyamai Radit, mungkin hanya terpaut beberapa senti. Tubuhnya, meskipun masih belum sebesar dan sepadat Radit, tapi otot-ototnya sudah mulai terbentuk. Waktu terasa seperti bergulir begitu cepat. Rasanya seperti baru kemarin anaknya itu adalah sosok balita laki-laki yang suka berlari ke sana-sini dengan ceroboh sambil membawa robot-robotan atau mobil-mobilan. Namun sekarang balita laki-laki itu telah tumbuh menjadi sosok pria muda yang sudah bisa menentukan mana yang baik dan buruk. Termasuk menilai Radit dan menjadi boomerang bagi pria itu setiap kali dia marah dan melakukan hal buruk pada Kevin.
    Merasa diperhatikan, Kevin akhirnya menoleh. Dia menunjukkan raut kaku dan dingin ketika melihat Radit berdiri di depan pintu kamarnya. Dengan cepat dia lantas berjalan, hendak menutup pintu. Namun sebelum berhasil, Radit telah lebih dulu menahannya. “Papa mau bicara sama kamu, Vin,” kata Radit sambil terus menahan pintu.
   Kevin tak menggubris ucapan Radit dan terus mendorong pintu.
   “Vin, tolong beri Papa kesempatan berbicara,” ujar Radit lagi. Suaranya agak dipelankan saat memohon.
   Akhirnya Kevin pun luluh. Ayahnya sepertinya memang punya niat baik. Dia lalu melepaskan tangannya dari daun pintu, membuat Radit akhirnya berhasil masuk ke dalam kamar. Mereka berdua lantas duduk bersebelahan di ranjang, menatap tembok dan saling tidak berpandangan selama beberapa detik. Kevin tak peduli dengan apa yang akan ayahnya bicarakan. Sudah terlalu tak penting baginya untuk mendengarkan ucapan Radit. Semua kalimat yang Radit ucapkan baginya hanyalah sebuah bualan yang tak penting untuk di dengarkan. 
   Selama beberapa tahun terakhir ini—semenjak Radit mulai sering terlihat menyakiti Mona—di mata Kevin ayahnya itu hanyalah seorang munafik yang tak pantas untuk dianut. Betapa tidak, dulu ayahnya itu selalu memberitahu padanya tentang apa-apa saja yang patut dan tak patut untuk dilakukan. Namun sekarang justru pria itu sendiri yang melakukan perbuatan keji kepada istrinya. Contoh perbuatan yang Radit lakukan tak sejalan dengan nasihat yang dulu selalu dia utarakan pada Kevin. 
   “Gimana sekolah kamu?” tanya Radit, mencoba memecah kecanggungan. Pandangannya tertuju pada Kevin, tapi yang dipandang masih saja menatap lurus ke tembok kamar.
   “Kalau cuma mau nanya pertanyaan nggak penting gitu mendingan Papa keluar, deh! Kevin ngantuk mau tidur,” balas Kevin dingin. Pandangannya terus tertuju pada tembok. Tak ada niat sedikit pun untuk menoleh pada Radit. Dia terlalu malas dan muak memandang wajah pria di sampingnya itu.
   “Vin, Papa minta maaf. Papa janji akan terus ada buat Mama juga kamu. Papa janji akan menjadi teman terdekat dan terbaik kamu lagi seperti dulu,” kata Radit pelan. Sudah bukan saatnya lagi untuk emosi dan marah-marah. Percuma saja. Semakin dia menunjukkan sikap tempramentalya di hadapan Kevin, anak laki-lakinya itu justru akan semakin membencinya.
   “Papa yakin udah lelah, udah capek berpetualang? Kalo belum, puas-puasin aja lagi, Pa. Selama ini aku dan Mama baik-baik aja kok meski tanpa Papa. Percuma Papa minta maaf kalau ternyata belum puas berpetualang dan bermain-main. Mending Papa lanjutin saja daripada nanti kumat lagi dan nyakitin Mama lagi,” kata Kevin tenang. Dia masih belum ingin memandang Radit. Bahkan dalam obrolan ini bagi Kevin mereka memang tak perlu bertatap muka. Dia hanya ingin Radit mendengarnya. Itu saja.
   Kalimat yang Kevin ucapkan itu seperti cambuk yang memecut Radit dengan keras. Radit hanya terdiam beberapa saat setelah mendengarkan kalimat anaknya itu. Penyesalan di hatinya semakin mengakar dalam. Berpetualang? Petualangan Radit yang sebenarnya bahkan sudah di mulai dari dulu. Sejak awal dia memutuskan untuk memulai hidup berumah tangga bersama Mona. Bermain-main? Kata yang satu ini yang membuat Radit merasa semakin tersudut. Dulu dia hanya memikirkan egonya. Seenaknya saja meninggalkan Mona dan menyakiti hati istrinya itu. Dia lupa kalau seandainya ada satu wanita yang harus dia jaga perasaannya selain ibu kandungnya adalah ibu dari anak-anaknya.
   “Vin, kamu boleh menghakimi Papa. Menilai Papa seburuk apa pun. Tapi tolong maafkan Papa. Papa janji akan memperbaiki semuanya dan memulai semua dengan awal yang baik,” kata Radit pelan. Kata maaf itu dia ucapkan dengan menekan segala ego.
   Kevin menolehkan kepalanya juga akhirnya setelah mendengar kalimat Radit yang terakhir. Kevin merasa kalau Radit memang benar-benar menyesal ketika dia menatap mata ayahnya itu. Kilatan tajam yang biasanya selalu muncul ketika mereka sedang ribut tak ada di sana, digantikan dengan tatapan lembut.
   “Papa janji nggak akan nyakitin dan ninggalin Mama lagi?” tanya Kevin memastikan.
   “Iya, juga kamu,” balas Radit sambil mengepalkan tangannya ke hadapan Kevin. Senyum hangatnya muncul ketika itu.
   Kevin menyambut kepalan tangan ayahnya. Dia ikut tersenyum. Entah kapan terakhir kali mereka melakukan ritual tos itu. Sekarang ritual itu mencairkan tembok es yang menggunung di dada keduanya.  

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • nuratikah

    si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
    berkunjung balikke ceritaku ya.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags