Read More >>"> Ich Liebe Dich (Pelita) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ich Liebe Dich
MENU
About Us  

   Kevin menampakkan senyum termanisnya saat melihat Sofi datang. Dia tak peduli apa pun yang ada dalam pikiran gadis itu. Yang terpenting sekarang Sofi datang untuknya. Itu sudah cukup membuktikan kalau mantan kekasihnya tersebut masih peduli dengannya. 
   Kevin menemui Sofi bukan di tempat biasa dia dipertemukan dengan orang-orang yang datang membesuknya, melainkan di bagian depan kantor polisi. Ruangan yang dipenuhi dengan barisan sofa empuk dan sebuah meja berada di tengah.
   Senyum indah yang terus muncul di wajah Kevin membuat dada Sofi berdesir-desir. Sofi heran mengapa cowok itu masih bisa saja tersenyum tenang padahal sedang ada di kantor polisi. Dia saja selalu ngeri setiap melihat tempat seperti ini di mana pun. Saat ikut ayahnya mengurus surat kehilangan saja dia merasa merinding dan takut bukan main. Entahlah, rasa takut itu hadir begitu saja, padahal dia sedang tidak melakukan perbuatan kriminal. Baginya pemandangan di kantor polisi selalu tampak mencekam dan mengerikan.
   “Jadi, kamu temannya dia,” kata polisi berkumis tipis yang baru datang. Dia duduk di samping Kevin, berhadapan dengan Sofi.
  “Iya, Pak,” jawab Sofi.
   “Katanya kamu punya bukti yang menyatakan Kevin tidak bersalah, ya? Coba sini saya mau lihat.”
   Kevin mengerutkan kening heran mendengar ucapan polisi itu. Bukti? Bukti apa? bagaimana Sofi bisa tahu tentang semua ini? Apa karena itu Sofi jadi biasa saja saat Dion dan Ferro memberitahu padanya tentangnya yang dibawa polisi?
   Tanpa perlu berlama-lama, Sofi segera mengeluarkan ponselnya dan memutar sebuah video. Dia tunjukkan video itu pada si polisi.
   Dalam video itu ada dua orang pria sedang duduk di depan teras sebuah rumah. Satu orang bertubuh kekar, satu lainnya tubuhnya penuh tato.
   “Kita harus nangkep itu dia si kunyuk yang sudah bawa kabur uang kita, Bos!” kata si tubuh bertato geram.
   “Iya, tapi kita nggak bisa lama-lama dan terus berkeliaran di luar. Lo tahu, kan, status kita sekarang ini apaan? Buron goblok!” kata si tubuh kekar.
   Si tubuh bertato diam saja dimarahi seperti itu. 
   “Lagian lo juga, sih! Lo kan yang punya ide supaya dia jadi kurir kita. Untung aja itu kunyuk nggak tahu kalo itu paket isinya ganja. Kalo dia tahu, bisa abis kita,” kata si tubuh kekar lagi.
   “Kita, kan, emang harus punya kurir. Kayak apa yang Bos bilang tadi. Kondisi kita udah terlalu nggak aman untuk keliaran,” balas si tubuh penuh tato.
   Mereka berdua terdiam sesaat. Pandangan si tubuh penuh tato menerawang ke depan, sementara si tubuh kekar mulai mengeluarkan rokok. Setelah membakarnya, pria itu mengisap rokok tersebut dengan penuh penghayatan sambil sedikit memejamkan mata. 
   “Gue itu kalo inget itu kunyuk kadang pengen ketawa sendiri. Bodoh juga itu kunyuk mau aja kita suruh-suruh! Nggak tanya dulu lagi itu paket isinya apa,” kata si tubuh bertato sambil tertawa. Setelah tawanya reda dia ikut mengambil rokok yang ada di pangkuan si tubuh kekar.
   Rekaman berakhir sesaat setelah terdengar suara seperti ranting kayu terinjak.
   Apa yang dua orang itu bicarakan dalam video itu sama dengan pengakuan Kevin dan itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa Kevin memang awam. Kevin benar-benar tak tahu apa-apa tentang paket yang ternyata adalah bungkusan ganja itu.
   “Mereka lihat kamu waktu itu?” tanya si polisi pada Sofi.
   “Tidak, Pak. Saya sembunyi setelah berhenti merekam. Ketika saya keluar, saya melihat mereka telah masuk ke dalam rumah itu,” jawab Sofi.
   “Kamu bisa menunjukkan ke saya tempat rumah itu?” tanya si polisi.
   “Bisa, Pak.”
   “Tunggu sebentar,” kata si polisi pada Sofi. Pria itu lantas menoleh pada Kevin yang duduk di sampingnya. “Ayo ikut saya,” katanya lagi. Dengan raut penuh tanya Kevin mengikuti polisi itu masuk ke bagian dalam kantor polisi. Sofi menunggu di luar diliputi rasa penasaran.
   Ketika mereka keluar lagi, baju tahanan yang Kevin kenakan telah tergantikan dengan kaos milik cowok itu sendiri.
   Kevin dan Sofi diajak masuk ke dalam mobil polisi yang berkumis tipis, sementara di belakang mereka mengekor satu mobil lain. Selama perjalanan Kevin hanya diam. Otaknya sibuk memikirkan bagaimana caranya Sofi bisa tahu tentang semua ini, bahkan sampai tahu tempat persembunyian mereka berdua? Bagaimana juga gadis itu bisa menyimpan semuanya dengan rapih dan tanpa memberitahunya sama sekali?
   Dua mobil polisi itu berhenti di depan sebuah rumah di antara sebuah gang sempit. Dari bangunanya yang terdiri dari beberapa kamar dan banyaknya kendaraan yang terparkir di sampingnya, sepertinya rumah itu adalah tempat kos atau sejenisnya. 
   Semuanya berjalan begitu cepat. Empat personel polisi langsung keluar dari dua mobil, sementara Kevin dan Sofi diminta untuk tetap menunggu di dalam mobil. Setengah jam kemudian para polisi keluar dari rumah kos dan berhasil membawa dua orang bandar yang selama ini telah menjadi buron itu. Seorang yang bertubuh kekar sempat melihat Kevin dengan tatapan tajam ketika digiring polisi menuju mobil yang di belakang. 
   Para warga sekitar yang merasa kaget masih berkerumun di sekitar rumah kontrakan itu ketika mobil polisi telah kembali berjalan. 
   “Kami menemukan banyak barang bukti di dalam,” kata polisi berkumis tipis sambil terus fokus menyetir. “Terima kasih bantuannya, Nak Sofi.” Sofi hanya tersenyum tipis dan mengangguk menanggapi ucapan terima kasih polisi itu. Semua itu dia lakukan hanya untuk membuktikan bahwa Kevin tidak bersalah sehingga cowok itu bisa dibebaskan.
   Setelah sampai di kantor polisi, Sofi dan Kevin kembali menunggu di ruang tunggu. Empat polisi yang turun menggeledah tadi membawa dua bandar yang tertangkap masuk ke bagian dalam kantor polisi. Selama beberapa menit menunggu, Sofi dan Kevin saling bertatap muka dalam kecangunggan. Sofi akan menjelaskan semuanya pada Kevin, tapi tidak sekarang. Bukan di tempat ini. Jadi, sekarang dia tak ingin berbicara. Sedangkan Kevin, dia ingin berterima kasih, tapi lidahnya seperti kelu. Dia hanya mampu memandangi raut Sofi sambil tersenyum lega sekaligus haru. Dia nyaris tak percaya kalau Sofi—yang dia pikir sangat benci padanya—justru menjadi bidadari penyelamat baginya. Iya, sebutan itu memang tak pernah berlebihan untuk disematkan pada Sofi.
   Rasa canggung yang ada pada diri Kevin berganti dengan rasa kaget saat melihat Mona tiba-tiba saja datang dan duduk di salah satu Sofa. Kevin yakin ada seorang polisi yang sudah menghubungi ibunya itu.
   “Selamat sore, Ibu Mona!” seperti telah ada perjanjian, si polisi berkumis tiba-tiba saja keluar dan menyambut Mona dengan senyum ramah.
   “Sore, Pak!” jawab Mona sambil tersenyum.
   “Silahkan duduk, Bu Mona,” kata si polisi sambil mengulurkan tangan kanannya mempersilakan.
   “Jadi begini. Atas pemberitahuan Nak Sofi, kami telah berhasil menemukan dua bandar itu. Di hadapan kami mereka bersaksi kalau Kevin memang benar-benar tidak tahu tentang ganja itu. Dengan demikian anak anda kami nyatakan tidak bersalah dan sekarang kami kembalikan lagi dia kepada Ibu.”
   Ucapan polisi itu otomatis membuat wajah Mona berbinar. “Terimakasih, Pak,” balasnya. 
   “Sama-sama, Bu Mona,” sahut si polisi. Pria itu mengangguk sambil tersenyum ramah.
  “Uang ini bukan hak kami,” kata Mona sambil menyodorkan sebuah amplop cokelat ke atas meja sesaat setelah dia berdiri. “Jumlahnya sama dengan yang bapak ceritakan waktu itu,” lanjutnya. 
   Mereka bertiga meninggalkan kantor polisi dengan perasaan lega. Kevin tak menyangka kalau keputusan asalnya akan berakhir dengan dia ditangkap polisi. Dalam hati Kevin berjanji bahwa dia akan selalu melibatkan Mona dalam setiap keputusan yang dia ambil kelak. Kevin juga berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mau asal berurusan dengan orang yang tidak dia kenal.
***
    Di sekolah Kevin disambut teman-temannya dengan antusias. Terutama Dion dan Ferro. Banyak yang memberi Kevin selamat karena akhirnya cowok itu bisa hadir lagi di tengah-tengah mereka semua. Stela juga sempat datang, tapi gadis itu sudah tidak suka lagi menggoda Kevin. Dia hanya memberi sambutan dan ucapan selamat biasa seperti yang teman-teman Kevin lainnya lakukan.
   “Kita harus rayain masuknya lo ke sekolah ini lagi, Hawk,” kata Dion yang duduk membelakangi papan tulis, menghadap Kevin. 
   “Yoi, Hawk, harus banget pokoknya!” sahut Ferro tak kalah antusias.
   “Ngerayain gimana?” tanya Kevin. Dia memandangi Ferro dan Dion bergantian. “Lo nggak lagi bawa minuman alkohol ke sekolah, kan?” lanjutnya memastikan.
   “Ya enggaklah! Itu namanya bunuh diri!” jawab Dion.
   “Ketahuan ngerokok aja kita ditampol, apa lagi bawa minuman alkohol, bisa digorok kita!” seru Ferro. 
   “Kalo kita mau digorok, lo yang gue suruh maju duluan!” sahut Dion sambil menunjuk Ferro.
   Ferro berlagak cemberut menanggapi ucapan Dion itu, sementara Kevin tertawa lepas.
   “Jadi acara kalian apaan?” tanya Kevin setelah tawanya reda.
   “Kita bakal traktir lo makan di kantin sampe puas, Hawk!” jawab Ferro.
   “Iya, lo abisin deh tuh batagor sama siomai di kantin. Lo makan sama piring-piringnya juga boleh!” sahut Dion. Tawa Kevin pecah lagi mendengar kalimat Dion itu. 
   Di kantin Dion dan Ferro memesan banyak sekali makanan dan minuman. Tak tanggung-tanggung, mereka memesan empat porsi makanan. Empat porsi makanan itu terdiri dari: Bakso semangkok, mie ayam semangkok, batagor sepiring, dan siomai sepiring. Sementara minumannya adalah: Jus jeruk, Jus apel, Es teh, dan Es cincau. Kevin menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat menu yang memenuhi meja di depannya itu.
   “Lo berdua yakin nyuruh gue habisin semua makanan dan minuman ini?” tanya Kevin sambil menunjuk semua makanan yang ada di meja.
   “Iyalah!” jawab Dion sambil tersenyum penuh arti.
   “Lo berdua mau bikin gue seneng apa mau ngerjain sih?” tanya Kevin curiga.
   “Kedua-duanya,” jawab Ferro sambil tertawa.
   “Sialan lo!” maki Kevin. Namun akhirnya dia mulai memakan juga salah satu makanan dari empat porsi yang ada di meja.
   Kevin baru memakan separuh piring batagor ketika dia mendengar langkah seseorang mendekat. Ketika mendongakkan kepala, dia merasa kaget bukan main karena ternyata orang itu adalah Sofi. Gadis itu berdiri di dekat kursi tempat dia duduk sambil membawa kemeja putih yang terlipat rapi di tangan kanannya. Dada Kevin bergemuruh ketika Sofi tersenyum padanya. Kevin benar-benar tak menyangka Sofi mau menemuinya setelah semua perbuatan yang dia lakukan beberapa hari lalu di sekolah. 
   Sebelum berdiri Kevin menyempatkan minum dan mengelap mulutnya menggunakan tisu. “Ada apa?” tanyanya basa-basi. Padahal dia tahu kalau Sofi bermaksud mengembalikan baju seragamnya.
   “Ini ... saya mau balikin baju Kak Kevin,” jawab Sofi sambil menyerahkan baju seragam yang dia bawa ke hadapan Kevin. Sofi sengaja memakai sebutan “saya” untuk menjaga kesopanan. Bagaimanapun juga Kevin adalah kakak kelasnya. Lebih tua darinya. 
   Kevin tersenyum sekilas mendengar kalimat Sofi itu. Sebutan “saya” itu terkesan terlalu formal bahkan terdengar menggelikan di telinganya.
   “Makasih,” kata Sofi setelah Kevin menerima seragamnya. Gadis itu agak menundukkan kepala karena dari tadi Dion dan Ferro terus memperhatikannya.
   Bukannya menjawab Kevin malah terus memperhatikan raut wajah Sofi. Mereka membeku selama beberapa detik dalam posisi berdiri berhadapan seperti itu. Hal itu otomatis membuat penyakit iseng Dion kambuh.  “Cium! Cium! Cium!” serunya sambil bertepuk tangan.
   Sofi gelagapan mendengar kata-kata Dion itu. Tangannya menyibakkan poni dengan canggung. Wajahnya mulai memerah.
   Sementara itu, Kevin malah berlagak tak peduli. Cowok itu masih terus saja menatap Sofi dalam. 
   Beberapa detik berikutnya Ferro yang tak mau kalah ikut mengompori. “Peluk! Peluk! Peluk!” serunya girang, juga sambil bertepuk tangan.
   Sofi semakin canggung mendengar kata-kata Ferro itu. Gadis itu semakin menundukkan kepala dan wajahnya juga semakin memerah.
   Kevin merasa harus segera menyelamatkan Sofi saat dia mulai melihat keringat dingin meluncur dari pelipis gadis itu. “Jangan dengerin mereka. Ikut gue, yuk! Sekalian gue mau minta penjelasan kenapa lo bisa tahu tentang dua orang itu,” kata Kevin sambil menarik lengan Sofi.
   “Titip ini, ya!” kata Kevin sambil meletakkan seragamnya di atas meja sebelum melangkah pergi.
   “Yah! Gawat, Yon. Si Hawk ngajak Sofi mojok!” kata Ferro. Cowok itu berlagak cemas sambil menunjuk Kevin dan Sofi yang mulai berjalan menjauh.
   “Nggak asyik nih si, Hawk. Baru juga ketemu bentar, kita udah ditinggal cuma gara-gara dia mau ena-ena sama cewek.” Dion memasang wajah sok cemberut sambil mulai menyendok batagor.
   “Tuh anak bawa pengaman nggak tadi?” tanya Ferro sok khawatir ketika telah selesai menyeruput teh.
   “Kayaknya sih bawa. Emangnya lo nggak cerdas!”
   “Lah, kenapa jadi bawa-bawa gue?” tanya Ferro. Cowok itu kesal sungguhan mendengar celoteh Dion.
   “Kan kemaren anjing tetangga gue bunting gara-gara lo maen sama dia dan lupa nggak pake pengaman!” kata Dion dengan diakhiri tawa puas. Jitakan Ferro mendarat di kepala cowok itu sebagai balasan dari fitnah kejinya.
   Kevin sempat mendengar ucapan kedua temannya itu ketika dia berjalan menjauh meski hanya samar-samar. Dia hanya terenyum geli menaggapinya. 
   Langkah kaki Sofi dan Kevin terhenti di sudut perpustakaan. Setelah mempersilakan Sofi duduk, Kevin lantas meminta gadis itu untuk menjelaskan semuanya.
   “Jadi, gimana ceritanya lo bisa punya video itu?” tanya Kevin langsung tanpa basa-basi ketika dia telah ikut duduk di samping Sofi. Di satu sisi dirinya memang merasa lega karena akhirnya dia bisa bebas berkat bantuan Sofi, tapi di sisi lain cowok itu juga merasa kesal karena Sofi menyembunyikan semua itu darinya.
   “Kak Kevin inget nggak hari di mana saya dateng telat pas harusnya nemenin latihan silat?” tanya Sofi.
   Kevin terdiam sejenak. Matanya menerawang ke barisan rak buku, mencoba mengingat-ingat. “Iya, gue inget,” jawabnya setelah dia bisa mengingat kejadian di hari itu. “Waktu itu lo kayak orang yang habis lari marathon. Kayak kecapekan gitu,” lanjutnya.
   “Iya, waktu itu memang saya habis lari,” ujar Sofi. “Jadi gini, awalnya saya nggak sengaja lihat mereka jalan di gang nggak jauh dari daerah rumah. Karena ngerasa pernah lihat mereka, jadi saya ikutin mereka. Nah, pas saya lihat mereka berhenti di depan rumah itu akhirnya saya mulai rekam videonya. Waktu itu saya sempat bertanya-tanya dalem hati, buat apa Kak Kevin bawa uang mereka. Makanya, begitu nyampe tempat latihan saya sempet tanya apa mungkin Kak Kevin sempet ikut cari uang buat bantu biaya rumah sakit Alice atau enggak,” jelas Sofi panjang lebar. Kevin mengangguk-angguk sambil terus mengingat kejadian siang itu saat dia selesai latihan silat.
   “Saya lari-lari itu karena awalnya emang mau ngasih tahu Kak Kevin langsung, tapi nggak tahu kenapa pas ngeliat Kak Kevin keinginan itu langsung menghilang. Saya nggak yakin aja kalo misalnya ditanya langsung Kak Kevin bakalan jawab jujur,” kata Sofi lagi.
    Kata “saya” yang Sofi pakai itu lagi-lagi terdengar menggelitik di telinga Kevin. Setelah sempat tersenyum sekilas, Kevin berdiri lalu berjalan mendekati Sofi sambil menatap gadis itu tajam. Melihat itu, seketika Sofi merasa waswas. Ada beberapa anak lain memang di dalam perpustakaan ini. Tapi Sofi tahu mereka pasti tak akan berani menolong kalau dia sampai diapa-apakan Kevin. Mereka semua itu, yang ada di perpustakaan, adalah anak kelas sepuluh dan sebelas. Ada, sih, anak kelas dua belas, tapi cewek semua. Ada satu cowok kelas dua belas, tapi dia cupu dan sama sekali bukan tipe cowok yang hobi berkelahi. Jadi bisa dipastikan kalau anak itu tak akan berani melawan Kevin. Tamat sudah riwayat Sofi!
   “Ma ... maaf kalo Kak Kevin ngerasa ke ... kecewa karena saya udah sempet nyembunyiin semuanya,” kata Sofi tergagap karena saking takutnya. Semakin dia melihat manik hitam pekat Kevin yang menatap matanya tajam, rasa dingin semakin menjalar ke seluruh permukaan kulitnya.
   Jarak wajah Sofi hanya beberapa senti dari wajah Kevin ketika gadis itu melihat cowok di hadapannya itu tersenyum. Senyuman itu otomatis menguapkan rasa takut Sofi karena dia yakin Kevin tak sedang marah. Sebagai gantinya gadis itu merasa ada sesuatu yang menggelitik di perutnya semakin dia memandang mata Kevin. Keindahan iris hitam pekat itu semakin nyata kalau dilihat dari jarak yang sangat dekat seperti sekarang.
   “Aku cuma mau bilang makasih, kok. Makasih karena kamu akhirnya aku bisa bebas. Kamu tetap akan jadi bidadari penyelamat untuk pegembara yang tersesat,” bisik Kevin lirih. Matanya tak lepas dari wajah Sofi, sementara tangannya menyibakkan poni miring gadis itu yang menutupi sedikit bagian mata. “Kita masih bisa pake aku-kamu loh meski udah nggak pacaran,” lanjutnya, masih dengan lirih sambil tersenyum dalam.
   Kalimat Kevin yang terakhir itu membuat Sofi semakin salah tingkah. Dadanya bergemuruh hebat. Lututnya terasa lemas. Mau memalingkan wajah, tapi wajah Kevin terlalu dekat. Dia takut kalau menggerakkan kepala bagian wajahnya justru akan menyentuh bagian wajah Kevin. Bagi Sofi ini lebih parah dari tadi waktu dia dipandangi Kevin dan diledek dua sohib cowok itu di kantin beberapa saat tadi.
   Sofi baru bisa bernapas lega dan jantungnya bisa berdetak normal kembali setelah Kevin menarik tubuhnya menjauh dan kembali duduk.
   

   

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • nuratikah

    si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
    berkunjung balikke ceritaku ya.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags