Read More >>"> Ich Liebe Dich (Belenggu) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ich Liebe Dich
MENU
About Us  

   Kata-kata Ferro di rumahnya kemarin sore membuat pikiran Kevin lagi-lagi tertuju pada Sofi. Seharian di sekolah cowok itu terus mengikuti Sofi dan memperhatikan gadis itu Sofi dari jauh. Memastikan apakah memang benar masih ada rasa yang tertinggal—seperti apa yang Ferro katakan—di hatinya. Awalnya Kevin tak berhasil mengidentifikasikan perasaannya. Ketika memandangi Sofi di kantin, di depan kelasnya, di perpus, perasaannya biasa-biasa saja seperti ketika memandang gadis-gadis lain di sekolah. Namun akhirnya cowok itu merasakan ‘perasaan yang tertinggal’ itu memang ada di hatinya ketika Sofi tak sengaja menabraknya.
   Waktu itu sedang jam istirahat. Kevin tak tahu Sofi mau pergi ke mana. Dari arah kelasnya gadis itu berjalan dengan tergesa dan sangat cepat melewati koridor depan kelas Kevin. Kevin yang baru saja keluar dari kelasnya tersentak kaget saat merasakan benturan keras megenai tubuhnya bagian samping. Ketika menoleh, dia melihat Sofi nyaris terjatuh ke belakang. Refleks, tangan Kevin meraih tubuh Sofi. Sofi—yang merasa kaget—juga secara refleks mencengkeramkan kedua tangannya ke pundak Kevin. Jarak wajah mereka sangat dekat. Sekitar sepuluh senti mungkin. Dan mereka saling bertatapan beberapa detik dalam kondisi seperti itu. Beberapa detik itu terasa lama bagi Kevin. Gemuruh liar di dadanya semakin terasa nyata ketika dia menatap manik mata Sofi. Gemuruh itu sama seperti yang dirasakannya saat pertama kali mereka bertatapan dalam jarak sangat dekat ketika dia baru saja menyatakan perasaannya di Taman Kencana dulu. Mata Sofi yang selalu memancarkan kepolosan, hidungnya mancungnya, bibir mungilnya yang tipis, masih sama indahnya seperti saat pertama kali Kevin menatapnya ketika dia terjatuh karena hukuman mengepel dulu. Segala keindahan gadis itu tak pernah memudar di matanya.
   Semakin Kevin menatap Sofi, Semakin dia ingin menyentuh pipi gadis itu. Tangannya yang berada di pinggang Sofi ingin dia gerakkan untuk merengkuh tubuh Sofi lebih dekat, tapi otot-ototnya seperti membeku. Entah mengapa Kevin yakin kalau Sofi juga tak ingin melepaskan diri darinya. Dia merasa kalau gadis itu juga membeku oleh tatapannya.
   Mereka saling melepaskan tangan saat deheman keras Dion yang baru keluar dari kelas terdengar. Cowok itu tersenyum geli saat melihat Sofi melangkah pergi dengan gugup.
   “Katanya udah nggak suka, tapi gue perhatiin tampang lo sange gitu pas liatin Sofi, Hawk,” kata Dion keras-keras diiringi tawa geli ketika Sofi telah menghilang. Ucapan cowok itu seketika mengundang perhatian beberapa teman sekelas mereka yang sedang berada di depan kelas.
  Kevin tak peduli dengan wajahnya yang sudah memerah. Untuk menutupi rasa malunya cowok itu meninju pelan perut Dion. Sahabatnya yang satu itu memang benar-benar tidak bisa menjaga mulut.
   Ketika menolehkan pandangannya ke sekitar parkiran, Kevin mendapati lahan luas itu sudah sepi saja. Entah berapa lama dia melamun mengingat Sofi. Cowok itu baru saja akan menghidupkan mesin mobil, ketika ada panggilan masuk dari ponselnya yang dia letakkan di dashboard. Ada panggilan dari Edo rupanya. Dengan malas Kevin menslide logo telepon warna hijau di ponselnya.
   “Ada apaan lo nelfon-nelfon gue? Gue lagi nggak ada waktu ribut. Habis pulang ini gue mau ke rumah sakit gantiin Mama,” cerocos Kevin sebelum dia mendengar suara Edo dari seberang.
   “Yakin lo nggak mau ribut sama gue? Yakin lo nggak mood ribut sama gue? Lo harus ribut sama gue, Vin. Karena gue punya alesan kuat buat bikin lo ribut sama gue.” Terdengar suara Edo di seberang.
   Kevin berpikir sejenak sebelum menjawab ocehan Edo itu. Apa pun yang Edo katakan, semua itu pasti hanyalah jebakan belaka. Dia tak perlu meladeni sepupu sintingnya itu. “Apaan sih lo, nggak penting banget!” balas Kevin akhirnya. Cowok itu lantas memutuskan sambungan telepon. Setelah melempar ponselya ke dasboard lagi, dia mulai menyalakan mesin mobil.
   Ketika mobil baru berjalan beberapa meter, ponsel Kevin berbunyi lagi. Terdengar nada notifikasi pesan. Kevin berdecak malas ketika mengetahui pesan itu datang dari Edo. Dengan ogah-ogahan dia membaca pesan itu.
   Dateng ke rumah tua dua susun yang ada di lapangan tempat kita suka main bola bareng dulu. SENDIRI. Mantan lo yang masih lo sayangi banget ada sama gue di sini.  
   Seketika mata Kevin membelalak setelah membaca pesan itu. Cowok itu tak terlalu bodoh untuk tak mengerti siapa yang dimaksud Edo. Ya, itu pasti Sofi. Tidak cukupkah Edo memancing dirinya dengan mencium Sofi sampai harus menculik gadis itu segala? “Bangsat!” maki Kevin keras sambil meninju setir. Segera cowok itu menambah kecepatan mobilnya. Tak peduli meski sekarang Edo bersama berapa banyak temannya, dia harus tetap datang. Sepupunya itu pasti akan menganggapnya banci kalau sampai dia tak berani datang.
   Kevin menghentikan mobilnya tepat di depan rumah tua dua susun yang ada di pinggir lapangan. Ada tiga mobil Yaris di depannya. Salah satunya mobil Edo. Pemandangan itu membuat Kevin semakin yakin kalau Edo tidak sendirian. 
   Suasana dalam rumah luas itu begitu mengerikan. Sarang laba-laba ada di mana saja. Dindingnya banyak yang sudah mengelupas dan berlumut. Lantainya kotor dan beberapa kayu bekas perabotan rumah berserakan. Suasana rumah itu sepi. Karena tak mendengar suara apa pun di lantai dasar, Kevin pun bergegas menaiki tangga menuju lantai dua rumah itu. 
   Saat langkahnya baru mencapai separuh tangga, Kevin mendengar tawa puas seorang laki-laki dari lantai atas. Merasakan firasat buruk, dengan setengah berlari dia menaiki sisa tangga. Dia mendapati pemandangan yang sangat menyayat hatinya ketika kakinya terhenti di anak tangga paling akhir. Sofi sedang terduduk di sebuah kursi dengan tangan dan kaki terikat. Mulutnya tertutup lakban. Pipinya basah oleh air mata. Dada Kevin seperti terbakar melihat gadis yang masih disayanginya itu tersiksa begitu. Tanpa basa-basi dia langsung berlari menghampiri Edo dan meninju perut cowok itu sekuat tenaga.
   “Gue bilang nggak usah bawa-bawa cewek, goblok!” kata Kevin sesaat setelah meninju perut Edo. 
   Edo—yang sudah berhasil mengabaikan rasa sakit di perutnya—lantas maju selangkah mendekati Kevin. “Kalo lo dari awal juga ngelibatin cewek kenapa gue nggak boleh ngelibatin cewek, hah?!” katanya sambil menatap Kevin tajam. Mendengar itu Kevin hanya bisa mengerutkan kening. Dia sama sekali tak mengerti apa yang dimaksud Edo.
   “Lo itu manusia bejat, Vin! Lo saudara terbangsat yang pernah ada di dunia.” Edo melayangkan tinjunya ke wajah Kevin setelah mengucapkan kalimat itu. Kevin melawan dengan menendang perut Edo, membuat tubuh cowok itu terhuyung ke belakang. Melihat itu Angga dan Tommy, yang tadinya diam dan melihat, turut serta dalam perkelahian. Dua cowok itu memegangi tangan Kevin sehingga Edo bisa memukuli Kevin dengan leluasa. Edo melayangkan pukulannya keras ke wajah, perut, dan dada Kevin berkali-kali seperti kesetanan. Terakhir, cowok itu menendang bagian sensitif Kevin hingga terjatuh dan mengerang kesakitan.
    Akibat pukulan Edo, wajah Kevin jadi dipenuhi luka memar. Menyaksikan pemandangan itu, Sofi menangis. Gadis itu terisak dalam diam. Tubuhnya ikut merasakan ngilu melihat seluruh luka Kevin. Seandainya bisa, dia ingin menolong Kevin. Kalau harus sama-sama babak belur seperti cowok itu pun dia rela.
   Seperti tak puas, Edo lalu menyeret dan mengikat tubuh lemas Kevin ke sebuah tiang. Sambil tersenyum cowok itu bersedekap dan menatap Kevin yang sedang menatapnya dengan raut kesakitan.
   “Apa salah gue ke lo sampai lo nyerang gue kayak gini?” tanya Kevin dengan suara lemah.
   Mendengar pertanyaan Kevin itu Edo malah semakin terpancing amarahnya. Cowok itu berjalan mendekati Kevin, berjongkok lantas berteriak keras sambil mengguncangkan pundak Kevin kasar. “LO ITU BENERAN BEGO’ APA PURA-PURA BEGO’ SIH, HAH?!”
   Mata Edo berkilat tajam. Ada kemarahan, kesedihan, kesakitan, kekecewaan yang Kevin lihat dari pancaran matanya. Namun, Kevin tak mengerti mengapa Edo sampai merasakan semua itu. Kevin juga tak mengerti apa hubungannya semua yang Edo rasakan itu dengan kebencian cowok itu padanya.
  “Jasmine itu cewek gue, Vin! Cewek gue! Dan lo udah bunuh dia!” kata Edo lagi setelah dia melepaskan cengkeramannya di pundak Kevin. Edo pandang mata Kevin lekat-lekat, tapi  yang di pandang malah mengerutkan kening seolah benar-benar tak mengerti apa maksud ucapannya. Edo lantas mengeluarkan ponselnya. Dia tunjukkan foto selfie seorang gadis ke hadapan Kevin. Kevin membelalakkan matanya ketika melihat wajah gadis berambut lurus itu. Gadis itu adalah orang yang dia tabrak beberapa tahun silam. 
   Hampir tiga tahun lalu saat liburan kelulusan SMP, Kevin pernah menabrak seorang gadis. Edo sekeluarga sedang liburan ke rumah kerabat ayahnya saat itu. Awalnya Mona sempat melarang adiknya pergi karena dia ingin Edo dan Kevin liburan bersama. Namun, ibu Edo menolak. Wanita itu ingin menghabiskan waktu bersama keluarga besar suaminya. Jadilah Kevin menghabiskan waktu liburan di rumah dengan berlatih mengemudi mobil.
   Waktu itu Kevin sedang suka-sukanya mengendarai mobil karena merasa sudah agak lihai. Suatu sore dia mengendarai mobil agak jauh dari area rumahnya. Karena merasa sudah aman dari pengawasan Radit, Kevin menyetir mobil dengan kecepatan agak tinggi. Tak disangka-sangka ada seorang gadis yang menyeberang dengan buru-buru. Karena kaget dan tak sempat mengendalikan setir, mobil Kevin menabrak tubuh gadis itu hingga terpental beberapa meter. Merasa takut dan khawatir, Kevin segera menelepon Radit. Setelah Radit datang, mereka membawa gadis itu ke rumah sakit.
   Pihak keluarga korban setuju menempuh jalan damai dengan biaya rumah sakit ditanggung sepenuhnya oleh keluarga Kevin. Gadis itu sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit. Namun setelah selama seminggu koma di rumah sakit, nyawa gadis itu tak dapat diselamatkan. 
   Kevin benar-benar tak menyangka kalau gadis itu ternyata adalah pacar Edo. Karena Edo memang tak pernah bercerita apa pun padanya kalau cowok itu pernah jatuh cinta atau dekat dengan seorang gadis. Edo memang tak pernah terbuka pada Kevin perihal kedekatannya dengan lawan jenis. Padahal Kevin selalu bercerita tentang hubungannya dengan Stela pada sepupunya itu dulu.
   Sekarang Kevin mengerti mengapa saat awal masuk sekolah Edo mendadak memusuhinya dan menyerangnya. Segala pertanyaannya tentang kebencian Edo padanya terjawab sudah.
   Dalam sekejap segala rasa sakit hati yang selama ini menggumpal di dada Kevin akibat ulah Edo yang selalu mencari masalah dengannya melebur digantikan rasa bersalah. “Gue nggak sengaja, Do. Gue minta maaf,” kata Kevin lirih.
   Edo tersenyum sinis. Rasa kehilangan dan sakit hati yang menggunung di hatinya sudah membeku selama beberapa tahun. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Permintaan maaf Kevin itu sama sekali tidak penting. “Maaf lo nggak akan bikin Jasmine hidup lagi, Setan!” bentaknya sambil meninju rahang Kevin. Kevin meringis kesakitan. Dia tak sakit hati. Tak juga ingin melawan. Segala pukulan yang dia terima memang tak seberapa jika dibandingkan dengan nyawa kekasih Edo.
   Dalam setiap pukulan yang Edo tujukan ke tubuh Kevin, Edo terus mengingat Jasmine. Gadis itu cinta pertamanya. Dia jatuh hati pada Jasmine sejak pertama kali melihatnya saat pendaftaran SMP. Seperti orang yang sama sekali tak pernah merasakan jatuh cinta, awalnya Edo juga tak tahu dan tak menyadari rasa apa yang melanda dirinya. Yang Edo tahu sejak hari pertemuan itu dia terus-menerus memikirkan Jasmine. Yang Edo tahu dia merasa senang saat melihat wajah Jasmine selama beberapa hari masa orientasi. Yang Edo tahu hampir setiap malam setelah hari pertemuannya dengan Jasmine dia sering memimpikan gadis itu.
   Beruntung mereka dipertemukan dalam satu kelas saat kelas tujuh. Dan kebetulan juga Jasmine duduk tepat di depan bangku Edo. Semakin hari Edo semakin suka saja memandangi Jasmine. Tak hanya saat berada di luar kelas, bahkan saat sedang mengikuti pelajaran di kelas pun dia suka memperhatikan Jasmine. Saking seringnya melakukan kebiasaan itu di dalam kelas, dia pernah dilempar penghapus white board oleh seorang guru yang menerangkan karena dikira melamun. 
   Setelah selama sebulan duduk di bangku kelas tujuh, akhirnya Edo pun memberanikan diri mengungkapkan perasaannya pada Jasmine. Namun perasaannya bertepuk sebelah tangan. Jasmine menolak pernyataan cintanya. 
   Perasaan Edo tak terhenti begitu saja. Dia terus mendekati Jasmine meski waktu itu Jasmine sempat berpacaran dengan cowok lain. Setelah Jasmine putus dengan pacarnya, Edo sempat mengungkapkan perasaannya lagi beberapa kali. Jasmine baru menerima pernyataan cinta Edo setelah mereka naik ke kelas sembilan. Dan Ketika Kevin menabrak Jasmine itu mereka baru berpacaran selama dua bulan.
   Semenjak Edo tahu kalau Kevin-lah yang menabrak Jasmine, rasa bencinya pada sepupunya itu tak bisa dia tekan. Setiap kali melihat Kevin,dia selalu ingin menghabisi  cowok itu. Rasa kesal, sakit hati, juga sedihnya dia lampiaskan dengan menghajar Kevin. Bahkan kalau perlu dia ingin sepupunya itu menghilang juga dari muka bumi ini sama seperti Jasmine. Edo tak peduli dengan status Kevin yang masih saudara dengannya. Karena semenjak menabrak Jasmine status cowok itu berubah jadi ‘pembunuh’ di matanya.
   Pasca kepergian Jasmine, Edo berubah menjadi seperti orang paling cengeng sedunia. Betapa tidak, gadisnya itu pergi tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan. Tanpa sempat memberikan isyarat atau pertanda. Hampir setiap malam Edo selalu memandangi foto Jasmine hingga tanpa sadar begitu saja pipinya basah oleh air mata. Kesedihannya semakin mendalam apalagi kalau dia ingat bagaimana perjuangannya mendapatkan cinta Jasmine. Bagaimana dia menahan rasa sakit hati ketika melihat Jasmine bermesraan dengan pacarnya. Bagaimana kesetiaannya menunggu Jasmine menerima perasaannya selama dua tahun lebih. Dan Edo merasa sangat kecewa karena dia hanya diberi kesempatan menikmati hari-hari yang menyenangkan bersama Jasmine hanya dalam waktu dua bulan. 
   “Sekarang untuk ngebales rasa sakit hati gue, gue mau sedikit main-main sama mantan lo yang tersayang,” kata Edo sambil berjalan mundur ke belakang, mendekat ke arah Sofi. Edo sengaja memakai Sofi sebagai senjata untuk melumpuhkan Kevin karena dia tahu sepupunya itu masih menyimpan rasa pada sang mantan. Masih bisa Edo rekam jelas bagaimana raut cemburu yang Kevin tampakkan saat dia bilang kalau mungkin Sofi lebih suka berciuman dengannya. Dari situlah Edo menyimpulkan bagaimana perasaan Kevin hingga kemudian dia merencanakan aksi penculikan ini.
   “Gue mohon jangan libatin Sofi, Do,” mohon Kevin dengan wajah memelas dan suara yang dipelankan. 
   Bukannya menghentikan langkah, Edo malah terus berjalan mundur sambil tertawa. “Lo mohon ke gue kayak gitu seolah gue jahat banget padahal sebenarnya lo yang jahat,” katanya sambil menunjuk Kevin dengan masih diiringi sedikit tawa.
   “Lo pasti udah denger tentang lomba balapan itu, kan?” tanya Edo ketika dia telah berdiri di hadapan Sofi. Matanya menatap Kevin tajam. “Gue juga ikut lomba itu. Kemaren gue sempet liat siapa aja pesertanya di internet dan gue liat nama lo di sana. Gue mau lo ngundurin diri, atau kalo nggak ....” Edo menahan kalimatnya sekilas kemudian mengalihkan pandangannya pada Sofi. “Gue akan bikin pemandangan yang seumur hidup nggak bisa lo lupain, Vin,” lanjutnya sambil membelai lembut pipi Sofi dan mengedipkan sebelah matanya.
   Malam harinya setelah Dion dan Ferro datang memberi tahu tentang lomba balapan itu Kevin memang langsung mendaftar. Namun dia tak menyangka kalau ternyata Edo juga berminat ikut, bahkan sampai mengecek seluruh peserta segala. Selama ini cowok itu hanya suka balapan liar dan tak pernah mau ikut-ikutan lomba resmi.
   “Sekarang maksud lo apa lagi nyuruh gue ngundurin diri? Apa hubungannya lomba balapan sama kecelakaan mantan lo?” tanya Kevin. Semakin lama cowok itu semakin tak mengerti dengan jalan pikiran Edo.
   “Jelas ada. Karena gue tahu lo pasti bakal pakai uang dari lomba balapan itu buat biayain Alice, kan? Dan gue nggak mau itu terjadi. Gue ingin lo merasakan gimana rasanya ditinggal pergi orang yang lo sayangin untuk selamannya,” kata Edo. Dia tersenyum sadis.
   Kevin melotot hingga bola matanya nyaris keluar dari rongganya. Dadanya naik turun. Telinganya panas. Sementara itu Sofi—yang juga mendengar ucapan Edo—juga membelalakkan mata. Dia sama kagetnya dengan Kevin. Edo benar-benar sudah gelap mata. Padahal tadi Kevin sudah meminta maaf dan menyesali perbuatannya.
   “Lo bener-bener tega, ya, Do! Nggak cukup apa lo bikin gue babak belur sampai Alice yang nggak tahu apa-apa lo bawa juga? Lagian Alice itu adik kandung gue, sepupu lo juga. Lo tega gitu ngebiarin dia sakit dan nggak sembuh-sembuh?” tanya Kevin dengan memasang tampang melas. Dia mencoba menggugah nurani Edo. “Lo bisa pukulin gue sampai sekarat bersama dua teman lo itu kapan aja lo mau, tapi tolong jangan paksa gue ngundurin diri karena itu semua gue lakuin buat Alice,” lanjutnya.
   “Siapa yang maksa lo? Gue nggak akan maksa lo karena lo bakal ngundurin diri dengan suka rela,” kata Edo sambil memain-mainkan rambut Sofi.
   Dada Kevin memanas saat dia melihat Edo terus membelai rambut Sofi. Kepalanya ikut panas ketika Edo mulai membelai pipi dan leher Sofi. Saat melihat Sofi menjerit tertahan dan memalingkan wajahnya menjauhi tangan Edo, Kevin begitu gemas. Dia ingin menghempaskan tangan Edo dengan keras. Namun, keinginan itu tak tersampaikan karena  tangannya diikat ke belakang tiang.
   “Enaknya gue apain dulu ini, Gaes?” tanya Edo sambil menoleh pada kedua temannya yang sedari tadi hanya memperhatikan.
   “Cium bibir, Bos!” seru Angga girang.
   “Jangan, lah. Kalo bibir ntar gue harus buka lakbannya, dong,” balas Edo sambil melirik Kevin. Edo mulai senang ketika melihat ekspresi Kevin. Cowok itu marah, tapi tak bisa berbuat apa-apa, pemandangan itu tampak menyenangkan di mata Edo.
   “Gimana kalo leher aja, Bos? Kalo lo bikin sedikit bercak-bercak merah di sana kayaknya seru, deh!” Tak mau kalah, Tommy ikut memberi usul.
   Edo bersiul keras sambil menyeringai ke Sofi. “Leher?” katanya kemudian sambil mengelus leher Sofi dengan punggung tangan. Pandangannya tertuju pada Kevin ketika melakukan itu. Edo melihat tatapan mata Kevin semakin tajam, menahan amarah. Pemandangan itu semakin membuat Edo ingin melakukan lebih. “Kayaknya seru sih, tapi kayaknya lebih seru kalo gue buka bagian yang tertutup,” lanjutnya sambil membalikkan badan lantas berjalan mendekati kedua temannya. Ketika dia mengulurkan tangan, segera saja Tommy memberinya sebuah gunting. Mata Sofi seketika melotot melihat benda itu. Dia takut kalau Edo akan menyakitinya dengan benda tajam itu. Sementara itu Kevin masih terus memperhatikan setiap gerak-gerik Edo dengan tatapan tajam dan napas yang menderu. Amarahnya masih belum reda. Hatinya semakin waswas mendengar setiap kata yang Edo ucapkan.
   Perlahan Edo berjalan mendekati Sofi lagi. Dia mencabikkan gunting yang dia bawa ke bagian kemeja Sofi, tepatnya di samping deretan kancing. Sofi menjerit tertahan dan mulai menangis ketika dia merasakan seragamnya terbuka. Gadis itu tak rela mata liar Edo dan kedua temannya memandang bagian tubuhnya.
   Melihat itu, Edo lagi-lagi bersiul keras. “Mulus banget, Gaes!” katanya kemudian.
   “Bangsat!” maki Kevin. Ada rasa tak rela di hatinya melihat Edo bisa melihat bagian tubuh Sofi yang seharusnya tertutup rapat.
   Sofi terus menangis dan menjerit tertahan ketika tangan Edo mulai masuk ke dalam lubang seragam yang tadi cowok itu sobek hingga menyentuh kulit perutnya. Sofi ingin menghindar. Dia ingin mengenyahkan tangan kotor Edo dari tubuhnya, tapi tak bisa. Dia terikat kuat dengan kursi
   “Gimana rasanya, Bos?” tanya Angga sambil cengengesan.
   “Halus banget, gila!” jawab Edo sambil melirik Kevin yang sedang terus mencoba melepaskan ikatan tangannya dengan tiang.
   “Selama lo pacaran sama dia, lo nggak pernah nyentuh bagian ini, kan, Vin?” tanya Edo sambil menyeringai puas. Jarinya terus bergerak-gerak pelan di perut Sofi. Tak rela kulitnya disentuh Edo, tangis Sofi makin menjadi. “Lo mau tahu gimana rasanya? Gue ceritain, ya, bentar!” Edo menahan kalimatnya sejenak sambil melirikkan mata ke atas seperti sedang mencoba merasakan sesuatu. “Behh! Mulus banget, Vin! Makin lama gue makin ingin nyentuh semua bagian tubuhnya!” lanjutnya dengan diiringi tawa puas. Mendengar itu, Angga dan Tomy terbahak.
    Dada Kevin terasa semakin panas saja melihat ulah Edo. “SINGKIRIN TANGAN KOTOR LO DARI BADAN SOFI!” bentak Kevin sambil terus menggerak-gerakkan tangannya, berusaha melepaskan ikatan.
   “GUE NGGAK NYURUH LO NGEBENTAK GUE, GOBLOK! GUE MAU LO NGUNDUIN DIRI!” bentak Edo tak kalah keras. “Kalau nggak ....” Edo menahan kata-katanya. Dia sobek lagi bagian seragam Sofi dengan tangan hingga bagian yang terbuka tampak semakin lebar. Angga bersiul keras melihat itu sementara Tommy terkekeh puas. Sofi menjerit tertahan. Isakannya semakin terdengar begitu menyakitkan di telinga Kevin. 
   “Kalau nggak ....” Edo menahan kalimatnya lagi sementara tangannya terus naik ke atas. 
  Melihat itu Kevin semakin gemas ingin menghabisi Edo. Kedua tangannya yang terikat tak henti-hentinya berontak. 
   “Hei! Ternyata mantan lo lumayan seksi, Vin. Ya, nggak beda jauh lah ukurannya sama punya Jessie,” kata Edo lagi sambil memperhatikan bagian dada Sofi. Tangan liar Edo berhenti  tepat di bagian bawah bra. 
  Melihat ulah Edo, tangis Sofi semakin parah. Saat Edo menatapnya dengan seringai mengerikan, dia menggeleng-gelengkan kepala, memberi isyarat agar cowok itu berhenti. Namun bukannya berhenti, Edo malah menggerakkan jari-jarinya di sana membuat Sofi jijik. 
   Kesal karena tak bisa mencegah tangan liar Edo untuk tidak menjamah tubuhnya, tangis Sofi semakin keras. Dan meski tertutup lakban, Kevin bisa mendengar suaranya dengan jelas. Semakin mendengar suara tangisan Sofi, hati cowok itu seperti tersayat. Suara pilu tersebut  merasuk ke dalam rongga dadanya, menyayat jantungnya, hingga seperti terurai menjadi kepingan-kepingan kecil.
   “ANJING LO, DO!” maki Kevin lantang. Tangan dan tubuhnya terus bergerak-gerak.
    Edo tak peduli dengan makian Kevin. Cowok itu sama sekali tak memiliki keinginan untuk menyingkirkan tangannya. “Jangan nangis dong, Sayang!” kata Edo pelan di telinga Sofi sambil mengerlingkan mata. “Jangan munafik gitulah! Lo nikmatin aja. Gue jamin sentuhan gue bakal lebih nikmat dari sentuhan Kevin,” lanjutnya sambil tersenyum mengerikan. Mendengar itu kedua teman Edo tertawa keras.
   Kalimat yang keluar dari mulut Edo itu terdengar begitu menjijikkan di telinga Sofi. Seandainya mulutnya tak ditutup lakban, dia akan ludahi wajah cowok itu sebagai balasan karena sudah mengotori kulit tubuhnya.
   “KURANG AJAR! SINGKIRIN TANGAN LO, SETAN!” teriak Kevin, menggelegar dipenuhi amarah. Cowok itu merasa begitu tak berarti. Betapa tidak, gadis yang masih dia sayangi disentuh cowok lain dan dia tak bisa berbuat apa-apa. 
   Kali ini Edo tak membalas dengan teriakan. Cowok itu mengalihkan pandangannya ke Kevin sambil berkata, “Terusin aja lo teriak-teriak. Sampe suara lo abis juga gue nggak akan peduli! Selama lo nggak bilang bakal mundur dari balapan itu, gue akan terus gerayangin tubuh mantan lo yang mulus banget ini,” kata Edo. Ketika menghadap Sofi lagi dia bersiul lalu mengerlingkan sebelah mata.
   “BIADAB!” teriak Kevin lagi. Seiring dengan keluarnya teriakan itu dari mulut Kevin, Edo menggunting bagian rok Sofi hingga pahanya sebelah kiri terekspos jelas. Seketika itu juga Sofi menjerit. Namun, suaranya tak terdengar karena teredam lakban. Melihat itu kedua teman Edo bersiul-siul lalu tertawa-tawa girang.
   Sambil tersenyum puas Edo memandangi paha mulus Sofi. Seketika itu pemikiran mesum merasuki otaknya. “Oh, gimana kalo mantan tersayang lo ini gue perawanin sekalian di depan mata lo?” katanya ketika pandanganya tertuju pada Kevin. “Gue yakin pemandangan yang akan lo lihat nanti bakalan lebih panas dari video-video bokep yang biasa lo lihat,” lanjutnya ketika mulai mendekatkan tubuhnya pada Sofi. Dalam hitungan detik dia  melepaskan semua kancing seragamnya membuat kaos singletnya terlihat. Melihat itu, Sofi meronta. Tangisannya semakin parah lagi. 
   “Oke, gue bakal ngundurin diri.” Kata-kata itu keluar dari mulut Kevin akhirnya. Dengan lemah dan pelan. Terdengar nyaris seperti orang berbisik.
   Sambil mengancingkan seragam lagi, Edo menjauhkan tubuhnya dari Sofi. Senyum puasnya muncul. Sementara itu Sofi menggeleng lemah sambil menatap Kevin. Memberi isyarat bahwa tak seharusnya cowok itu menuruti permintaan Edo. Menanggapi itu Kevin hanya bisa tersenyum tipis. Uang untuk biaya rumah sakit adiknya bisa dicari lain kali. Atau kalau ada lomba lagi dia bisa ikut. Tetapi kehormatan dan harga diri Sofi? Kevin tak bisa membayangkan kalau sepupunya yang memang nekat itu sampai tega melecehkkan Sofi apalagi di depan matanya. Seumur hidup dia pasti akan menanggung rasa bersalah dan menyesal. Hatinya akan menyimpan luka mendalam dan membekas selamanya kalau sampai itu terjadi. 
   “Good boy!” kata Edo ketika sudah berada di depan Kevin. Dia berkata begitu sambil menepuk-nepuk pipi sepupunya itu. 
   “Kita cabut, Guys!” kata Edo sambil melemparkan guntingnya yang dari tadi dia pegang di tangan kiri ke sembarang arah. “Lepasin ikatan ceweknya,” lanjutnya sebelum akhirnya melangkah pergi.
   Sofi segera membuka lakban di mulut dan melepaskan ikatan di badan dan kakinya ketika ikatan tangannya telah dilepas oleh Angga. Pipinya masih basah, tapi tangisnya sudah reda. Gadis itu kemudian berjalan ke belakang Kevin dan melepaskan ikatan tangan cowok itu. Setelah ikatan tangan Kevin terlepas, Sofi berjalan ke depan Kevin kemudian berlutut menghadap cowok itu. Posisi tubuhnya berada di depan kaki Kevin yang terjulur lurus. 
   “Makasih,” kata Kevin pelan sambil menekuk kedua kaki hingga posisinya jadi bersila. “Gue ngerasa nggak berguna banget, Sof,” lanjutnya sambil tersenyum miris. Sofi hanya terdiam dan memperhatikan. Gadis itu tak tahu harus membalas apa.
   “Kenapa Kak Kevin mau ngundurin diri? Kak Kevin butuh uang itu untuk biaya rumah sakit Alice, kan? Lagian saya yakin Edo cuma ngancem. Dia nggak mungkin ngelakuin apa yang dia omongin.” ujar Sofi setelah terdiam beberapa saat.
   Kevin menghembuskan napasnya berat. Dia bingung mengapa Sofi justru mempertanyakan keputusannya padahal dia melakukan semua demi gadis itu. Kevin heran mengapa Sofi masih saja bisa berpikir positif dan menganggap Edo tak akan melakukan semua ancamannya padahal dia tak tahu bagaimana sifat cowok itu yang sebenarnya.
   “Edo itu nekat, Sof. Kalo nggak ngapain dia tega ngeroyok gue padahal gue sepupunya sendiri?” balas Kevin.
   “Emangnya kenapa kalo sampe Edo ngelakuin apa yang dia omongin? Apa peduli Kak Kevin? Bukannya kesembuhan Alice jauh lebih penting?” tanya Sofi. Sengaja dia memancing. Gadis itu ingin tahu mengapa Kevin seolah sangat tidak rela kalau dia disentuh Edo.
   “Karena ...,” jawab Kevin lirih sambil terus menatap mata Sofi. Sofi menunggu dengan tak sabar. Karena gue sayang sama lo. Karena gue nggak rela sesenti pun kulit lo disentuh cowok lain. Karena harusnya gue yang harus milikin lo, bukan cowok lain. Kata-kata itu hanya bergaung di dalam hati Kevin. “Karena gue nggak tega ngelihat cewek baik kayak lo dirusak cowok kayak Edo,” lanjutnya terpaksa.
   Mendengar itu Sofi menghembuskan napasnya berat. Dia kecewa. Bukan jawaban itu yang ingin dia dengar dari Kevin.
   Selama beberapa detik berikutnya mereka berdua hanya bertatapan dalam keheningan dan suasana canggung. Selama beberapa detik itu tatapan Sofi terus tertuju pada wajah Kevin. Luka lebam di wajah cowok itu begitu banyak. Di pelipis kanan, rahang kiri, di dagu, di sudut bibirnya. Rasa prihatin menyeruak di hati Sofi semakin lama dia memandang wajah cowok itu.
   Sofi mencengkeram sobekan bajunya agar tertutup saat menyadari tatapan mata Kevin tertuju ke sana. Entah sudah sejak kapan Kevin menatap bagian itu. 
   “Maaf,” kata Kevin ketika melihat Sofi tertunduk malu. Cowok itu kemudian melepaskan baju seragamnya. Kevin maju mendekati Sofi kemudian dia tutupkan seragamnya ke tubuh gadis di depannya itu dengan posisi kancing berada di belakang tanpa ditautkan. Setelah itu Kevin mundur lagi hingga tubuhnya berada di posisi semula.
   Kekhawatiran yang sama seperti saat gadis itu melihat luka di siku Kevin ketika menjalani hukuman mengepel dulu tersirat di mata Sofi. Beberapa detik kemudian air mata jatuh dari mata ke pipinya. Gadis itu merasa terenyuh saat melihat luka-luka memar yang memenuhi dada Kevin yang kini hanya dibalut singlet putih.
   “Nggak apa-apa, kok, udah biasa. Ntar juga sakitnya hilang sendiri,” kata Kevin ketika menyadari tatapan prihatin Sofi. “Maaf gue nggak sempat nolongin lo waktu Ed ....” kata-kata Kevin terhenti, karena tanpa dia duga, Sofi tiba-tiba saja memeluknya. Gadis itu berlutut sambil merengkuh tubuhnya erat. 
   Sofi tak peduli dengan reaksi tubuh Kevin yang menengang karena kaget. Dia semakin membenamkan wajahnya ke leher cowok itu. Tangisannya mulai pecah. Aroma vanila dari tubuh mantan kekasihnya itu tak pernah berubah. Dia rindu menghirup aroma itu.  
   Pelukan itu mewakili segala perasaan yang masih ada di hati Sofi selama ini. Rindu yang dia tahan selama beberapa minggu terurai detik itu juga. Gadis itu tak peduli dengan semua gengsi yang selama ini menggunung di dadanya. Kedatangan Kevin ke sini bahkan sampai rela babak belur sudah cukup untuk membuktikan bahwa cowok itu masih peduli padanya.
   Sebenarnya Sofi ingin berkata kalau dia masih menyayangi Kevin. Dia ingin bersama dengan  Kevin lebih lama lagi. Dia ingin selalu dekat dengan Kevin. 
   Sofi ingin berkata kalau dia rindu pada Kevin. Kalau dia masih sangat ingin menjadi pacar Kevin. Dia ingin berkata kalau dia masih sangat mencandu tatapan teduh, senyum hangat, dan tawa renyah Kevin. Namun mulutnya seperti dibebani berton-ton logam. Alhasil hanya suara erangan tangis yang keluar dari mulutnya.
   Pelukan Sofi terasa begitu menenangkan bagi Kevin. Tangannya menuntut untuk bergerak merengkuh tubuh gadis itu. Dia ingin membuat Sofi terdiam dari tangisannya karena suara isak itu adalah suara yang paling dia benci setelah suara isakan ibundanya dan Alice. Namun otaknya melakukan penolakan. Tidak. Dia tak boleh membalas pelukan Sofi. Gadis itu bukan kekasihnya lagi. 
   Kadang rasa cinta tak selalu harus diucapkan dengan kata-kata, cukup diungkapkan melalui perbuatan. Cukup dengan memeluk Kevin seperti ini, Sofi yakin kalau cowok itu bisa merasakan apa yang dia rasakan. Cukup dengan memeluk Kevin seperti ini, gadis itu yakin kalau Kevin bisa merasakan segenap rindu yang dia salurkan. Sofi ingin sepanjang waktu  bisa menyentuh Kevin dengan mudah seperti ini, tapi skenario dunia tak sejalan dengan apa yang dia inginkan. Ketika menyadari itu, Sofi segera melepaskan pelukannya, menghentikan tangis dan mengusap air matanya. Selama beberapa saat gadis itu hanya memandangi Kevin dalam diam. Pertemuan ini melegakan sekaligus menyesakkan. Menyenangkan sekaligus menyakitkan.
   “Baju ini Kak Kevin pake lagi aja,” kata Sofi sambil berusaha melepas seragam Kevin yang menutupi badannya.
   “Jangan,” kata Kevin sambil menahan tangan Sofi ketika baju seragamnya telah terlepas dan hendak gadis itu berikan padanya. “Bagian tubuh lo itu terlalu indah untuk dinikmati mata liar laki-laki di luar sana dan gue nggak akan rela kalau sampai itu terjadi. Lagian gue bawa jaket kok di mobil,” kata Kevin ketika dia memakaikan lagi seragamnya di tubuh Sofi. Dia memasang seragam itu dengan posisi yang benar dengan kancing berada di depan. Karena seragam Kevin lebih besar ukurannya dari seragam Sofi, jadi seragam itu muat saja dipakaikan di tubuh gadis itu meski rangkap dengan seragamnya sendiri. 
   Kevin mengancingkan satu-persatu kancing itu dengan pelan dan hati-hati. Dalam hitungan detik ketika Kevin melakukan itu, air mata Sofi yang tadi sempat hilang setelah melepaskan pelukannya jatuh lagi. Kata-kata Kevin terus terngiang-ngiang di telinganya. Membuatnya merasa tersanjung sekaligus terharu. Rasa kecewa yang tadi sempat muncul karena jawaban Kevin yang tak sesuai dengan keinginannya kini luntur. Dan gue nggak akan rela kalau itu terjadi. Kalimat itu sudah cukup menjelaskan kalau Kevin masih menyimpan sedikit perasaan untuknya.
   “Saya nggak pernah ciuman sama Edo,” kata Sofi setelah Kevin selesai mengancingkan seragam. Tiba-tiba saja dia ingin menjelaskan. Dia tak ingin cowok itu terus salah paham dan menganggapnya cewek murahan. “Waktu itu dia mendekatkan wajah untuk menghapus air mata di pipi saya. Kebetulan Kak Kevin ambil fotonya dari belakang jadi keliatan kayak ....” Sofi menahan kata-katanya. Air matanya terus mengalir deras. Kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut Kevin beberapa waktu lalu usai dia memarahi cowok itu karena telah menyebarkan fotonya terngiang lagi. Seandainya saja Kevin mengerti bahwa Sofi bukanlah tipe gadis yang mudah menyerahkan kepercayaan dan hatinya untuk orang lain.
   “Gue tahu,” balas Kevin. Seandainya mereka benar berciuman, itu bukan salah Sofi karena pasti Edo yang memaksa. “Gue juga minta maaf kalau ada kata-kata gue yang kasar dan nyakitin hati lo, Sof.”
   “Makasih,” kata Sofi ketika dia mulai berdiri. “Besok di sekolah saya bakal balikin baju Kak Kevin.”
***
   Dari pagi Sofi mencari-cari Kevin. Gadis itu bermaksud mengembalikan seragam cowok itu. Awalnya Sofi sengaja menunggu Kevin di depan kelasnya. Namun sampai bel masuk berbunyi, cowok itu tak juga tampak batang hidungnya. Sofi sempat ingin menanyakan Kevin pada Ferro dan Dion saat melihat mereka berlari-lari masuk ke dalam kelas karena terlambat. Namun keinginannya itu tak berhasil dia lakukan karena tak lama setelah mereka masuk, tampak seorang guru masuk juga ke dalam ruangan kelas itu. Terpaksa Sofi melangkahkan kaki lagi ke kelasnya tanpa membawa sedikit pun kabar tentang Kevin dengan masih membawa seragam cowok itu di tangan. 
   Di jam istirahat Sofi datang ke kelas Kevin lagi. Perasaannya mulai tak tenang saat melihat tulisan “Kevin Atharva Shankara” bertengger di papan absensi yang terpasang di pojok kelas dengan keterangan alpha. Sofi khawatir kalau cowok itu sakit akibat begitu banyak luka yang ada di tubuhnya. Tapi kalau benar begitu, mengapa keterangan yang ada di papan absensi tidak ditulis dengan kata “sakit”? Sepanjang perjalanan kembali menuju kelas, kepala Sofi jadi nyeri karena memikirkannya.
   Sampai jam pulang Sofi masih tak bisa berhenti memikirkan Kevin. Tepat setelah bel pulang berbunyi dan guru pengajar jam pelajaran terakhir keluar, dia segera berjalan cepat menuju kelas Kevin. Gadis itu bermaksud bertanya pada Dion dan Ferro tentang Kevin. Tak ingin terlambat dan sampai kehilangan jejak kedua teman Kevin itu, Sofi mempercepat langkahnya, bahkan hingga berlari-lari.
   Sofi bertemu dengan Dion dan Ferro ketika dua cowok itu baru saja berjalan keluar beberapa meter dari kelas. Mereka sempat kaget saat melihat wajah cemas Sofi. Namun, Sofi sudah tak peduli. Mereka mungkin tahu kalau hubungannya dengan Kevin sedang tak baik pasca putus, tapi Sofi sedang tak ingin mempermasalahkan semua itu sekarang. Dia hanya ingin tahu apa yang terjadi dengan Kevin dan di mana cowok itu berada sekarang.
   “Kalian ... kalian tahu nggak kenapa Kak Kevin nggak masuk?” tanya Sofi dengan napas yang masih tak beraturan pasca berlari.
   Dion dan Ferro tak langsung menjawab. Mereka malah saling bertatapan bingung.
   “Kalian denger, kan, apa yang gue tanyain tadi?” tanya Sofi lagi setelah napasnya normal. Gadis itu yakin kali ini dua orang di depannya itu—atau mungkin salah satunya—akan menjawab pertanyaannya karena suaranya sudah terdengar jelas.
   Bukannya langsung menjawab Dion malah menyikut lengan Ferro. Yang disikut lengannya mengangkat bahu, seolah tak mau tahu.
   “Kalian berdua kenapa, sih? Mau ngasih tahu nggak Kak Kevin kenapa nggak masuk? Gue nggak akan ribut sama dia kok. Cuma mau balikin baju,” kata Sofi dengan suaranya yang mulai meninggi. Dia kesal melihat tingkah aneh dua sahabat Kevin itu. 
   “Si Hawk ....” Dion memutus kata-katanya lantas melirik Ferro seolah hendak meminta pendapat. Sofi semakin gemas melihat tingkah Dion itu. 
   “Yaudah kasih tahu aja, sih! Kan, dia sendiri yang tanya,” kata Ferro.
   Mendengar persetujuan Ferro itu Dion lantas melanjutkan kalimatnya. “Si Hawk dibawa polisi,” katanya pelan.  Raut wajahnya mendadak suram seolah mengisyaratkan kesedihan.
   Dari awal Sofi tahu kalau kemungkinannya bisa separah ini. Maka tanpa menunggu lama lagi gadis itu segera membalikkan badan dan berjalan cepat meninggalkan dua sahabat Kevin. 
     Tadi ketika jam istirahat, Kevin mengirim pesan pada dua sohibnya. Cowok itu bilang kalau dia dibawa ke kantor polisi pagi sebelum berangkat sekolah. Mereka kaget bukan main setelah membaca pesan Kevin. Mereka lantas meminta penjelasan. Dan Kevin pun memberi penjelasan singkat melalui pesan. Kevin sempat meminta pada mereka agar tak memberitahu Sofi tentang keadaannya. Tadi itu mereka terpaksa membocorkan semuanya. Toh, tanpa diberi tahu juga Sofi akan mencari tahu karena gadis itu memang masih peduli dan menyimpan perasaan pada Kevin.
***
   Kevin berada di balik jeruji ini sudah setengah hari lebih. Otaknya benar-benar frustrasi. Polisi itu membawanya ke sini dengan alasan dia telah melakukan perbuatan kriminal sebagai pengedar narkoba. Hatinya benar-benar dongkol karena itu. Betapa tidak, seumur hidup dia tak pernah menyentuh barang haram itu. Jangankan menyentuh, melihat saja dia tak pernah.
   Suasana di dalam ruangan sempit ini begitu mencekam. Sepi dan begitu mengerikan. Kevin berharap ada suatu waktu di mana dia akan dikeluarkan dari sini karena memang dirinya tak melakukan apa yang para polisi itu tuduhkan. 
   Semakin Kevin memandang jeruji yang berbaris rapi dan kokoh di hadapannya itu rasa sesak semakin membelenggunya. Dia merasa terkekang dengan adanya pagar pembatas besi itu. Dia bernapas, tapi rasanya seperti berada di dalam ruang hampa udara. Ada cahaya yang masuk ke dalam ruangan itu, tapi rasanya seperti gelap gulita. 
   Kevin merasakan ada hembusan udara segar saat seorang petugas membuka jeruji itu dan menyuruhnya keluar. “Ada yang ingin ketemu sama kamu,” katanya.
   Kevin lantas berlajan keluar sel dengan langkah-langkah cepat. Senyum getir muncul di wajahnya saat dia melihat dua sohibnya.
   Saat melihat kaos tahanan yang terpasang di tubuh Kevin ketika cowok itu duduk di hadapan mereka, Dion dan Ferro terenyuh. Apalagi saat melihat wajah terpukul Kevin, mereka seperti ikut merasakan kegetiran yang cowok itu rasakan.
   “Kenapa bisa kayak gini, sih, Hawk?” Dion yang mulai berbicara. Memecahkan keheningan selama beberapa detik yang tercipta di antara mereka.
   Kevin tak menjawab pertanyaan Dion itu. Cowok itu menghembuskan napasnya kasar. Mau menjawab apa memangnya? Dia sendiri juga tak tahu bagaimana bisa semua ini terjadi.
   “Gue yakin lo nggak pernah pake atau bahkan jadi pengedar benda haram itu, Hawk!” Ferro ikut angkat bicara. Dengan geram cowok itu melontarkan kalimatnya seolah dia tahu ada yang salah dengan semua ini. Ya, dia mengenal Kevin dengan sangat baik. Sejak kedua orangtuanya mulai sering ribut, cowok itu jadi lebih dekat dengannya dan Dion. Kevin sering menceritakan segala hal tentang hidupnya pada dua sohibnya sejak awal mereka akrab ketika duduk di bangku kelas sepuluh. Kevin menceritakan bagaimana hubungannya dulu dengan Stela. Kevin menceritakan tentang kecintaannya pada elang, tentang kegilaannya dengan kecepatan, juga tentang kesukaannya pada tokoh superhero Thor. Dan bukan hanya tentang hobi dan cewek mereka bertiga saling berbagi cerita. Bahkan tentang hal kecil dan pribadi seperti kapan, dengan siapa, dan bagaimana mimpi yang dialami saat pertama kali mimpi basah pun mereka saling bercerita. Jadi, Ferro yakin kalau Kevin tak mungkin akan menyembunyikan hal fatal tentang barang haram itu dari dirinya maupun Dion.
   “Gue juga nggak tahu, Ro,” kata Kevin lemah. Raut putus asa, kesedihan, dan ketakutan tergambar jelas di wajahnya.
   “Lo nggak ngebantah atau nyangkal gimana gitu pas mau dibawa ke sini?” tanya Dion. Dia tahu Kevin pasti akan berontak kalau memang cowok itu benar-benar tak melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan.
   “Udah! Udah, Yon! Tapi mereka bilang mereka punya bukti. Mereka juga bilang kalau mereka udah nangkep orang yang nerima barang haram itu dari gue. Gue sempet minta mereka buat nunjukin orang itu ke gue, tapi sampai sekarang mereka belum nurutin permintaan gue.”
   Jawaban Kevin itu semakin membuat Dion dan Ferro bingung. Keduanya tampak berpikir keras mencoba memecahkan segala teka-teki ini. Petugas polisi itu tak mungkin asal bahkan sampai salah menangkap orang dan Kevin jelas-jelas tak punya saudara kembar. Lalu bagaimana semua ini bisa terjadi? 
   “Sofi nanyain gue nggak tadi di sekolah?” tanya Kevin, membuat segala pemikiran-pemikiran yang ada di otak Dion dan Ferro buyar. 
   Bukannya menjawab, dua orang di depan Kevin itu malih saling pandang seperti orang bingung.
   Seolah bisa menebak gelagat dua sohibnya itu, Kevin lantas berkata, “Kenapa? Sofi nangis dan memohon, makanya lo berdua jadi nggak tega terus ngasih tahu dia?” sambil tersenyum.
   Bukannya menjawab, dua sohib Kevin malah tertegun. Mengagumkan rasanya bisa melihat senyum muncul di wajah Kevin setelah dari tadi hanya tampang suram yang cowok itu perlihatkan. Dan senyum itu muncul karena dia sedang membahas Sofi.
   “Iya. Kita bilang kalo lo ada di sini. Tapi kita nggak bilang apa penyebab lo sampai bisa ada di sini,” jawab Dion setelah rasa takjubnya hilang.
   “Tapi menurut gue ada yang aneh, deh, sama Sofi waktu itu, Yon,” sahut  Ferro.
   “Aneh apanya?” tanya Dion tak mengerti.
   “Dia itu bukannya kaget tapi malah biasa aja. Padahal untuk ukuran cewek baik-baik kayak dia, menurut gue harusnya sih dia kaget waktu denger matan pacarnya yang masih dicintai ini diciduk polisi,” kata Ferro sambil mengarahkan dagunya ke Kevin.  
   Kalimat yang diucapkan Ferro itu membuat suasana seketika hening. Ketiganya terlarut dalam pikiran masing-masing yang mencoba menebak mengapa Sofi biasa-biasa saja mendengar kabar bahwa Kevin ditangkap. 
   Apakah Sofi memang menganggap Kevin sebejat itu hingga dia merasa penangkapan tersebut wajar terjadi? Atau jangan-jangan gadis itu memang sudah tak peduli padanya makanya dia biasa saja saat mendengar Kevin ditangkap? Kalau benar begitu, lantas mengapa di rumah tua itu Sofi memeluk Kevin sambil terisak seolah masih menyimpan perasaan yang begitu dalam? Kevin masih masih memikirkan Sofi ketika ada seorang polisi yang menyuruhnya kembali. Orang itu adalah orang yang sama dengan yang membukakan pintu jeruji tadi. Tanpa sempat berpamitan, dua sohib Kevin juga akhirnya meninggalkan cowok itu.
   “Hasil tes urin kamu negatif,” kata pria berkumis tipis itu sambil terus berjalan pelan di sisi Kevin. “Saya sudah menghubungi keluarga kamu. Ibu kamu tadi yang berbicara. Dia bilang dia akan datang,” lanjutnya.
   Mereka terus berjalan, tapi tak menuju ke sel tempat Kevin ditahan. Kevin tak sempat menanyakan tentang itu karena pikirannya terus tertuju pada Mona. Dia tak sanggup melihat raut terpukul dan kecewa yang nanti akan terlukis di wajah Mona kalau sampai wanita itu melihat kondisinya sekarang. Saat ini saja dia yakin kalau perasaan Mona pasti sedang tidak keruan karena telah mendengar kabar dari polisi.
   “Tadi kamu minta ditunjukkan siapa orang yang kamu kirimi ganja itu, kan?” kata si polisi sambil tersenyum sinis. “Tadinya kami tak ingin mengabulkan permintaan kamu karena kami berpikir kamu pasti berpura-pura amnesia untuk mengelabuhi. Tetapi akhirnya kami putuskan untuk mengabulkan permintaan kamu. Kami kasihan sama kamu. Siapa tahu kamu memang pernah kecelakaan lalu kepalamu terbentur dan jadi benar-benar amnesia,” lanjut si polisi. Senyum sinisnya berubah jadi senyum mengejek, membuat Kevin sakit hati. Betapa tidak, bukannya pura-pura amnesia, cowok itu memang tak merasa kalau dia pernah melakukan perbuatan yang dituduhkan padanya.
   “Lihat itu,” kata si polisi sambil menunjuk ke dalam sebuah sel.
   Mata Kevin membelalak ketika melihat seorang laki-laki bertubuh pendek yang terduduk bersandar di tembok dalam ruangan sempit itu. Ingatan Kevin masih bisa mengenal jelas siapa orang itu meski mereka hanya dua kali bertatap muka. Orang itu adalah orang yang menerima paket darinya beberapa bulan silam.
   “Dia sudah melewati proses penyidikan. Dia terbukti pemakai. Hasil tes urinnya positif dan di tempat dia tinggal tim kami menemukan beberapa gram ganja. Setelah ini dia akan dipindah ke rutan narkoba.” Si polisi menjelaskan sambil terus menatap Kevin, sementara pandangan Kevin terus tertuju pada orang itu dengan tatapan tak percaya.
   “Kami sedang memburu dua orang yang diduga bandar,” kata si polisi lagi. Kevin masih terus mendengarkan. Pandangannya sudah tertuju ke si polisi sekarang. 
   Orang itu bilang kamu mengirim paket ganja padanya sebanyak dua kali, benar?” tanya si petugas sambil menunjuk orang di dalam sel tadi dengan mengangkat dagu.
   Jantung Kevin berdetak tak keruan. Pertanyaan polisi itu tak bisa dia cerna. Cowok itu belum terlepas dari rasa terkejutnya. Otaknya terus berusaha menyatukan rangkaian informasi yang dia peroleh. 
   “Jawab!” bentak si polisi, membuat Kevin tersentak.
   “Saya memang pernah mengirim paket pada orang itu, Pak. Dua kali, benar. Tapi saya tidak tahu kalau itu paket ganja. Saya juga masih ingat dua orang yang bapak bilang bandar itu. Satu bertubuh kekar seperti preman dan satunya lagi badannya penuh tato,” kata Kevin.
   Si polisi semakin gemas mendengar jawaban Kevin. Anak ini mengaku tapi tak mau jujur. Apa maksudya? Toh, jelas-jelas dia sudah tertangkap basah dan tak bisa lagi menghindar.
   “Terserah kamu mau mengelak bagaimanapun juga, tetap saja kamu terlibat, iya, kan?” tanya si polisi sambil menatap Kevin penuh dakwaan. Kevin terdiam. Tak tahu harus mengiyakan atau menyangkal tuduhan itu. 
   “Kamu bilang tadi masih ingat dua orang itu, berarti kamu pernah bertemu dengan mereka, iya? Bisa kamu kasih tahu saya di mana mereka berada?” 
   Kevin yang semakin merasakan adanya kejanggalan dari semua ini akhirnya mulai bercerita tentang semuanya. Awalnya dia bertemu dengan dua orang itu beberapa bulan lalu ketika pulang sekolah. Siang itu dia sedang frustrasi sekali karena mendengar Alice terkena serangan leukemia. Dari jam istirahat siang—waktu di mana Kevin ditelepon Mona—sampai saat pulang sekolah dia terus-terusan memikirkan bagaimana dirinya bisa mendapatkan uang untuk membantu biaya perawatan Alice karena ketika itu Radit sudah mulai tak menafkahi keluarga, sedangkan Mona belum terpikir untuk menggunakan kemampuan merajutnya. Saking tidak fokusnya, dia sampai menabrak motor seseorang yang sedang terparkir di pinggir jalan. Seorang pria bertubuh kekar murka ketika tahu ada bagian motornya yang lecet dan sedikit ringsek akibat ulah Kevin. Tak lama, teman pria itu, yang tubuhnya penuh tato datang karena mendengar keributan yang terjadi. Pria bertato itu juga ikut memarahi Kevin akhirnya. Merasa bersalah, Kevin berkata kalau dia mau melakukan apa saja asal mereka berdua mau memaafkan dan tidak sampai menyakitinya.
   Kevin sempat melihat si pria bertato berbisik pada si tubuh kekar sebelum akhirnya  membuat sebuah perjanjian. Si pria bertato bilang kalau mereka sedang butuh kurir untuk mengantarkan barang. Waktu itu Kevin langsung saja setuju karena dia pikir itu adalah kesempatan emas baginya untuk mendapatkan uang. Tak penting baginya isi paket itu apa. Yang terpenting paket itu sampai ke tangan pembelinya dan dia mendapat upah. Selesai. Kevin semakin bersemangat saat mereka mengiming-iminginya dengan berjanji akan memberi keuntungan dari hasil penjualan paket itu sebanyak lima puluh persen. 
   Siang itu juga Kevin memberikan paketnya kepada si penerima. Sebelum berangkat, dua orang itu menyuruh Kevin agar menjadikan lokasi awal mereka bertemu itu sebagai tempat pertemuan berikutnya. Kevin juga sempat menyimpan kontak mereka sebelumnya. Setelah kembali dan memberikan uang hasil penjualan paket itu ternyata dua orang itu berbohong. Bukannya mendapat lima puluh persen, Kevin cuma dapat sepuluh persen.
   Seminggu kemudian Kevin mendapatkan tugas keduanya untuk mengirim paket pada orang yang sama. Karena masih sakit hati, akhirnya dia memutuskan untuk tak memberikan uang hasil penjualan itu.
   “Itu yang kedua dan terakhir, Pak. Sejak saat itu mereka mulai mengejar-ngejar saya. Saya juga telah mengganti nomor hape saya supaya mereka tidak meneror. Untuk uang yang bukan hak saya itu, akan saya serahkan pada Bapak setelah saya bebas dari sini. Jumlahnya tiga juta, Pak,” kata Kevin di akhir ceritanya.
   “Jadi kamu benar-benar tidak tahu pastinya di mana tempat persembunyian mereka?” tanya si polisi. Kevin menggeleng menanggapi pertanyaan itu.
   Sekarang polisi itu mengerti mengapa Kevin seperti orang bodoh yang tak tahu apa-apa ketika ditangkap. Cowok itu memang tak tahu apa-apa tentang kejahatan dua bandar narkoba tersebut. 
   “Sekarang bapak sudah tahu, kan, kalau saya nggak ngerti sama sekali tentang semua ini, tentang kejahatan mereka berdua itu. Lalu kenapa bapak tidak membebaskan saya?” tanya Kevin dia berharap bisa segera keluar dari sini sebelum ibunya datang.
   “Tunggu dulu, Nak! Kami harus menangkap dua orang itu dulu untuk bisa memberi kesaksian bahwa kamu benar-benar orang awam. Bagaimana kamu bisa berpikir kalau saya akan percaya dengan kamu begitu saja, hah? Bisa saja kamu berbohong!” kata si polisi sambil tersenyum sinis.
   Kevin melongo mendengar ucapan polisi itu. Jadi penjahat itu ternyata tidak enak. Tidak pernah dipercaya bahkan saat berkata jujur sekalipun. 
   Ketika kembali masuk ke dalam sel, perasaan Kevin semakin tak keruan. Apalagi ketika Sore sudah menjelang. Waktu di mana biasanya Mona sedang dalam keadaan longgar karena Bik Tini menggantikan untuk menjaga Alice. Selama beberapa menit, Kevin menunggu dengan gelisah. Dia benar-benar tak sanggup membayangkan wajah kecewa ibunya kalau nanti wanita itu datang.
   Waktu yang Kevin khawatirkan pun akhirnya datang. Petugas polisi yang sama dengan yang membuka selnya tadi siang datang lagi. Polisi itu memberitahu Kevin bahwa Mona sedang menunggu untuk bertemu dengannya.
   Detik-detik waktu ketika Kevin melangkahkan kakinya terasa begitu berat. Dia tidak siap menemui Mona. Tetapi mau tak mau dia tetap harus menemui wanita itu. 
   Belum juga Mona sempat bicara, hati Kevin sudah dibuat tercabik-cabik ketika melihat air mata yang memenuhi kelopak mata ibunya saat dia duduk menghadap wanita itu. Mata Mona bengkak. Raut wajahnya begitu suram. Wanita itu pasti sudah lama menangis. Mungkin sejak keluar dari rumah sakit. Atau mungkin sejak pertama mendengar bahwa Kevin ditangkap polisi. 
   “Maafin Mama sama Papa ya, Kak. Ini semua salah kita ....” kata-kata Mona terputus karena wanita itu menyeka tetesan air mata yang jatuh di pipinya dengan tisu. Semakin Kevin melihat butir-butir air mata yang jatuh itu, hatinya semakin terasa seperti di koyak-koyak belati.
   “Seandainya Mama nggak terlalu repot ngurusin Alice dan Papa kamu nggak terlalu egois ngurusin dirinya sendiri ... pasti kamu nggak akan sampai salah jalan kayak gini,” kata Mona lagi. Tangisannya semakin parah. Ada rasa bersalah yang menjulang tinggi dalam dirinya. Sebagai orangtua dia merasa telah gagal mendidik Kevin. Belum habis rasa terpukulnya karena kemarin dia melihat Kevin pulang dengan begitu banyak luka lebam, sekarang dia harus diempaskan lagi dengan keyataan bahwa anak pertamanya itu terjerumus dalam lembah hitam narkoba. Hatinya terasa sakit luar biasa. Anak laki-laki yang begitu dia banggakan telah menjadi budak dari barang haram. Baginya semua ini sungguh sangat keterlaluan. Dan tak ada orang lain yan patut dia salahkan atas semua ini selain dirinya sendiri. 
   Mona paham betul kalau baik buruknya tingkah laku seorang anak itu berawal dari orangtua. Baginya di dunia ini tak ada seorang anak yang sengaja berbuat kenakalan atau terjerumus dalam hal-hal negatif selama orangtua mampu memberikan pengawasan dan mendidik dengan baik. Intinya, seorang anak tak akan menjadi terlalu jauh dari yang diharapkan orangtua selama orangtuanya dekat dan mengenal anaknya itu dengan baik. Dan Mona merasa kalau sesungguhnya selama ini dia tak mengenali Kevin. Dia tak mengerti bagaimana dunia Kevin dengan segala permasalahannnya. 
   “Setiap kali Mama lihat kamu pulang dengan babak belur seperti kemarin, Mama selalu merasa terpukul...,” kalimat Mona terputus karena ingatannya tertuju pada keadaan Kevin kemarin sore saat pulang. Rasa sesak seketika melanda gumpalan daging di dalam rogga dadanya. Begitu banyak luka lebam di wajah Kevin ketika itu. Mona sendiri yang mengompres luka Kevin sore itu. Ketika ditanya, Kevin tak mengaku kalau dia habis dipukuli Edo. Dia hanya bilang kalau tak sengaja diserang segerombolan anak sekolah lain yang terlibat tawuran. “Melihat kamu seperti itu bukan menjadi apa yang Mama inginkan, Kak! Sekarang Mama ngerasa lebih sakit lagi karena harus liat kamu rusak karena barang haram. Sudah cukup, Kak, Mama minta maaf. Mama janji setelah ini Mama akan mencoba jadi ibu yang lebih baik lagi buat kamu. Menjadi ibu yang lebih memahami kamu dan dunia kamu,” lanjut Mona. Air matanya masih belum berhenti mengalir.
   “Ma ... ini nggak seperti yang Mama pikirin. Kevin nggak pernah nyentuh barang haram itu,” kata Kevin pelan.
   “Maksud kamu apa? Jelas-jelas tadi Mama dikasih lihat barang buktinya sama polisinya,” kata Mona sambil terus berusaha menyeka air matanya. 
   “Tapi Kevin bener-bener nggak pernah make barang haram itu, Ma. Hasil tes urinnya negatif,” bantah Kevin.
   “Iya, tapi kamu pengedar? Sama saja, Kak! Itu namanya kamu menjerumuskan orang lain,” kata Mona. Air matanya sudah mulai surut. Wanita itu mulai sedikit kesal karena Kevin terus mengelak dan bukannya merasa bersalah. 
   “Jadi kamu tidak pernah cerita sama ibu kamu tentang pengalaman kamu kerja sama dengan dua bandar itu?” si polisi berkumis tipis yang tadi membukakan pintu datang. Dia berdiri di antara Mona dan Kevin yang duduk berhadapan dipisahkan meja besar. “Kalau begitu biar saya yang cerita,” lanjutnya.
   Si polisi lantas menceritakan apa yang Kevin ungkapkan padanya ke Mona. Semuanya. Mulai dari bagaimana awalnya Kevin bertemu dengan si bandar sampai akhirnya Kevin menyetujui kerja sama yang diajukan dengan segala latar belakangnya, juga besar uang yang Kevin ambil dari dua bandar itu. Polisi itu juga bercerita bagaimana dia bisa tahu dan menangkap Kevin melalui info dari si pemakai.
   “Kami belum membebaskan anak ibu karena kami harus menangkap dua bandar itu dulu untuk mendapatkan kesaksian dari mereka bahwa anak ibu memang benar-benar awam,” kata si polisi di akhir penjelasannya.
   Mona tertegun lama setelah mendengar penjelasan polisi itu. Dia tak menyangka kalau Kevin ternyata punya inisiatif sampai sejauh itu. Dia tahu Kevin sengaja tak memberitahunya karena anaknya itu tak mau membuatnya khawatir. Mona merasa beruntung punya anak sebaik Kevin. Dan dia terlalu tidak pandai untuk bersyukur.
   “Boleh saya peluk anak saya, Pak?” tanya Mona ketika rasa takjubnya reda. Dia berdiri sambil menatap si polisi penuh harap.
   “Ya, tentu,” jawab si polisi. 
   Sambil menangis haru Mona lantas mendekap Kevin yang sudah berdiri. “Mama janji akan bantu kamu menyelesaikan masalah ini secepatnya, Kak,” katanya.
   Adalam dekapan Mona, Kevin tersenyum. Kalimat ibunya itu menjalarkan kehangatan dan ketenangan di dadanya.
***
   Sehari setelah kedatangan ibunya, Kevin merasa benar-benar terpuruk. Tak ada lagi yang datang padanya sejak pagi sampai tengah hari. Dua sohibnya sedang mengikuti pelajaran di sekolah. Mona bilang dia akan datang setiap hari, tapi sekarang wanita itu pasti sedang sibuk menunggui Alice. Kemarin sebelum pergi meninggalkan Kevin, Mona bilang kalau dia telah mengirimi Radit pesan. Dia meminta agar suaminya itu datang menemui Kevin. Namun  sampai siang Radit tak juga datang membesuk Kevin. 
   Kevin tahu ayahnya bisa pergi kapan saja meninggalkan kepentingan di pabrik kalau mau. Pria itu pasti sudah terlalu tak peduli padanya sehingga tak sudi datang. Jangankan Kevin, anak yang telah dicap sebagai pembangkang, Alice yang sedang sakit saja tak pernah dipedulikan. 
   Meski Kevin sangat membenci kelakuan Radit, tapi sebenarnya dia sangat menginginkan kehadiran ayahnya itu. Dia berharap masih ada rasa peduli di hati Radit untuknya. Memikirkan Radit membuat ingatan Kevin terlempar pada kejadian beberapa belas tahun lalu saat dia masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Pagi itu dia sedang libur sekolah. Karena bosan ditinggalkan Radit yang sedang berlari pagi di sekitar rumah, dia memutuskan untuk mengambil layangan yang tersimpan di garasi rumah. Selama sekitar sepuluh menit dia  berhasil memainkan layangan dengan riangnya. Dia melemparkan layangan itu ke udara lalu  menariknya sambil berlari-lari mengelilingi halaman rumah. Di satu lemparan, dia melambungkan layangannya terlalu tinggi hingga tersangkut di salah satu pohon yang ada di halaman rumahnya. Karena merasa bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukan, dia akhirnya memanggil Radit yang sedang melakukan gerakan perenggangan otot di depan pagar rumah. 
   “Pa, layangan Kevin tersangkut di pohon,” rengek Kevin.
   “Mana?” tanya Radit sambil berjalan mendekati Kevin.
   “Itu, Pa. Tinggi banget,” jawab Kevin sambil menunjuk layanganya yang bertengger di ranting pohon.
   “Pendek gitu. Panjat, dong!” kata Radit sambil tersenyum tipis.
   Kevin memandangi pohon itu agak lama, mencoba memastikan bahwa dia mampu melakukan apa yang ayahnya inginkan. Namun beberapa detik kemudian dia menggeleng tak yakin. “Nanti kalo jatoh gimana?” tanyanya. 
   “Nggak, dong! Coba aja!” kata Radit lagi, masih sambil tersenyum optimis.
   Dengan agak ragu Kevin mulai berjalan mendekati pohon belimbing itu. Perlahan dia mulai meletakkan satu kaki di batang pohon. Kemudian dia memakai kedua tangannya untuk berpegangan. Setelah itu dia angkat satu kakinya yang lain untuk memanjat. Setelah mampu memanjat sampai setinggi satu meter, dia terjatuh. Pantatnya membentur tanah hingga terasa sakit dan panas. Tak mau menyerah, akhirnya dia mencoba lagi untuk memanjat. Dia sempat terjatuh lagi beberapa kali. Dia baru berhasil mendapatkan layangan itu di percobaan kelima.
   “Yes! Aku dapet layangannya, Pa! Aku dapet!” teriak Kevin kegirangan sambil mengangkat layangannya dan berlari mendekati Radit setelah turun dari pohon.
   “Nah, gitu, dong! Anak Papa harus kuat!” kata Radit sambil mengulurkan kepalan tangannya ke depan Kevin.
   “Kuat kayak Thor!” kata Kevin. Dia menyambut uluran kepalan tangan radit dengan kepalan tangan juga. 
   “Iya, kuat kayak Thor,” balas Radit sambil tersenyum bangga.
   Itu adalah kebiasaan yang Kevin pakai saat bertos dengan Radit. Sekarang dia sudah lupa entah kapan terakhir mereka bertos seperti itu. Baginya itu bukan hanya sekedar ritual, tapi simbol kekompakan. Simbol kedekatan. 
   Air mata Kevin nyaris jatuh kalau dia tidak disadarkan oleh suara polisi yang memanggil namanya. Dengan segera dia mengusap air mata yang memenuhi rongga matanya ketika melihat seorang petugas polisi berambut agak botak berjalan mendekat. Petugas polisi itu adalah teman dari petugas berkumis yang kemarin datang membukakan sel untuknya. Polisi itu ikut datang juga ke rumah Kevin saat penangkapan.
   “Ada ayah kamu datang,” kata si polisi ketika membuka gembok.
    Kevin segera berjalan melintasi pintu besi yang telah terbuka itu. Meskipu perasaannya campur aduk—antara cemas, kesal, dan benci—Kevin tetap berjalan mendekati Radit. Dia selalu berprinsip untuk tetap terlihat tegar di depan ayahnya itu dalam kondisi seburuk apa pun. 
   Dalam hati Kevin berharap keadaannya sekarang bisa membuat Radit terpukul seperti Mona sehingga ayahnya itu sadar dari kelakuan buruknya selama ini. Sadar dari perbuatan jahatnya yang telah menelantarkan anak.
   “Ngapain Papa ke sini? Lagi nggak ada kerjaan, ya, di kantor?” sindir Kevin sinis saat dia telah duduk di hadapan Radit. 
   “Kamu itu, ya! Papa dateng ke sini itu karena Papa masih peduli sama kamu!” balas Radit sengit.
   “Peduli? Udah berapa bulan Papa jarang pulang ke rumah dan nggak kasih nafkah buat Mama? Itu yang namanya peduli?” balas Kevin tak kalah sengit. Napasnya memburu. Dadanya naik turun menahan amarah. Melihat itu Radit hanya diam. Dia tampak tenang, tapi matanya  menatap Kevin dengan tajam. “Yang ada Papa cuma peduli sama diri sendiri! Papa egois!” lanjut Kevin masih dengan suara tinggi. 
   Kalimat Kevin yang terakhir menyulut amarah Radit. Dengan keras dia menampar pipi Kevin, membuat pandangan beberapa polisi yang ada di sekitar ruangan tertuju kepada mereka.
   “Kamu itu sudah jadi anak nakal, bukannya minta maaf karena merasa bersalah, tapi malah balik nyerang Papa! Mau sampai kapan kamu jadi pembangkang begini?!” bentak Radit.
   “Harusnya sekarang anda itu ngaca. Anda lihat dan tanya diri anda sendiri apa yang kurang dari anda sampai bisa punya keturunan yang kelakuannya seperti saya? Buah jatuh tak jauh dari pohon, kan, katanya?” balas Kevin lugas, jelas, dan tegas.
   Kata-kata Kevin itu memukul Radit telak. Pria itu seperti ditampar ratusan tangan yang menghempaskan tubuhnya dan membuatnya terjatuh ke dasar jurang. Segala gengsi dan kuasa yang mampu dia bangun dengan apik di hadapan Kevin seketika itu juga runtuh dalam sekejap. Tak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulutnya untuk membalas ucapan Kevin.
   Kevin sendiri berkata begitu bukan tanpa alasan. Tadinya dia sempat berpikir bahwa sikap Radit akan melunak seperti Mona saat datang ke sini. Namun ternyata dugaannya itu salah. Bukannya merasa gagal telah mendidik anak seperti Mona, Radit justru semakin tinggi hati. Maka dari itu, alih-alih menjelaskan semuanya, Kevin justru sengaja melemparkan kesalahan pada Radit karena kalau tak begitu hati ayahnya itu tak akan melunak. Dan Kevin merasa puas setelah melihat Radit membeku karena mendengar kata-katanya. Tak ingin melihat raut ayahnya lagi, akhirnya Kevin memutuskan untuk pergi meski waktu besuk belum habis.
   Ketika kembali ke mobil, sebelum menyalakan mesin kendaraan roda empatnya itu Radit termenung beberapa saat. Harusnya sekarang Anda ngaca. Kalimat Kevin itu terus terdengar berulang-ulang di telinganya. Apa yang kurang dari Anda sampai bisa punya keturunan yang kelakuannya seperti saya! Yang kurang darinya apa? Yang kurang darinya adalah, bahwa selama ini dia jarang bahkan hampir tak pernah lagi mendampingi Kevin seperti beberapa tahun lalu saat anaknya itu masih kanak-kanak. Entah sudah berapa lama dia tak menunaikan tanggung jawabnya sebagai ayah. Entah sudah berapa lama dia tak memantau bagaimana tumbuh kembang anak pertamanya itu hingga berubah menjadi sosok yang nyaris tak dia kenali. Hingga berubah menjadi sesuatu yang sangat tidak dia inginkan. Kenyataan itu sangat menusuk hatinya. Terlebih panggilan “anda” yang anaknya itu gunakan. Panggilan itu seolah menunjukkan kalau Kevin telah menciptakan jarak yang begitu jauh darinya. Panggilan itu seolah menunjukkan kalau Kevin kecewa, marah, atau bahkan mungkin sudah tak sudi lagi punya ayah seperti dirinya. 
   Kenyataan yang menyakitkan itu membuat Radit seketika teringat saat pertama kali dia menggendong Kevin. Waktu itu Kevin masih berumur dua hari. Bayi mungil itu adalah anugerah pertama yang sangat dia dambakan. Setelah lelah dilanda rasa jengah akibat perkataan ibunya yang selalu bilang kalau segera ingin menimang cucu, Radit akhirnya mampu tersenyum lega saat Kevin terlahir di usia pernikahannya yang memasuki umur dua tahun. 
   “Lihat, Mas, dia ganteng banget, indah kayak kamu,” kata Mona yang terduduk di ranjang sambil tersenyum girang.
   Radit ikut tersenyum bahagia saat melihat senyum indah Mona. Pria itu merapatkan tubuhnya pada Mona yang bersandar di ranjang agar istrinya itu bisa ikut menyentuh bayi dalam gendongannya. “Bibirnya indah banget, Sayang, kayak bibir kamu,” balasnya kemudian.
   Mendengar pujian itu Mona tersipu. 
   “Menurut kamu apa nama yang layak diberikan untuk anugerah pertama kita ini?” tanya Mona sambil mengelus pipi bayi kecil yang tengah terlelap dalam rengkuhan lengan Radit dengan ujung jari telunjuknya.
   “Aku sudah menyiapkan satu nama bayi laki-laki, Sayang,” Ujar Radit sambil terus memandangi wajah bayi mungil yang ada di gendongannya. 
   “Oh, ya? Siapa?” tanya Mona sambil menatap Radit, seolah tak sabar menunggu suaminya itu menyebutkan nama yang dimaksud 
   “Kevin, bagaimana kalau kita panggil dia Kevin saja. Kevin itu artinya tampan atau indah, Sayang,” kata Radit sambil memperhatikan raut cerah Mona yang sedang mengecup kening si jabang bayi.
   “Bagus juga. Gimana kalau nama panjangnya Kevin Atharva Shankara? Artinya jadi Anugerah indah yang membawa keberuntungan dan kebahagiaan,” balas Mona saat dia telah mengangkat wajah.
   “Hmm ... pasti  bahasa sanskerta, ya?” tanya Radit. Mona mengangguk. “Namanya langka pasti nggak akan ada yang nyamain. Cerdas banget, sih, kamu punya ide nama bahasa sanskerta kayak gitu,” lanjut Radit.
   “Iya, dong! Kan istrinya kamu?” kata Mona sambil tersenyum genit. Radit membalas senyuman genit Mona itu dengan kecupan dalam di bibir. 
   Rasanya waktu sudah berlalu terlalu lama sejak kejadian itu. Kehangatan itu tak pernah lagi Radit rasakan. Dirinya memang telah pergi terlalu jauh. Rumah tangga yang awalnya dia bangun dengan penuh cinta, kini perlahan keropos, bahkan nyaris ambruk. Mungkin benar apa yang anak pertamanya isyaratkan. Kehancuran keluarganya juga segala tingkah buruk Kevin adalah akibat dari kesalahannya.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • nuratikah

    si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
    berkunjung balikke ceritaku ya.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags